Aku Ingin Bertaubat, Tetapi …

Aku ingin bertaubat hanya saja dosaku terlalu banyak. Aku pernah terjerumus dalam zina. Sampai-sampai aku pun hamil dan sengaja membunuh jiwa dalam kandungan. Aku ingin berubah dan bertaubat. Mungkinkah Allah mengampuni dosa-dosaku?!

Sebagai nasehat dan semoga tidak membuat kita berputus dari rahmat Allah, cobalah kita lihat sebuah kisah yang pernah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini. Semoga kita bisa mengambil pelajaran-pelajaran berharga di dalamnya.


Kisah Taubat Pembunuh 100 Jiwa

Kisah ini diriwayatkan dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinaan Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أنّ نَبِيَّ الله – صلى الله عليه وسلم – ، قَالَ : (( كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وتِسْعينَ نَفْساً ، فَسَأَلَ عَنْ أعْلَمِ أَهْلِ الأرضِ ، فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ ، فَأَتَاهُ . فقال : إنَّهُ قَتَلَ تِسعَةً وتِسْعِينَ نَفْساً فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوبَةٍ ؟ فقالَ : لا ، فَقَتَلهُ فَكَمَّلَ بهِ مئَةً ، ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الأَرضِ ، فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ . فقَالَ : إِنَّهُ قَتَلَ مِئَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ ؟ فقالَ : نَعَمْ ، ومَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وبَيْنَ التَّوْبَةِ ؟ انْطَلِقْ إِلى أرضِ كَذَا وكَذَا فإِنَّ بِهَا أُناساً يَعْبُدُونَ الله تَعَالَى فاعْبُدِ الله مَعَهُمْ ، ولاَ تَرْجِعْ إِلى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أرضُ سُوءٍ ، فانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ ، فاخْتَصَمَتْ فِيهِ مَلائِكَةُ الرَّحْمَةِ ومَلائِكَةُ العَذَابِ . فَقَالتْ مَلائِكَةُ الرَّحْمَةِ : جَاءَ تَائِباً ، مُقْبِلاً بِقَلبِهِ إِلى اللهِ تَعَالَى ، وقالتْ مَلائِكَةُ العَذَابِ : إنَّهُ لمْ يَعْمَلْ خَيراً قَطُّ ، فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ في صورَةِ آدَمِيٍّ فَجَعَلُوهُ بَيْنَهُمْ
- أيْ حَكَماً – فقالَ : قِيسُوا ما بينَ الأرضَينِ فَإلَى أيّتهما كَانَ أدنَى فَهُوَ لَهُ . فَقَاسُوا فَوَجَدُوهُ أدْنى إِلى الأرْضِ التي أرَادَ ، فَقَبَضَتْهُ مَلائِكَةُ الرَّحمةِ )) مُتَّفَقٌ عليه .

Dahulu pada masa sebelum kalian ada seseorang yang pernah membunuh 99 jiwa. Lalu ia bertanya tentang keberadaan orang-orang yang paling alim di muka bumi. Namun ia ditunjuki pada seorang rahib. Lantas ia pun mendatanginya dan berkata, ”Jika seseorang telah membunuh 99 jiwa, apakah taubatnya diterima?” Rahib pun menjawabnya, ”Orang seperti itu tidak diterima taubatnya.” Lalu orang tersebut membunuh rahib itu dan genaplah 100 jiwa yang telah ia renggut nyawanya.

Kemudian ia kembali lagi bertanya tentang keberadaan orang yang paling alim di muka bumi. Ia pun ditunjuki kepada seorang ‘alim. Lantas ia bertanya pada ‘alim tersebut, ”Jika seseorang telah membunuh 100 jiwa, apakah taubatnya masih diterima?” Orang alim itu pun menjawab, ”Ya masih diterima. Dan siapakah yang akan menghalangi antara dirinya dengan taubat? Beranjaklah dari tempat ini dan ke tempat yang jauh di sana karena di sana terdapat sekelompok manusia yang menyembah Allah Ta’ala, maka sembahlah Allah bersama mereka. Dan janganlah kamu kembali ke tempatmu(yang dulu) karena tempat tersebut adalah tempat yang amat jelek.”

Laki-laki ini pun pergi (menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang alim tersebut). Ketika sampai di tengah perjalanan, maut pun menjemputnya. Akhirnya, terjadilah perselisihan antara malaikat rahmat dan malaikat adzab. Malaikat rahmat berkata, ”Orang ini datang dalam keadaan bertaubat dengan menghadapkan hatinya kepada Allah”. Namun malaikat adzab berkata, ”Orang ini belum pernah melakukan kebaikan sedikit pun”. Lalu datanglah malaikat lain dalam bentuk manusia, mereka pun sepakat untuk menjadikan malaikat ini sebagai pemutus perselisihan mereka. Malaikat ini berkata, ”Ukurlah jarak kedua tempat tersebut (jarak antara tempat jelek yang dia tinggalkan dengan tempat yang baik yang ia tuju -pen). Jika jaraknya dekat, maka ia yang berhak atas orang ini.” Lalu mereka pun mengukur jarak kedua tempat tersebut dan mereka dapatkan bahwa orang ini lebih dekat dengan tempat yang ia tuju. Akhirnya,ruhnya pun dicabut oleh malaikat rahmat.”1

Beberapa Faedah Hadits

Pertama: Luasnya ampunan Allah

Hadits ini menunjukkan luasnya ampunan Allah. Hal ini dikuatkan dengan hadits lainnya,

حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « قَالَ اللَّهُ يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِى وَرَجَوْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلاَ أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِى بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِى لاَ تُشْرِكُ بِى شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً »

Anas bin Malik menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau menyeru dan mengharap pada-Ku, maka pasti Aku ampuni dosa-dosamu tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya dosamu membumbung tinggi hingga ke langit, tentu akan Aku ampuni, tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya seandainya engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikit pun pada-Ku, tentu Aku akan mendatangi-Mu dengan ampunan sepenuh bumi pula.”2

Kedua: Allah akan mengampuni setiap dosa meskipun dosa besar selama mau bertaubat

Selain faedah dari hadits ini, kita juga dapat melihat pada firman Allah Ta’ala,

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar: 53).

Ibnu Katsir mengatakan, ”Ayat yang mulia ini berisi seruan kepada setiap orang yang berbuat maksiat baik kekafiran dan lainnya untuk segera bertaubat kepada Allah. Ayat ini mengabarkan bahwa Allah akan mengampuni seluruh dosa bagi siapa yang ingin bertaubat dari dosa-dosa tersebut, walaupun dosa tersebut amat banyak, bagai buih di lautan. ”3

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah akan mengampuni setiap dosa walaupun itu dosa kekufuran, kesyirikan, dan dosa besar (seperti zina, membunuh dan minum minuman keras). Sebagaimana Ibnu Katsir mengatakan, ”Berbagai hadits menunjukkan bahwa Allah mengampuni setiap dosa (termasuk pula kesyirikan) jika seseorang bertaubat. Janganlah seseorang berputus asa dari rahmat Allah walaupun begitu banyak dosa yang ia lakukan karena pintu taubat dan rahmat Allah begitu luas.”4

Ketiga: Janganlah membuat seseorang putus asa dari rahmat Allah

Ketika menjelaskan surat Az Zumar ayat 53 di atas, Ibnu Abbas mengatakan, “Barangsiapa yang membuat seorang hamba berputus asa dari taubat setelah turunnya ayat ini, maka ia berarti telah menentang Kitabullah ‘azza wa jalla. Akan tetapi seorang hamba tidak mampu untuk bertaubat sampai Allah memberi taufik padanya untuk bertaubat.”5

Keempat: Seseorang yang melakukan dosa beberapa kali dan ia bertaubat, Allah pun akan mengampuninya

Sebagaimana disebutkan pula dalam hadits lainnya, dari Abu Huroiroh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang diceritakan dari Rabbnya ‘azza wa jalla,

أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا فَقَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى ذَنْبِى. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَذْنَبَ عَبْدِى ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ. ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ أَىْ رَبِّ اغْفِرْ لِى ذَنْبِى. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَبْدِى أَذْنَبَ ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ. ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ أَىْ رَبِّ اغْفِرْ لِى ذَنْبِى. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَذْنَبَ عَبْدِى ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ

“Ada seorang hamba yang berbuat dosa lalu dia mengatakan ‘Allahummagfirliy dzanbiy’ [Ya Allah, ampunilah dosaku]. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa’. (Maka Allah mengampuni dosanya), kemudian hamba tersebut mengulangi lagi berbuat dosa, lalu dia mengatakan, ‘Ay robbi agfirli dzanbiy’ [Wahai Rabb, ampunilah dosaku]. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa’. (Maka Allah mengampuni dosanya), kemudian hamba tersebut mengulangi lagi berbuat dosa, lalu dia mengatakan, ‘Ay robbi agfirli dzanbiy’ [Wahai Rabb, ampunilah dosaku]. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa. Beramallah sesukamu, sungguh engkau telah diampuni.”6 An Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan ‘beramallah sesukamu’ adalah selama engkau berbuat dosa lalu bertaubat, maka Allah akan mengampunimu.

An Nawawi mengatakan, ”Seandainya seseorang berulang kali melakukan dosa hingga 100 kali, 1000 kali atau lebih, lalu ia bertaubat setiap kali berbuat dosa, maka pasti Allah akan menerima taubatnya setiap kali ia bertaubat, dosa-dosanya pun akan gugur. Seandainya ia bertaubat dengan sekali taubat saja setelah ia melakukan semua dosa tadi, taubatnya pun sah.”7

 
Ya Rabb, begitu luas sekali rahmat dan ampunan-Mu terhadap hamba yang hina ini …
 
Kelima: Diterimanya taubat seorang pembunuh

An Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Ini adalah madzhbab para ulama dan mereka pun berijma’ (bersepakat) bahwa taubat seorang yang membunuh dengan sengaja, itu sah. Para ulama tersebut tidak berselisih pendapat kecuali Ibnu ‘Abbas. Adapun beberapa perkataan yang dinukil dari sebagian salaf yang menyatakan taubatnya tidak diterima, itu hanyalah perkataan dalam maksud mewanti-wanti besarnya dosa membunuh dengan sengaja. Mereka tidak memaksudkan bahwa taubatnya tidak sah.”8

Keenam: Orang yang bertaubat hendaknya berhijrah dari lingkungan yang jelek

An Nawawi mengatakan, ”Hadits ini menunjukkan orang yang ingin bertaubat dianjurkan untuk berpindah dari tempat ia melakukan maksiat.”9

Ketujuh: Memperkuat taubat yaitu berteman dengan orang yang sholih

An Nawawi mengatakan, ”Hendaklah orang yang bertaubat mengganti temannya dengan teman-teman yang baik, sholih, berilmu, ahli ibadah, waro’dan orang-orang yang meneladani mereka-mereka tadi. Hendaklah ia mengambil manfaat ketika bersahabat dengan mereka.”10
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada kita agar bersahabat dengan orang yang dapat memberikan kebaikan dan sering menasehati kita.

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.”11

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Hadits ini menunjukkan larangan berteman dengan orang-orang yang dapat merusak agama maupun dunia kita. Dan hadits ini juga menunjukkan dorongan agar bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan manfaat dalam agama dan dunia.”12

Kedelapan: Keutamaan ilmu dan orang yang berilmu

Dalam hadits ini dapat kita ambil pelajaran pula bahwa orang yang berilmu memiliki keutamaan yang luar biasa dibanding ahli ibadah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits lainnya, dari Abu Darda’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ
Dan keutamaan orang yang berilmu dibanding seorang ahli ibadah adalah bagaikan keutamaan bulan pada malam purnama dibanding bintang-bintang lainnya.13 Al Qodhi mengatakan, ”Orang yang berilmu dimisalkan dengan bulan dan ahli ibadah dimisalkan dengan bintang karena kesempurnaan ibadah dan cahayanya tidaklah muncul dari ahli ibadah. Sedangkan cahaya orang yang berilmu berpengaruh pada yang lainnya.”14

Kesembilan: Orang yang berfatwa tanpa ilmu hanya membawa kerusakan

Lihatlah bagaimana kerusakan yang diperbuat oleh ahli ibadah yang berfatwa tanpa dasar ilmu. Ia membuat orang lain sesat bahkan kerugian menimpa dirinya sendiri. Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Umar bin ‘Abdul ‘Aziz,
مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ
Barangsiapa beribadah pada Allah tanpa ilmu, maka kerusakan yang ditimbulkan lebih besar daripada perbaikan yang dilakukan.15

Syarat Diterimanya Taubat

Syarat taubat yang mesti dipenuhi oleh seseorang yang ingin bertaubat adalah sebagai berikut:

Pertama: Taubat dilakukan dengan ikhlas, bukan karena makhluk atau untuk tujuan duniawi.

Kedua: Menyesali dosa yang telah dilakukan sehingga ia pun tidak ingin mengulanginya kembali.

Ketiga: Tidak terus menerus dalam berbuat dosa. Maksudnya, apabila ia melakukan keharaman, maka ia segera tinggalkan dan apabila ia meninggalkan suatu yang wajib, maka ia kembali menunaikannya. Dan jika berkaitan dengan hak manusia, maka ia segera menunaikannya atau meminta maaf.

Keempat: Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut lagi karena jika seseorang masih bertekad untuk mengulanginya maka itu pertanda bahwa ia tidak benci pada maksiat.

Kelima: Taubat dilakukan pada waktu diterimanya taubat yaitu sebelum datang ajal atau sebelum matahari terbit dari arah barat. Jika dilakukan setelah itu, maka taubat tersebut tidak lagi diterima.
Inilah syarat taubat yang biasa disebutkan oleh para ulama.

Penutup
Saudaraku yang sudah bergelimang maksiat dan dosa. Kenapa engkau berputus asa dari rahmat Allah? Lihatlah bagaimana ampunan Allah bagi setiap orang yang memohon ampunan pada-Nya. Orang yang sudah membunuh 99 nyawa + 1 pendeta yang ia bunuh, masih Allah terima taubatnya. Lantas mengapa engkau masih berputus asa dari rahmat Allah?!

Orang yang dulunya bergelimang maksiat pun setelah ia taubat, bisa saja ia menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Ia bisa menjadi muslim yang sholih dan muslimah yang sholihah. Itu suatu hal yang mungkin dan banyak sekali yang sudah membuktikannya. Mungkin engkau pernah mendengar nama Fudhail bin Iyadh. Dulunya beliau adalah seorang perampok. Namun setelah itu bertaubat dan menjadi ulama besar. Itu semua karena taufik Allah. Kami pun pernah mendengar ada seseorang yang dulunya terjerumus dalam maksiat dan pernah menzinai pacarnya. Namun setelah berhijrah dan bertaubat, ia pun menjadi seorang yang alim dan semakin paham agama. Semua itu karena taufik Allah. Dan kami yakin engkau pun pasti bisa lebih baik dari sebelumnya. Semoga Allah beri taufik.

Ingatlah bahwa orang yang berbuat dosa kemudia ia bertaubat dan Allah ampuni, ia seolah-olah tidak pernah berbuat dosa sama sekali. Dari Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdillah dari ayahnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ
Orang yang bertaubat dari suatu dosa seakan-akan ia tidak pernah berbuat dosa itu sama sekali.16
Setiap hamba pernah berbuat salah, namun hamba yang terbaik adalah yang rajin bertaubat. Dari Anas, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ بَنِى آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
Semua keturunan Adam adalah orang yang pernah berbuat salah. Dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang bertaubat.17

Orang yang bertaubat akan Allah ganti kesalahan yang pernah ia perbuat dengan kebaikan. Sehingga seakan-akan yang ada dalam catatan amalannya hanya kebaikan saja. Allah Ta’ala berfirman,

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Furqon: 70)

Al Hasan Al Bashri mengatakan, ”Allah akan mengganti amalan kejelekan yang diperbuat seseorang dengan amalan sholih. Allah akan mengganti kesyirikan yang pernah ia perbuat dengan keikhlasan. Allah akan mengganti perbuatan maksiat dengan kebaikan. Dan Allah pun mengganti kekufurannya dahulu dengan keislaman.”18

Sekarang, segeralah bertaubat dan memenuhi syarat-syaratnya. Lalu perbanyaklah amalan kebaikan dengan melaksanakan yang wajib-wajib dan sempurnakan dengan shalat sunnah, puasa sunnah dan sedekah, karena amalan kebaikan niscaya akan menutupi dosa-dosa yang telah engkau perbuat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan sebuah nasehat berharga kepada Abu Dzar Al Ghifariy Jundub bin Junadah,

اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada dan ikutkanlah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan akan menghapuskannya dan berakhlaqlah dengan sesama dengan akhlaq yang baik.”19

Semoga Allah menerima setiap taubat kita. Semoga Allah senantiasa memberi taufik kepada kita untuk menggapai ridho-Nya.


Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Disusun di rumah mertua tercinta, Panggang-Gunung Kidul , 1 Shofar 1431 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id


Footnote:
1 HR. Bukhari dan Muslim no. 2766.
2 HR. Tirmidzi no. 3540. Abu Isa mengatakan bahwa hadits ini ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
3 Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 12/138-139, Muassasah Qurthubah.
4 Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/140.
5 Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/141.
6 HR. Muslim no. 2758.
7 Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17/75.
8 Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 17/82, Dar Ihya’ At Turots.
9 Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17/83
10 Idem
11 HR. Bukhari no. 2101, dari Abu Musa.
12 Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 4/324, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379
13 HR. Abu Daud no. 3641 dan no. 2682.
14 Lihat Tuhfatul Ahwadzi, Muhammad Abdur Rahma Al Mubarakfuri Abul ‘Ala, 7/376, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut.
15 Lihat Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 15, Mawqi’ Al Islam.
16 HR. Ibnu Majah no. 4250. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
17 HR. Ibnu Majah, Ad Darimi, Al Hakim. Dikatakan hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih
18 Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 10/326-327, Muassasah Qurthubah.
19 HR. Tirmidzi no. 1987. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighoirihi (hasan dilihat dari jalur lainnya). Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib 2655.



  • 5
    5
    5







Tafsir Surat Yassin Ayat 12

Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang yang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS Yasin:12).

Ayat yang tertera di atas, masih ada hubungannya dengan ayat sebelumnya yang berbunyi: .

Sesungguhnya kamu hanyalah memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Rabb Yang Maha Pemurah walaupun dia tidak melihatNya. Maka berilah dia kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia. (QS Yasin : 11).

1 Ada Dua Hal Yang Menyatukan Kedua Ayat Tersebut
Pertama. Setelah Allah menceritakan kondisi orang yang mampu mengambil manfaat dari peringatan Rasulullah (ayat 11) dan juga keadaan orang yang menutup telinga darinya (dalam ayat sebelumnya), maka dalam ayat ini, Allah menyatakan bahwa mereka semua akan dihidupkan kembali setelah kematiannya, dan akan mendapat balasan sesuai dengan amalannya. Oleh karena itu, hubungan antara keduanya sangat jelas. Sebab ayat ini mengandung kabar gembira bagi orang mukmin yang menerima dakwah dan juga sekaligus berisi peringatan serta ancaman bagi orang- orang menentang.
Kedua. Setelah Allah menceritakan tentang orang-orang yang mendustakan (ayat-ayatNya), sebenarnya penolakan itu ibarat kematian. Jika Allah mampu menghidupkan jasad kasar orang- orang yang telah meninggal secara hakiki, tentu Dia juga mampu menghidupkan mereka yang meninggal secara maknawi (dalam kekufuran, Maksudnya memberikan hidayah).

2 Tafsir Ayat

(Inna Nahnu Nuhyil Mawta), “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang yang mati…
(Inna) yang berarti Kami, adalah dhamir jamak (kata ganti jamak tunggal) yang mewakili lafzhul jalalah (Allah) yang satu. Berarti bentuk ini, pasti ditujukan sebagai ta'zhim (pengagungan kepada Allah).
(Al Mawtaa) artinya, semua yang sudah mati, mencakup anak Adam dan lain sebagainya. Namun firman Allah selanjutnya mengarah kepada orang-orang yang mukallaf (orang terkena beban syari'at) secara khusus. Para ulama berselisih pa.ndangan mengenai bentuk takhsis seperti di atas.
Syaikh 'Utsaimin berpendapat :

"Bisa disebutkan bahwa yang dimaksudkan adalah orang-orang yang telah meninggal, yang bekas-bekasnya dituliskan''.
Ini dengan dasar firrnanNya
(Wa Naktubu Maa Qaddamuu Wa Aa Tsaa Rahum) Mungkin ada orang yang berkata, perhitungkanlah keumuman dalam lafazh (Al Mawtaa), yaitu setiap yang telah mati (Wa Naktubu) dan Kami akan menuliskan apa yang ditinggalkan sebagian mereka, yaitu hanya orang-orang yang mukallaf sa]a.
Timbul pertanyaan, dalam firman Allah Wa Naktubu Maa Qaddamuu Wa Aa Tsaa Rahum yang berarti: Dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan; Apakah yang menuliskannya itu Allah atau para malaikat dengan titahNya?
Jawabannya, yang menuliskannya ialah para malaikat yang bergerak atas perintah Allah. Allah berfirman:

Bukan hanya durhaka saja, bahkan kamu mendustakan hari Pembalasan. Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (perbuatanmu). Yang mulia (disisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu). Mereka mengetahui apa yang kamu yang kerjakan. (QS Al Infithar : 9-12).
Penisbatan penulisan kepada subyek yang memerintahkan, banyak ditemukan dalam sastra Arab.
(Maa Qaddamuu) segala yang mereka tinggalkan. maksudnya segala amalan shalih yang mereka kerjakan di dunia. Karena, orang muslim yang melakukan amalan shalih di dunia, berarti ia telah menyuguhkan amalan tersebut. Bagaikan orang yang bertransaksi dalam bentuk As Salm. Dalam transaksi salm, sang pembeli rnembayar dimuka (barang atau jasanya). Maka, engkau (yang sedang beramal shalih) sekarang ini sedang membayar tarif di muka. Adapun balasannya, akan diterima di hari Kiamat kelak. Balasannya, juga bisa terjadi di dunia dan di hari Kiamat sekaligus. Jika Anda mengarnalkan amal shalih sekarang ini, sejatinya Anda telah mendahulukan harga membayar sesuatu buat diri Anda sendiri yang akan dinikmati balasannya di hari Kiamat. Yakinlah, Allah tidak menyia-nyiakan amalan orang yang berbuat baik. (Wa Naktubu Maa Qaddamuu Wa Aa Tsaa Rahum)
Menurut Irnam As Suyuthi, yang dimaksud adalah Kami (Allah) menulis segala yang mereka kerjakan di Lauh Mahfuzh. Tafsiran ini tidak sesuai dengan ayat di atas secara tekstual. Sebab, bentuknya fi'il mudhari' (continous tense/ kata kerja untuk yang sedang terjadi). Kata kerja seperti itu, tidak boleh diarahkan kepada masa lampau, kecuali dengan adanya suatu dasar. Sementara di sini, tidak ada dasarnya. Sebab penulisan dalam Lauh Mahfuzh telah tuntas. Allah berfirman:

Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang shalih. (QS Al Anbiya: 105).
Proses penulisan dalam Lauh Mahfuzh sudah paripurna. Oleh karena itu, tidak bisa dibenarkan kata (Naktubu) digunakan untuk sesuatu yang telah usai. Maka, maksudnya adalah kami mencatat dalam lembaran-lembaran amalan semua perbuatan baik atau buruk yang dikerjakan manusia agar mendapatkan balasan. Pekerjaan (penulisan) ini dikerjakan oleh para malaikat atas perintah Allah. Manusia akan mendapatkan balasannya. Tetapi kebaikan akan terjamin keberadaannya. Sedangkan amalan yang buruk tidak dijamin keberadaannya. Kebaikan, meskipun sedikit, ia tidak mungkin terabaikan. Sedangkan kejelekan, kadang akan diampuni oleh Allah, asalkan bukan kesyirikan. Disebutkan dalam firman Allah , yang artinya:

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selainnya bagi yang dikehendaki. (QS An-Nisa' 116)
Ini baik sekali bagi manusia sebab kejelekan tidak dijamin keberadaannya.
(Wa Aa Tsaa Rahum) Bentuk tunggal atsar, artinya, semua yang mengiringi. Misalnya, bekas telapak kaki setelah berjalan. Maka, bekas telapak kaki ini mengiringinya. Apakah yang dimaksud dengan bekas-bekas (yang mereka tinggalkan)? Imam As Suyuthi menafsirkannya dengan segala sesuatu yang diikuti orang lain sepeninggalnya. Namun penafsiran ini hanya sekedar contoh saja, bukan sebagai pembatasan makna, Sebab obyek yang ditulis lebih banyak dari sekedar yang diikuti orang setelah meninggalnya. Ini berdasarkan sabda Nabi :
Bila ada anak Adam meninggal, maka telah terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara. (Yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang berdoa untuknya.2
Sebagai contoh, sedekah jariyah termasuk atsar-atsar (bekas-bekas peninggalannya). Jika ada seseorang yang mewakafkan ladang atau kebunnya untuk para orang miskin dan mereka dapat mengambil manfaat darinya setelah meninggal, maka tak pelak lagi, demikian ini terhitung sebagai bagian dari atsarnya. Kendatipun penyerahannya waktu ia masih hidup, tapi pemanfaatannya setelah wafatnya. Ilmu yang bermanfaat juga termasuk atsar. Setiap ilmu yang dapat dimanfaatkan setelah kcmatian, maka termasuk atsamya. Demikian juga anak shalih termasuk atsar, lantaran ia merupakan usaha orang tuanya. Jika anak shalih mendoakan ayah atau ibunya, maka itu termasuk atsar. Disamping itu, rintisan amal shalih atau akhlak luhur yang diikuti orang lain, juga merupakan atsar. jadi atsar sifatnya terjadi setelah kematian seseorang.

Wa Kulla Syayin A hshaynaahuu fii I Maamimmubiin (Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).)
Kata (I Maami) dipakai untuk beberapa makna yang maksudnya sebagai rujukan. Sebagai permisalan, imam shalat. Disebut imam, karena ia menjadi sumber rujukan para rnakmun dalam shalat. Lauh Mahfuzh disebut sebagai imam lantaran menjadi sumber. Allah berfirman:

Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari Kiamat scbuah kitab yang ia jumpai dalam keadaan terbuka. "Bacalah kitabmu, cukuplah dinmu sendiri pada waktu itu sebagai penghisab terhadapmu". (QS Al Isra': 13-14).
Kesimpulannya, kata imam di sini bermakna kitab.
mmubiin (yang nyata), yang terlihat jelas. Mubin, artinya menjelaskan dan menerangkan segala perkara. Namun juga berarti bayyin (yang jelas).


Catatan Kaki

2
HR. Muslim Kitab Al Washiyyah, Bab Ma Yalhaqu Al Insana Min Ats Tsawab Ba'da Wafatihi (Kitab Wasiat, Bab pahala yang akan menyusul manusia setelah kematiannya), no. 1631. 
http://blog.vbaitullah.or.id/2006/10/05/795-tafsir-surat-yassin-ayat-12-12/

Dari bagian pertama kita mengetahui secara ringkas kandungan tafsir surat Yasin ayat 12. Maka lanjutan dari pembahasan ini adalah poin-poin penting yang dapat kita ambil pelajaran dari ayat tersebut. Beberapa hikmah dan informasi yang sangat berharga untuk selalu kita ingat, agar dapat membantu kita dalam menjalani kehidupan ini. Apa saja?


3 Beberapa Pelajaran Dari Ayat Di Atas

  1. Adanya penjelasan tentang kekuasaan Allah dalam menghidupkan manusia yang telah mati. Allah membuktikannya dengan beberapa dalil aqli dan hissi (bisa ditangkap panca indera). Diantara dalil aqli yang termaktub dalam ayat:
    Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (rnenghidupkan)nya kembali dan menghidupkannya kembali lebih mudah. bagiNya. (QS Ar Rum : 27).
    Ini sebuah petunjuk mengenai mungkinnya menghidupkan kembali orang yang telah mati. Sebab, proses pengulangan lebih mudah daripada memulai. Dzat yang mampu memulai penciptaan, maka Dia sudah pasti lebih mudah untuk mengulanginya kembali. Persis seperti kandungan ayat:

    Sebagairnana Kami telah memulai penciptaan pertama kali. begitulah Kami akan mengulanginya. (QS Al Anbiya': 104).
    Berkaitan dengan petunjuk yang dapat dicerna panca indera, contoh ayatnya sangat banyak. Misalnya Firman Allah :
    Dan sebagian dari tanda kekuasaanNya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya (Dzat) Yang Menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS Fushshilat:39).
    Allah menegaskan kekuasaanNya dalam menghidupkan orang-orang yang telah mati dengan berbagai petunjuk aqli (pandangan logis) dan hissi. Dalil aqli kita pergunakan dalam menghadapi orang rasionalis. Sedangkan dalil hissi, diarahkan kepada orang yang berpikir dangkal.

  2. Ayat di atas memberitakan sebuah isyarat (sinyal) dari Allah, bahwa orang yang hatinya tidak merasa takut kepadaNya, tidak sudi mengikuti Adz Dzkr (Al Quran), Allah tetap berkuasa untuk menghidupkan hatinya, sehingga takut kepadaNya. Setelah Allah menyebutkan klasifikasi manusia yang terbagi menjadi golongan yang takut kepadaNya dan mengikuti Adz Dzikr, dan golongan yang tidak demikian, maka ini mengisyaratkan bahwa Allah dapat mengembalikan mereka menuju kepada pangkuan al haq (kebenaran).
  3. Segala sesuatu yang muncul dari manusia telah tertulis, baik yang akan menolongnya atau perkara yang akan menjadi bebannya di akhirat berdasarkan firmanNya:
    Wa Naktubu Maa Qaddamuu Wa Aa Tsaa Rahum

  4. Allah mencatat segala sesuatu, baik yang sedikit ataupun banyak berdasarkan firmanNya:
    Maa Qaddamuw
  5. Amal perbuatan tidak terhenti dengan kematian dengan dasar firmanNya:
    Wa Aa Tsaa Rahum
    dan kata atsar mencakup ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah, anak shalih yang mendoakan orang tua dan amalan Sunnah yang dihidupkan dan diikuti orang-orang.

  6. Penjelasan tentang hikmah Allah dalam mengendalikan perkara-perkara dengan ketelitian dan kejelianNya. Tidak ada satu pun yang terlewatkan. Pelajaran ini dapat dipetik dari firmanNya:
    Wa Kulla Syayin Ahshaynaahuu Fii Imaamimmubiin
  7. Segala sesuatu yang dituliskan atas manusia benar lagi jelas, tidak ada seorang pun yang meragukannya. Ini terpetik dari kata mmubiin, sesuatuyang menerangkan dengan gamblang. Kerena itu Allah berflrman, yang artinya:
    Dan Kami keluarkan baginya pada hari Kiarnat sebuah kitab yang ia jumpai dalam keadaan terbuka. "Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu itu sebagai penghisab terhadapmu". (QS Al Isra' : 13-14)..
Washallallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shahbihi ajma'in.
http://blog.vbaitullah.or.id/2006/10/05/796-tafsir-surat-yassin-ayat-12-22/

Ketika Bani Israil Minta Dibuatkan Berhala

وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَآئِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْاْ عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَّهُمْ قَالُواْ يَا مُوسَى اجْعَل لَّنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ ﴿١٣٨﴾
إِنَّ هَؤُلاء مُتَبَّرٌ مَّا هُمْ فِيهِ وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ ﴿١٣٩﴾
الَ أَغَيْرَ اللّهِ أَبْغِيكُمْ إِلَهًا وَهُوَ فَضَّلَكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ ﴿١٤٠﴾
وَإِذْ أَنجَيْنَاكُم مِّنْ آلِ فِرْعَونَ يَسُومُونَكُمْ سُوَءَ الْعَذَابِ يُقَتِّلُونَ أَبْنَاءكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءكُمْ وَفِي ذَلِكُم بَلاء مِّن رَّبِّكُمْ عَظِيمٌ ﴿١٤١﴾

Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu. Setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala, Bani Israil berkata, ‘Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).’ Musa menjawab, ‘Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan).’ Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan.Musa menjawab, ‘Patutkah aku mencari Tuhan untuk kamu selain Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat.’ Dan (ingatlah hai Bani Israil), ketika Kami menyelamatkan kamu dari (Firaun) dan kaumnya, yang mengazab kamu dengan azab yang sangat jahat, yaitu mereka membunuh anak-anak lelakimu dan membiarkan hidup wanita-wanitamu.Dan pada yang demikian itu cobaan yang besar dari Tuhanmu.” (QS. Al-A’raaf: 138-141)

Inilah di antara pemandangan tentang Bani Israil setelah diselamatkan menyeberangi laut. Di sini, kita berhadapan langsung dengan tabiat kaum yang menyimpang dan sulit diluruskan, karena di dalam jiwanya masih terdapat endapan sejarah masa lalu.

Sebenarnya, jaraknya belum terlalu lama sejak mereka ditimpa siksaan di bawah bayang-bayang keberhalaan di sisi Fir’aun dan para pembesar negerinya. Juga sejak mereka diselamatkan oleh nabi dan pemimpin mereka, Musa a.s., atas nama Allah Yang Maha Esa, Tuhan semesta alam, yang telah membinasakan musuh mereka, membelah laut bagi mereka, dan menyelamatkan mereka dari siksaan yang kejam dan mengerikan yang ditimpakan Fir’aun kepada mereka.

Baru beberapa saat mereka keluar dari negeri Mesir dan keberhalaannya, baru saja mereka menyeberangi laut, mata mereka melihat kaum penyembah berhala yang sedang melakukan penyembahan terhadap berhala.
Tiba-tiba, mereka meminta kepada Musa, Rasul Tuhan semesta alam, yang telah membawa mereka keluar dari Mesir atas nama Islam dan Tauhid, mereka meminta Musa agar dibuatkan berhala untuk mereka sembah.

“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu. Setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala, Bani Israil berkata, ‘Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).”

Inilah penyakit yang menimpa ruh sebagaimana penyakit yang menimpa fisik. Namun, tidaklah suatu penyakit menimpa ruh atau fisik melainkan sudah ada persiapan untuk menangkalnya. Tapi watak Bani Israil, sebagaimana yang dipaparkan Alquran dengan paparan yang tepat, cermat, dan terpercaya dalam berbagai kesempatan, adalah watak yang tidak memiliki kemantapan, berjiwa lemah, hampir tidak pernah mau menerima petunjuk sehingga tersesat lebih dahulu, tidak mau menaiki derajat yang tinggi sebelum terjatuh, dan tidak mau menempuh jalan yang lurus sebelum terjerembab dan terjungkal.

Ditambah lagi, hati mereka kasar, keras kepala, dan tidak mudah menerima kebenaran, keras perasaan dan intuisinya. Inilah mereka dengan tabiatnya itu.Inilah mereka yang tidak melewati suatu kaum yang menyembah berhala, melainkan mereka melupakan ajaran yang telah disampaikan lebih dari dua puluh tahun silamsejak nabi Musa a.s. datang kepada mereka dengan membawa ajaran tauhid.

Beberapa riwayat mengatakan bahwa telah berlalu masa dua puluh tiga tahun sejak Musa menghadapi Fir’aun dan pembesar-pembesar negerinya dengan risalahnya hingga ia keluar dari Mesir denganmembawa Bani Israil menyeberangi laut.

Bahkan, mereka melupakan mukjizat saat diselamatkan dari Fir’aun dan kaumnya dan dibinasakannya mereka semuanya. Merekaitu adalah penyembah berhala,dan atas namaberhala inilah mereka merendahkan Bani Israil hingga pembesar-pembesar kaum Fir’aun bangkit membelanya untuk menghadapi Musa dan kaumnya dengan mengatakan,

“…Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu…?” (QS. Al-A’raf: 127)

Mereka melupakan semua ini, lantas mereka meminta kepada nabi mereka agar membuatkan sendiri berhala untuk mereka membuat berhala untuk mereka. Kalau mereka sendiri yang membuatkan berhala, barangkali tidak begitu aneh. Tetapi, mereka meminta kepada Rasul Tuhan semesta alam untuk membuat berhala sebagai tuhan sembahan mereka. Yah, Bani Israil adalah Bani Israil!

Nabi Musa a.s. marah. Marahnya seorang Rasul semata-mata karena Allah. Marah karena Tuhannya yang Mahasuci, dan dia cemburu kalau Tuhannya dipersekutukan oleh kaumnya! Maka,diamelontarkan perkataan yang sangat cocok untuk menampik permintaan yang aneh itu.

“Musa menjawab, ‘Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan).” (QS. Al-A’raf: 138)

Musa tidak menjelaskan bodoh tentang apa? Disebutkannya kata jahl secara mutlak ini untuk menunjukkan nuansa kejahilan yang sempurna dan kompleks. Jahl dalam arti tidak mengerti atau tidak mengetahui, dan jahl dalam arti dungu, tidak apat berpikir normal.

Maka, tidak ada yang mendorong mereka untuk mengucapkan perkataan atau permintaan seperti itu melainkan karena ketidakmengertian dan ketololannya yang demikian jauh. Dan selanjutnya, mengisyaratkan bahwa berpaling dari tauhid kepada syirik itu hanya terjadi karena kebodohan dan kedunguan. Ilmu dan berpikir itu mendorong manusia untuk beriman kepada Allah swt, dan tidak ada ilmu dan akal yang menuntut manusia ke jalan lain.

Ilmu dan akal selalu berhadapan dengan alam ini dengan undang-undangnya yang menjadi saksi adanya Yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur dan menjadi saksi atas keesaan Maha Pencipta dan Maha Pengatur ini. Maka, unsur kekuasaan dan pengaturan tampak jelas dalam undang-undang alam ini.

Tabiat keesaan itu juga terlihat jelas padanya dan pada bekas-bekasnya yang dapat disingkap dengan memperhatikan dan merenungkannya sesuai dengan metode yang benar. Tidak ada yang melalaikannya secara total atau berpaling darinya secaratotal kecuali orang-orang dungu dan jahil, meskipun mereka mengaku ilmuwan, sebagaimana dilakukan banyak orang.

Musa a.s. masih menerangkan kepada kaumnya akan buruknya akibat permintaan mereka itu, dengan menjelaskan akibat buruk yang bakal menimpa kaum yang melihat-lihat sedang menyembah berhala-berhala itu yang hendak mereka ikuti.

“Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akal batal apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 139)

Sesungguhnya kepercayaan syirik, menyembah berhala, hidup atas dasar kemusyrikan dan banyak tuhan, tokoh-tokoh dan pendeta-pendeta yang ada di belakang berhala-berhala itu, dan para penguasa yang mendasarkan kekuasaannya pada kesemrawutan ini, dan lain-lain penyimpangan, semua itu batil dan akan hancur.

Kemudian rasa cemburu itu semakin meningkat dalam perkataan-perkataan Musa a.s. karena Tuhannya dan marah karenaNya, sertamerasa heran terhadap kaumnya yang melupakan nikmat Allah kepada mereka, padahal nikmat itu begitu jelas di hadapan mata.

“Musa menjawab, ‘Patutkah aku mencari Tuhan untuk kamu yang selain Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat.” (QS. Al-A’raf: 140)

Dilebihkannya mereka atas umat-umat lain pada masa itu tampak jelas dengan dipilihkannya untuk mereka risalah tauhid sementara orang-orang lain semua musyrik. Di balik itu, tidak ada keutamaan dan karunia yang melebihinya, dan ini tidak dapat ditandingi oleh keutamaan dan karunia mana pun.

Di antara kelebihan itu lagi ialah Allah telah memilih mereka untuk mewarisi tanah suci (Baitul Muqaddas) yang waktu itu berada di tangan orang-orang musyrik. Maka, bagaimana bisa terjadi setelah itu mereka meminta kepada nabi mereka untuk dibuatkan tuhan selain Allah, padahal mereka hidup dalam nikmat dan karuniaNya?

http://www.eramuslim.com/syariah/tafsir-zhilal/ketika-bani-israil-minta-dibuatkan-berhala.htm

Keutamaan Membaca Surat Al Ikhlas

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّها لَتَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ

Demi (Allah) yang jiwaku di tangan-Nya, sesungguhnya surah al-Ikhlas sebanding (dengan) sepertiga al-Qur’an[1].

Hadits yang agung ini menunjukkan tingginya kedudukan surah al-Ikhlas dan besarnya keutamaan orang yang membacanya, karena surah ini mengandung nama-nama Allah Y yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, sehingga orang yang membaca dan menghayatinya dengan seksama berarti dia telah mengagungkan dan memuliakan Allah U[2]. Oleh karena itu, dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah r ketika mendengar berita tentang seorang shahabat t yang senang membaca surah ini karena sifat-sifat Allah U yang dikandungnya, beliau r bersabda: “Sampaikanlah kepadanya bahwa Allah mencintainya”[3].

Beberapa faidah penting yang dapat kita ambil dari hadits ini:

- Surah ini dinamakan surah al-Ikhlas karena mengandung tauhid (pengkhususan ibadah kepada Allah I semata-semata), sehingga orang yang membaca dan merenungkannya berarti telah mengikhlaskan agamanya untuk Allah I semata. Atau karena Allah U mengikhlaskan (mengkhususkan) surah ini bagi dari-Nya (hanya berisi nama-nama dan sifat-sifat-Nya) tanpa ada penjelasan lainnya[4].

- Surah al-Ikhlas sebanding (dengan) sepertiga al-Qur’an  karena pembahasan/kandungan al-Qur’an terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: tauhid, hukum-hukum syariat Islam dan berita tentang makhluk, sedangkan surah al-Ikhlas berisi pembahasan tauhid[5].

- Makna sabda beliau r: “…sebanding (dengan) sepertiga al-Qur’an” adalah dalam hal ganjaran pahala, dan bukan berarti membacanya tiga kali cukup sebagai pengganti mambaca al-Qur’an[6].

- Hadits ini adalah salah satu dalil yang menunjukkan bahwa al-Qur-an berbeda-beda keutamaannya (satu ayat dengan ayat yang lain dan satu surah dengan surah lainnya), jika ditinjau dari segi isi dan kandungannya[7].

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata: “Pembahasan masalah ini harus diperinci dengan penjelasan berikut: jika ditinjau dari (segi) zat yang mengucapkan/berfirman (dengan al-Qur-an) maka al-Qur-an tidak berbeda-beda keutamaannya, karena zat yang mengucapkannya adalah satu, yaitu Allah U.

Adapun jika ditinjau dari (segi) kandungan dan pembahasannya maka al-Qur-an berbeda-beda keutamaannya (satu ayat dengan ayat yang lain). Surat al-Ikhlash yang berisi pujian bagi Allah U karena mengandung (penyebutan) nama-nama dan sifat-sifat Allah (tentu) tidak sama dari segi kandungannya dengan surat al-Masad (al-Lahab) yang berisi penjelasan (tentang) keadaan Abu Lahab.

Demikian pula al-Qur-an berbeda-beda keutamaannya (satu ayat dengan ayat yang lain) dari segi pengaruhnya (terhadap hati manusia) dan kekuatan/ketinggian uslub (gaya bahasanya). Karena kita dapati di antara ayat-ayat al-Qur-an ada yang pendek tetapi berisi nasehat dan berpengaruh besar bagi hati manusia, sementara kita dapati ayat lain yang jauh lebih panjang, akan tetapi tidak berisi kandungan seperti ayat tadi”[8].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 29 Rabi’ul awal 1432 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni

[1] HSR al-Bukhari (no. 4726, 6267 dan 6939). [2] Lihat kitab “Fathul Baari” (13/357).
[3] HSR al-Bukhari (no. 6940) dan Muslim (no. 813).
[4] Lihat kitab ” Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (1/157).
[5] Lihat kitab “Fathul Baari” (9/61) dan ” Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (1/158).
[6] Lihat kitab ” Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (1/157-158).
[7] Lihat keterangan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam “Majmu’ul fataawa” (17/211-212) dan imam Ibnul Qayyim dalam “Syifa-ul ‘aliil” (hal. 272).
[8] Kitab ” Syarhul aqiidatil waasithiyyah” (1/164-165).

Napak Tilas Kemenangan Umat Islam (Tafsir Al-Qur`an Surat An-Nashr: 1-3)


Buletin Islam Al Ilmu edisi no: 40/XI/VIII/1431
Para pembaca, semoga Allah Subhanallahu wa Taala selalu mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Sebuah perjuangan dalam meninggikan kalimat Allah Subhanallahu wa Taala tidaklah lepas dari ujian ataupun cobaan. Ia akan menimpa siapa saja yang menginginkan sebuah kemuliaan. Semakin besar nilai perjuangan itu, semakin besar pula kadar ujian yang akan diterimanya. Itulah perjuangan. Setiap insan tentu menginginkan keberhasilan dari perjuangan yang dijalaninya. Tanpa putus asa dan terus berusaha dengan diiringi doa kepada Allah Subhanallahu wa Taala semata, keberhasilan dan kemuliaan akan Allah Subhanallahu wa Taala berikan, insya Allah. Terlebih manakala yang diperjuangkan adalah agama Allah Subhanallahu wa Taala, sebagaimana yang Allah Subhanallahu wa Taala tegaskan dalam Al Qur’an (artinya): “Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Allah akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7)
Itulah janji yang akan Allah Subhanallahu wa Taala berikan kepada para hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya.
Pembaca yang dimuliakan oleh Allah Subhanallahu wa Taala,  diantara kemuliaan yang telah AllahSubhanallahu wa Taala anugerahkan kepada Rasulullah  Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan umat Islam adalah diturunkannya surat An-Nashr (Pertolongan) yang menerangkan tentang pertolongan dan kemenangan yang telah dan akan terus diperoleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan para pengikutnya.
Kemuliaan Surat An-Nashr
Surat An-Nashr merupakan salah satu surat yang terakhir diturunkan secara lengkap satu surat, sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya: Ubaidullah bin Abdillah bin ‘Utbah berkata: Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma bertanya kepadaku: Wahai Ibnu ‘Utbah, apakah engkau tahu surat Al-Qur’an yang terakhir turun?” Aku menjawab: “Ya,
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.” Kemudian Ibnu Abbas menjawab: “Benar.” (Shahih Muslim no. 3024). Surat An-Nashr ini termasuk surat Madaniyah (surat yang diturunkan setelah hijrahnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam ke Madinah).
Asy-Syaikh As-Sa’dy rahimahullah, ketika menjelaskan global kandungan surat ini, mengatakan: Di dalam surat yang mulia ini terdapat kabar gembira, perintah bagi Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wa Sallam ketika kabar gembira tersebut menjadi kenyataan, serta adanya isyarat (tanda) dan konsekuensinya.
Kabar gembira tersebut adalah pertolongan Allah untuk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, penaklukan kota Makkah, serta masuknya umat manusia ke dalam agama Islam secara berbondong-bondong, dan menjadi penolong agama Islam yang sebelumnya sebagai musuh-musuh agama ini. Kabar gembira tersebut telah menjadi kenyataan.
Adapun perintah Allah kepada Rasul-Nya setelah terwujudnya kabar gembira dan penaklukan kota Makkah adalah perintah untuk bersyukur kepada-Nya atas kemenangan tersebut, bertasbih dengan memuji-Nya, dan beristighfar.
Sedangkan isyaratnya ada dua macam: yaitu pertolongan yang terus berlangsung untuk Islam dan akan semakin bertambah pertolongan tersebut dengan adanya tasbih, memuji Allah, dan permohonan ampun kepada-Nya dari Rasul-Nya. Ini termasuk perwujudan rasa syukur, Allah Subhanallahu wa Taala berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.”(Ibrohim: 7)
Pertolongan tersebut juga telah terwujud pada zaman Al-Khulafa` Ar-Rasyidin dan yang setelah mereka dari umat ini, dan terus berlangsung hingga agama Islam mencapai apa yang belum pernah dicapai oleh agama-agama lain; serta banyak orang yang menyambut agama Islam yang agama lain tidak dapat menandinginya. Sampai akhirnya muncul penyimpangan dan penyelisihan perintah Allah pada umat ini. Oleh karena itu, Allah Subhanallahu wa Taala timpakan musibah dengan perpecahan dan tercerai-berainya urusan, hingga terjadilah apa yang terjadi.
Walaupun demikian, umat Islam dan agama ini akan senantiasa dirahmati Allah Subhanallahu wa Taala, apa yang tidak terbetik dalam benak ini dan tidak terlintas dalam angan.
Adapun isyarat yang kedua adalah isyarat tentang ajal Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam yang semakin dekat. Bersamaan dengan hal itu, usia Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dipenuhi dengan keutamaan yang dengannya Allah Subhanallahu wa Taala bersumpah.
Dan telah ditetapkan bahwa hal-hal yang memiliki keutamaan seringkali diakhiri dengan istighfar, seperti sholat, haji, dan yang selainnya.” (Tafsir As-Sa’dy, hal. 934)
Pembaca yang kami cintai, pemaparan Asy-Syaikh As-Sa’dy rahimahullah tersebut memberikan gambaran bahwa pertolongan yang hanya datang dari Allah Subhanallahu wa Taala dijanjikan untuk umat ini tatkala mereka istiqomah di atas agama-Nya, melaksanakan apa yang telah disyariatkan oleh Sang Pencipta, Penguasa dan Pengatur alam ini, yaitu Allah Subhanallahu wa Taala. Namun manakala kebanyakan umat Islam telah melalaikan kenikmatan ini, syari’at-Nya dicampakkan, maka pertolongan yang sempat dirasakan umat ini pun sedikit demi sedikit dicabut dan digantikan dengan musibah yang melanda. Itulah manusia, disadari atau tidak adalah makhluk yang lalai, lalai dari mengerjakan amal kebajikan dan ketaqwaan, disisi lain juga lalai dari dosa dan maksiat, sehingga dianggap remeh dan dikerjakan. Wallahul musta’an.
KANDUNGAN SURAT AN-NASHR
Allah Subhanallahu wa Taala berfirman:
(Artinya): “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya, sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.”
Ayat pertama:
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.”
Pembaca yang dimuliakan Allah Subhanallahu wa Taala, ayat yang pertama ini merupakan kabar gembira dari Allah Subhanallahu wa Taala kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan umat ini dengan datangnya pertolongan dan kemenangan atas perjuangan yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersama kaum muslimin.
Pertolongan itu datangnya dari Allah Subhanallahu wa Taala satu-satunya, dan hanya akan diberikan kepada siapa saja yang berpegang teguh kepada perintah Allah Subhanallahu wa Taala dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Allah Subhanallahu wa Taala menyatakan dalam Al-Qur’an (artinya):
“Dan pertolongan itu hanyalah dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Ali Imron: 126)
Sebaliknya, pertolongan hakiki itu tidak mungkin, bahkan mustahil, akan diberikan kepada orang-orang yang mengaku dan menyeru untuk berjuang serta berkorban demi tegaknya syari’at Allah Subhanallahu wa Taala, namun justru mereka menggunakan cara-cara yang jauh dari syari’at Allah Subhanallahu wa Taala, jauh dari tuntunan yang telah dicontohkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan para shahabatnya.
Para pembaca yang kami muliakan, disebutkan oleh sebagian Mufassirun (ahli tafsir), diantaranya Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thobary rahimahullah, bahwa الفتح (Kemenangan) yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah) yang sebelumnya dikuasai oleh kaum musyrikin Quraisy.
Ayat kedua:
“Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong.”
Inilah salah satu bentuk pertolongan yang diberikan oleh Allah Subhanallahu wa Taala. Ketika manusia berdatangan secara berbondong-bondong dari berbagai negeri, sampai penduduk Yaman sekalipun, datang dan menyatakan keimanan mereka di hadapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Disebutkan oleh Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thobary rahimahullah, dari shahabat Abdullah bin Abbas radliyallahu ‘anhuma berkata: “Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berada di Madinah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallambertakbir: “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan telah datang penduduk Yaman, kemudian beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam ditanya: “Wahai Rasulullah, siapa mereka penduduk Yaman?, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab: “Mereka adalah kaum yang luhur budi pekertinya, lemah lembut perangai dan akhlaknya. Keimanan di Yaman, Fiqh di Yaman dan Hikmah juga di Yaman.” (Tafsir Ath-Thobary, hal. 603)
Pada saat itu, agama Islam menampakkan kewibawaannya di mata musuh-musuhnya. Bahkan, banyak dari mereka yang pada awal-awal Islam  sebagai penghalang dan musuh bagi agama ini, berbalik masuk Islam dan menjadi penolongnya.
Ayat ketiga:
“Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya, sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.”
Sebagai wujud syukur atas pertolongan dan kemenangan yang telah diberikan Allah Subhanallahu wa Taalakepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan umat ini, Allah Subhanallahu wa Taala memerintahkan Nabi-Nya Shalallahu ‘alaihi wa Sallam untuk bertasbih, memuji Allah Subhanallahu wa Taala dan memohon ampun kepada-Nya.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah menyebutkan bahwa ‘Aisyah radliyallahu ‘anha berkata: “Dahulu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam di akhir-akhir hidupnya memperbanyak ucapan:
سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ
“Maha Suci Allah dan dengan memuji-Nya aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.”
Sebagaimana disebutkan juga oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya hadits no. 484.
Setelah turunnya surat An-Nashr ini, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam juga banyak membaca dalam ruku’ dan sujudnya:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
“Maha Suci Engkau, Ya Allah, dan dengan memuji-Mu, Ya Allah, ampunilah aku.” (HR. Al-Bukhari danMuslim)
Pembaca yang kami muliakan, turunnya surat An-Nashr ini merupakan pertanda bahwa ajal (kematian) beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sudah dekat, dan inilah yang disepakati oleh para shahabat radliyallahu ‘anhum. Al-Hafizh Al-Baihaqi rahimahullah menyebutkan riwayat dari shahabat Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma. Beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berkata: “Ketika turun surat (An-Nashr), Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
memanggil Fathimah (putrinya-red) dan berkata: “Sesungguhnya aku telah mendapat kabar tentang kematianku”, maka ketika itu Fathimah radliyallahu ‘anha tampak menangis dan kemudian tertawa. Kemudian ia (Fathimah–pen) berkata: “Aku diberi tahu tentang berita kematiannya (yaitu kematian RasulullahShalallahu ‘alaihi wa Sallam –pen), maka akupun menangis. Lalu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallamberkata kepadaku, “Bersabarlah! karena kamu adalah orang pertama dari keluargaku yang akan menyusulku, maka akupun (Fathimah–pen) tertawa.” (Dala`il An-Nubuwwah Li Al-Baihaqiy, 7/167).
Dikisahkan juga oleh Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma: “Suatu hari ketika Umar bin Al-Khatthab radliyallahu ‘anhu membawaku masuk bersama para pejuang pertempuran Badr (pada saat itu Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma masih muda belia). Tampak keganjilan dalam hati pada sebagian yang hadir, mereka berkata: “Mengapa Umar mengkhususkan anak ini (Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma–red) padahal kita juga memiliki anak sepertinya?” Lalu Umar radliyallahu ‘anhu mengatakan: “Sesungguhnya siapapun telah mengetahui sebagaimana yang kalian ketahui tentangnya (yaitu Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma–red).” Umarradliyallahu ‘anhu bertanya kepada mereka (para pejuang Badr radliyallahu ‘anhum) tentang tafsir surat An-Nashr, maka sebagian dari mereka menjawab: “Bahwa dalam ayat ini Allah Subhanallahu wa Taala telah memerintahkan kepada kita agar memuji Allah, dan memohon ampun kepada-Nya jika telah datang pertolongan Allah dan kemenangan bagi kita.” Sebagian yang lain terdiam dan tidak berkomentar sedikitpun. Kemudian Umar radliyallahu ‘anhu bertanya kepadaku: “Apakah tafsir seperti itu yang engkau pahami, wahai Ibnu Abbas?” Aku menjawab: “Tidak, (bukan sekedar itu–red).” Umar radliyallahu ‘anhu berkata: “Lalu bagaimana menurutmu?” Akupun berkata: “Yaitu berita tentang kematian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam yang telah diberitahukan Allah Subhanallahu wa Taala kepadanya Shalallahu ‘alaihi wa Sallam,” kemudian Umar berkata: “Tidaklah aku memahaminya melainkan sama seperti yang telah engkau ucapkan.” (Shahih Al-Bukhari no. 4970)
Akhirnya sebagai penutup, kita memohon kehadirat Allah Yang Maha Agung, Peguasa Arsy yang mulia agar menganugerahkan kepada kita semua ketetapan hati dan istiqomah dalam menjalankan segala perintah-Nya serta menjauhi segala yang dilarang-Nya. Dengan suatu harapan, semoga Allah Subhanallahu wa Taala memberikan kepada kita pertolongan dan kemenangan sebagaimana yang telah diberikan kepada generasi terbaik umat ini. Amin…