Penciptaan alam semesta
Belasan abad sebelum para ahli menemukan sejumlah teori penciptaan alam semesta, Alquran, sebagai firman Allah SWT, yang diajarkan Nabi Muhammad SAW telah mengungkap dan menyibak rahasia penciptaan alam semesta. Alquran telah menjelaskan bagaimana alam semesta – bumi dan langit – diciptakan bagi umat manusia.
Dalam Alquran surat Shaad ayat 27, Allah SWT berfirman, “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi, dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang itu karena mereka akan masuk neraka.”
Aliran materialisme sangat bertentangan dengan ajaran Alquran. Sebab, aliran tersebut menyatakan bahawa alam semesta ada tanpa direncanakan dengan visi tertentu. Dalam surat Ali Imran ayat 191, Sang Khalik berfirman,'' (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.''
www.republika.co.id
Dalam Alquran surat Shaad ayat 27, Allah SWT berfirman, “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi, dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang itu karena mereka akan masuk neraka.”
Aliran materialisme sangat bertentangan dengan ajaran Alquran. Sebab, aliran tersebut menyatakan bahawa alam semesta ada tanpa direncanakan dengan visi tertentu. Dalam surat Ali Imran ayat 191, Sang Khalik berfirman,'' (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.''
www.republika.co.id
Kisah-kisah para Nabi
Dan pastinya para nabi akan mendapat pengabulan doa, dan ada tiga keadaan terbesar manusia yang membutuhkan keselamatan, yaitu : hari kelahiran, hari kematian dan hari kebangkitan. Ketiga keadaan tersebut membutuhkan keselamatan dan terkumpulnya kebahagiaan dari Allah swt agar terlindungi dari berbagai rasa sakit dan hal-hal yang mengerikan dalam setiap keadaan itu. (Tafsir ar Rozi juz III hal 303)
Dengan begitu, mereka berpendapat bahwa pembunuhan yang dialami Nabi Yahya adalah sesuatu yang mustahil, karena Yahya adalah seorang Nabi yang dijaga dan dilindungi Allah swt dan berita tersebut adalah berasal dari israiliyat dan sebagaimana kebiasaan orang-orang israil adalah ingin merendahkan dan mengecilkan para nabi Allah swt.
Namun demikian yang pasti bahwa didalam kisah-kisah para Nabi dengan segala keunikan dan kesabaran mereka semua—termasuk kisah Nabi Zakaria dan Yahya—didalam memikul beban kenabian sebagai pelita umat-umatnya ada banyak pelajaran yang bisa diambil oleh manusia, sebagaimana firman Allah swt :
Atinya : “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf : 111)
Diantara hikmah dan pelajaran yang bisa diambil dari mereka adalah kesabaran mereka dalam mengemban amanah risalah dan da’wah, kesabaran terhadap perlakuan buruk kaumnya ketika mendengar da’wah mereka, kesabaran untuk tidak tergoda oleh berbagai tarikan-tarikan dunia yang dapat menyimpangkan mereka dari jalan risalah dan da’wah serta sifat-sifat mulia lainnya yang ada didalam diri orang-orang mulia itu.
Ustadz Sigit Pranowo, Lc.
www.eramuslim.com
Dengan begitu, mereka berpendapat bahwa pembunuhan yang dialami Nabi Yahya adalah sesuatu yang mustahil, karena Yahya adalah seorang Nabi yang dijaga dan dilindungi Allah swt dan berita tersebut adalah berasal dari israiliyat dan sebagaimana kebiasaan orang-orang israil adalah ingin merendahkan dan mengecilkan para nabi Allah swt.
Namun demikian yang pasti bahwa didalam kisah-kisah para Nabi dengan segala keunikan dan kesabaran mereka semua—termasuk kisah Nabi Zakaria dan Yahya—didalam memikul beban kenabian sebagai pelita umat-umatnya ada banyak pelajaran yang bisa diambil oleh manusia, sebagaimana firman Allah swt :
Atinya : “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf : 111)
Diantara hikmah dan pelajaran yang bisa diambil dari mereka adalah kesabaran mereka dalam mengemban amanah risalah dan da’wah, kesabaran terhadap perlakuan buruk kaumnya ketika mendengar da’wah mereka, kesabaran untuk tidak tergoda oleh berbagai tarikan-tarikan dunia yang dapat menyimpangkan mereka dari jalan risalah dan da’wah serta sifat-sifat mulia lainnya yang ada didalam diri orang-orang mulia itu.
Ustadz Sigit Pranowo, Lc.
www.eramuslim.com
Bagaimana Allah menolong para Rasul dan Nabi-Nya serta orang-orang yang bersamanya?
Tentunya Allah swt juga senantiasa memberikan pertolongan dan bantuan-Nya kepada mereka semua ketika mendapatkan kesulitan didalam menyampaikan risalah-risalah-Nya yang hal itu sudah menjadi janji-Nya kepada mereka sebagaimana firman-Nya :
Artinya : “Sesungguhnya kami menolong rasul-rasul kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).” (QS. Ghofir : 51 – 52)
Bagaimana Allah menolong para Rasul dan Nabi-Nya serta orang-orang yang bersamanya? tentunya Allah swt lebih mengetahui hal ini, karena ditangan-Nya lah segala kebaikan dan Dia-lah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Sementara manusia hanya dituntut untuk bisa mengambil pelajaran dari kisah-kisah kepahlawanan mereka dan menghiasi kehidupannya dengan itu semua.
Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo, Lc.
www.eramuslim.com
Artinya : “Sesungguhnya kami menolong rasul-rasul kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).” (QS. Ghofir : 51 – 52)
Bagaimana Allah menolong para Rasul dan Nabi-Nya serta orang-orang yang bersamanya? tentunya Allah swt lebih mengetahui hal ini, karena ditangan-Nya lah segala kebaikan dan Dia-lah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Sementara manusia hanya dituntut untuk bisa mengambil pelajaran dari kisah-kisah kepahlawanan mereka dan menghiasi kehidupannya dengan itu semua.
Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo, Lc.
www.eramuslim.com
Menikah
Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Anas bahwa Rasulullah saw bersabda,”Apabila seorang hamba menikah maka sungguh orang itu telah menyempurnakan setengah agama maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam setengah yang lainnya.” (Hadits ini dishahihkan oleh Al Banni didalam Shahihut Targhib wat Tarhib)
Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dari Anas bahwa Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa yang diberikan rezeki oleh Allah seorang istri yang sholehah maka sungguh dia telah dibantu dengan setengah agamanya maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam setengah yang lainnya.”
Juga hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah saw bersabda,”Wahai para pemuda, jika diantara kalian sudah ada yang mampu menikah hendaklah menikah karena matanya akan lebih terjaga dan kemaluannya akan lebih terpelihara. Jika ia belum mampu menikah hendaklah ia berpuasa karena puasa itu ibarat pengebiri.” (HR. Jama’ah)
Sehingga tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa syahwat yang paling terbesar adalah syahwat kemaluan dan syahwat perut. Ketika kedua syahwat ini tidak bisa dijaga atau diberikan solusinya dengan cara yang baik dan diridhoi Allah maka ia akan menyeret pelakunya kepada berbagai syahwat kemaksiatan lainnya.
Imam Al Ghazali mengatakan bahwa hadits diatas memberikan isyarat akan keutamaan menikah dikarenakan dapat melindunginya dari penyimpangan demi membentengi diri dari kerusakan. Dan seakan-akan bahwa yang membuat rusak agama seseorang pada umumnya adalah kemaluan dan perutnya maka salah satunya dicukupkan dengan cara menikah.” (Ihya Ulumuddin)
Ustadz Sigit Pranowo, Lc.
www.eramuslim.com
Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dari Anas bahwa Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa yang diberikan rezeki oleh Allah seorang istri yang sholehah maka sungguh dia telah dibantu dengan setengah agamanya maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam setengah yang lainnya.”
Juga hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah saw bersabda,”Wahai para pemuda, jika diantara kalian sudah ada yang mampu menikah hendaklah menikah karena matanya akan lebih terjaga dan kemaluannya akan lebih terpelihara. Jika ia belum mampu menikah hendaklah ia berpuasa karena puasa itu ibarat pengebiri.” (HR. Jama’ah)
Sehingga tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa syahwat yang paling terbesar adalah syahwat kemaluan dan syahwat perut. Ketika kedua syahwat ini tidak bisa dijaga atau diberikan solusinya dengan cara yang baik dan diridhoi Allah maka ia akan menyeret pelakunya kepada berbagai syahwat kemaksiatan lainnya.
Imam Al Ghazali mengatakan bahwa hadits diatas memberikan isyarat akan keutamaan menikah dikarenakan dapat melindunginya dari penyimpangan demi membentengi diri dari kerusakan. Dan seakan-akan bahwa yang membuat rusak agama seseorang pada umumnya adalah kemaluan dan perutnya maka salah satunya dicukupkan dengan cara menikah.” (Ihya Ulumuddin)
Ustadz Sigit Pranowo, Lc.
www.eramuslim.com
Menikah
Imam Al Qurthubi mengatakan bahwa menikah adalah menjaga kesucian diri dari perbuatan zina sedangkan seorang yang ‘affaf (menjaga kesucian diri) adalah salah satu dari dua orang yang dijamin Rasulullah saw dengan surga, sebagaimana sabdanya saw,”Barangsiapa yang Allah lindungi dirinya dari dua tempat kejahatan maka dia akan dimasukkan ke surga yaitu antara dua rahangnya dan antara dua kakinya.” (al Jami’ Li Ahkamil Qur’an)
Dengan pernikahan maka seseorang dapat menjaga kemaluannya dari hal-hal yang diharamkan oleh agama, yaitu zina. Hal itu dikarenakan bahwa naluri seseorang yang paling kuat dan keras adalah naluri seks dan naluri ini menuntut adanya solusi, dan islam memberikan solusinya dengan cara yang mulia yaitu, pernikahan.
Manfaat lainnya dari menikah adalah ketentramana jiwa, kebugaran jasmani, terpeliharanya mata dari pandangan-pandangan yang diharamkan, ketenangan hati, kejernihan fikiran dan kehormatan diri, sebagaimana firman Allah swt :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Ruum : 21)
Ustadz Sigit Pranowo, Lc.
www.eramuslim.com
Dengan pernikahan maka seseorang dapat menjaga kemaluannya dari hal-hal yang diharamkan oleh agama, yaitu zina. Hal itu dikarenakan bahwa naluri seseorang yang paling kuat dan keras adalah naluri seks dan naluri ini menuntut adanya solusi, dan islam memberikan solusinya dengan cara yang mulia yaitu, pernikahan.
Manfaat lainnya dari menikah adalah ketentramana jiwa, kebugaran jasmani, terpeliharanya mata dari pandangan-pandangan yang diharamkan, ketenangan hati, kejernihan fikiran dan kehormatan diri, sebagaimana firman Allah swt :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Ruum : 21)
Ustadz Sigit Pranowo, Lc.
www.eramuslim.com
Self Promotion
وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ (54) قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ (55) وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الْأَرْضِ يَتَبَوَّأُ مِنْهَا حَيْثُ يَشَاءُ نُصِيبُ بِرَحْمَتِنَا مَنْ نَشَاءُ وَلَا نُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ (56) وَلَأَجْرُ الْآَخِرَةِ خَيْرٌ لِلَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (57)
“Dan raja berkata, ‘Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku.’ Maka tatkala raja telah berkata kepadanya, dia (Raja) berkata: ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi (berkuasa penuh) lagi dipercaya pada sisi kami (54) Berkata Yusuf, ‘Jadikanlah aku memegang kunci bumi negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan (55) Dan demikianlah kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang- orang yang berbuat baik (56) Dan sesungguhnya pahala di akhirat itu lebih baik, bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa (57). (Yusuf / 12 : 54 – 57) (54-57)
Kebersihan Yusuf telah terbukti di hadapan raja, dan telah terbukti pula ilmunya tentang tafsir mimpi dan kearifannya saat meminta penyelidikan terhadap kasus sekumpulan wanita tersebut. Begitu juga, telah terbukti baginya kemuliaan dan integritas moral Yusuf, saat ia tidak menjatuhkan harga diri untuk bisa keluar dari penjara, dan tidak pula menjatuhkan harga diri untuk bisa bertemu raja. Raja Mesir!
Sebaliknya, ia menunjukkan sikap seorang mulia yang dicemarkan nama baiknya, dan dipenjara secara zhalim. Ia meminta nama baiknya dibersihkan sebelum ia meminta tubuhnya dibebaskan dari penjara. Ia menuntut kehormatan diri dan agama yang diperjuangkannya sebelum ia menuntut melangkah di samping raja.
Semua itu menggugah rasa hormat dan cinta di hati raja kepadanya, sehingga raja berkata,
“Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku.”
Jadi, raja tidak menghadirkannya dari penjara untuk dibebaskan, bukan untuk melihat langsung orang yang pandai menafsirkan mimpi, dan bukan untuk menyampaikan “tanda jasa kerajaan” sehingga Yusuf melambung karena senang. Tidak! Raja menghadirkannya untuk memilihnya sebagai orang dekatnya, menempatkannya pada posisi penasihat dan teman.
Betapa banyak orang yang menjatuhkan kehormatan mereka di kaki para penguasa—padahal mereka adalah orang-orang yang bebas, tidak dipenjara. Mereka dengan suka rela mengikat leher dengan tangan mereka sendiri, dan menjatuhkan martabat sendiri untuk memperoleh simpati dan kalimat pujian, serta untuk mendapatkan dukungan dari para pengikut, bukan kedudukan orang-orang yang bersih. Andai saja orang-orang seperti itu membaca al-Qur’an dan mengkaji kisah Yusuf agar mereka tahu bahwa kehormatan, integritas moral, dan martabat itu memberikan keuntungan—bahkan yang sifatnya materi—berlipat ganda, melebihi apa yang diberikan sikap menjilat dan menunduk!
“Raja berkata, ‘Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku..’”
Rangkaian ayat selanjutnya menghilangkan bagian dari pelaksanaan perintah, agar kita langsung mendapati Yusuf bersama raja.
“Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata, ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.’” (54)
Ketika raja telah berbicara kepada Yusuf, maka firasatnya terbukti benar. Dan raja memberi ucapan selamat kepada Yusuf karena Yusuf memiliki kedudukan dan amanah di depan raja. Jadi, dia bukan pemuda Ibrani dengan ciri kehidupan asketik, melainkan seorang yang berkedudukan tinggi. Dia bukan tersangka yang diancam penjara, melainkan orang yang dipercaya. Itulah kedudukan dan amanah di depan raja dan di bawah atapnya. Lalu, apa yang dikatakan Yusuf?
Ia tidak bersujud syukur sebagaimana para kroni yang selalu menguntit itu sujud kepada para thaghut. Yusuf tidak berkata: Jayalah engkau, tuan! Aku adalah hambamu yang patuh atau pelayanmu yang terpercaya. Seperti yang dikatakan oleh para penjilat kepada para diktator! Tidak, ia hanya meminta sesuai keyakinannya bahwa ia mampu memikul tugas dalam menyelesaikan krisis mendatang yang ditakwilinya dari mimpi raja, secara lebih baik daripada kinerja siapapun di negeri ini. Ia menuntut sesuai keyakinannya bahwa ia akan menjaga nyawa dari kematian, memelihara negara dari kehancuran, dan melindungi masyarakat dari bencana kelaparan. Jadi, ia adalah yang memiliki pemahaman yang kuat dimana situasi membutuhkan pengalaman, kecakapan, dan amanahnya, seperti kuatnya ia dalam menjaga kehormatan dan integritas moralnya.
“Berkata Yusuf, ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.’” (55)
Krisis datang dengan didahului masa-masa kemakmuran. Hasil bumi yang berlimpah itu perlu dijaga dan disimpan. Ia membutuhkan kepiawaian manajemen untuk mengatur logistik secara cermat, mengontrol pertanian dan hasil panennya, serta menjaganya.
Ia membutuhkan pengalaman, kebijakan yang tepat, dan pengetahuan semua cabang yang diperlukan untuk tugas tersebut, baik di masa panen raya atau di masa paceklik. Dari sini, Yusuf menyebutkan sebagian sifat dalam dirinya yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas tersebut, yang menurutnya ia lebih mampu memikulnya, dan bahwa sifat ini akan menghasilkan kebaikan besar bagi bangsa Mesir dan bangsa-bangsa tetangga.
“Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.”
http://eramuslim.com/syariah/tafsir-zhilal/self-promotion-1.htm
“Dan raja berkata, ‘Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku.’ Maka tatkala raja telah berkata kepadanya, dia (Raja) berkata: ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi (berkuasa penuh) lagi dipercaya pada sisi kami (54) Berkata Yusuf, ‘Jadikanlah aku memegang kunci bumi negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan (55) Dan demikianlah kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang- orang yang berbuat baik (56) Dan sesungguhnya pahala di akhirat itu lebih baik, bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa (57). (Yusuf / 12 : 54 – 57) (54-57)
Kebersihan Yusuf telah terbukti di hadapan raja, dan telah terbukti pula ilmunya tentang tafsir mimpi dan kearifannya saat meminta penyelidikan terhadap kasus sekumpulan wanita tersebut. Begitu juga, telah terbukti baginya kemuliaan dan integritas moral Yusuf, saat ia tidak menjatuhkan harga diri untuk bisa keluar dari penjara, dan tidak pula menjatuhkan harga diri untuk bisa bertemu raja. Raja Mesir!
Sebaliknya, ia menunjukkan sikap seorang mulia yang dicemarkan nama baiknya, dan dipenjara secara zhalim. Ia meminta nama baiknya dibersihkan sebelum ia meminta tubuhnya dibebaskan dari penjara. Ia menuntut kehormatan diri dan agama yang diperjuangkannya sebelum ia menuntut melangkah di samping raja.
Semua itu menggugah rasa hormat dan cinta di hati raja kepadanya, sehingga raja berkata,
“Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku.”
Jadi, raja tidak menghadirkannya dari penjara untuk dibebaskan, bukan untuk melihat langsung orang yang pandai menafsirkan mimpi, dan bukan untuk menyampaikan “tanda jasa kerajaan” sehingga Yusuf melambung karena senang. Tidak! Raja menghadirkannya untuk memilihnya sebagai orang dekatnya, menempatkannya pada posisi penasihat dan teman.
Betapa banyak orang yang menjatuhkan kehormatan mereka di kaki para penguasa—padahal mereka adalah orang-orang yang bebas, tidak dipenjara. Mereka dengan suka rela mengikat leher dengan tangan mereka sendiri, dan menjatuhkan martabat sendiri untuk memperoleh simpati dan kalimat pujian, serta untuk mendapatkan dukungan dari para pengikut, bukan kedudukan orang-orang yang bersih. Andai saja orang-orang seperti itu membaca al-Qur’an dan mengkaji kisah Yusuf agar mereka tahu bahwa kehormatan, integritas moral, dan martabat itu memberikan keuntungan—bahkan yang sifatnya materi—berlipat ganda, melebihi apa yang diberikan sikap menjilat dan menunduk!
“Raja berkata, ‘Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku..’”
Rangkaian ayat selanjutnya menghilangkan bagian dari pelaksanaan perintah, agar kita langsung mendapati Yusuf bersama raja.
“Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata, ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.’” (54)
Ketika raja telah berbicara kepada Yusuf, maka firasatnya terbukti benar. Dan raja memberi ucapan selamat kepada Yusuf karena Yusuf memiliki kedudukan dan amanah di depan raja. Jadi, dia bukan pemuda Ibrani dengan ciri kehidupan asketik, melainkan seorang yang berkedudukan tinggi. Dia bukan tersangka yang diancam penjara, melainkan orang yang dipercaya. Itulah kedudukan dan amanah di depan raja dan di bawah atapnya. Lalu, apa yang dikatakan Yusuf?
Ia tidak bersujud syukur sebagaimana para kroni yang selalu menguntit itu sujud kepada para thaghut. Yusuf tidak berkata: Jayalah engkau, tuan! Aku adalah hambamu yang patuh atau pelayanmu yang terpercaya. Seperti yang dikatakan oleh para penjilat kepada para diktator! Tidak, ia hanya meminta sesuai keyakinannya bahwa ia mampu memikul tugas dalam menyelesaikan krisis mendatang yang ditakwilinya dari mimpi raja, secara lebih baik daripada kinerja siapapun di negeri ini. Ia menuntut sesuai keyakinannya bahwa ia akan menjaga nyawa dari kematian, memelihara negara dari kehancuran, dan melindungi masyarakat dari bencana kelaparan. Jadi, ia adalah yang memiliki pemahaman yang kuat dimana situasi membutuhkan pengalaman, kecakapan, dan amanahnya, seperti kuatnya ia dalam menjaga kehormatan dan integritas moralnya.
“Berkata Yusuf, ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.’” (55)
Krisis datang dengan didahului masa-masa kemakmuran. Hasil bumi yang berlimpah itu perlu dijaga dan disimpan. Ia membutuhkan kepiawaian manajemen untuk mengatur logistik secara cermat, mengontrol pertanian dan hasil panennya, serta menjaganya.
Ia membutuhkan pengalaman, kebijakan yang tepat, dan pengetahuan semua cabang yang diperlukan untuk tugas tersebut, baik di masa panen raya atau di masa paceklik. Dari sini, Yusuf menyebutkan sebagian sifat dalam dirinya yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas tersebut, yang menurutnya ia lebih mampu memikulnya, dan bahwa sifat ini akan menghasilkan kebaikan besar bagi bangsa Mesir dan bangsa-bangsa tetangga.
“Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.”
http://eramuslim.com/syariah/tafsir-zhilal/self-promotion-1.htm
Sesat
سُوۡرَةُ البَقَرَة
اُولٰٓٮِٕكَ الَّذِيۡنَ اشۡتَرَوُا الضَّلٰلَةَ بِالۡهُدٰى وَالۡعَذَابَ بِالۡمَغۡفِرَةِ ۚ فَمَآ اَصۡبَرَهُمۡ عَلَى النَّارِ﴿۱۷۵﴾
Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka! (QS.2: 175)
Orang-orang kafir dan tidak percaya akhirat akan berusaha keras agar kaum muslimin mengikuti jalan mereka.
اُولٰٓٮِٕكَ الَّذِيۡنَ اشۡتَرَوُا الضَّلٰلَةَ بِالۡهُدٰى وَالۡعَذَابَ بِالۡمَغۡفِرَةِ ۚ فَمَآ اَصۡبَرَهُمۡ عَلَى النَّارِ﴿۱۷۵﴾
Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka! (QS.2: 175)
Orang-orang kafir dan tidak percaya akhirat akan berusaha keras agar kaum muslimin mengikuti jalan mereka.
Nabi Muhammad
“Org Yahudi dan Nasrani yang telah KAMI berikan al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak mereka sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran padahal mereka mengetahuinya.” (Al-Baqarah: 146)
Firman Allah swt :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا
Artinya : “Hai nabi, Sesungguhnya kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan.” (QS. Al Ahzab : 45)
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Artinya : “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu., tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab : 40)
Firman Allah swt :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا
Artinya : “Hai nabi, Sesungguhnya kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan.” (QS. Al Ahzab : 45)
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Artinya : “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu., tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab : 40)
Tabayyun Terhadap Berita
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu."
(Qs.al Hujurat : 6)
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu."
(Qs.al Hujurat : 6)
MASJID
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Maka Apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam. dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang- orang yang zalim”.
(QS. Attaubah :109)
Allah SWT telah mengajarkan kepada hamba-hambaNya melalui KitabNya dan tuntunan RosulNya Muhammad SAW perihal tuntunan beribadah dan bermuamalah duniawiyah. Tidak ada satu bagianpun dalam masalah Dinul Islam yang luput dalam dua petunjuk pokok tersebut. Termasuk masalah pendirian masjid sebagai sarana beribadah, pengembangan ilmu dan wadah konsolidasi dakwah ilallah melalui gerakan amr bil makruf wa nahyu ‘anil munkar, serta tempat mengatur strategi perang.
Dasar pokok pendirian masjid sebagaimana dalam surat attaubah ayat 109 adalah dua hal, yaitu wujud taqwa kepada Allah dan mencari ridhoNya. Masjid Nabawi yang dibangun Rosulullah dan para sahabatnya terdahulu adalah contoh jelas bagi siapapun yang ingin mengambil ittibar terbaik. Masjid ini dibangun dengan dua landasan pokoknya tersebut. Ia juga dibangun oleh orang-orang yang ingin memakmurkan amaliyah masjid dan melalui infaq mereka masing-masing. Dengan demikian itu menjadi pondasi kokoh suatu bangunan dan memunculkan rasa “memiliki tanggung jawab” terhadap hidup dan matinya fungsi masjid tersebut.
Maka bagaimana halnya dengan masjid-masjid yang dibangun dengan dana dari sumbangan-sumbangan orang-orang yang tidak berkepentingan dan tidak peduli terhadap kegiatan memakmurkannya? Dengan “menjala” recehan dijalanan atau mengajukan proposal bantuan? Umumnya masjid seperti ini akan akan “sepi” dari kajian-kajian alqur-an, meskipun ada biasa tidak berlangsung lama. Wajar saja terjadi karena “pondasi” ruhiyahnya tidak dibangun menurut tuntunan sunah rosulullah.
Masjid secara istilah artinya “tempat sujud”. Sedangkan sujud sendiri memiliki antara lain “meninggalkan karya atau ‘amal” bagi kemaslahatan ummat. Karena seluruh permukaan bumi adalah tempat sujudnya hamba Allah. Dan implementasi sujudnya hamba Allah dalam sholat adalah meninggalkan “bekas” atau tanda di muka bumi bagi generasi selanjutnya.
www.al-ulama.net
“Maka Apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam. dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang- orang yang zalim”.
(QS. Attaubah :109)
Allah SWT telah mengajarkan kepada hamba-hambaNya melalui KitabNya dan tuntunan RosulNya Muhammad SAW perihal tuntunan beribadah dan bermuamalah duniawiyah. Tidak ada satu bagianpun dalam masalah Dinul Islam yang luput dalam dua petunjuk pokok tersebut. Termasuk masalah pendirian masjid sebagai sarana beribadah, pengembangan ilmu dan wadah konsolidasi dakwah ilallah melalui gerakan amr bil makruf wa nahyu ‘anil munkar, serta tempat mengatur strategi perang.
Dasar pokok pendirian masjid sebagaimana dalam surat attaubah ayat 109 adalah dua hal, yaitu wujud taqwa kepada Allah dan mencari ridhoNya. Masjid Nabawi yang dibangun Rosulullah dan para sahabatnya terdahulu adalah contoh jelas bagi siapapun yang ingin mengambil ittibar terbaik. Masjid ini dibangun dengan dua landasan pokoknya tersebut. Ia juga dibangun oleh orang-orang yang ingin memakmurkan amaliyah masjid dan melalui infaq mereka masing-masing. Dengan demikian itu menjadi pondasi kokoh suatu bangunan dan memunculkan rasa “memiliki tanggung jawab” terhadap hidup dan matinya fungsi masjid tersebut.
Maka bagaimana halnya dengan masjid-masjid yang dibangun dengan dana dari sumbangan-sumbangan orang-orang yang tidak berkepentingan dan tidak peduli terhadap kegiatan memakmurkannya? Dengan “menjala” recehan dijalanan atau mengajukan proposal bantuan? Umumnya masjid seperti ini akan akan “sepi” dari kajian-kajian alqur-an, meskipun ada biasa tidak berlangsung lama. Wajar saja terjadi karena “pondasi” ruhiyahnya tidak dibangun menurut tuntunan sunah rosulullah.
Masjid secara istilah artinya “tempat sujud”. Sedangkan sujud sendiri memiliki antara lain “meninggalkan karya atau ‘amal” bagi kemaslahatan ummat. Karena seluruh permukaan bumi adalah tempat sujudnya hamba Allah. Dan implementasi sujudnya hamba Allah dalam sholat adalah meninggalkan “bekas” atau tanda di muka bumi bagi generasi selanjutnya.
www.al-ulama.net
Karunia Allah
سَابِقُوۡۤا اِلٰى مَغۡفِرَةٍ مِّنۡ رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا كَعَرۡضِ السَّمَآءِ وَ الۡاَرۡضِۙ اُعِدَّتۡ لِلَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا بِاللّٰهِ وَرُسُلِهٖؕ ذٰلِكَ فَضۡلُ اللّٰهِ يُؤۡتِيۡهِ مَنۡ يَّشَآءُؕ وَاللّٰهُ ذُوۡ الۡفَضۡلِ الۡعَظِيۡمِ﴿۲۱﴾
[57.21] Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.
(Q.S Al Hadiid 21)
[57.21] Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.
(Q.S Al Hadiid 21)
Jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa
Dengan begitu maka anda telah berlepas diri dari dosa yang dilakukan mereka seandainya tetap menggunakan cara yang tidak benar dan anda terbebas dihadapan Allah swt atas pelanggaran itu serta terhindar dari tolong menolong dalam perbuatan dosa dan maksiat, sebagaimana firman Allah swt :
وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya : “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al Maidah : 2)
Dan ketika mereka mau mendengarkan nasehat anda lalu melaksanakannya dengan membatalkan rencana untuk menggunakan cara-cara yang mengandung dosa itu dan beralih menggunakan cara-cara yang jujur walaupun terasa berat maka sungguh pahala yang besar dari Allah bagi anda dan para pimpinan yang lainnya.
Untuk selanjutnya tidak ada yang lebih baik kecuali bertawakal kepada Allah swt saja terhadap hasilnya dengan tetap meyakini bahwa semua itu adalah ketentuan dan ketetapan-Nya yang tidak bisa seorangpun lari darinya. Bersyukurlah kepada-Nya jika ketetapan-Nya sesuai dengan harapan anda dan bersabarlah jika sebaliknya dan yakinilah bahwa semua itu adalah baik bagi seorang yang beriman kepada-Nya.
Ustadz Sigit Pranowo, Lc.
www.eramuslim.com
وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya : “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al Maidah : 2)
Dan ketika mereka mau mendengarkan nasehat anda lalu melaksanakannya dengan membatalkan rencana untuk menggunakan cara-cara yang mengandung dosa itu dan beralih menggunakan cara-cara yang jujur walaupun terasa berat maka sungguh pahala yang besar dari Allah bagi anda dan para pimpinan yang lainnya.
Untuk selanjutnya tidak ada yang lebih baik kecuali bertawakal kepada Allah swt saja terhadap hasilnya dengan tetap meyakini bahwa semua itu adalah ketentuan dan ketetapan-Nya yang tidak bisa seorangpun lari darinya. Bersyukurlah kepada-Nya jika ketetapan-Nya sesuai dengan harapan anda dan bersabarlah jika sebaliknya dan yakinilah bahwa semua itu adalah baik bagi seorang yang beriman kepada-Nya.
Ustadz Sigit Pranowo, Lc.
www.eramuslim.com
Kekuatan adalah Memanah
عن عقبة بن عمرو – ر – قال : سمعتُ رسول الله صلى الله عليه و سلم يَقُول على المِنْبَرِ
( و اعدُّ وا ما استطعتم من قُوَّ ةٍ ) الا اِ نَّ القوَّةَ الرَّمْيُ
(مسلم )
Dari ‘Uqbah bin ‘Amr r.a. berkata : “Aku mendengar Rasulullah bersabda sedangkan dia di atas mimbar (“Dan persiapkanlah oleh kamu berdasar apa yang kamu mampu dari kekuatan, Al Maidah : 60). Ketahuilah bahwa sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah."
Catatan :
Memanah adalah ketangkasan, sedangkan olah raga yang disenangi oleh Rasulullah adalah berenang, memanah, dan berkuda.
www.al-ulama.net
( و اعدُّ وا ما استطعتم من قُوَّ ةٍ ) الا اِ نَّ القوَّةَ الرَّمْيُ
(مسلم )
Dari ‘Uqbah bin ‘Amr r.a. berkata : “Aku mendengar Rasulullah bersabda sedangkan dia di atas mimbar (“Dan persiapkanlah oleh kamu berdasar apa yang kamu mampu dari kekuatan, Al Maidah : 60). Ketahuilah bahwa sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah."
Catatan :
Memanah adalah ketangkasan, sedangkan olah raga yang disenangi oleh Rasulullah adalah berenang, memanah, dan berkuda.
www.al-ulama.net
Mubah (boleh)
Dasar kemubahannya adalah hadis Nabi SAW,
" Kamu lebih mengetahui urusan dunia kamu." (antum a'lamu bi-amri dun-yakum).
(HR Muslim, no 4358).
Latar belakang hadis ini adalah Nabi SAW suatu saat pernah melarang menyerbukkan kurma (ta`bir an-nakhiil).
Ternyata kurmanya tidak berbuah. Nabi SAW pun kemudian mengucapkan sabdanya tersebut. Hadis ini menerangkan bahwa "urusan dunia", yaitu apa saja yang tidak terdapat ketentuan hukumnya dari wahyu, maka hal itu diserahkan kepada pendapat manusia. (Lihat Imam Nawawi, Syarah Muslim, 8/85).
Jadi hadis ini adalah dalil bahwa secara umum syara' membolehkan segala produk sains dan teknologi, selama tidak bertentangan dengan Aqidah dan Syariah Islam. (Abdul Qadim Zallum, Ad-Dimuqrathiyyah Nizham Kufur, hal. 12).
Selain berdasarkan hadis itu, kemubahan juga dapat didasarkan pada kaidah fiqih :
al-ashlu fi al-asy-syaa` al-ibahah hatta yadulla ad-dalilu 'ala at-tahrim.
Artinya, hukum asal sesuatu (benda/barang) adalah boleh, hingga terdapat dalil yang mengharamkannya. (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazha`ir fi Al-Furu', hal. 108; Imam Syaukani, Nailul Authar, 12/443).
Yang dimaksud dengan al-asy-yaa' (jamak dari asy-syai`) dalam kaidah ini adalah segala materi (zat) yang digunakan manusia dalam perbuatannya (al-mawaad allaty yatasharrafu fiiha al-insaanu bi-af'alihi). (M. Muhammad Ismail, Al-Fikr Al-Islami, hal. 41).
Muhammad Shiddiq Al Jawi
" Kamu lebih mengetahui urusan dunia kamu." (antum a'lamu bi-amri dun-yakum).
(HR Muslim, no 4358).
Latar belakang hadis ini adalah Nabi SAW suatu saat pernah melarang menyerbukkan kurma (ta`bir an-nakhiil).
Ternyata kurmanya tidak berbuah. Nabi SAW pun kemudian mengucapkan sabdanya tersebut. Hadis ini menerangkan bahwa "urusan dunia", yaitu apa saja yang tidak terdapat ketentuan hukumnya dari wahyu, maka hal itu diserahkan kepada pendapat manusia. (Lihat Imam Nawawi, Syarah Muslim, 8/85).
Jadi hadis ini adalah dalil bahwa secara umum syara' membolehkan segala produk sains dan teknologi, selama tidak bertentangan dengan Aqidah dan Syariah Islam. (Abdul Qadim Zallum, Ad-Dimuqrathiyyah Nizham Kufur, hal. 12).
Selain berdasarkan hadis itu, kemubahan juga dapat didasarkan pada kaidah fiqih :
al-ashlu fi al-asy-syaa` al-ibahah hatta yadulla ad-dalilu 'ala at-tahrim.
Artinya, hukum asal sesuatu (benda/barang) adalah boleh, hingga terdapat dalil yang mengharamkannya. (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazha`ir fi Al-Furu', hal. 108; Imam Syaukani, Nailul Authar, 12/443).
Yang dimaksud dengan al-asy-yaa' (jamak dari asy-syai`) dalam kaidah ini adalah segala materi (zat) yang digunakan manusia dalam perbuatannya (al-mawaad allaty yatasharrafu fiiha al-insaanu bi-af'alihi). (M. Muhammad Ismail, Al-Fikr Al-Islami, hal. 41).
Muhammad Shiddiq Al Jawi
MENGAPA AL ‘ULAMA'
Pokok Kajian
Sesungguhnya Allah telah memberikan petunjuk berupa gambaran dari satu sikap dari hamba Allah yang tidak terlena oleh berbagai permasalahan yang berkaitan dengan gejolak kehidupan duniawiyah, sebagaimana digambarkan dalam Surah An Nur 37,yaitu:
رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالأبْصَارُ (٣٧)
“Para lelaki yang tidak dapat terlalaikan mereka oleh perniagaan dan jual beli, dari mengingati Allah, dan mendirikan shalat dan membayarkan zakat,(lantaran) mereka takut akan suatu hari (dimana) terjadi goncang pada waktu itu, hati dan pandangan”
Ayat tersebut dengan keterkaitan ayat sebelum dan sesudahnya, sangat jelas menggambarkan tentang sikap “Al ’Ulama”, yang senantiasa berupaya menepati tugas dan tanggung jawabnya dalam menjunjung tinggi Kalimatullah. Dan karena itu maka Rasulullah menjelaskan bahwa ‘Ulama itu adalah pemegang amanah Allah atas makhluknya [Surah Fathir(35) 34], dan sebagai pemegang amanah para Rasul [Surah Asy Syura(42) 13], sehingga akan senantiasa berupaya untuk mematuhi dan menepati batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah.
Pembahasan
Bahwa sebenarnya “Al ‘Ulama” adalah hamba Allah yang faqir, artinya senantiasa berharap keredlaan Allah dalam segala kiprah hidupnya untuk menepati pengabdiannya. Berarti kepribadian nya sudah harus terukur, bahwa cinta kepada Allah dan RasulNya dan jihad di jalanNya adalah diatas segalanya [Surah At Taubah(9) 24]. Inilah tatanan utama yang membuat Al ‘Ulama disebut Al’Arif dan Al ‘Khowasy, karena ketulusan hatinya dalam tha’at, sehingga berupaya sekuat mungkin menepati perintah Allah, untuk tidak akan mencampuradukkan antara yang haq dengan yang bathil [Surah Al Baqarah(2) 42]. Dengan demikian akan bermuatan makna antara lain:
1. Al‘Ulama dituntut kemampuannya dalam memahami beberapa batasan dari Allah, antara lain, Ketetapan Allah untuk memiliki “hija ban mastu ra” [Surah Al Isra’(17) 45]; Dengan itu akan mampu menjelaskan keberadaan sifat antagonistic antara As Siyasah dengan Politik.
2. Dituntut kemampuannya dalam mewaspadai diri terhadap keberadaan nafsu dan al’aqlu, yang antara keduanya ada pembatas [Surah Al Anfal(8) 24], yang dengan itu akan dapat melakukan pengkondisian terhadap Ummat Islam, agar tidak terpengaruh bisikan nafsu angkara murka [Surah Yusuf(12) 53]. Dan akan tetap mengutamakan cinta kasih terhadap ummat manusia, karena masalah manusia adalah topik utama dalam al Qur-an [Surah Al Maidah(5) 32].
Manakala hal tersebut telah faham, maka dengan mempedomani pada Kaidah Menejemen al Qur-an [Surah Al Furqon(25) 52] serta wujud dari menejemen al Qur-an [Surah An’am(6) 153], karena dihadapkan beberapa kenyataan, antara lain:
1. Dalam kehidupan global, secara pasti setiap Negara di dunia terjadi proses integrasi.
2. Dalam hubungan antar bangsa secara pasti terjadi proses ter-interdependensi, yaitu terjadi saling memberi dan menerima, antara lain dalam hal peradaban dan sebagainya.
Mengatasi hal tersebut, jelas tidak mungkin, ”selama para ‘Ulama hanya berfikir sebatas rumah tangga”. Karena yang dihadapi adalah 9 aktor intellektual yang dimotori oleh ”sistem Mafia” [Surah An Naml(27) 48-49]; Padahal kesemuanya itu tanggung jawabnya telah Allah dan Rasul tetapkan kepada “Al ‘Ulama”, dalam menjemput janji Allah yang telah ditetapkanNya [Surah At Taubah(9) 33].
Oleh karena itu perintah Allah yang ditujukan kepada para ‘Ulama menuntut kesiapan ‘Ulama untuk melakukan”ittifa qul ‘Ulama” [Surah Al Baqarah(2) 208], yang diprakarsai Dewan Perancang dan Panitia Pelaksana (anshorullah-) [Surah Ash Shaf(61) 14] dengan melalui proses “Mudzakarah ‘Ulama”.
Written by mubarki
www.al-ulama.net
Sesungguhnya Allah telah memberikan petunjuk berupa gambaran dari satu sikap dari hamba Allah yang tidak terlena oleh berbagai permasalahan yang berkaitan dengan gejolak kehidupan duniawiyah, sebagaimana digambarkan dalam Surah An Nur 37,yaitu:
رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالأبْصَارُ (٣٧)
“Para lelaki yang tidak dapat terlalaikan mereka oleh perniagaan dan jual beli, dari mengingati Allah, dan mendirikan shalat dan membayarkan zakat,(lantaran) mereka takut akan suatu hari (dimana) terjadi goncang pada waktu itu, hati dan pandangan”
Ayat tersebut dengan keterkaitan ayat sebelum dan sesudahnya, sangat jelas menggambarkan tentang sikap “Al ’Ulama”, yang senantiasa berupaya menepati tugas dan tanggung jawabnya dalam menjunjung tinggi Kalimatullah. Dan karena itu maka Rasulullah menjelaskan bahwa ‘Ulama itu adalah pemegang amanah Allah atas makhluknya [Surah Fathir(35) 34], dan sebagai pemegang amanah para Rasul [Surah Asy Syura(42) 13], sehingga akan senantiasa berupaya untuk mematuhi dan menepati batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah.
Pembahasan
Bahwa sebenarnya “Al ‘Ulama” adalah hamba Allah yang faqir, artinya senantiasa berharap keredlaan Allah dalam segala kiprah hidupnya untuk menepati pengabdiannya. Berarti kepribadian nya sudah harus terukur, bahwa cinta kepada Allah dan RasulNya dan jihad di jalanNya adalah diatas segalanya [Surah At Taubah(9) 24]. Inilah tatanan utama yang membuat Al ‘Ulama disebut Al’Arif dan Al ‘Khowasy, karena ketulusan hatinya dalam tha’at, sehingga berupaya sekuat mungkin menepati perintah Allah, untuk tidak akan mencampuradukkan antara yang haq dengan yang bathil [Surah Al Baqarah(2) 42]. Dengan demikian akan bermuatan makna antara lain:
1. Al‘Ulama dituntut kemampuannya dalam memahami beberapa batasan dari Allah, antara lain, Ketetapan Allah untuk memiliki “hija ban mastu ra” [Surah Al Isra’(17) 45]; Dengan itu akan mampu menjelaskan keberadaan sifat antagonistic antara As Siyasah dengan Politik.
2. Dituntut kemampuannya dalam mewaspadai diri terhadap keberadaan nafsu dan al’aqlu, yang antara keduanya ada pembatas [Surah Al Anfal(8) 24], yang dengan itu akan dapat melakukan pengkondisian terhadap Ummat Islam, agar tidak terpengaruh bisikan nafsu angkara murka [Surah Yusuf(12) 53]. Dan akan tetap mengutamakan cinta kasih terhadap ummat manusia, karena masalah manusia adalah topik utama dalam al Qur-an [Surah Al Maidah(5) 32].
Manakala hal tersebut telah faham, maka dengan mempedomani pada Kaidah Menejemen al Qur-an [Surah Al Furqon(25) 52] serta wujud dari menejemen al Qur-an [Surah An’am(6) 153], karena dihadapkan beberapa kenyataan, antara lain:
1. Dalam kehidupan global, secara pasti setiap Negara di dunia terjadi proses integrasi.
2. Dalam hubungan antar bangsa secara pasti terjadi proses ter-interdependensi, yaitu terjadi saling memberi dan menerima, antara lain dalam hal peradaban dan sebagainya.
Mengatasi hal tersebut, jelas tidak mungkin, ”selama para ‘Ulama hanya berfikir sebatas rumah tangga”. Karena yang dihadapi adalah 9 aktor intellektual yang dimotori oleh ”sistem Mafia” [Surah An Naml(27) 48-49]; Padahal kesemuanya itu tanggung jawabnya telah Allah dan Rasul tetapkan kepada “Al ‘Ulama”, dalam menjemput janji Allah yang telah ditetapkanNya [Surah At Taubah(9) 33].
Oleh karena itu perintah Allah yang ditujukan kepada para ‘Ulama menuntut kesiapan ‘Ulama untuk melakukan”ittifa qul ‘Ulama” [Surah Al Baqarah(2) 208], yang diprakarsai Dewan Perancang dan Panitia Pelaksana (anshorullah-) [Surah Ash Shaf(61) 14] dengan melalui proses “Mudzakarah ‘Ulama”.
Written by mubarki
www.al-ulama.net
Doa
Allah memerintahkan kita untuk senantiasa berdoa dan meminta pada-Nya. Karena dalam doa itu ada ketundukan dan kerendahan diri Dalam doa terselip rasa bahwa kita sedang menghamba pada Dzat Yang tangan-Nya senantiasa terbuka menerima permintaan hamba-Nya.
وقال ربكم ادعوني أستجب لكم إن الذين يستكبرون عن عبادتي سيدخلون جهنم داخرين
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina". (Ghafir : 60).
Allah memerintahkan kita untuk senantiasa berdoa dan meminta pada-Nya. Karena dalam doa itu ada ketundukan dan kerendahan diri Dalam doa terselip rasa bahwa kita sedang menghamba pada Dzat Yang tangan-Nya senantiasa terbuka menerima permintaan hamba-Nya. Dalam doa terkandung makna bahwa kita serba kurang dan tidak berkecukupan. Sehingga kita pantas menengadahkan tangan pada Sang Maha Kaya, Sang Maha Pemberi yang tatkala diminta semakin mencintai hamba-hamba-Nya.
Ustadz Samson Rahman
www.eramuslim.com
وقال ربكم ادعوني أستجب لكم إن الذين يستكبرون عن عبادتي سيدخلون جهنم داخرين
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina". (Ghafir : 60).
Allah memerintahkan kita untuk senantiasa berdoa dan meminta pada-Nya. Karena dalam doa itu ada ketundukan dan kerendahan diri Dalam doa terselip rasa bahwa kita sedang menghamba pada Dzat Yang tangan-Nya senantiasa terbuka menerima permintaan hamba-Nya. Dalam doa terkandung makna bahwa kita serba kurang dan tidak berkecukupan. Sehingga kita pantas menengadahkan tangan pada Sang Maha Kaya, Sang Maha Pemberi yang tatkala diminta semakin mencintai hamba-hamba-Nya.
Ustadz Samson Rahman
www.eramuslim.com
Hadis
Menurut para ulama, hadis adalah segala ucapan, perbuatan dan keadaan Nabi Muhammad SAW atau segala berita yang bersumber dari Rasulullah berupa ucapan, perbuatan, takrir (peneguhan kebenaran dengan alasan) maupun deskripsi sifat-sifat Nabi SAW. Menurut ahli ushul fikih, hadis berarti sehala berkataan, perbuatan dan takris Nabi SAW yang bersangkut paut dengan hukum.
Istilah lain untuk sebutan hadis ialah sunah, kabar dan asar. Menurut sebagian ulama, cakupan sunah lebih luas karena ia diberi pengertian segala yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, takrir, maupun pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup, baik itu terjadi sebelum masa kerasulan maupun sesudahnya. Selain itu, titik berat penekanan sunah adalah kebiasaan normatif Nabi SAW.
Asar yang juga berarti nukilan, lebih sering digunakan untuk sebutan bagi perkataan sahabat Nabi, meskipun kadang-kadang dinisbahkan kepada Nabi SAW. Misalnya, doa yang dinukilkan dari Nabi SAW disebut doa ma'sur. Dalam lingkup pengertian yang sudah dijelaskan, kata 'tradisi' juga dipakai sebagai padanan kata hadis.
Dilihat dari segi sumbernya, hadis dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni hadis qudsi dan hadis nabawi. Hadis qudsi yang juga disebut dengan istilah hadis Ilahi atau hadis rabbani, adalah suatu hadis yang berisi firman Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi SAW, kemudian Nabi menerangkannya dengan menggunakan susunan katanya sendiri serta menyandarkannya kepada Allah SWT.
Dengan kata lain, hadis qudsi ialah hadis yang maknanya berasal dari Allah SWT, sedangkan lafalnya berasal dari Nabi SAW. Dengan begitu, hadis qudsi berbeda dengan hadis nabawi yaitu hadis yang lafal maupun maknanya berasal dari Rasulullah sendiri.
Dari segi nilai sanad, hadis ada tiga macam, yaitu sahih, hasan dan daif. Hadis sahih adalah hadis yang memenuhi persyaratan, pertama, sanadnya bersambung, kedua, diriwayatkan oleh rawi yang adil, memiliki sifat istiqamah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah (kahormatan dirinya) dan dabit, ketiga, matan-nya tidak syadz (tidak mengandung kejanggalan-kejanggalan) serta tidak ber-illat (sebab-sebab yang tersembunyi atau tidak nyata yang mencacatkan hadis).
Hadis yang memiliki syarat-syarat tersebut juga disebut sahih li zatih. Tetapi bila kurang salah satu syarat tersebut, namun bisa ditutupi dengan cara lain, ia dinamakan sahih li gairih.
Hadis hasan adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil, tetapi tidak sempurna dabit-nya, serta matan-nya tidak syadz dan ber-illat. Hadis hasan dengan syarat-syarat demikian disebut hasan li zatih.
Adapun hadis daif (lemah) ialah hadis yang tidak memenuhi syarat sahih dan hasan. Pembagian hadis daif tidak sesederhana pembagian hadis sahih dan hasan karena kemungkinan kekurangan persyaratan sahih dan hasan itu sangat bervariasi. Karena itu, Ibnu Hibban, ahli hadis, menyebutkan bahwa hadis daif ada 49 macam.
Meskipun ini bukanlah pendapat mayoritas ulama hadis, hal itu dapat menggambarkan banyaknya macam hadis daif. Kebanyakan kepustakaan menyebutkan jumlahnya terbatas.
yus/disarikan dari buku Ensiklopedi Islam terbitan PT Ikhtiar Baru van Hoeve, Jakarta.
http://www.republika.co.id/berita/61446/Hadis
Istilah lain untuk sebutan hadis ialah sunah, kabar dan asar. Menurut sebagian ulama, cakupan sunah lebih luas karena ia diberi pengertian segala yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, takrir, maupun pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup, baik itu terjadi sebelum masa kerasulan maupun sesudahnya. Selain itu, titik berat penekanan sunah adalah kebiasaan normatif Nabi SAW.
Asar yang juga berarti nukilan, lebih sering digunakan untuk sebutan bagi perkataan sahabat Nabi, meskipun kadang-kadang dinisbahkan kepada Nabi SAW. Misalnya, doa yang dinukilkan dari Nabi SAW disebut doa ma'sur. Dalam lingkup pengertian yang sudah dijelaskan, kata 'tradisi' juga dipakai sebagai padanan kata hadis.
Dilihat dari segi sumbernya, hadis dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni hadis qudsi dan hadis nabawi. Hadis qudsi yang juga disebut dengan istilah hadis Ilahi atau hadis rabbani, adalah suatu hadis yang berisi firman Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi SAW, kemudian Nabi menerangkannya dengan menggunakan susunan katanya sendiri serta menyandarkannya kepada Allah SWT.
Dengan kata lain, hadis qudsi ialah hadis yang maknanya berasal dari Allah SWT, sedangkan lafalnya berasal dari Nabi SAW. Dengan begitu, hadis qudsi berbeda dengan hadis nabawi yaitu hadis yang lafal maupun maknanya berasal dari Rasulullah sendiri.
Dari segi nilai sanad, hadis ada tiga macam, yaitu sahih, hasan dan daif. Hadis sahih adalah hadis yang memenuhi persyaratan, pertama, sanadnya bersambung, kedua, diriwayatkan oleh rawi yang adil, memiliki sifat istiqamah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah (kahormatan dirinya) dan dabit, ketiga, matan-nya tidak syadz (tidak mengandung kejanggalan-kejanggalan) serta tidak ber-illat (sebab-sebab yang tersembunyi atau tidak nyata yang mencacatkan hadis).
Hadis yang memiliki syarat-syarat tersebut juga disebut sahih li zatih. Tetapi bila kurang salah satu syarat tersebut, namun bisa ditutupi dengan cara lain, ia dinamakan sahih li gairih.
Hadis hasan adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil, tetapi tidak sempurna dabit-nya, serta matan-nya tidak syadz dan ber-illat. Hadis hasan dengan syarat-syarat demikian disebut hasan li zatih.
Adapun hadis daif (lemah) ialah hadis yang tidak memenuhi syarat sahih dan hasan. Pembagian hadis daif tidak sesederhana pembagian hadis sahih dan hasan karena kemungkinan kekurangan persyaratan sahih dan hasan itu sangat bervariasi. Karena itu, Ibnu Hibban, ahli hadis, menyebutkan bahwa hadis daif ada 49 macam.
Meskipun ini bukanlah pendapat mayoritas ulama hadis, hal itu dapat menggambarkan banyaknya macam hadis daif. Kebanyakan kepustakaan menyebutkan jumlahnya terbatas.
yus/disarikan dari buku Ensiklopedi Islam terbitan PT Ikhtiar Baru van Hoeve, Jakarta.
http://www.republika.co.id/berita/61446/Hadis
Haji
Ibadah haji yang merupakan salah satu dari rukun islam ini tidaklah diwajibkan kecuali kepada setiap muslim yang berakal, baligh, merdeka serta memiliki kesanggupan untuk menunaikannya sebagaimana firman Allah swt :
وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ الله غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Artinya : “mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Al Imron : 97)
وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ الله غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Artinya : “mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Al Imron : 97)
Huruf-huruf dan Rohnya
Diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sedang menunaikan shalat. Tiba-tiba datang seseorang dengan nafas terengah-engah.
Lalu dia berkata,
"Allahu akbar Al-hamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubdrakan fihi"
(Allah Mahabesar, Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, baik, dan mengandung berkah).
Setelah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menyelesaikan shalatnya, beliau bertanya,
"Siapa di antara kamu yang telah mengucapkan kata-kata itu?"
Tetapi orang~orang itu diam saja.
Maka beliau bersabda,
"Dia tidak mengucapkan kejelekan."
Lalu orang itu berkata,
"Saya, wahai Rasulullah. Sayalah yang mengucapkannya."
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
"Saya melihat dua belas malaikat berlomba-lomba menghampiri ucapan itu untuk mengangkatnya."1)
(H.R.Muslim & Nasai')
http://akhirzaman.info/component/content/article/38-hadits/938-huruf-huruf-dan-rohnya
Lalu dia berkata,
"Allahu akbar Al-hamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubdrakan fihi"
(Allah Mahabesar, Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, baik, dan mengandung berkah).
Setelah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menyelesaikan shalatnya, beliau bertanya,
"Siapa di antara kamu yang telah mengucapkan kata-kata itu?"
Tetapi orang~orang itu diam saja.
Maka beliau bersabda,
"Dia tidak mengucapkan kejelekan."
Lalu orang itu berkata,
"Saya, wahai Rasulullah. Sayalah yang mengucapkannya."
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
"Saya melihat dua belas malaikat berlomba-lomba menghampiri ucapan itu untuk mengangkatnya."1)
(H.R.Muslim & Nasai')
http://akhirzaman.info/component/content/article/38-hadits/938-huruf-huruf-dan-rohnya
Syaitan Berada Dibelakang Sihir Hitam & Putih - Madaniyah
سُوۡرَةُ البَقَرَة
وَاتَّبَعُوۡا مَا تَتۡلُوۡا الشَّيٰطِيۡنُ عَلٰى مُلۡكِ سُلَيۡمٰنَۚ وَمَا کَفَرَ سُلَيۡمٰنُ وَلٰـكِنَّ الشَّيٰـطِيۡنَ كَفَرُوۡا يُعَلِّمُوۡنَ النَّاسَ السِّحۡرَ وَمَآ اُنۡزِلَ عَلَى الۡمَلَـکَيۡنِ بِبَابِلَ هَارُوۡتَ وَمَارُوۡتَؕ وَمَا يُعَلِّمٰنِ مِنۡ اَحَدٍ حَتّٰى يَقُوۡلَاۤ اِنَّمَا نَحۡنُ فِتۡنَةٌ فَلَا تَكۡفُرۡؕ فَيَتَعَلَّمُوۡنَ مِنۡهُمَا مَا يُفَرِّقُوۡنَ بِهٖ بَيۡنَ الۡمَرۡءِ وَ زَوۡجِهٖؕ وَمَا هُمۡ بِضَآرِّيۡنَ بِهٖ مِنۡ اَحَدٍ اِلَّا بِاِذۡنِ اللّٰهِؕ وَيَتَعَلَّمُوۡنَ مَا يَضُرُّهُمۡ وَلَا يَنۡفَعُهُمۡؕ وَلَقَدۡ عَلِمُوۡا لَمَنِ اشۡتَرٰٮهُ مَا لَهٗ فِىۡ الۡاٰخِرَةِ مِنۡ خَلَاقٍؕ وَلَبِئۡسَ مَا شَرَوۡا بِهٖۤ اَنۡفُسَهُمۡؕ لَوۡ کَانُوۡا يَعۡلَمُوۡنَ﴿۱۰۲﴾
"Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (Tidak mengerjakan sihir), Hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malak di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malak itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, Sesungguhnya mereka Telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui."
(Q.S. Al-Baqarah 2:102)
وَاتَّبَعُوۡا مَا تَتۡلُوۡا الشَّيٰطِيۡنُ عَلٰى مُلۡكِ سُلَيۡمٰنَۚ وَمَا کَفَرَ سُلَيۡمٰنُ وَلٰـكِنَّ الشَّيٰـطِيۡنَ كَفَرُوۡا يُعَلِّمُوۡنَ النَّاسَ السِّحۡرَ وَمَآ اُنۡزِلَ عَلَى الۡمَلَـکَيۡنِ بِبَابِلَ هَارُوۡتَ وَمَارُوۡتَؕ وَمَا يُعَلِّمٰنِ مِنۡ اَحَدٍ حَتّٰى يَقُوۡلَاۤ اِنَّمَا نَحۡنُ فِتۡنَةٌ فَلَا تَكۡفُرۡؕ فَيَتَعَلَّمُوۡنَ مِنۡهُمَا مَا يُفَرِّقُوۡنَ بِهٖ بَيۡنَ الۡمَرۡءِ وَ زَوۡجِهٖؕ وَمَا هُمۡ بِضَآرِّيۡنَ بِهٖ مِنۡ اَحَدٍ اِلَّا بِاِذۡنِ اللّٰهِؕ وَيَتَعَلَّمُوۡنَ مَا يَضُرُّهُمۡ وَلَا يَنۡفَعُهُمۡؕ وَلَقَدۡ عَلِمُوۡا لَمَنِ اشۡتَرٰٮهُ مَا لَهٗ فِىۡ الۡاٰخِرَةِ مِنۡ خَلَاقٍؕ وَلَبِئۡسَ مَا شَرَوۡا بِهٖۤ اَنۡفُسَهُمۡؕ لَوۡ کَانُوۡا يَعۡلَمُوۡنَ﴿۱۰۲﴾
"Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (Tidak mengerjakan sihir), Hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malak di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malak itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, Sesungguhnya mereka Telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui."
(Q.S. Al-Baqarah 2:102)
Manusia
Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (1)
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur [3] yang Kami hendak mengujinya [dengan perintah dan larangan], karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (2)
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (3)
Jujur
Dari Abdullah (bin Mas'ud) radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya kejujuran menuntun kepada kebaikan, sesungguhnya kebaikan itu mengantarkan ke surga. Seseorang senantiasa bersikap jujur dan benar-benar suka jujur sehingga ia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur. Dan sesungguhnya dusta itu menuntun kepada kejahatan. Dan kejahatan itu membawa ke neraka. Seseorang senantiasa berdusta dan benar-benar berdusta sehingga ia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang pendusta.
[HR. Bukhari]
[HR. Bukhari]
Pribadi Al-Akh yang diinginkan oleh Ikhwanul Muslimin
Bahwa karakter dan pribadi Qur’ani adalah merupakan sosok yang terbaik dari berbagai sisi dan lininya, sarana untuk melakukan perbaikan terhadap hati dan jasadnya, yang berusaha menjadikan dunia sebagai ladang kebaikan untuk dirinya tanpa melupakan bagiannya di akhirat kelak, selalu mengumandangkan ikrar setiap pagi dan petang
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ
“Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam”. (Al-An’am:162).
Bukan shalatnya dan ibadahnya saja untuk dan karena Allah, namun hidupnya secara keseluruhan untuk dan karena Allah dan bahkan matinya juga hanya untuk dan karena Allah Tuhan semesta alam.
Demikianlah sosok, pribadi dan karakter yang diinginkan oleh Ikhwanul Muslimin, sebagaimana yang dibentuk oleh Al-Qur’an Al-Karim, sehingga dengan demikian mampu mencerahkan kehidupannya dan menghadirkan nikmat dunia, dengan amal yang sungguh-sungguh dan dakwah kepada Allah yang berkesinambungan dengan penuh bashirah (kejelian), sehingga Allah berkenan menampakkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan menghancurkan tipu daya orang-orang kafir, maka dari itu ambillah Al-Qur’an wahai Ikhwan dan genggamlah, pahamilah dan berinteraksilah dengan baik pada ilmu dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya, beretikalah dengan etika yang ada di dalamnya, realisasikanlah dalam kehidupan nyata kalian akan makna yang selalu kalian kumandangkan “Al-Qur’an adalah dustur (petunjuk dan undang-undang) kami” niscaya Allah akan selalu bersama kalian dan tidak menyia-nyiakan amal perbuatan kalian.
http://www.al-ikhwan.net/suara-dari-dalam-hati-2-al-akh-al-qurani-2801/
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ
“Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam”. (Al-An’am:162).
Bukan shalatnya dan ibadahnya saja untuk dan karena Allah, namun hidupnya secara keseluruhan untuk dan karena Allah dan bahkan matinya juga hanya untuk dan karena Allah Tuhan semesta alam.
Demikianlah sosok, pribadi dan karakter yang diinginkan oleh Ikhwanul Muslimin, sebagaimana yang dibentuk oleh Al-Qur’an Al-Karim, sehingga dengan demikian mampu mencerahkan kehidupannya dan menghadirkan nikmat dunia, dengan amal yang sungguh-sungguh dan dakwah kepada Allah yang berkesinambungan dengan penuh bashirah (kejelian), sehingga Allah berkenan menampakkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan menghancurkan tipu daya orang-orang kafir, maka dari itu ambillah Al-Qur’an wahai Ikhwan dan genggamlah, pahamilah dan berinteraksilah dengan baik pada ilmu dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya, beretikalah dengan etika yang ada di dalamnya, realisasikanlah dalam kehidupan nyata kalian akan makna yang selalu kalian kumandangkan “Al-Qur’an adalah dustur (petunjuk dan undang-undang) kami” niscaya Allah akan selalu bersama kalian dan tidak menyia-nyiakan amal perbuatan kalian.
http://www.al-ikhwan.net/suara-dari-dalam-hati-2-al-akh-al-qurani-2801/
Ruh Orang yang Meninggal Dunia
Allah swt. berfirman:
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka dia tahanlah jiwa (orang) yang telah dia tetapkan kematiannya dan dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.” (QS. Az Zumar : 42)
Ibnu Qoyyim menyebutkan riwaayat dari Ibnu Abbas tentang ayat ini, dia,”Telah sampai kepadaku bahwa roh orang-orang yang masih hidup dan roh orang-orang yang sudah mati bisa bertemu didalam mimpi. Mereka saling bertanya lalu Allah swt menahan roh orang-orang yang sudah mati dan melepaskan roh orang-orang yang masih hidup menemui jasadnya.”
Ibnu Abi Hatim didalam tafsirnya menyebutkan riwayat dari as Suddiy tentang makna firman Allah swt “dan jiwa yang belum mati di waktu tidurnya” adalah mematikannya saat tidurnya lalu roh orang yang masih hidup bertemu dengan roh orang yang sudah mati dan mereka saling berbincang, berkenalan. Dia mengatakan,”lalu roh orang yang masih hidup dikembalikan kepada jasadnya di dunia hingga sisa waktu yang telah ditentukan sementara itu roh orang yang sudah mati menginginkan kembali ke jasadnya namun dia tertahan.”
www.eramuslim.com
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka dia tahanlah jiwa (orang) yang telah dia tetapkan kematiannya dan dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.” (QS. Az Zumar : 42)
Ibnu Qoyyim menyebutkan riwaayat dari Ibnu Abbas tentang ayat ini, dia,”Telah sampai kepadaku bahwa roh orang-orang yang masih hidup dan roh orang-orang yang sudah mati bisa bertemu didalam mimpi. Mereka saling bertanya lalu Allah swt menahan roh orang-orang yang sudah mati dan melepaskan roh orang-orang yang masih hidup menemui jasadnya.”
Ibnu Abi Hatim didalam tafsirnya menyebutkan riwayat dari as Suddiy tentang makna firman Allah swt “dan jiwa yang belum mati di waktu tidurnya” adalah mematikannya saat tidurnya lalu roh orang yang masih hidup bertemu dengan roh orang yang sudah mati dan mereka saling berbincang, berkenalan. Dia mengatakan,”lalu roh orang yang masih hidup dikembalikan kepada jasadnya di dunia hingga sisa waktu yang telah ditentukan sementara itu roh orang yang sudah mati menginginkan kembali ke jasadnya namun dia tertahan.”
www.eramuslim.com
Syirik Termasuk Kezhaliman yang Sangat Besar
عن ابن مسعود – ر – لَمَّا نَزَّلَتْ هذه الأيةُ ( 6 : 82 ), شَكّ ذلِكَ على النّاسِ فَقَا لوا يا رسول الله وا َيّنا لا يَظْلِمُ نَفْسَهُ ؟ قال : اِنّه ليس الذلى تَعْنُونً. اَلَمْ تَسْمَعُوا ما قال العَبْدُ الصّالحُ (31: 13) انّمَا هو الشِّرْكُ . (متفق عليه)
Dari Ibnu Mas’ud r.a. : “Ketika turun ayat ini (Q.S. 6 : 82) menjadi resah yang demikian itu atas manusia. Maka mereka berkata : “Ya Rasul, siapakah di antara kita ini yang tidak mendhalimi dirinya ? Bersabda : “Sesungguhnya bukan yang kamu maksudkan itu (atau kamu fahami), belumkah kamu mendengar apa yang dikatakan oleh seorang hamba yang shaleh (Q.s. 31 : 13) Adapun sebenarnya dimaksudkan adalah syirik” (Mutafaqun alaihi)
Written by sekret
www.al-ulama.net
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman [syirik], mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (6 : 82)
Dan [ingatlah] ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan [Allah] sesungguhnya mempersekutukan [Allah] adalah benar-benar kezaliman yang besar". (31 : 13)
Dari Ibnu Mas’ud r.a. : “Ketika turun ayat ini (Q.S. 6 : 82) menjadi resah yang demikian itu atas manusia. Maka mereka berkata : “Ya Rasul, siapakah di antara kita ini yang tidak mendhalimi dirinya ? Bersabda : “Sesungguhnya bukan yang kamu maksudkan itu (atau kamu fahami), belumkah kamu mendengar apa yang dikatakan oleh seorang hamba yang shaleh (Q.s. 31 : 13) Adapun sebenarnya dimaksudkan adalah syirik” (Mutafaqun alaihi)
Written by sekret
www.al-ulama.net
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman [syirik], mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (6 : 82)
Dan [ingatlah] ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan [Allah] sesungguhnya mempersekutukan [Allah] adalah benar-benar kezaliman yang besar". (31 : 13)
Cara Menutupi Fitnah
عن حزيفة ابنُ اليَمَان قال : كان النَّبِىَّ صلعم قال : فِتْنَةُ الرَّجُلِ فى اَهْلِهِ و مَالِهِ و وَلِدِهِ و نَفْسِهِ و جَارِهِ و يُكََفِّرْها الصِّيَامُ و الصَّلا ةُ و الصَّدَقَةُ و الآمْرُ بالمَعْرُوفِ و النَّهْيُ عنِ المُنْكَرِ (الـبـخـارى)
Dari Hudzaifah bin Yaman berkata : “Adalah Nabi bersabda : “Fitnah sekarang dalam hal menghadapi keluarganya dan hartanya dan anak-anaknya dan dirinya dan tetangganya, niscaya dapat ditutup dia dengan syiyam dan shalat dan shadaqah dan memerintah dengan kebajikan dan mencegah dari yang mungkar.”
Jadi antisipasinya adalah Pendekatan Kepada Allah / taqarrub ilallah. Dan hadits ini terkait dengan Q.S. At Taqhabun (64) : 15-16.
Written by sekret
www.al-ulama.net
Dari Hudzaifah bin Yaman berkata : “Adalah Nabi bersabda : “Fitnah sekarang dalam hal menghadapi keluarganya dan hartanya dan anak-anaknya dan dirinya dan tetangganya, niscaya dapat ditutup dia dengan syiyam dan shalat dan shadaqah dan memerintah dengan kebajikan dan mencegah dari yang mungkar.”
Jadi antisipasinya adalah Pendekatan Kepada Allah / taqarrub ilallah. Dan hadits ini terkait dengan Q.S. At Taqhabun (64) : 15-16.
Written by sekret
www.al-ulama.net
Subscribe to:
Posts (Atom)