MENGAPA AL ‘ULAMA'

Pokok Kajian

Sesungguhnya Allah telah memberikan petunjuk berupa gambaran dari satu sikap dari hamba Allah yang tidak terlena oleh berbagai permasalahan yang berkaitan dengan gejolak kehidupan duniawiyah, sebagaimana digambarkan dalam Surah An Nur 37,yaitu:

رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالأبْصَارُ (٣٧)

Para lelaki yang tidak dapat terlalaikan mereka oleh perniagaan dan jual beli, dari mengingati Allah, dan mendirikan shalat dan membayarkan zakat,(lantaran) mereka takut akan suatu hari (dimana) terjadi goncang pada waktu itu, hati dan pandangan

Ayat tersebut dengan keterkaitan ayat sebelum dan sesudahnya, sangat jelas menggambarkan tentang sikap “Al ’Ulama”, yang senantiasa berupaya menepati tugas dan tanggung jawabnya dalam menjunjung tinggi Kalimatullah. Dan karena itu maka Rasulullah menjelaskan bahwa ‘Ulama itu adalah pemegang amanah Allah atas makhluknya [Surah Fathir(35) 34], dan sebagai pemegang amanah para Rasul [Surah Asy Syura(42) 13], sehingga akan senantiasa berupaya untuk mematuhi dan menepati batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah.

Pembahasan


Bahwa sebenarnya “Al ‘Ulama” adalah hamba Allah yang faqir, artinya senantiasa berharap keredlaan Allah dalam segala kiprah hidupnya untuk menepati pengabdiannya. Berarti kepribadian nya sudah harus terukur, bahwa cinta kepada Allah dan RasulNya dan jihad di jalanNya adalah diatas segalanya [Surah At Taubah(9) 24]. Inilah tatanan utama yang membuat Al ‘Ulama disebut Al’Arif dan Al ‘Khowasy, karena ketulusan hatinya dalam tha’at, sehingga berupaya sekuat mungkin menepati perintah Allah, untuk tidak akan mencampuradukkan antara yang haq dengan yang bathil [Surah Al Baqarah(2) 42]. Dengan demikian akan bermuatan makna antara lain:

1. Al‘Ulama dituntut kemampuannya dalam memahami beberapa batasan dari Allah, antara lain, Ketetapan Allah untuk memiliki “hija ban mastu ra” [Surah Al Isra’(17) 45]; Dengan itu akan mampu menjelaskan keberadaan sifat antagonistic antara As Siyasah dengan Politik.

2. Dituntut kemampuannya dalam mewaspadai diri terhadap keberadaan nafsu dan al’aqlu, yang antara keduanya ada pembatas [Surah Al Anfal(8) 24], yang dengan itu akan dapat melakukan pengkondisian terhadap Ummat Islam, agar tidak terpengaruh bisikan nafsu angkara murka [Surah Yusuf(12) 53]. Dan akan tetap mengutamakan cinta kasih terhadap ummat manusia, karena masalah manusia adalah topik utama dalam al Qur-an [Surah Al Maidah(5) 32].

Manakala hal tersebut telah faham, maka dengan mempedomani pada Kaidah Menejemen al Qur-an [Surah Al Furqon(25) 52] serta wujud dari menejemen al Qur-an [Surah An’am(6) 153], karena dihadapkan beberapa kenyataan, antara lain:

1. Dalam kehidupan global, secara pasti setiap Negara di dunia terjadi proses integrasi.

2. Dalam hubungan antar bangsa secara pasti terjadi proses ter-interdependensi, yaitu terjadi saling memberi dan menerima, antara lain dalam hal peradaban dan sebagainya.

Mengatasi hal tersebut, jelas tidak mungkin, ”selama para ‘Ulama hanya berfikir sebatas rumah tangga”. Karena yang dihadapi adalah 9 aktor intellektual yang dimotori oleh ”sistem Mafia” [Surah An Naml(27) 48-49]; Padahal kesemuanya itu tanggung jawabnya telah Allah dan Rasul tetapkan kepada “Al ‘Ulama”, dalam menjemput janji Allah yang telah ditetapkanNya [Surah At Taubah(9) 33].


Oleh karena itu perintah Allah yang ditujukan kepada para ‘Ulama menuntut kesiapan ‘Ulama untuk melakukan”ittifa qul ‘Ulama” [Surah Al Baqarah(2) 208], yang diprakarsai Dewan Perancang dan Panitia Pelaksana (anshorullah-) [Surah Ash Shaf(61) 14] dengan melalui proses “Mudzakarah ‘Ulama”.

Written by mubarki
www.al-ulama.net

No comments:

Post a Comment