Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri China
Setiap orang pasti telah mengetahui perkataan ini.
اُطْلُبُوْا العِلْمَ وَلَوْ في الصِّينِ
“Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China.”
Inilah yang dianggap oleh sebagian orang sebagai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun perlu diingat bahwa setiap buah yang akan dipanen tidak semua bisa dimakan, ada yang sudah matang dan keadaannya baik, namun ada pula buah yang dalam keadaan busuk.
Begitu pula halnya dengan hadits. Tidak semua perkataan yang disebut hadits bisa kita katakan bahwa itu adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh jadi yang meriwayatkan hadits tersebut ada yang lemah hafalannya, sering keliru, bahkan mungkin sering berdusta sehingga membuat hadits tersebut tertolak atau tidak bisa digunakan. Itulah yang akan kita kaji pada kesempatan kali ini yaitu meneliti keabsahan hadits di atas sebagaimana penjelasan para ulama pakar hadits. Penjelasan yang akan kami nukil pada posting kali ini adalah penjelasan dari ulama besar Saudi Arabia dan termasuk pakar hadits, yaitu Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah. Beliau rahimahullah pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi. Semoga Allah memberi kemudahan dalam hal ini.
Penjelasan Derajat Hadits
Mayoritas ulama pakar hadits menilai bahwa hadits ini adalah hadits dho’if (lemah) dilihat dari banyak jalan.
Syaikh Isma’il bin Muhammad Al ‘Ajlawaniy rahimahullah telah membahas panjang lebar mengenai derajat hadits ini dalam kitabnya ‘Mengungkap kesamaran dan menghilangkan kerancuan terhadap hadits-hadits yang sudah terkenal dan dikatakan sebagai perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam‘ pada index huruf hamzah dan tho’. Dalam kitab beliau tersebut, beliau mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi, Al Khotib Al Baghdadi, Ibnu ‘Abdil Barr, Ad Dailamiy dan selainnya, dari Anas radhiyallahu ‘anhu. Lalu beliau menegaskan lemahnya (dho’ifnya) riwayat ini. Dinukil pula dari Ibnu Hibban –pemilik kitab Shohih-, beliau menyebutkan tentang batilnya hadits ini. Sebagaimana pula hal ini dinukil dari Ibnul Jauziy, beliau memasukkan hadits ini dalam Mawdhu’at (kumpulan hadits palsu).
Dinukil dari Al Mizziy bahwa hadits ini memiliki banyak jalan, sehingga bisa naik ke derajat hasan.
Adz Dzahabiy mengumpulkan riwayat hadits ini dari banyak jalan. Beliau mengatakan bahwa sebagian riwayat hadits ini ada yang lemah (wahiyah) dan sebagian lagi dinilai baik (sholih).
Dengan demikian semakin jelaslah bagi para penuntut ilmu mengenai status hadits ini. Mayoritas ulama menilai hadits ini sebagai hadits dho’if (lemah). Ibnu Hibban menilai hadits ini adalah hadits yang bathil. Sedangkan Ibnul Jauziy menilai bahwa hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu).
Adapun perkataan Al Mizziy yang mengatakan bahwa hadits ini bisa diangkat hingga derajat hasan karena dilihat dari banyak jalan, pendapat ini tidaklah bagus (kurang tepat). Alasannya, karena banyak jalur dari hadits ini dipenuhi oleh orang-orang pendusta, yang dituduh dusta, suka memalsukan hadits dan semacamnya. Sehingga hadits ini tidak mungkin bisa terangkat sampai derajat hasan.
Adapun Al Hafizh Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan bahwa sebagian jalan dari hadits ini ada yang sholih (dinilai baik). Maka kita terlebih dahulu melacak jalur yang dikatakan sholih ini sampai jelas status dari periwayat-periwayat dalam hadits ini. Namun dalam kasus semacam ini, penilaian negatif terhadap hadits ini (jarh) lebih didahulukan daripada penilaian positif (ta’dil) dan penilaian dho’if terhadap hadits lebih harus didahulukan daripada penilaian shohih sampai ada kejelasan shohihnya hadits ini dari sisi sanadnya. Dan syarat hadits dikatakan shohih adalah semua periwayat dalam hadits tersebut adalah adil (baik agamanya), dhobith (kuat hafalannya), sanadnya bersambung, tidak menyelisihi riwayat yang lebih kuat, dan tidak ada illah (cacat). Inilah syarat-syarat yang dijelaskan oleh para ulama dalam kitab-kitab Mustholah Hadits (memahami ilmu hadits).
Seandainya Hadits Ini Shohih
Seandainya hadits ini shohih, maka ini tidak menunjukkan kemuliaan negeri China dan juga tidak menunjukkan kemuliaan masyarakat China. Karena maksud dari ‘Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China’ –seandainya hadits ini shohih- adalah cuma sekedar motivasi untuk menuntut ilmu agama walaupun sangat jauh tempatnya. Karena menuntut ilmu agama sangat urgen sekali. Kebaikan di dunia dan akhirat bisa diperoleh dengan mengilmui agama ini dan mengamalkannya.
Dan tidak dimaksudkan sama sekali dalam hadits ini mengenai keutamaan negeri China. Namun, karena negeri China adalah negeri yang sangat jauh sekali dari negeri Arab sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan dengan negeri tersebut. Tetapi perlu diingat sekali lagi, ini jika hadits tadi adalah hadits yang shohih. Penjelasan ini kami rasa sudah sangat jelas dan gamblang bagi yang betul-betul merenungkannya.
Wallahu waliyyut taufiq.
Sumber: Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 22/233-234, Asy Syamilah
Keterangan:
1. Hadits shohih adalah hadist yang memenuhi syarat: semua periwayat dalam hadits tersebut adalah adil (baik agamanya), dhobith (kuat hafalannya), sanadnya bersambung, tidak menyelisihi riwayat yang lebih kuat, dan tidak ada illah (cacat).
2. Hadits hasan adalah hadits yang memenuhi syarat shohih di atas, namun ada kekurangan dari sisi dhobith (kuatnya hafalan).
3. Hadits dho’if (lemah) adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih seperti sanadnya terputus, menyelisihi riwayat yang lebih kuat (lebih shohih) dan memiliki illah (cacat).
Pangukan, Sleman, 13 Muharram 1430 H
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
اُطْلُبُوْا العِلْمَ وَلَوْ في الصِّينِ
“Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China.”
Inilah yang dianggap oleh sebagian orang sebagai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun perlu diingat bahwa setiap buah yang akan dipanen tidak semua bisa dimakan, ada yang sudah matang dan keadaannya baik, namun ada pula buah yang dalam keadaan busuk.
Begitu pula halnya dengan hadits. Tidak semua perkataan yang disebut hadits bisa kita katakan bahwa itu adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh jadi yang meriwayatkan hadits tersebut ada yang lemah hafalannya, sering keliru, bahkan mungkin sering berdusta sehingga membuat hadits tersebut tertolak atau tidak bisa digunakan. Itulah yang akan kita kaji pada kesempatan kali ini yaitu meneliti keabsahan hadits di atas sebagaimana penjelasan para ulama pakar hadits. Penjelasan yang akan kami nukil pada posting kali ini adalah penjelasan dari ulama besar Saudi Arabia dan termasuk pakar hadits, yaitu Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah. Beliau rahimahullah pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi. Semoga Allah memberi kemudahan dalam hal ini.
Penjelasan Derajat Hadits
Mayoritas ulama pakar hadits menilai bahwa hadits ini adalah hadits dho’if (lemah) dilihat dari banyak jalan.
Syaikh Isma’il bin Muhammad Al ‘Ajlawaniy rahimahullah telah membahas panjang lebar mengenai derajat hadits ini dalam kitabnya ‘Mengungkap kesamaran dan menghilangkan kerancuan terhadap hadits-hadits yang sudah terkenal dan dikatakan sebagai perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam‘ pada index huruf hamzah dan tho’. Dalam kitab beliau tersebut, beliau mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi, Al Khotib Al Baghdadi, Ibnu ‘Abdil Barr, Ad Dailamiy dan selainnya, dari Anas radhiyallahu ‘anhu. Lalu beliau menegaskan lemahnya (dho’ifnya) riwayat ini. Dinukil pula dari Ibnu Hibban –pemilik kitab Shohih-, beliau menyebutkan tentang batilnya hadits ini. Sebagaimana pula hal ini dinukil dari Ibnul Jauziy, beliau memasukkan hadits ini dalam Mawdhu’at (kumpulan hadits palsu).
Dinukil dari Al Mizziy bahwa hadits ini memiliki banyak jalan, sehingga bisa naik ke derajat hasan.
Adz Dzahabiy mengumpulkan riwayat hadits ini dari banyak jalan. Beliau mengatakan bahwa sebagian riwayat hadits ini ada yang lemah (wahiyah) dan sebagian lagi dinilai baik (sholih).
Dengan demikian semakin jelaslah bagi para penuntut ilmu mengenai status hadits ini. Mayoritas ulama menilai hadits ini sebagai hadits dho’if (lemah). Ibnu Hibban menilai hadits ini adalah hadits yang bathil. Sedangkan Ibnul Jauziy menilai bahwa hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu).
Adapun perkataan Al Mizziy yang mengatakan bahwa hadits ini bisa diangkat hingga derajat hasan karena dilihat dari banyak jalan, pendapat ini tidaklah bagus (kurang tepat). Alasannya, karena banyak jalur dari hadits ini dipenuhi oleh orang-orang pendusta, yang dituduh dusta, suka memalsukan hadits dan semacamnya. Sehingga hadits ini tidak mungkin bisa terangkat sampai derajat hasan.
Adapun Al Hafizh Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan bahwa sebagian jalan dari hadits ini ada yang sholih (dinilai baik). Maka kita terlebih dahulu melacak jalur yang dikatakan sholih ini sampai jelas status dari periwayat-periwayat dalam hadits ini. Namun dalam kasus semacam ini, penilaian negatif terhadap hadits ini (jarh) lebih didahulukan daripada penilaian positif (ta’dil) dan penilaian dho’if terhadap hadits lebih harus didahulukan daripada penilaian shohih sampai ada kejelasan shohihnya hadits ini dari sisi sanadnya. Dan syarat hadits dikatakan shohih adalah semua periwayat dalam hadits tersebut adalah adil (baik agamanya), dhobith (kuat hafalannya), sanadnya bersambung, tidak menyelisihi riwayat yang lebih kuat, dan tidak ada illah (cacat). Inilah syarat-syarat yang dijelaskan oleh para ulama dalam kitab-kitab Mustholah Hadits (memahami ilmu hadits).
Seandainya Hadits Ini Shohih
Seandainya hadits ini shohih, maka ini tidak menunjukkan kemuliaan negeri China dan juga tidak menunjukkan kemuliaan masyarakat China. Karena maksud dari ‘Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China’ –seandainya hadits ini shohih- adalah cuma sekedar motivasi untuk menuntut ilmu agama walaupun sangat jauh tempatnya. Karena menuntut ilmu agama sangat urgen sekali. Kebaikan di dunia dan akhirat bisa diperoleh dengan mengilmui agama ini dan mengamalkannya.
Dan tidak dimaksudkan sama sekali dalam hadits ini mengenai keutamaan negeri China. Namun, karena negeri China adalah negeri yang sangat jauh sekali dari negeri Arab sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan dengan negeri tersebut. Tetapi perlu diingat sekali lagi, ini jika hadits tadi adalah hadits yang shohih. Penjelasan ini kami rasa sudah sangat jelas dan gamblang bagi yang betul-betul merenungkannya.
Wallahu waliyyut taufiq.
Sumber: Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 22/233-234, Asy Syamilah
Keterangan:
1. Hadits shohih adalah hadist yang memenuhi syarat: semua periwayat dalam hadits tersebut adalah adil (baik agamanya), dhobith (kuat hafalannya), sanadnya bersambung, tidak menyelisihi riwayat yang lebih kuat, dan tidak ada illah (cacat).
2. Hadits hasan adalah hadits yang memenuhi syarat shohih di atas, namun ada kekurangan dari sisi dhobith (kuatnya hafalan).
3. Hadits dho’if (lemah) adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih seperti sanadnya terputus, menyelisihi riwayat yang lebih kuat (lebih shohih) dan memiliki illah (cacat).
Pangukan, Sleman, 13 Muharram 1430 H
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Bahasa Arab Untuk Anak-Anak
Segala Puji bagi Allah ta’ala yang telah menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa arab. Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Al-Qur’an adalah mukjizat paling agung yang menunjukkan akan benarnya risalah yang dibawa Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bahkan kalangan jin pun sampai kagum dengan keindahan bahasa Al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman dalam surat al-Jinn,
قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا . يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَلَنْ نُشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا
“Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran), lalu mereka berkata: Sesungguhnya Kami telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kapada jalan yang benar, lalu Kami beriman kepadanya. dan Kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorangpun dengan Tuhan Kami.”. (Al-Jin [72]: 1-2)
Tak seorang pun yang mampu mendatangkan satu ayat pun yang semisal Al-Qur’an, Allah ta’ala berfirman,
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الإنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
“Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”.” (QS. Al-Israa [17]: 88)
Allah ta’ala telah menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa arab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan wahyu, membimbing para sahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in dengan bahasa arab, begitupula generasi terbaik umat ini, mereka juga saling berkomunikasi dengan bahasa arab. Maka tidak mungkin bagi kita untuk bisa memahami dengan baik dua wahyu Allah (Al Qur’an dan As Sunnah), sesuai dengan pemahaman yang benar dari para sahabat dan ulama-ulama yang berpegang teguh dengan tuntunan mereka kecuali dengan mempelajari bahasa arab.
Mempelajari bahasa arab adalah perkara yang amat penting. Sungguh sangat menyedihkan bahwa kebanyakan kaum muslimin berpaling dari mempelajari bahasa arab. Kebanyakan kaum muslimin sekarang lebih berbangga apabila bisa berbicara dengan bahasa asing, dengan bahasa inggris, jerman dan seterusnya, bahkan putra-putri mereka pun dididik dengan bahasa asing supaya tidak ketinggalan zaman, dan yang paling menyedihkannya adalah mereka sama sekali tidak berupaya agar putra-putri mereka mempelajari bahasa arab. Laa haula walaa quwwata illa billah…
Kalau keadaan kaum muslimin seperti ini, bagaimana akan tercetak generasi Islam yang cinta Allah dan Rasul-Nya? Bisa dibayangkan bila ini berlangsung terus akan menyebabkan mereka terombang ambing dalam gelombang syubhat dan syahwat. Bagaimana mungkin mereka akan mampu membela Islam dengan benar kalau aqidahnya rapuh, kalau mereka sendiri tidak di didik diatas tuntunan islam, di atas tuntunan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Untuk para orang tua:
* Perhatikanlah pendidikan anak-anakmu. Janganlah kau terlantarkan pendidikan mereka, pendidikan yang paling penting bagi mereka adalah pengajaran aqidah yang benar, tanamkan aqidah tersebut pada benak mereka.
* Ajarkan mereka Al-Qur’an sejak dini. Bangkitkan kecintaan mereka terhadap Al-Qur’an.
* Ajarkanlah mereka hadits-hadits dari Rasulullah, biasakan mereka untuk mendengar hadits-hadits tersebut.
* Perkenalkan putra-putri anda bahasa arab. Karena itu merupakan bahasa Al-Qur’an. Ajarkan sejak dini, sejak anak bisa berbicara maka latihlah dia untuk belajar bahasa arab.
* Karena mengajar anak di waktu kecil bagaikan mengukir diatas batu. Sedikit demi sedikit. Ketika anak sudah paham nama-nama benda, ajarkan bahasa arabnya.
Misalnya ketika anak melihat ke langit maka kita ajarkan bahwa langit bahasa arabnya adalah “samaa’un”, kalau anak melihat buku maka kita ajarkan bahwa bahasa arabnya buku adalah “kitaabun”, kalau anak sedang memperhatikan tangannya, kita ajarkan bahwa bahasa arab tangan adalah “yadun” dan seterusnya. Dengan diperkenalkan dan melihat langsung wujud aslinya akan sangat membantu anak cepat hafal yang diajarkan.
Maka, marilah kita perkenalkan bahasa Arab sejak dini kepada anak-anak kita. Semoga kelak mereka menjadi anak yang bertakwa, cinta Al-Quran, cinta al-Hadits, menjadi salah satu penegak panji islam dan menjadi penduduk surga-Nya Allah ta’ala kelak, aamiin.
http://badar.muslim.or.id/artikel/bahasa-arab-untuk-anak-anak.html
Bahkan kalangan jin pun sampai kagum dengan keindahan bahasa Al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman dalam surat al-Jinn,
قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا . يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَلَنْ نُشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا
“Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran), lalu mereka berkata: Sesungguhnya Kami telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kapada jalan yang benar, lalu Kami beriman kepadanya. dan Kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorangpun dengan Tuhan Kami.”. (Al-Jin [72]: 1-2)
Tak seorang pun yang mampu mendatangkan satu ayat pun yang semisal Al-Qur’an, Allah ta’ala berfirman,
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الإنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
“Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”.” (QS. Al-Israa [17]: 88)
Allah ta’ala telah menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa arab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan wahyu, membimbing para sahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in dengan bahasa arab, begitupula generasi terbaik umat ini, mereka juga saling berkomunikasi dengan bahasa arab. Maka tidak mungkin bagi kita untuk bisa memahami dengan baik dua wahyu Allah (Al Qur’an dan As Sunnah), sesuai dengan pemahaman yang benar dari para sahabat dan ulama-ulama yang berpegang teguh dengan tuntunan mereka kecuali dengan mempelajari bahasa arab.
Mempelajari bahasa arab adalah perkara yang amat penting. Sungguh sangat menyedihkan bahwa kebanyakan kaum muslimin berpaling dari mempelajari bahasa arab. Kebanyakan kaum muslimin sekarang lebih berbangga apabila bisa berbicara dengan bahasa asing, dengan bahasa inggris, jerman dan seterusnya, bahkan putra-putri mereka pun dididik dengan bahasa asing supaya tidak ketinggalan zaman, dan yang paling menyedihkannya adalah mereka sama sekali tidak berupaya agar putra-putri mereka mempelajari bahasa arab. Laa haula walaa quwwata illa billah…
Kalau keadaan kaum muslimin seperti ini, bagaimana akan tercetak generasi Islam yang cinta Allah dan Rasul-Nya? Bisa dibayangkan bila ini berlangsung terus akan menyebabkan mereka terombang ambing dalam gelombang syubhat dan syahwat. Bagaimana mungkin mereka akan mampu membela Islam dengan benar kalau aqidahnya rapuh, kalau mereka sendiri tidak di didik diatas tuntunan islam, di atas tuntunan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Untuk para orang tua:
* Perhatikanlah pendidikan anak-anakmu. Janganlah kau terlantarkan pendidikan mereka, pendidikan yang paling penting bagi mereka adalah pengajaran aqidah yang benar, tanamkan aqidah tersebut pada benak mereka.
* Ajarkan mereka Al-Qur’an sejak dini. Bangkitkan kecintaan mereka terhadap Al-Qur’an.
* Ajarkanlah mereka hadits-hadits dari Rasulullah, biasakan mereka untuk mendengar hadits-hadits tersebut.
* Perkenalkan putra-putri anda bahasa arab. Karena itu merupakan bahasa Al-Qur’an. Ajarkan sejak dini, sejak anak bisa berbicara maka latihlah dia untuk belajar bahasa arab.
* Karena mengajar anak di waktu kecil bagaikan mengukir diatas batu. Sedikit demi sedikit. Ketika anak sudah paham nama-nama benda, ajarkan bahasa arabnya.
Misalnya ketika anak melihat ke langit maka kita ajarkan bahwa langit bahasa arabnya adalah “samaa’un”, kalau anak melihat buku maka kita ajarkan bahwa bahasa arabnya buku adalah “kitaabun”, kalau anak sedang memperhatikan tangannya, kita ajarkan bahwa bahasa arab tangan adalah “yadun” dan seterusnya. Dengan diperkenalkan dan melihat langsung wujud aslinya akan sangat membantu anak cepat hafal yang diajarkan.
Maka, marilah kita perkenalkan bahasa Arab sejak dini kepada anak-anak kita. Semoga kelak mereka menjadi anak yang bertakwa, cinta Al-Quran, cinta al-Hadits, menjadi salah satu penegak panji islam dan menjadi penduduk surga-Nya Allah ta’ala kelak, aamiin.
http://badar.muslim.or.id/artikel/bahasa-arab-untuk-anak-anak.html
Kiat Sukses Belajar Bahasa Arab
Berikut ini sebagian kiat yang bisa dilakukan untuk mempercepat penguasaan kaidah bahasa Arab. Kami menuliskannya berdasarkan pengalaman kami sendiri mengajar bahasa Arab dan membaca kitab sejak beberapa tahun lamanya -walhamdulillah-:
1. Hendaknya kita mengikhlaskan niat dalam belajar untuk menunaikan kewajiban kita kepada Allah dan membekali diri dengan ilmu agar bisa beramal saleh. Karena amal tidak akan diterima tanpa niat dan cara yang benar. Sementara niat dan cara yang benar tidak akan diperoleh kecuali dengan ilmu. Oleh sebab itu imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab dalam Kitabul Ilmi di kitab sahih Bukhari yang berjudul ‘Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan’. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan (yang benar) selain Allah dan mintalah ampunan untuk dosamu…” (QS. Muhammad: 19). Selain itu hendaknya kita berdoa kepada Allah untuk diberikan ilmu yang bermanfaat.
2. Sebelum lebih jauh mempelajari kaidah bahasa Arab maka sudah semestinya kita mempelajari cara membaca Al-Qur’an dengan benar sesuai dengan hukum-hukum tajwid agar tidak salah dalam membaca atau mengucapkan. Padahal, salah baca atau salah ucap akan menimbulkan perbedaan makna bahkan memutarbalikkan fakta. Suatu kata yang seharusnya berkedudukan sebagai pelaku berubah menjadi objek dan seterusnya. Tentu saja hal ini -membaca dengan benar serta mengikuti kaidah- tidak bisa disepelekan.
3. Menambah kosakata merupakan salah satu sebab utama untuk melancarkan proses belajar kaidah dan membaca kitab. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membeli Kamus Bahasa Arab-Indonesia seperti Al-Munawwir, atau dengan membeli kamus kecil Al-Mufradat yang berisi kosakata yang sering digunakan dalam kitab-kitab para ulama. Selain itu bisa juga dengan membeli satu jenis buku dengan 2 versi; asli bahasa Arab dan terjemahan. Dengan memiliki kitab berbahasa Arab akan memacu pemiliknya untuk bisa membacanya. Sedangkan dengan terjemahannya akan membantu dalam proses belajar membaca kitab ketika menemukan kata-kata atau ungkapan yang susah dimengerti.
4. Hendaknya mencari guru yang benar-benar memahami materi kaidah bahasa Arab dan bisa mengajarkannya. Untuk poin ini mungkin sangat bervariasi -tidak bisa diberi batasan yang kaku-, karena tingkat pemahaman orang terhadap kaidah bahasa arab juga bertingkat-tingkat. Hanya saja yang dimaksud di sini adalah perlunya memilih guru yang mengajarkan materi dengan dasar ilmu bukan dengan kebodohan.
5. Dibutuhkan kesabaran untuk terus mengikuti pelajaran dan mengulang-ulang pelajaran (muraja’ah) agar pemahaman yang dimiliki semakin kuat tertanam. Apabila menemukan hal-halyang belum dipahami hendaknya segera menanyakan kepada pengajar atau orang yang lebih tahu dalam hal itu. Az-Zuhri rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya ilmu itu dicari seiring dengan perjalanan siang dan malam, barangsiapa yang ingin mendapatkan segudang ilmu secara tiba-tiba niscaya ilmu yang diperolehnya akan cepat hilang.”
6. Hendaknya bersungguh-sungguh dalam belajar. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya Kami pun akan memudahkan baginya jalan-jalan menuju keridhaan Kami.” (QS. Al-Ankabut: 69). Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa di dalam ayat ini Allah ta’ala mengaitkan antara hidayah dengan kesungguh-sungguhan/jihad. Maka orang yang paling besar hidayahnya adalah orang yang paling besar kesungguhan/jihadnya. Pepatah arab mengatakan, “Barangsiapa yang bersungguh-sungguh, niscaya dia akan mendapatkan.”
7. Untuk bisa mendukung pembelajaran bahasa Arab bagi pemula maka mengikuti kajian-kajian kitab berbahasa Arab merupakan salah satu sarana yang paling efektif untuk membiasakan diri dengan kata atau istilah bahasa Arab yang termaktub di kitab-kitab para ulama. Kitab-kitab yang sudah semestinya dikaji oleh pemula adalah kitab-kitab yang membahas perkara-perkara agama yang harus dipahaminya seperti kitab yang membahas dasar-dasar tauhid semacam Al-Qawa’id Al-Arba’, Tsalatsatu Ushul, dan Kitab Tauhid yang ketiga-tiganya merupakan karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Apabila tidak bisa mengikuti secara langsung maka bisa diupayakan dengan mendengarkan CD kajiannya atau bahkan kalau ada yang berupa format VCD.
8. Membaca buku pelajaran kaidah bahasa Arab. Buku-buku pelajaran kaidah bahasa Arab dengan pengantar bahasa Indonesia yang bisa didapatkan misalnya; Ilmu Nahwu Praktis sistem belajar 40 jam karya A. Zakaria (untuk pemula) dan Ringkasan Kaidah-Kaidah Bahasa Arab karya Ustadz Aunur rafiq Ghufron, Lc. (untuk menengah). Atau bagi yang ingin mendengarkan audio pelajaran bahasa Arab bisa mendownload di situs ini.
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Sumber: abu0mushlih.wordpress.or.id
1. Hendaknya kita mengikhlaskan niat dalam belajar untuk menunaikan kewajiban kita kepada Allah dan membekali diri dengan ilmu agar bisa beramal saleh. Karena amal tidak akan diterima tanpa niat dan cara yang benar. Sementara niat dan cara yang benar tidak akan diperoleh kecuali dengan ilmu. Oleh sebab itu imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab dalam Kitabul Ilmi di kitab sahih Bukhari yang berjudul ‘Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan’. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan (yang benar) selain Allah dan mintalah ampunan untuk dosamu…” (QS. Muhammad: 19). Selain itu hendaknya kita berdoa kepada Allah untuk diberikan ilmu yang bermanfaat.
2. Sebelum lebih jauh mempelajari kaidah bahasa Arab maka sudah semestinya kita mempelajari cara membaca Al-Qur’an dengan benar sesuai dengan hukum-hukum tajwid agar tidak salah dalam membaca atau mengucapkan. Padahal, salah baca atau salah ucap akan menimbulkan perbedaan makna bahkan memutarbalikkan fakta. Suatu kata yang seharusnya berkedudukan sebagai pelaku berubah menjadi objek dan seterusnya. Tentu saja hal ini -membaca dengan benar serta mengikuti kaidah- tidak bisa disepelekan.
3. Menambah kosakata merupakan salah satu sebab utama untuk melancarkan proses belajar kaidah dan membaca kitab. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membeli Kamus Bahasa Arab-Indonesia seperti Al-Munawwir, atau dengan membeli kamus kecil Al-Mufradat yang berisi kosakata yang sering digunakan dalam kitab-kitab para ulama. Selain itu bisa juga dengan membeli satu jenis buku dengan 2 versi; asli bahasa Arab dan terjemahan. Dengan memiliki kitab berbahasa Arab akan memacu pemiliknya untuk bisa membacanya. Sedangkan dengan terjemahannya akan membantu dalam proses belajar membaca kitab ketika menemukan kata-kata atau ungkapan yang susah dimengerti.
4. Hendaknya mencari guru yang benar-benar memahami materi kaidah bahasa Arab dan bisa mengajarkannya. Untuk poin ini mungkin sangat bervariasi -tidak bisa diberi batasan yang kaku-, karena tingkat pemahaman orang terhadap kaidah bahasa arab juga bertingkat-tingkat. Hanya saja yang dimaksud di sini adalah perlunya memilih guru yang mengajarkan materi dengan dasar ilmu bukan dengan kebodohan.
5. Dibutuhkan kesabaran untuk terus mengikuti pelajaran dan mengulang-ulang pelajaran (muraja’ah) agar pemahaman yang dimiliki semakin kuat tertanam. Apabila menemukan hal-halyang belum dipahami hendaknya segera menanyakan kepada pengajar atau orang yang lebih tahu dalam hal itu. Az-Zuhri rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya ilmu itu dicari seiring dengan perjalanan siang dan malam, barangsiapa yang ingin mendapatkan segudang ilmu secara tiba-tiba niscaya ilmu yang diperolehnya akan cepat hilang.”
6. Hendaknya bersungguh-sungguh dalam belajar. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya Kami pun akan memudahkan baginya jalan-jalan menuju keridhaan Kami.” (QS. Al-Ankabut: 69). Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa di dalam ayat ini Allah ta’ala mengaitkan antara hidayah dengan kesungguh-sungguhan/jihad. Maka orang yang paling besar hidayahnya adalah orang yang paling besar kesungguhan/jihadnya. Pepatah arab mengatakan, “Barangsiapa yang bersungguh-sungguh, niscaya dia akan mendapatkan.”
7. Untuk bisa mendukung pembelajaran bahasa Arab bagi pemula maka mengikuti kajian-kajian kitab berbahasa Arab merupakan salah satu sarana yang paling efektif untuk membiasakan diri dengan kata atau istilah bahasa Arab yang termaktub di kitab-kitab para ulama. Kitab-kitab yang sudah semestinya dikaji oleh pemula adalah kitab-kitab yang membahas perkara-perkara agama yang harus dipahaminya seperti kitab yang membahas dasar-dasar tauhid semacam Al-Qawa’id Al-Arba’, Tsalatsatu Ushul, dan Kitab Tauhid yang ketiga-tiganya merupakan karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Apabila tidak bisa mengikuti secara langsung maka bisa diupayakan dengan mendengarkan CD kajiannya atau bahkan kalau ada yang berupa format VCD.
8. Membaca buku pelajaran kaidah bahasa Arab. Buku-buku pelajaran kaidah bahasa Arab dengan pengantar bahasa Indonesia yang bisa didapatkan misalnya; Ilmu Nahwu Praktis sistem belajar 40 jam karya A. Zakaria (untuk pemula) dan Ringkasan Kaidah-Kaidah Bahasa Arab karya Ustadz Aunur rafiq Ghufron, Lc. (untuk menengah). Atau bagi yang ingin mendengarkan audio pelajaran bahasa Arab bisa mendownload di situs ini.
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Sumber: abu0mushlih.wordpress.or.id
Keutamaan Bahasa Arab
Tidak perlu diragukan lagi, memang sepantasnya seorang muslim mencintai bahasa Arab dan berusaha menguasainya. Allah telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an karena bahasa Arab adalah bahasa yang terbaik yang pernah ada sebagaimana firman Allah ta’ala:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”
Ibnu katsir berkata ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 2 di atas: “Yang demikian itu (bahwa Al -Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab) karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas, dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia. Oleh karena itu kitab yang paling mulia (yaitu Al-Qur’an) diturunkan kepada rosul yang paling mulia (yaitu: Rosulullah), dengan bahasa yang termulia (yaitu Bahasa Arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (yaitu malaikat Jibril), ditambah kitab inipun diturunkan pada dataran yang paling mulia diatas muka bumi (yaitu tanah Arab), serta awal turunnya pun pada bulan yang paling mulia (yaitu Romadhan), sehingga Al-Qur an menjadi sempurna dari segala sisi.” (Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir surat Yusuf).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Berkata: “Sesungguhnya ketika Allah menurunkan kitab-Nya dan menjadikan Rasul-Nya sebagai penyampai risalah (Al-Kitab) dan Al-Hikmah (As-sunnah), serta menjadikan generasi awal agama ini berkomunikasi dengan bahasa Arab, maka tidak ada jalan lain dalam memahami dan mengetahui ajaran Islam kecuali dengan bahasa Arab. Oleh karena itu memahami bahasa Arab merupakan bagian dari agama. Keterbiasaan berkomunikasi dengan bahasa Arab mempermudah kaum muslimin memahami agama Allah dan menegakkan syi’ar-syi’ar agama ini, serta memudahkan dalam mencontoh generasi awal dari kaum Muhajirin dan Anshar dalam keseluruhan perkara mereka.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).
Sungguh sangat menyedihkan sekali, apa yang telah menimpa kaum muslimin saat ini, hanya segelintir dari mereka yang mau mempelajari bahasa Arab dengan serius. Hal ini memang sangat wajar karena di zaman modern ini banyak sekali kaum muslimin tenggelam dalam tujuan dunia yang fana, Sehingga mereka enggan dan malas mempelajari bahasa Arab. Karena mereka tahu tidak ada hasil duniawi yang bisa diharapkan jika pandai berbahasa Arab. Berbeda dengan mempelajari bahasa Inggris, kaum muslimin di saat ini begitu semangat sekali belajar bahasa Inggris, karena mereka tahu banyak tujuan dunia yang bisa diperoleh jika pandai bahasa Inggris, sehingga kita dapati mereka rela untuk meluangkan waktu yang lama dan biaya yang banyak untuk bisa menguasai bahasa ini. Sehingga kursus-kursus bahasa Inggris sangat laris dan menjamur dimana-mana walaupun dengan biaya yang tak terkira. Namun bagaimana dengan kursus bahasa Arab…??? seandainya mereka benar-benar yakin terhadap janji Allah ta’ala untuk orang yang menyibukkan diri untuk mencari keridhoanNya, serta yakin akan kenikmatan surga dengan kekekalannya, niscaya mereka akan berusaha keras untuk mempelajari bahasa arab. Karena ia adalah sarana yang efektif untuk memahami agama-Nya.
Kenyataan ini tidak menunjukkan larangan mempelajari bahasa Inggris ataupun lainnya. Tapi yang tercela adalah orang yang tidak memberikan porsi yang adil terhadap bahasa arab. Seyogyanya mereka juga bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam mempelajari bahasa Arab.
Syaikh Utsaimin pernah ditanya: “Bolehkah seorang penuntut ilmu mempelajari bahasa Inggris untuk membantu dakwah ?” Beliau menjawab: “Aku berpendapat, mempelajari bahasa Inggris tidak diragukan lagi merupakan sebuah sarana. Bahasa Inggris menjadi sarana yang baik jika digunakan untuk tujuan yang baik, dan akan menjadi jelek jika digunakan untuk tujuan yang jelek. Namun yang harus dihindari adalah menjadikan bahasa Inggris sebagai pengganti bahasa Arab karena hal itu tidak boleh. Aku mendengar sebagian orang bodoh berbicara dengan bahasa Inggris sebagai pengganti bahasa Arab, bahkan sebagian mereka yang tertipu lagi mengekor (meniru-niru), mengajarkan anak-anak mereka ucapan “selamat berpisah” bukan dengan bahasa kaum muslimin. Mereka mengajarkan anak-anak mereka berkata “bye-bye” ketika akan berpisah dan yang semisalnya. Mengganti bahasa Arab, bahasa Al-Qur’an dan bahasa yang paling mulia, dengan bahasa Inggris adalah haram. Adapun menggunakan bahasa Inggris sebagai sarana untuk berdakwah maka tidak diragukan lagi kebolehannya bahwa kadang-kadang hal itu bisa menjadi wajib. Walaupun aku tidak mempelajari bahasa Inggris namun aku berangan-angan mempelajarinya. terkadang aku merasa sangat perlu bahasa Inggris karena penterjemah tidak mungkin bisa mengungkapkan apa yang ada di hatiku secara sempurna.” (Kitabul ‘Ilmi).
Dan termasuk hal yang sangat menyedihkan, didapati seorang muslim begitu bangga jika bisa berbahasa Inggris dengan fasih namun mengenai bahasa Arab dia tidak tahu?? Kalau keadaannya sudah seperti ini bagaimana bisa diharapkan Islam maju dan jaya seperti dahulu. Bagaimana mungkin mereka bisa memahami syari’at dengan benar kalau mereka sama sekali tidak mengerti bahasa Arab…???
Hukum Orang Yang Mampu Berbahasa Arab Namun Berbicara Menggunakan Bahasa Selain Bahasa Arab
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Berkata: “Dibenci seseorang berbicara dengan bahasa selain bahasa Arab karena bahasa Arab merupakan syiar Islam dan kaum muslimin. Bahasa merupakan syiar terbesar umat-umat, karena dengan bahasa dapat diketahui ciri khas masing-masing umat.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).
Asy-Syafi’iy berkata sebagaimana diriwayatkan As-Silafi dengan sanadnya sampai kepada Muhammad bin Abdullah bin Al Hakam, beliau berkata: “Saya mendengar Muhammad bin Idris Asy-syafi’iy berkata: “Allah menamakan orang-orang yang mencari karunia Allah melalui jual beli (berdagang) dengan nama tu’jar (tujjar dalam bahasa Arab artinya para pedagang-pent), kemudian Rosululloh juga menamakan mereka dengan penamaan yang Allah telah berikan, yaitu (tujjar) dengan bahasa arab. Sedangkan “samasiroh” adalah penamaan dengan bahasa `ajam (selain arab). Maka kami tidak menyukai seseorang yang mengerti bahasa arab menamai para pedagang kecuali dengan nama tujjar dan janganlah orang tersebut berbahasa Arab lalu dia menamakan sesuatu (apapun juga-pent) dengan bahasa `ajam. Hal ini karena bahasa Arab adalah bahasa yang telah dipilih oleh Allah, sehingga Allah menurunkan kitab-Nya yang dengan bahasa Arab dan menjadikan bahasa Arab merupakan bahasa penutup para Nabi, yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, kami katakan seyogyanya setiap orang yang mampu belajar bahasa Arab mempelajarinya, karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling pantas dicintai tanpa harus melarang seseorang berbicara dengan bahasa yang lain. Imam Syafi’iy membenci orang yang mampu berbahasa Arab namun dia tidak berbahasa Arab atau dia berbahasa Arab namun mencampurinya dengan bahasa `ajam.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).
Abu Bakar bin ‘Ali Syaibah meriwayatkan dalam Al Mushanaf: “Dari Umar bin Khattab, beliau berkata: Tidaklah seorang belajar bahasa Persia kecuali menipu, tidaklah seseorang menipu kecuali berkurang kehormatannya. Dan Atho’ (seorang tabi’in) berkata: Janganlah kamu belajar bahasa-bahasa ajam dan janganlah karnu masuk gereja - gereja mereka karena sesungguhnya Allah menimpakan kemurkaan-Nya kepada mereka, (Iqtidho Shirotil Mustaqim). Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad berkata: “Tanda keimanan pada orang ‘ajam (non arab) adalah cintanya terhadap bahasa arab.” Dan adapun membiasakan berkomunikasi dengan bahasa selain Arab, yang mana bahasa Arab merupakan syi’ar Islam dan bahasa Al-Qur’an, sehingga bahasa selain arab menjadi kebiasaan bagi penduduk suatu daerah, keluarga, seseorang dengan sahabatnya, para pedagang atau para pejabat atau bagi para karyawan atau para ahli fikih, maka tidak disangsikan lagi hal ini dibenci. Karena sesungguhnya hal itu termasuk tasyabuh (menyerupai) dengan orang `ajam dan itu hukumnya makruh.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).
Khurasan, yang penduduk kedua kota tersebut berbahasa Persia serta menduduki Maghrib, yang penduduknya berbahasa Barbar, maka kaum muslimin membiasakan penduduk kota tersebut untuk berbahasa Arab, hingga seluruh penduduk kota tersebut berbahasa Arab, baik muslimnya maupun kafirnya. Demikianlah Khurasan dahulu kala. Namun kemudian mereka menyepelekan bahasa Arab, dan mereka kembali membiasakan bahasa Persia sehingga akhirnya menjadi bahasa mereka. Dan mayoritas mereka pun menjauhi bahasa Arab. Tidak disangsikan lagi bahwa hal ini adalah makruh. (Iqtidho Shirotil Mustaqim).
Pengaruh Bahasa Arab Dalam Kehidupan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Merupakan metode yang baik adalah membiasakan berkomunikasi dengan bahasa Arab hingga anak kecil sekalipun dilatih berbahasa Arab di rumah dan di kantor, hingga nampaklah syi’ar Islam dan kaum muslimin. Hal ini mempermudah kaum muslimin urituk memahami makna Al-Kitab dan As-Sunnah serta perkataan para salafush shalih. Lain halnya dengan orang yang terbiasa berbicara dengan satu bahasa lalu ingin pindah ke bahasa lain maka hal itu sangat sulit baginya. Dan ketahuilah…!!! membiasakan berbahasa Arab sangat berpengaruh terhadap akal, akhlak dan agama. Juga sangat berpengaruh dalam usaha mencontoh mereka dan memberi dampak positif terhadap akal, agama dan tingkah laku.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).
Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bahasa Arab memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan, akhlak, agama. Orang yang pandai bahasa Arab cenderung senang membaca kitab-kitab para ulama yang berbahasa Arab dan tentu senang juga membaca dan menghafal Al-Qur’an serta hadits-hadits Rasulullah. Sehingga hal ini bisa memperbagus akhlak dan agamanya. Berbeda dengan orang yang pandai berbahasa Inggris (namun tanpa dibekali dengan ilmu agama yang baik), dia cenderung senang membaca buku berbahasa Inggris yang jelas kebanyakannya merupakan karya orang kafir. Sehingga mulailah ia mempelajari kehidupan orang kafir sedikit demi sedikit. Mau tidak mau iapun harus mempelajari cara pengucapan dan percakapan yang benar melalui mereka, agar dia bisa memperbagus bahasa Inggrisnya. Bisa jadi akhirnya ia pun senang mempelajari dan menghafal lagu-lagu berbahasa Inggris (yang kebanyakan isinya berisi maksiat) dan tanpa sadar diapun mengidolakan artis atau tokoh barat serta senang mengikuti gaya-gaya mereka. Akhlaknya pun mulai meniru akhlak orang barat (orang kafir), dan mengagungkan orang kafir serta takjub pada kehebatan mereka. Akhirnya, diapun terjatuh dalam tasyabbuh (meniru-niru) terhadap orang kafir, menganggap kaum muslimin terbelakang dan ujung-ujungnya dia lalai dari mempelajari Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hukum Mempelajari Bahasa Arab
Syaikhul Islam Berkata: “Dan sesungguhnya bahasa Arab itu sendiri bagian dari agama dan hukum mempelajarinya adalah wajib, karena memahami Al-Kitab dan As-Sunnah itu wajib dan keduanya tidaklah bisa difahami kecuali dengan memahami bahasa Arab. Hal ini sesuai dengan kaidah:
مَا لاَ يَتِمٌّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Apa yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya maka ia juga hukumnya wajib.”
Namun disana ada bagian dari bahasa Arab yang wajib ‘ain dan ada yang wajib kifayah. Dan hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari Umar bin Yazid, beliau berkata: Umar bin Khattab menulis kepada Abu Musa Al-Asy’ari (yang isinya) “…Pelajarilah As-Sunnah, pelajarilah bahasa Arab dan I’roblah Al-Qur’an karena Al-Qur’an itu berbahasa Arab.”
Dan pada riwayat lain, Beliau (Umar bin Khattab) berkata: “Pelajarilah bahasa Arab sesungguhnya ia termasuk bagian dari agama kalian, dan belajarlah faroidh (ilmu waris) karena sesungguhnya ia termasuk bagian dari agama kalian.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).
Penutup
Bahasa Arab adalah bahasa Agama Islam dan bahasa Al-Qur’an, seseorang tidak akan dapat memahami kitab dan sunnah dengan pemahaman yang benar dan selamat (dari penyelewengan) kecuali dengan bahasa Arab. Menyepelekan dan menggampangkan Bahasa Arab akan mengakibatkan lemah dalam memahami agama serta jahil (bodoh) terhadap permasalahan agama.
Sungguh sangat ironis dan menyedihkan, sekolah-sekolah dinegeri kita, bahasa Arab tersisihkan oleh bahasa-bahasa lain, padahal mayoritas penduduk negeri kita adalah beragama Islam, sehingga keadaan kaum muslimin dinegeri ini jauh dari tuntunan Allah ta’ala dan Rasul-Nya.
Maka seyogyanya anda sekalian wahai penebar kebaikan… mempunyai andil dan peran dalam memasyarakatkan serta menyadarkan segenap lapisan masyarakat akan pentingya bahasa Al Qur’an ini, dengan segala kemampuan yang dimiliki, semoga Allah menolong kaum muslimin dan mengembalikan mereka kepada ajaran Rasul-Nya yang shohih. Tiada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah ta’ala. Segala puji hanyalah bagi Allah Tuhan semesta alam.
***
Penyusun: Tim Bahasa Arab Online
http://badar.muslim.or.id/artikel/keutamaan-bahasa-arab.html
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”
Ibnu katsir berkata ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 2 di atas: “Yang demikian itu (bahwa Al -Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab) karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas, dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia. Oleh karena itu kitab yang paling mulia (yaitu Al-Qur’an) diturunkan kepada rosul yang paling mulia (yaitu: Rosulullah), dengan bahasa yang termulia (yaitu Bahasa Arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (yaitu malaikat Jibril), ditambah kitab inipun diturunkan pada dataran yang paling mulia diatas muka bumi (yaitu tanah Arab), serta awal turunnya pun pada bulan yang paling mulia (yaitu Romadhan), sehingga Al-Qur an menjadi sempurna dari segala sisi.” (Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir surat Yusuf).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Berkata: “Sesungguhnya ketika Allah menurunkan kitab-Nya dan menjadikan Rasul-Nya sebagai penyampai risalah (Al-Kitab) dan Al-Hikmah (As-sunnah), serta menjadikan generasi awal agama ini berkomunikasi dengan bahasa Arab, maka tidak ada jalan lain dalam memahami dan mengetahui ajaran Islam kecuali dengan bahasa Arab. Oleh karena itu memahami bahasa Arab merupakan bagian dari agama. Keterbiasaan berkomunikasi dengan bahasa Arab mempermudah kaum muslimin memahami agama Allah dan menegakkan syi’ar-syi’ar agama ini, serta memudahkan dalam mencontoh generasi awal dari kaum Muhajirin dan Anshar dalam keseluruhan perkara mereka.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).
Sungguh sangat menyedihkan sekali, apa yang telah menimpa kaum muslimin saat ini, hanya segelintir dari mereka yang mau mempelajari bahasa Arab dengan serius. Hal ini memang sangat wajar karena di zaman modern ini banyak sekali kaum muslimin tenggelam dalam tujuan dunia yang fana, Sehingga mereka enggan dan malas mempelajari bahasa Arab. Karena mereka tahu tidak ada hasil duniawi yang bisa diharapkan jika pandai berbahasa Arab. Berbeda dengan mempelajari bahasa Inggris, kaum muslimin di saat ini begitu semangat sekali belajar bahasa Inggris, karena mereka tahu banyak tujuan dunia yang bisa diperoleh jika pandai bahasa Inggris, sehingga kita dapati mereka rela untuk meluangkan waktu yang lama dan biaya yang banyak untuk bisa menguasai bahasa ini. Sehingga kursus-kursus bahasa Inggris sangat laris dan menjamur dimana-mana walaupun dengan biaya yang tak terkira. Namun bagaimana dengan kursus bahasa Arab…??? seandainya mereka benar-benar yakin terhadap janji Allah ta’ala untuk orang yang menyibukkan diri untuk mencari keridhoanNya, serta yakin akan kenikmatan surga dengan kekekalannya, niscaya mereka akan berusaha keras untuk mempelajari bahasa arab. Karena ia adalah sarana yang efektif untuk memahami agama-Nya.
Kenyataan ini tidak menunjukkan larangan mempelajari bahasa Inggris ataupun lainnya. Tapi yang tercela adalah orang yang tidak memberikan porsi yang adil terhadap bahasa arab. Seyogyanya mereka juga bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam mempelajari bahasa Arab.
Syaikh Utsaimin pernah ditanya: “Bolehkah seorang penuntut ilmu mempelajari bahasa Inggris untuk membantu dakwah ?” Beliau menjawab: “Aku berpendapat, mempelajari bahasa Inggris tidak diragukan lagi merupakan sebuah sarana. Bahasa Inggris menjadi sarana yang baik jika digunakan untuk tujuan yang baik, dan akan menjadi jelek jika digunakan untuk tujuan yang jelek. Namun yang harus dihindari adalah menjadikan bahasa Inggris sebagai pengganti bahasa Arab karena hal itu tidak boleh. Aku mendengar sebagian orang bodoh berbicara dengan bahasa Inggris sebagai pengganti bahasa Arab, bahkan sebagian mereka yang tertipu lagi mengekor (meniru-niru), mengajarkan anak-anak mereka ucapan “selamat berpisah” bukan dengan bahasa kaum muslimin. Mereka mengajarkan anak-anak mereka berkata “bye-bye” ketika akan berpisah dan yang semisalnya. Mengganti bahasa Arab, bahasa Al-Qur’an dan bahasa yang paling mulia, dengan bahasa Inggris adalah haram. Adapun menggunakan bahasa Inggris sebagai sarana untuk berdakwah maka tidak diragukan lagi kebolehannya bahwa kadang-kadang hal itu bisa menjadi wajib. Walaupun aku tidak mempelajari bahasa Inggris namun aku berangan-angan mempelajarinya. terkadang aku merasa sangat perlu bahasa Inggris karena penterjemah tidak mungkin bisa mengungkapkan apa yang ada di hatiku secara sempurna.” (Kitabul ‘Ilmi).
Dan termasuk hal yang sangat menyedihkan, didapati seorang muslim begitu bangga jika bisa berbahasa Inggris dengan fasih namun mengenai bahasa Arab dia tidak tahu?? Kalau keadaannya sudah seperti ini bagaimana bisa diharapkan Islam maju dan jaya seperti dahulu. Bagaimana mungkin mereka bisa memahami syari’at dengan benar kalau mereka sama sekali tidak mengerti bahasa Arab…???
Hukum Orang Yang Mampu Berbahasa Arab Namun Berbicara Menggunakan Bahasa Selain Bahasa Arab
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Berkata: “Dibenci seseorang berbicara dengan bahasa selain bahasa Arab karena bahasa Arab merupakan syiar Islam dan kaum muslimin. Bahasa merupakan syiar terbesar umat-umat, karena dengan bahasa dapat diketahui ciri khas masing-masing umat.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).
Asy-Syafi’iy berkata sebagaimana diriwayatkan As-Silafi dengan sanadnya sampai kepada Muhammad bin Abdullah bin Al Hakam, beliau berkata: “Saya mendengar Muhammad bin Idris Asy-syafi’iy berkata: “Allah menamakan orang-orang yang mencari karunia Allah melalui jual beli (berdagang) dengan nama tu’jar (tujjar dalam bahasa Arab artinya para pedagang-pent), kemudian Rosululloh juga menamakan mereka dengan penamaan yang Allah telah berikan, yaitu (tujjar) dengan bahasa arab. Sedangkan “samasiroh” adalah penamaan dengan bahasa `ajam (selain arab). Maka kami tidak menyukai seseorang yang mengerti bahasa arab menamai para pedagang kecuali dengan nama tujjar dan janganlah orang tersebut berbahasa Arab lalu dia menamakan sesuatu (apapun juga-pent) dengan bahasa `ajam. Hal ini karena bahasa Arab adalah bahasa yang telah dipilih oleh Allah, sehingga Allah menurunkan kitab-Nya yang dengan bahasa Arab dan menjadikan bahasa Arab merupakan bahasa penutup para Nabi, yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, kami katakan seyogyanya setiap orang yang mampu belajar bahasa Arab mempelajarinya, karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling pantas dicintai tanpa harus melarang seseorang berbicara dengan bahasa yang lain. Imam Syafi’iy membenci orang yang mampu berbahasa Arab namun dia tidak berbahasa Arab atau dia berbahasa Arab namun mencampurinya dengan bahasa `ajam.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).
Abu Bakar bin ‘Ali Syaibah meriwayatkan dalam Al Mushanaf: “Dari Umar bin Khattab, beliau berkata: Tidaklah seorang belajar bahasa Persia kecuali menipu, tidaklah seseorang menipu kecuali berkurang kehormatannya. Dan Atho’ (seorang tabi’in) berkata: Janganlah kamu belajar bahasa-bahasa ajam dan janganlah karnu masuk gereja - gereja mereka karena sesungguhnya Allah menimpakan kemurkaan-Nya kepada mereka, (Iqtidho Shirotil Mustaqim). Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad berkata: “Tanda keimanan pada orang ‘ajam (non arab) adalah cintanya terhadap bahasa arab.” Dan adapun membiasakan berkomunikasi dengan bahasa selain Arab, yang mana bahasa Arab merupakan syi’ar Islam dan bahasa Al-Qur’an, sehingga bahasa selain arab menjadi kebiasaan bagi penduduk suatu daerah, keluarga, seseorang dengan sahabatnya, para pedagang atau para pejabat atau bagi para karyawan atau para ahli fikih, maka tidak disangsikan lagi hal ini dibenci. Karena sesungguhnya hal itu termasuk tasyabuh (menyerupai) dengan orang `ajam dan itu hukumnya makruh.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).
Khurasan, yang penduduk kedua kota tersebut berbahasa Persia serta menduduki Maghrib, yang penduduknya berbahasa Barbar, maka kaum muslimin membiasakan penduduk kota tersebut untuk berbahasa Arab, hingga seluruh penduduk kota tersebut berbahasa Arab, baik muslimnya maupun kafirnya. Demikianlah Khurasan dahulu kala. Namun kemudian mereka menyepelekan bahasa Arab, dan mereka kembali membiasakan bahasa Persia sehingga akhirnya menjadi bahasa mereka. Dan mayoritas mereka pun menjauhi bahasa Arab. Tidak disangsikan lagi bahwa hal ini adalah makruh. (Iqtidho Shirotil Mustaqim).
Pengaruh Bahasa Arab Dalam Kehidupan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Merupakan metode yang baik adalah membiasakan berkomunikasi dengan bahasa Arab hingga anak kecil sekalipun dilatih berbahasa Arab di rumah dan di kantor, hingga nampaklah syi’ar Islam dan kaum muslimin. Hal ini mempermudah kaum muslimin urituk memahami makna Al-Kitab dan As-Sunnah serta perkataan para salafush shalih. Lain halnya dengan orang yang terbiasa berbicara dengan satu bahasa lalu ingin pindah ke bahasa lain maka hal itu sangat sulit baginya. Dan ketahuilah…!!! membiasakan berbahasa Arab sangat berpengaruh terhadap akal, akhlak dan agama. Juga sangat berpengaruh dalam usaha mencontoh mereka dan memberi dampak positif terhadap akal, agama dan tingkah laku.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).
Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bahasa Arab memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan, akhlak, agama. Orang yang pandai bahasa Arab cenderung senang membaca kitab-kitab para ulama yang berbahasa Arab dan tentu senang juga membaca dan menghafal Al-Qur’an serta hadits-hadits Rasulullah. Sehingga hal ini bisa memperbagus akhlak dan agamanya. Berbeda dengan orang yang pandai berbahasa Inggris (namun tanpa dibekali dengan ilmu agama yang baik), dia cenderung senang membaca buku berbahasa Inggris yang jelas kebanyakannya merupakan karya orang kafir. Sehingga mulailah ia mempelajari kehidupan orang kafir sedikit demi sedikit. Mau tidak mau iapun harus mempelajari cara pengucapan dan percakapan yang benar melalui mereka, agar dia bisa memperbagus bahasa Inggrisnya. Bisa jadi akhirnya ia pun senang mempelajari dan menghafal lagu-lagu berbahasa Inggris (yang kebanyakan isinya berisi maksiat) dan tanpa sadar diapun mengidolakan artis atau tokoh barat serta senang mengikuti gaya-gaya mereka. Akhlaknya pun mulai meniru akhlak orang barat (orang kafir), dan mengagungkan orang kafir serta takjub pada kehebatan mereka. Akhirnya, diapun terjatuh dalam tasyabbuh (meniru-niru) terhadap orang kafir, menganggap kaum muslimin terbelakang dan ujung-ujungnya dia lalai dari mempelajari Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hukum Mempelajari Bahasa Arab
Syaikhul Islam Berkata: “Dan sesungguhnya bahasa Arab itu sendiri bagian dari agama dan hukum mempelajarinya adalah wajib, karena memahami Al-Kitab dan As-Sunnah itu wajib dan keduanya tidaklah bisa difahami kecuali dengan memahami bahasa Arab. Hal ini sesuai dengan kaidah:
مَا لاَ يَتِمٌّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Apa yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya maka ia juga hukumnya wajib.”
Namun disana ada bagian dari bahasa Arab yang wajib ‘ain dan ada yang wajib kifayah. Dan hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari Umar bin Yazid, beliau berkata: Umar bin Khattab menulis kepada Abu Musa Al-Asy’ari (yang isinya) “…Pelajarilah As-Sunnah, pelajarilah bahasa Arab dan I’roblah Al-Qur’an karena Al-Qur’an itu berbahasa Arab.”
Dan pada riwayat lain, Beliau (Umar bin Khattab) berkata: “Pelajarilah bahasa Arab sesungguhnya ia termasuk bagian dari agama kalian, dan belajarlah faroidh (ilmu waris) karena sesungguhnya ia termasuk bagian dari agama kalian.” (Iqtidho Shirotil Mustaqim).
Penutup
Bahasa Arab adalah bahasa Agama Islam dan bahasa Al-Qur’an, seseorang tidak akan dapat memahami kitab dan sunnah dengan pemahaman yang benar dan selamat (dari penyelewengan) kecuali dengan bahasa Arab. Menyepelekan dan menggampangkan Bahasa Arab akan mengakibatkan lemah dalam memahami agama serta jahil (bodoh) terhadap permasalahan agama.
Sungguh sangat ironis dan menyedihkan, sekolah-sekolah dinegeri kita, bahasa Arab tersisihkan oleh bahasa-bahasa lain, padahal mayoritas penduduk negeri kita adalah beragama Islam, sehingga keadaan kaum muslimin dinegeri ini jauh dari tuntunan Allah ta’ala dan Rasul-Nya.
Maka seyogyanya anda sekalian wahai penebar kebaikan… mempunyai andil dan peran dalam memasyarakatkan serta menyadarkan segenap lapisan masyarakat akan pentingya bahasa Al Qur’an ini, dengan segala kemampuan yang dimiliki, semoga Allah menolong kaum muslimin dan mengembalikan mereka kepada ajaran Rasul-Nya yang shohih. Tiada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah ta’ala. Segala puji hanyalah bagi Allah Tuhan semesta alam.
***
Penyusun: Tim Bahasa Arab Online
http://badar.muslim.or.id/artikel/keutamaan-bahasa-arab.html
Kosakata (mufrodat)
Kosakata Arab Yang Sering Muncul 1
Ikhwani fillah yang dimuliakan oleh Allah ta’ala, berikut ini kami memposting kosakata yang sering muncul dalam tulisan ataupun percakapan bahasa arab, untuk awal ini kami menampilkan daftar kosakata (mufrodat) dari isim, insyaAllah postingan kosakata yang sering muncul dalam kitab-kitab arab gundul maupun dalam percakapan sehari-hari akan kami tampilkan secara berkala.
Untuk pelajaran bahasa arab dasar berikutnya, kami selingi dahulu dengan latihan-latihan dan mufrodat ini, dengan maksud agar ikhwah sekalian bisa memantapkan terlebih dahulu pelajaran-pelajaran sebelumnya dan lebih memperbanyak kosakata yang dimiliki, semoga bermanfaat…
اَلنَّبَأُ (Berita)
قَلْبٌ (Hati)
يُسْرٌ (Kemudahan)
سَهْلٌ (Kemudahan)
اِمْتِحَانٌ (Ujian)
اَلْفَرَجُ (Jalan keluar)
اَلْكَرْبُ (Kesulitan)
حَقٌّ (Kebenaran)
اَلأَرْضُ (Bumi)
اَلسَّمَاءُ (Langit)
اَلْجَنَّةُ (Surga)
اَلنَّارُ (Neraka)
شَيْءٌ (Sesuatu)
شَهْرٌ (Bulan)
اَلْعِلْمُ (Ilmu)
حَكِيْمٌ (Bijaksana)
مُفِيْدٌ (Bermanfaat)
جَائِزَةٌ (Hadiah)
اَلْيَوْمُ (Hari)
قَوْلٌ (Perkataan)
حَسَنٌ (Baik)
رَجُلٌ (Pria)
كِتَابٌ (Kitab)
جَدِيْدٌ (Baru)
اَلرِّسَالَةُ (Surat)
اَلطَّالِبُ (Pelajar)
اَلدَّرْسُ (Pelajaran)
اَلْقَلَمُ (Pena)
اَلْمَكْتَبُ (Meja)
اَلأُسْتَاذُ (Guru)
اَلْفَصْلُ (Kelas)
اَلْبَيْتُ (Rumah)
اَلْبَابُ (Pintu)
كَبِيْرٌ (Besar)
اَلْمَرْأَةُ (Perempuan)
اَلْغُرْفَةُ (Kamar)
نَشِيْطٌ (Orang yang rajin)
قَائِمٌ (Berdiri)
اَلرَّأْسُ (Kepala)
اَلطَّعَامُ (Makanan)
اَلإِنْسَانُ (Manusia)
اَلْفَقِيْرُ (Fakir)
عِلَّةٌ (Sebab)
نَفْسٌ (Jiwa)
اَلْمَاءُ (Air)
حَارٌّ (Panas)
ضَعِيْفٌ (Lemah)
قَلِيْلٌ (Sedikit)
اَلصَّافِي (Jernih)
قَاعِدٌ (Duduk)
مَرِيْضٌ (Sakit)
اَلْمُجَاهِدُ (Pejuang)
كُلٌّ (Semua)
خُبْزٌ (Roti)
اَلذُّنُوْبُ (Dosa - dosa)
شَرٌّ (Kejelekan)
مَذْمُوْمٌ (Tercela)
قَيِّمٌ (Lurus)
اَلْجِبَالُ (Gunung)
اَلْقَاضِي (Hakim)
اَلصِّرَاطُ (Jalan)
نَاصِرٌ (Penolong)
اَلأَسَدُ (Singa)
اَللَّيْلُ (Malam)
اَلنَّهَارُ (Siang)
صَبَاحٌ (Subuh)
مَسَاءٌ (Sore)
سَنَةٌ (Tahun)
أُسْبُوْعٌ (Minggu)
اَلدِّيْنُ (Agama)
سَاعَةٌ (Jam)
أَمَامَ (Di depan)
وَرَاءَ (Di belakang)
فَوْقَ (Di atas)
تَحْتَ (Di bawah)
خَلْفَ (Di belakang)
يَمِيْنٌ (Kanan)
شِمَالٌ (Kiri)
جَانِبٌ (Sisi)
جِهَةٌ (Arah)
عِنْدَ (Sisi)
اَلْوَاقِعُ (Terletak)
وَلَدٌ (Anak)
اِبْتِغَاءٌ (Mengharap)
http://badar.muslim.or.id/mufrodat/kosakata-arab-yang-sering-muncul-1.html
Ikhwah fillah berikut ini daftar kosakata (mufrodat) dari fi’il, semoga bermanfaat…
حَسُنَ (Baik)
بَعُدَ (Jauh)
قَرُبَ (Dekat)
جَمُلَ (Bagus)
شَرُفَ (Mulia)
جَهَدَ (Bersungguh2)
قَتَلَ (Membunuh)
أَخَذَ (Mengambil)
تَلاَ (Membaca)
سَكَتَ (Diam)
زَارَ (Mengunjungi)
فَرَقَ (Memisahkan)
جَمَعَ (Mengumpulkan)
نَصَرَ (Menolong)
حَمَلَ (Membawa)
ذَكَرَ (Mengingat)
قَامَ (Berdiri)
قَعَدَ (Duduk)
كَبُرَ (Besar)
حَفِظَ (Menjaga)
رَأَى (Melihat)
طَلَبَ (Mencari)
مَضَى (Berlalu)
شَرَكَ (Berserikat)
سَمِعَ (Mendengar)
رَجَعَ (Kembali)
فَتَحَ (Membuka)
رَكَعَ (Ruku)
حَرِصَ (Semangat)
كَرُمَ (Mulia)
كَمُلَ (Sempurna)
رَزَقَ (Rizki)
سَبَقَ (Mendahului)
نَجَحَ (Lulus)
رَبَحَ (Beruntung)
عَبَدَ (Ibadah)
غَفَرَ (Mengampuni)
شَرَحَ (Melapangkan)
فَهِمَ (Paham)
بَدَأَ (Mulai)
صَبَرَ (Sabar)
غَلَبَ (Menang)
دَرَسَ (Belajar)
كَسَرَ (Memecahkan)
مَنَعَ (Mencegah)
طَبَعَ (Mencetak)
صَلُحَ (Baik)
سَفَرَ (Bepergian)
بَكَى (Menangis)
صَرَفَ (Memalingkan)
سَجَدَ (Sujud)
أَمَرَ (Memerintahkan)
حَدَثَ (Terjadi)
نَهَى (Melarang)
جَلَسَ (Duduk)
رَفَعَ (Mengangkat)
مَشَى (Berjalan)
فَصَلَ (Memisahkan)
بَلَغَ (Mencapai)
وَقَفَ (Berhenti)
وَجَدَ (Menemukan)
شَرِبَ (Minum)
قَالَ (Berkata)
قَطَعَ (Memotong)
سَتَرَ (Menutupi)
أَكَلَ (Makan)
نَزَعَ (Mencabut)
نَظَرَ (Memandang)
كَفَرَ (Mengingkari)
تَرَكَ (Meninggalkan)
ظَهَرَ (Tampak)
حَصَلَ (Tercapai)
عَرَفَ (Mengenal)
جَاءَ (Datang)
رَأَى (Melihat)
مَرَّ (Melewati)
ضَرَبَ (Memukul)
حَرُمَ (Haram)
قَرَأَ (Membaca)
دَلَّ (Menunjukkan)
كَتَبَ (Menulis)
رَضِيَ (Ridho)
بَاعَ (Menjual)
عَلِمَ (Mengetahui)
قَالَ (Berkata)
ذَهَبَ (Pergi)
سَأَلَ (Bertanya)
خَلَقَ (Menciptakan)
نَفَعَ (Bermanfaat)
عَمِلَ (Berbuat)
فَلَحَ (Beruntung)
كَذَبَ (Berbohong)
خَابَ (Rugi)
آمَنَ (Beriman)
أَرْسَلَ (Mengutus)
سَلَفَ (Berlalu)
http://badar.muslim.or.id/mufrodat/kosakata-arab-yang-sering-muncul-2.html
Ikhwani fillah yang dimuliakan oleh Allah ta’ala, berikut ini kami memposting kosakata yang sering muncul dalam tulisan ataupun percakapan bahasa arab, untuk awal ini kami menampilkan daftar kosakata (mufrodat) dari isim, insyaAllah postingan kosakata yang sering muncul dalam kitab-kitab arab gundul maupun dalam percakapan sehari-hari akan kami tampilkan secara berkala.
Untuk pelajaran bahasa arab dasar berikutnya, kami selingi dahulu dengan latihan-latihan dan mufrodat ini, dengan maksud agar ikhwah sekalian bisa memantapkan terlebih dahulu pelajaran-pelajaran sebelumnya dan lebih memperbanyak kosakata yang dimiliki, semoga bermanfaat…
اَلنَّبَأُ (Berita)
قَلْبٌ (Hati)
يُسْرٌ (Kemudahan)
سَهْلٌ (Kemudahan)
اِمْتِحَانٌ (Ujian)
اَلْفَرَجُ (Jalan keluar)
اَلْكَرْبُ (Kesulitan)
حَقٌّ (Kebenaran)
اَلأَرْضُ (Bumi)
اَلسَّمَاءُ (Langit)
اَلْجَنَّةُ (Surga)
اَلنَّارُ (Neraka)
شَيْءٌ (Sesuatu)
شَهْرٌ (Bulan)
اَلْعِلْمُ (Ilmu)
حَكِيْمٌ (Bijaksana)
مُفِيْدٌ (Bermanfaat)
جَائِزَةٌ (Hadiah)
اَلْيَوْمُ (Hari)
قَوْلٌ (Perkataan)
حَسَنٌ (Baik)
رَجُلٌ (Pria)
كِتَابٌ (Kitab)
جَدِيْدٌ (Baru)
اَلرِّسَالَةُ (Surat)
اَلطَّالِبُ (Pelajar)
اَلدَّرْسُ (Pelajaran)
اَلْقَلَمُ (Pena)
اَلْمَكْتَبُ (Meja)
اَلأُسْتَاذُ (Guru)
اَلْفَصْلُ (Kelas)
اَلْبَيْتُ (Rumah)
اَلْبَابُ (Pintu)
كَبِيْرٌ (Besar)
اَلْمَرْأَةُ (Perempuan)
اَلْغُرْفَةُ (Kamar)
نَشِيْطٌ (Orang yang rajin)
قَائِمٌ (Berdiri)
اَلرَّأْسُ (Kepala)
اَلطَّعَامُ (Makanan)
اَلإِنْسَانُ (Manusia)
اَلْفَقِيْرُ (Fakir)
عِلَّةٌ (Sebab)
نَفْسٌ (Jiwa)
اَلْمَاءُ (Air)
حَارٌّ (Panas)
ضَعِيْفٌ (Lemah)
قَلِيْلٌ (Sedikit)
اَلصَّافِي (Jernih)
قَاعِدٌ (Duduk)
مَرِيْضٌ (Sakit)
اَلْمُجَاهِدُ (Pejuang)
كُلٌّ (Semua)
خُبْزٌ (Roti)
اَلذُّنُوْبُ (Dosa - dosa)
شَرٌّ (Kejelekan)
مَذْمُوْمٌ (Tercela)
قَيِّمٌ (Lurus)
اَلْجِبَالُ (Gunung)
اَلْقَاضِي (Hakim)
اَلصِّرَاطُ (Jalan)
نَاصِرٌ (Penolong)
اَلأَسَدُ (Singa)
اَللَّيْلُ (Malam)
اَلنَّهَارُ (Siang)
صَبَاحٌ (Subuh)
مَسَاءٌ (Sore)
سَنَةٌ (Tahun)
أُسْبُوْعٌ (Minggu)
اَلدِّيْنُ (Agama)
سَاعَةٌ (Jam)
أَمَامَ (Di depan)
وَرَاءَ (Di belakang)
فَوْقَ (Di atas)
تَحْتَ (Di bawah)
خَلْفَ (Di belakang)
يَمِيْنٌ (Kanan)
شِمَالٌ (Kiri)
جَانِبٌ (Sisi)
جِهَةٌ (Arah)
عِنْدَ (Sisi)
اَلْوَاقِعُ (Terletak)
وَلَدٌ (Anak)
اِبْتِغَاءٌ (Mengharap)
http://badar.muslim.or.id/mufrodat/kosakata-arab-yang-sering-muncul-1.html
Ikhwah fillah berikut ini daftar kosakata (mufrodat) dari fi’il, semoga bermanfaat…
حَسُنَ (Baik)
بَعُدَ (Jauh)
قَرُبَ (Dekat)
جَمُلَ (Bagus)
شَرُفَ (Mulia)
جَهَدَ (Bersungguh2)
قَتَلَ (Membunuh)
أَخَذَ (Mengambil)
تَلاَ (Membaca)
سَكَتَ (Diam)
زَارَ (Mengunjungi)
فَرَقَ (Memisahkan)
جَمَعَ (Mengumpulkan)
نَصَرَ (Menolong)
حَمَلَ (Membawa)
ذَكَرَ (Mengingat)
قَامَ (Berdiri)
قَعَدَ (Duduk)
كَبُرَ (Besar)
حَفِظَ (Menjaga)
رَأَى (Melihat)
طَلَبَ (Mencari)
مَضَى (Berlalu)
شَرَكَ (Berserikat)
سَمِعَ (Mendengar)
رَجَعَ (Kembali)
فَتَحَ (Membuka)
رَكَعَ (Ruku)
حَرِصَ (Semangat)
كَرُمَ (Mulia)
كَمُلَ (Sempurna)
رَزَقَ (Rizki)
سَبَقَ (Mendahului)
نَجَحَ (Lulus)
رَبَحَ (Beruntung)
عَبَدَ (Ibadah)
غَفَرَ (Mengampuni)
شَرَحَ (Melapangkan)
فَهِمَ (Paham)
بَدَأَ (Mulai)
صَبَرَ (Sabar)
غَلَبَ (Menang)
دَرَسَ (Belajar)
كَسَرَ (Memecahkan)
مَنَعَ (Mencegah)
طَبَعَ (Mencetak)
صَلُحَ (Baik)
سَفَرَ (Bepergian)
بَكَى (Menangis)
صَرَفَ (Memalingkan)
سَجَدَ (Sujud)
أَمَرَ (Memerintahkan)
حَدَثَ (Terjadi)
نَهَى (Melarang)
جَلَسَ (Duduk)
رَفَعَ (Mengangkat)
مَشَى (Berjalan)
فَصَلَ (Memisahkan)
بَلَغَ (Mencapai)
وَقَفَ (Berhenti)
وَجَدَ (Menemukan)
شَرِبَ (Minum)
قَالَ (Berkata)
قَطَعَ (Memotong)
سَتَرَ (Menutupi)
أَكَلَ (Makan)
نَزَعَ (Mencabut)
نَظَرَ (Memandang)
كَفَرَ (Mengingkari)
تَرَكَ (Meninggalkan)
ظَهَرَ (Tampak)
حَصَلَ (Tercapai)
عَرَفَ (Mengenal)
جَاءَ (Datang)
رَأَى (Melihat)
مَرَّ (Melewati)
ضَرَبَ (Memukul)
حَرُمَ (Haram)
قَرَأَ (Membaca)
دَلَّ (Menunjukkan)
كَتَبَ (Menulis)
رَضِيَ (Ridho)
بَاعَ (Menjual)
عَلِمَ (Mengetahui)
قَالَ (Berkata)
ذَهَبَ (Pergi)
سَأَلَ (Bertanya)
خَلَقَ (Menciptakan)
نَفَعَ (Bermanfaat)
عَمِلَ (Berbuat)
فَلَحَ (Beruntung)
كَذَبَ (Berbohong)
خَابَ (Rugi)
آمَنَ (Beriman)
أَرْسَلَ (Mengutus)
سَلَفَ (Berlalu)
http://badar.muslim.or.id/mufrodat/kosakata-arab-yang-sering-muncul-2.html
Sembilan Faedah Surat al-Fatihah
Sembilan Faedah Surat al-Fatihah (1)
Surat al-Fatihah menyimpan banyak pelajaran berharga. Surat yang hanya terdiri dari tujuh ayat ini telah merangkum berbagai prinsip dan pedoman dalam ajaran Islam. Sebuah surat yang harus dibaca setiap kali mengerjakan sholat. Di dalam surat ini, Allah ta’ala memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Di dalamnya, Allah mengajarkan kepada mereka tugas hidup mereka di dunia. Di dalamnya, Allah mengajarkan kepada mereka untuk bergantung dan berharap kepada-Nya, cinta dan takut kepada-Nya. Di dalamnya, Allah menunjukkan kepada mereka jalan yang akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan. Berikut ini kami akan menyajikan petikan faedah dari surat ini dengan merujuk kepada al-Qur’an, as-Sunnah, serta keterangan para ulama salaf. Semoga tulisan yang ringkas ini bermanfaat untuk yang menyusun maupun yang membacanya.
Faedah Pertama: Kewajiban untuk mencintai Allah
Di dalam ayat ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’ terkandung al-Mahabbah/kecintaan. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menjelaskan, “Di dalam ayat tersebut terkandung kecintaan, sebab Allah adalah Yang memberikan nikmat. Sedangkan Dzat yang memberikan nikmat itu dicintai sesuai dengan kadar nikmat yang diberikan olehnya.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 12)
Sebagaimana kita ketahui bahwa kecintaan merupakan penggerak utama ibadah kepada Allah ta’ala. Karena cintalah seorang hamba mau menundukkan diri dan menaati perintah dan larangan Allah ta’ala. Sebaliknya, karena sedikit dan lemahnya kecintaan maka ketundukan dan ketaatan seorang hamba kepada Rabbnya pun akan semakin menipis. Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Setiap pemberi kenikmatan maka dia berhak dipuji sesuai dengan kadar kenikmatan yang dia berikan. Dan hal ini melahirkan konsekuensi keharusan untuk mencintainya. Sebab jiwa-jiwa manusia tercipta dalam keadaan mencintai sosok yang berbuat baik kepadanya. Sementara Allah jalla wa ‘ala adalah Sang pemberi kebaikan, Sang pemberi kenikmatan dan pemberi keutamaan kepada hamba-hamba-Nya. Oleh sebab itu hati akan mencintai-Nya karena keutamaan dan kebaikan-Nya, sebuah kecintaan yang tak tertandingi dengan kecintaan mana pun. Oleh karena itu, kecintaan merupakan jenis ibadah yang paling agung. Maka alhamdulillahi Rabbil ‘alamin mengandung -ajaran- kecintaan.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 12)
Allah ta’ala berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Di antara manusia, ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai sesembahan tandingan. Mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman lebih dalam kecintaannya kepada Allah.” (QS. al-Baqarah: 165)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allah memberitakan bahwa barangsiapa yang mencintai selain Allah sebagaimana kecintaannya kepada Allah ta’ala maka dia tergolong orang yang menjadikan selain Allah sebagai sekutu. Ini merupakan persekutuan dalam hal kecintaan, bukan dalam hal penciptaan maupun rububiyah, sebab tidak ada seorang pun di antara penduduk dunia ini yang menetapkan sekutu dalam hal rububiyah ini, berbeda dengan sekutu dalam hal kecintaan, maka sebenarnya mayoritas penduduk dunia ini telah menjadikan selain Allah sebagai sekutu dalam hal cinta dan pengagungan.” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 20)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Ada tiga perkara, barangsiapa yang memilikinya maka dia akan mendapatkan manisnya iman. Yaitu apabila Allah dan rasul-Nya lebih dicintainya daripa selain keduanya. Apabila dia mencintai orang tidak lain karena kecintaannya kepada Allah. Dan dia membenci kembali ke dalam kekafiran sebagaimana orang yang tidak senang untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu)
Oleh sebab itu jalinan kecintaan karena selain Allah akan musnah, sedangkan kecintaan yang dibangun di atas ketaatan dan kecintaan kepada-Nya akan tetap kekal hingga hari kemudian. Allah ta’ala berfirman,
الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
“Pada hari itu orang-orang yang saling berkasih sayang akan saling memusuhi satu dengan yang lainnya, kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zukhruf: 67)
Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Tidak tersisa selain kecintaan sesama orang-orang yang bertakwa, karena ia dibangun di atas landasan yang benar, ia akan tetap kekal di dunia dan di akhirat. Adapun kecintaan antara orang-orang kafir dan musyrik, maka ia akan terputus dan berubah menjadi permusuhan.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 15)
Allah ta’ala berfirman,
وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا يَا وَيْلَتَا لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا
“Dan ingatlah pada hari kiamat itu nanti orang yang gemar melakukan kezaliman akan menggigit kedua tangannya dan mengatakan, ‘Aduhai alangkah baik seandainya dahulu aku mengambil jalan mengikuti rasul itu. Aduhai sungguh celaka diriku, andai saja dulu aku tidak menjadikan si fulan itu sebagai teman dekatku. Sungguh dia telah menyesatkanku dari peringatan itu (al-Qur’an) setelah peringatan itu datang kepadaku.’ Dan memang syaitan itu tidak mau memberikan pertolongan kepada manusia.” (QS. al-Furqan: 27-29)
Faedah Kedua: Kewajiban untuk berharap kepada Allah
Di dalam ayat ‘ar-Rahman ar-Rahim’ terkandung roja’/harapan. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan, “Di dalam ayat tersebut terkandung roja’.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 18). Harapan merupakan energi yang akan memacu seorang insan. Dengan masih adanya harapan di dalam dirinya, maka ia akan bergerak dan melangkah, berjuang dan berkorban. Dia akan berdoa dan terus berdoa kepada Rabbnya. Demikianlah karakter hamba-hamba pilihan. Allah ta’ala berfirman,
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
“Mereka itu -sosok orang salih yang disembah oleh orang musyrik- justru mencari jalan untuk bisa mendekatkan diri kepada Allah; siapakah di antara mereka yang lebih dekat dengan-Nya, mereka mengharapkan rahmat-Nya dan merasa takut dari siksa-Nya. Sesungguhnya siksa Rabbmu harus senantiasa ditakuti.” (QS. al-Israa’: 57)
Allah ta’ala berfirman,
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Rabb kalian berfirman; Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan permintaan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku maka mereka akan masuk ke dalam Neraka dalam keadaan hina dina.” (QS. Ghafir: 60)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلَا يَقُلْ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي إِنْ شِئْتَ وَلَكِنْ لِيَعْزِمْ الْمَسْأَلَةَ وَلْيُعَظِّمْ الرَّغْبَةَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَتَعَاظَمُهُ شَيْءٌ أَعْطَاهُ
“Apabila salah seorang di antara kalian berdoa maka janganlah dia mengatakan, ‘Ya Allah, ampunilah aku jika Kamu mau’ tetapi hendaknya dia bersungguh-sungguh dalam memintanya dan memperbesar harapan, sebab Allah tidak merasa berat terhadap apa pun yang akan diberikan oleh-Nya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَسْأَلْ اللَّهَ يَغْضَبْ عَلَيْه
“Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya.” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dihasankan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Tirmidzi [3373])
Harapan bukanlah angan-angan kosong, namun ia merupakan perbuatan hati yang mendorong pemiliknya untuk berusaha dan bersungguh-sungguh dalam mencapai keinginannya. Karena harapan itulah maka dia tetap tegar di atas keimanan, rela untuk meninggalkan apa yang disukainya demi mendapatkan keridhaan Allah, dan dia akan rela mengerahkan segala daya dan kekuatannya di jalan Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah: 218)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya harapan yang terpuji tidaklah ada kecuali bagi orang yang beramal dengan ketaatan kepada Allah dan mengharapkan pahala atasnya, atau orang yang bertaubat dari kemaksiatannya dan mengharapkan taubatnya diterima. Adapun harapan semata yang tidak diiringi dengan amalan, maka itu adalah ghurur/ketertipuan dan angan-angan yang tercela.” (Syarh Tsalatsat Ushul, hal. 58)
Faedah Ketiga: Kewajiban untuk takut kepada Allah
Di dalam ayat ‘Maaliki yaumid diin’ terkandung ajaran untuk merasa takut kepada hukuman Allah. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Di dalamnya terkandung khauf/rasa takut.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 18). Dengan adanya rasa takut inilah, seorang hamba akan menahan diri dari melanggar aturan-aturan Allah ta’ala. Dengan adanya rasa takut inilah, seorang hamba akan rela meninggalkan sesuatu yang disukainya karena takut terjerumus dalam larangan dan kemurkaan-Nya. Sebab pada hari kiamat nanti manusia akan mendapatkan balasan atas amal-amalnya di dunia. Barangsiapa yang amalnya baik, maka baik pula balasannya Dan barangsiapa yang amalnya buruk, maka buruk pula balasannya.
Allah ta’ala berfirman,
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
“Adapun orang yang merasa takut kepada kedudukan Rabbnya dan menahan diri dari memperturutkan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surga itulah tempat tinggalnya.” (QS. an-Nazi’at: 40-41)
Di hari kiamat nanti, semua orang akan tunduk di bawah kekuasaan-Nya. Tidak ada seorang pun yang berani dan mampu untuk menentang titah-Nya. Ketika itu langit dan bumi akan dilipat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَطْوِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ السَّمَاوَاتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُهُنَّ بِيَدِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ ثُمَّ يَطْوِي الْأَرَضِينَ بِشِمَالِهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ
“Allah ‘azza wa jalla akan melipat langit pada hari kiamat nanti kemudian Allah akan mengambilnya dengan tangan kanan-Nya, lalu Allah berfirman; ‘Akulah Sang raja, di manakah orang-orang yang bengis, di manakah orang-orang yang suka menyombongkan dirinya.’ Kemudian Allah melipat bumi dengan tangan kirinya, kemudian Allah berfirman; ‘Aku lah Sang Raja, di manakah orang-orang yang bengis, di manakah orang-orang yang suka menyombongkan diri.’.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma).
Di hari kiamat nanti, harta dan keturunan tidak ada gunanya, kecuali bagi orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. Allah ta’ala berfirman,
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ وَأُزْلِفَتِ الْجَنَّةُ لِلْمُتَّقِينَ وَبُرِّزَتِ الْجَحِيمُ لِلْغَاوِينَ
“Pada hari itu tidak berguna harta dan keturunan kecuali bagi orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih, dan surga itu akan didekatkan kepada orang-orang yang bertakwa, dan akan ditampakkanlah dengan jelas neraka itu kepada orang-orang yang sesat.” (QS. as-Syu’ara’: 88-91)
Suatu hari ketika kegoncangan di hari itu sangatlah dahsyat, sampai-sampai seorang ibu melalaikan bayi yang disusuinya dan setiap janin akan gugur dari kandungan ibunya. Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ إِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيمٌ يَوْمَ تَرَوْنَهَا تَذْهَلُ كُلُّ مُرْضِعَةٍ عَمَّا أَرْضَعَتْ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَ سُكَارَى وَمَا هُمْ بِسُكَارَى وَلَكِنَّ عَذَابَ اللَّهِ شَدِيدٌ
“Hai umat manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian, sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah kejadian yang sangat besar. Ingatlah, pada hari itu ketika kamu melihatnya, setiap ibu yang menyusui anaknya akan lalai terhadap anak yang disusuinya, dan setiap perempuan yang hamil akan mengalami keguguran kandungannya, dan kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sesuangguhnya mereka tidak sedang mabuk, namun ketika itu adzab Allah sangatlah keras.” (QS. al-Hajj: 1-2)
Khauf kepada Allah semata merupakan bukti jujurnya keimanan seorang hamba. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Sesungguhnya itu hanyalah syaitan yang menakut-nakuti para walinya, maka janganlah kalian takut kepada mereka, akan tetapi takutlah kepada-Ku, jika kalin benar-benar beriman.” (QS. Ali Imran: 175)
Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Apabila ketiga perkara ini terkumpul: cinta, harap, dan takut, maka itulah asas tegaknya aqidah.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 18).
Ketiga hal di atas -mahabbah, raja’ dan khauf- merupakan pondasi aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Oleh karena itu para ulama kita mengatakan, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja maka dia adalah seorang Zindiq. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan rasa takut semata, maka dia adalah seorang Haruri/penganut aliran Khawarij. Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan rasa harap semata, maka dia adalah seorang Murji’ah. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan cinta, takut, dan harap maka dia adalah seorang mukmin muwahhid.” (Syarh Aqidah at-Thahawiyah tahqiq Ahmad Syakir [2/275] as-Syamilah).
Faedah Keempat: Kewajiban untuk mentauhidkan Allah
Di dalam ayat ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ terkandung ajaran untuk mentauhidkan Allah ta’ala. Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan kandungan ayat ini, “Maknanya adalah: Kami mengkhususkan ibadah dan isti’anah hanya untuk-Mu…” (Taisir al-Karim ar-Rahman [1/28]). Inilah hakikat ajaran Islam yaitu mempersembahkan segala bentuk ibadah kepada Allah semata. Karena tujuan itulah Allah menciptakan jin dan manusia. Untuk mendakwahkan itulah Allah mengutus para nabi dan rasul kepada umat manusia. Dengan ibadah yang ikhlas itulah seorang hamba akan bisa menjadi sosok yang bertakwa dan mulia di sisi-Nya. Allah ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56)
Allah ta’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Tidaklah Kami mengutus sebelum seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (QS. al-Anbiya’: 25)
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai umat manusia, sembahlah Rabb kalian, yaitu yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian menjadi bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 21)
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa.” (QS. al-Hujurat: 13)
Maka barangsiapa yang menujukan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah sungguh dia telah terjerumus dalam kemusyrikan. Sebagaimana kita meyakini bahwa Allah satu-satunya yang menciptakan alam semesta ini, yang menghidupkan dan mematikan, yang menguasai dan mengatur alam ini, maka sudah seharusnya kita pun menujukan segala bentuk ibadah kita yang dibangun di atas rasa cinta, harap, dan takut itu hanya kepada Allah semata.
Faedah Kelima: Kewajiban untuk bertawakal kepada-Nya
Hal ini terkandung di dalam potongan ayat ‘wa iyyaka nasta’in’. Karena kita meyakini bahwa tidak ada yang menguasai kemanfaatan dan kemadharatan kecuali Allah, tidak ada yang mengatur segala sesuatu kecuali Dia, maka semestinya kita pun bergantung dan berharap hanya kepada-Nya. Kita tidak boleh meminta pertolongan dalam perkara-perkara yang hanya dikuasai oleh Allah kepada selain-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma,
يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ رُفِعَتْ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ
“Hai anak muda, aku akan mengajarkan beberapa kalimat kepadamu. Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kamu akan menemukan-Nya di hadapanmu. Apabila kamu meminta maka mintalah kepada Allah. Apabila kamu meminta pertolongan maka mintalah pertolongan kepada Allah. Ketauhilah, seandainya seluruh manusia bersatu padu untuk memberikan suatu manfaat kepadamu maka mereka tidak akan memberikan manfaat itu kepadamu kecuali sebatas apa yang Allah tetapkan untukmu. Dan seandainya mereka bersatu padu untuk memudharatkan dirimu dengan sesuatu maka mereka tidak akan bisa menimpakan mudharat itu kecuali sebatas apa yang Allah tetapkan menimpamu. Pena telah diangkat dan lembaran takdir telah mengering.” (HR. Tirmidzi, dia berkata; hasan sahih, disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan at-Tirmidzi [2516])
Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan berikan baginya jalan keluar dan akan memberikan rezeki kepadanya dari jalan yang tidak disangka-sangka. Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah maka Allah pasti mencukupinya.” (QS. at-Thalaq: 2-3)
Orang-orang yang beriman adalah orang yang bertawakal kepada Allah semata. Allah ta’ala berfirman,
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Hanya kepada Allah sajalah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (QS. al-Maa’idah: 23)
Apabila disebutkan nama Allah maka bergetarlah hati mereka. Allah ta’ala juga berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah maka hati mereka menjadi takut/bergetar, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka. Dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka. Orang-orang yang mendirikan sholat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang mukmin yang sejati, mereka akan mendapatkan derajat yang berlainan di sisi Rabb mereka dan ampunan serta rezeki yang mulia.” (QS. al-Anfal: 2-4)
Dengan mengingat Allah maka hati mereka menjadi tenang. Allah ta’ala berfirman,
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah, dengan mengingat Allah maka hati akan menjadi tenang.” (QS. ar-Ra’d: 28)
Berbeda halnya dengan orang yang bergantung dan berharap kepada selain Allah. Hati mereka tenang dan gembira ketika mengingat sesembahan dan pujaan selain Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman,
وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآَخِرَةِ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ
“Apabila disebut nama Allah saja maka akan menjadi kesal hati orang-orang yang tidak beriman dengan hari akhirat itu, sedangkan apabila disebut selain-Nya maka mereka pun tiba-tiba merasa bergembira.” (QS. az-Zumar: 45)
Karena tawakal pula seorang hamba akan bisa masuk ke dalam surga tanpa hisab dan tanpa siksa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعُونَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ هُمْ الَّذِينَ لَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Akan masuk surga tujuh puluh ribu orang di antara umatku tanpa hisab, mereka itu adalah orang-orang yang tidak meminta diruqyah, tidak mempunyai anggapan sial/tathayyur, dan hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” (HR. Bukhari dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma).
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Sembilan Faedah Surat al-Fatihah (2)
Faedah Keenam: Kewajiban untuk meminta petunjuk kepada-Nya
Hal ini terkandung dalam ayat ‘Ihdinas shirathal mustaqim’. Hidayah merupakan anugerah dari Allah ta’ala kepada hamba yang dipilih-Nya. Sedangkan hidayah itu terdiri dari dua macam; hidayah ilmu dan hidayah amal. Dan hidayah semacam itu dibutuhkan oleh manusia di setiap saat dalam perjalanan hidupnya. Setiap hamba senantiasa membutuhkan hidayah tersebut selama dia masih hidup di alam dunia ini. Oleh karena besarnya kebutuhan setiap hamba untuk memohon hidayah maka Allah pun mewajibkan mereka memintanya dalam sehari dan semalam minimal tujuh belas kali di dalam sholat.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “…Seandainya bukan karena besarnya kebutuhan dirinya untuk mendapatkan hidayah di waktu malam maupun siang niscaya Allah ta’ala tidak akan membimbingnya untuk melakukan hal itu -meminta hidayah setiap kali sholat-. Sebab seorang hamba itu sesungguhnya di setiap saat dan keadaan senantiasa memerlukan pertolongan dari Allah untuk bisa tegar mengikuti hidayah dan berpijak dengan kokoh padanya, agar terus mendapatkan pencerahan, peningkatan ilmu, dan bisa terus menerus berada di atasnya. Karena setiap hamba tidaklah menguasai kemanfaatan maupun kemudharatan bagi dirinya sendiri kecuali sebatas yang Allah kehendaki. Oleh sebab itulah maka Allah ta’ala membimbingnya untuk senantiasa meminta hidayah itu di setiap saat agar Allah mencurahkan kepadanya pertolongan, keteguhan dan tafik dari-Nya.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/39])
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad mengatakan, “Doa ini mengandung seagung-agung tuntutan seorang hamba yaitu mendapatkan petunjuk menuju jalan yang lurus. Dengan meniti jalan itulah seseorang akan keluar dari berbagai kegelapan menuju cahaya serta akan menuai keberhasilan dunia dan akhirat. Kebutuhan hamba terhadap petunjuk ini jauh lebih besar daripada kebutuhan dirinya terhadap makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman hanyalah bekal untuk menjalani kehidupannya yang fana. Sedangkan petunjuk menuju jalan yang lurus merupakan bekal kehidupannya yang kekal dan abadi. Doa ini juga mengandung permintaan untuk diberikan keteguhan di atas petunjuk yang telah diraih dan juga mengandung permintaan untuk mendapatkan tambahan petunjuk.” (Min Kunuz al-Qur’an)
Segala puji hanya bagi Allah yang telah menunjukkan kita ke jalan Islam. Sebab dengan Islam inilah seorang hamba akan bisa masuk ke dalam surga. Allah ta’ala berfirman mengenai kegembiraan penduduk surga,
وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ
“Mereka mengatakan; ‘Segala puji hanya bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kami ke surga ini. Kami tidak akan mendapat petunjuk sekiranya Allah tidak memberikan petunjuk kepada kami. Sesungguhnya rasul-rasul Rabb kami telah datang dengan membawa kebenaran.’.” (QS. al-A’raaf: 43)
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْ أَحَدِهِمْ مِلْءُ الْأَرْضِ ذَهَبًا وَلَوِ افْتَدَى بِهِ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati dalam keadaan kafir maka tidak akan pernah diterima dari mereka emas sepenuh bumi walaupun hal itu mereka gunakan untuk menebus siksa, mereka itu memang layak untuk menerima siksa yang sangat menyakitkan dan tidak ada bagi mereka seorang penolongpun.” (QS. Ali Imran: 91)
Allah juga berfirman,
إِنَّهُ ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan surga baginya dan tempat kembalinya adalah neraka, dan bagi orang-orang zalim itu tidak ada seorang penolong.” (QS. al-Maa’idah: 72)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَّا نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ
“Tidak akan masuk ke dalam surga melainkan jiwa yang muslim.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Dalam riwayat lainnya, beliau bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَّا الْمُؤْمِنُونَ
“Tidak akan masuk surga selain orang-orang yang beriman.” (HR. Muslim dari Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu)
Hidayah juga bukan yang perkara sepele, namun dia adalah anugerah Allah kepada hamba pilihan-Nya. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya engkau tidak akan bisa memberikan hidayah (taufik) kepada orang yang kamu cintai, akan tetapi Allah lah yang memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui siapakah orang yang ditakdirkan mendapatkan hidayah.” (QS. al-Qashash: 56)
al-Musayyab radhiyallahu’anhu menuturkan,
لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدُ لَهُ تِلْكَ الْمَقَالَةَ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Di saat kematian akan menghampiri Abu Thalib maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang untuk menemuinya dan ternyata di sisinya telah ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata; ‘Wahai pamanku, ucapkanlah la ilaha illallah, sebuah kalimat yang akan aku gunakan untuk bersaksi untukmu di sisi Allah’. Maka Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah mengatakan; ‘Wahai Abu Thalib, apakah kamu benci kepada agama Abdul Muthallib -bapakmu-?’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menawarkan dan mengulangi ajakannya itu, sampai akhirnya Abu Thalib mengucapkan perkataan terakhirnya kepada mereka bahwa dia tetap berada di atas agama Abdul Muthallib. Dia enggan untuk mengucapkan la ilaha illallah…” (HR. Muslim)
Faedah Ketujuh: Kewajiban untuk mengikuti Rasul dan para sahabatnya
Hal itu terkandung dalam ayat ‘Shirathalladzina an’amta ‘alaihim’. Jalan orang-orang yang mendapatkan kenikmatan dari Allah, yaitu jalan para nabi, orang-orang shiddiq, syuhada’ dan orang-orang salih. Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul, maka mereka itulah orang-orang yang akan bersama dengan orang-orang yang diberi kenikmatan oleh Allah yaitu para nabi, orang-orang shiddiq, syuhada’, dan orang-orang salih. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. an-Nisaa’: 69)
Allah ta’ala juga berfirman,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia juga mengikuti selain jalan orang-orang beriman maka Kami akan membiarkan dia terlantar di atas kesesatan yang dipilihnya dan Kami pun akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115)
Allah ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Tidaklah pantas bagi seorang mukmin lelaki maupun perempuan apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara kemudian masih ada bagi mereka pilihan yang lainnya dalam menghadapi masalah mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Semua umatku akan masuk surga kecuali yang enggan.” Maka para sahabat bertanya, ‘Siapakah orang yang enggan itu wahai Rasulullah?’. beliau menjawab, “Barangsiapa yang menaatiku akan masuk surga dan barangsiapa yang durhaka kepadaku dialah yang enggan.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berpesan,
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang masih hidup sesudahku maka dia pasti akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk tetap mengikuti Sunnah/ajaranku dan Sunnah para khalifah yang berada di atas petunjuk dan terbimbing. Berpegang teguhlah dengannya, dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan -di dalam agama-, karena sesungguhnya setiap yang diada-adakan -dalam agama- itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah pasti sesat.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu, disahihkan al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib [37])
Inilah jalan lurus itu, yaitu mengikuti pemahaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ilmu maupun amalan. Allah ta’ala berfirman,
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama -membela Islam- dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Allah sediakan untuk mereka surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, itulah keberuntungan yang sangat besar.” (QS. at-Taubah: 100)
Faedah Kedelapan: Kewajiban untuk mengamalkan ilmu
Hal ini terkandung dalam potongan ayat ‘Ghairil maghdhubi ‘alaihim’. Orang yang dimurkai itu adalah orang yang mengetahui kebenaran tapi justru tidak mau mengamalkannya. Sebagaimana orang-orang Yahudi dan yang mengikuti mereka. Syaikh Abdurrahman bin Naashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “(Shirathal Mustaqim) adalah jalan terang yang akan mengantarkan hamba menuju Allah dan masuk ke dalam Surga-Nya. Hakikat jalan itu adalah mengetahui kebenaran dan mengamalkannya…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39). Sehingga jalan yang lurus itu menuntut seorang muslim untuk mengamalkan ilmunya.
Syaikh Abdul Muhsin mengatakan, “Petunjuk menuju jalan yang lurus itu akan menuntun kepada jalan orang-orang yang diberikan kenikmatan yaitu para nabi, orang-orang shiddiq, para syuhada’, dan orang-orang salih. Mereka itu adalah orang-orang yang memadukan ilmu dengan amal. Maka seorang hamba memohon kepada Rabbnya untuk melimpahkan hidayah menuju jalan lurus ini yang merupakan sebuah pemuliaan dari Allah kepada para rasul-Nya dan wali-wali-Nya. Dia memohon agar Allah menjauhkan dirinya dari jalan musuh-musuh-Nya yaitu orang-orang yang memiliki ilmu akan tetapi tidak mengamalkannya. Mereka itulah golongan Yahudi yang dimurkai.” (Min Kunuz al-Qur’an)
Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata,
“Hendaknya diingat bahwa seseorang yang tidak beramal dengan ilmunya maka ilmunya itu kelak akan menjadi bukti yang menjatuhkannya. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits Abu Barzah radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sampai dia akan ditanya tentang empat perkara, diantaranya adalah tentang ilmunya, apa yang sudah diamalkannya.” (HR. Tirmidzi 2341)
Hal ini bukan berlaku bagi para ulama saja, sebagaimana anggapan sebagian orang. Akan tetapi semua orang yang mengetahui suatu perkara agama maka itu berarti telah tegak padanya hujjah. Apabila seseorang memperoleh suatu pelajaran dari sebuah pengajian atau khutbah Jum’at yang di dalamnya dia mendapatkan peringatan dari suatu kemaksiatan yang dikerjakannya sehingga dia pun mengetahui bahwa kemaksiatan yang dilakukannya itu adalah haram maka ini juga ilmu. Sehingga hujjah juga sudah tegak dengan apa yang didengarnya tersebut. Dan terdapat hadits yang sah dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ
“al-Qur’an itu adalah hujjah bagimu atau hujjah untuk menjatuhkan dirimu” (HR. Muslim)” (Hushulul Ma’mul, hal. 18)
Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah mengatakan, “Amal adalah buah dari ilmu. Ilmu itu ada dalam rangka mencapai sesuatu yang lainnya. Ilmu diibaratkan seperti sebuah pohon, sedangkan amalan adalah seperti buahnya. Maka setelah mengetahui ajaran agama Islam seseorang harus menyertainya dengan amalan. Sebab orang yang berilmu akan tetapi tidak beramal dengannya lebih jelek keadaannya daripada orang bodoh. Di dalam hadits disebutkan, “Orang yang paling keras siksanya adalah seorang berilmu dan tidak diberi manfaat oleh Allah dengan sebab ilmunya.” Orang semacam inilah yang termasuk satu di antara tiga orang yang dijadikan sebagai bahan bakar pertama-tama nyala api neraka. Di dalam sebuah sya’ir dikatakan,
Orang alim yang tidak mau
Mengamalkan ilmunya
Mereka akan disiksa sebelum
Disiksanya para penyembah berhala
(Hasyiyah Tsalatsatul Ushul, hal. 12)
Ibnu Katsir rahimahullah di dalam kitab tafsirnya ketika membahas firman Allah ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya kebanyakan pendeta dan rahib-rahib benar-benar memakan harta manusia dengan cara yang batil dan memalingkan manusia dari jalan Allah.” (QS. at-Taubah: 34) menukilkan ucapan Sufyan bin Uyainah yang mengatakan, “Orang-orang yang rusak di antara orang berilmu di kalangan kita, padanya terdapat keserupaan dengan Yahudi. Dan orang-orang yang rusak di antara para ahli ibadah di kalangan kita, padanya terdapat keserupaan dengan Nasrani.” (Min Kunuz al-Qur’an)
Faedah Kesembilan: Kewajiban untuk beribadah di atas ilmu
Hal ini terkandung dalam potongan ayat ‘wa lad dhaallin’. Orang-orang yang sesat itu adalah orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah namun dengan cara yang tidak benar, sebagaimana kaum Nasrani. Allah ta’ala berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, dan minta ampunlah bagi dosa-dosamu.” (QS. Muhammad: 19)
Ilmu merupakan landasan ucapan dan perbuatan. Oleh sebab itu Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab di dalam Kitab Shahihnya dengan judul al-’Ilmu qablal qaul wal ‘amal (Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan). Allah ta’ala berfirman,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, itu semua pasti akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. al-Israa’: 36)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangisapa ang dikehendaki baik oleh Allah maka akan dipahamkan dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’awiyah radhiyallahu’anhu)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya seluruh sifat yang menyebabkan hamba dipuji oleh Allah di dalam al-Qur’an maka itu semua merupakan buah dan hasil dari ilmu. Dan seluruh celaan yang disebutkan oleh-Nya maka itu semua bersumber dari kebodohan dan akibat darinya…” (al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 128). Beliau juga menegaskan, “Tidaklah diragukan bahwa sesungguhnya kebodohan adalah pokok seluruh kerusakan. Semua bahaya yang menimpa manusia di dunia dan di akhirat maka itu adalah akibat dari kebodohan…” (al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 101)
Syaikh Muhammad al-Amin as-Syinqithi mengatakan di dalam kitabnya Adhwa’ul Bayan (1/53), “Orang-orang Yahudi dan Nasrani -meskipun sebenarnya mereka sama-sama sesat dan sama-sama dimurkai- hanya saja kemurkaan itu lebih dikhususkan kepada Yahudi -meskipun orang Nasrani juga termasuk di dalamnya- dikarenakan mereka telah mengenal kebenaran namun justru mengingkarinya, dan secara sengaja melakukan kebatilan. Karena itulah kemurkaan lebih condong dilekatkan kepada mereka. Adapun orang-orang Nasrani adalah orang yang bodoh dan tidak mengetahui kebenaran, sehingga kesesatan merupakan ciri mereka yang lebih menonjol. Meskipun begitu Allah menyatakan bahwa ‘al magdhubi ‘alaihim’ adalah kaum Yahudi melalui firman-Nya ta’ala tentang mereka (yang artinya), “Maka mereka pun kembali dengan menuai kemurkaan di atas kemurkaan.” (QS. al-Baqarah: 90). Demikian pula Allah berfirman mengenai mereka (yang artinya), “Katakanlah; maukah aku kabarkan kepada kalian tentang golongan orang yang balasannya lebih jelek di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dilaknati Allah dan dimurkai oleh-Nya.” (QS. al-Ma’idah: 60). Begitu pula firman-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan patung sapi itu sebagai sesembahan niscaya akan mendapatkan kemurkaan.” (QS. al-A’raaf: 152). Sedangkan golongan ‘adh dhaalliin’ telah Allah jelaskan bahwa mereka itu adalah kaum Nasrani melalui firman-Nya ta’ala (yang artinya), “Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu suatu kaum yang telah tersesat, dan mereka pun menyesatkan banyak orang, sungguh mereka telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. al-Ma’idah: 77)”
Semoga tulisan yang ringkas ini bermanfaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Yogyakarta, Senin 9 Jumadil Ula 1430 H
Hamba yang fakir kepada Rabbnya
Semoga Allah mengampuninya, kedua orang tuanya
dan segenap kaum muslimin
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Surat al-Fatihah menyimpan banyak pelajaran berharga. Surat yang hanya terdiri dari tujuh ayat ini telah merangkum berbagai prinsip dan pedoman dalam ajaran Islam. Sebuah surat yang harus dibaca setiap kali mengerjakan sholat. Di dalam surat ini, Allah ta’ala memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Di dalamnya, Allah mengajarkan kepada mereka tugas hidup mereka di dunia. Di dalamnya, Allah mengajarkan kepada mereka untuk bergantung dan berharap kepada-Nya, cinta dan takut kepada-Nya. Di dalamnya, Allah menunjukkan kepada mereka jalan yang akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan. Berikut ini kami akan menyajikan petikan faedah dari surat ini dengan merujuk kepada al-Qur’an, as-Sunnah, serta keterangan para ulama salaf. Semoga tulisan yang ringkas ini bermanfaat untuk yang menyusun maupun yang membacanya.
Faedah Pertama: Kewajiban untuk mencintai Allah
Di dalam ayat ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’ terkandung al-Mahabbah/kecintaan. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menjelaskan, “Di dalam ayat tersebut terkandung kecintaan, sebab Allah adalah Yang memberikan nikmat. Sedangkan Dzat yang memberikan nikmat itu dicintai sesuai dengan kadar nikmat yang diberikan olehnya.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 12)
Sebagaimana kita ketahui bahwa kecintaan merupakan penggerak utama ibadah kepada Allah ta’ala. Karena cintalah seorang hamba mau menundukkan diri dan menaati perintah dan larangan Allah ta’ala. Sebaliknya, karena sedikit dan lemahnya kecintaan maka ketundukan dan ketaatan seorang hamba kepada Rabbnya pun akan semakin menipis. Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Setiap pemberi kenikmatan maka dia berhak dipuji sesuai dengan kadar kenikmatan yang dia berikan. Dan hal ini melahirkan konsekuensi keharusan untuk mencintainya. Sebab jiwa-jiwa manusia tercipta dalam keadaan mencintai sosok yang berbuat baik kepadanya. Sementara Allah jalla wa ‘ala adalah Sang pemberi kebaikan, Sang pemberi kenikmatan dan pemberi keutamaan kepada hamba-hamba-Nya. Oleh sebab itu hati akan mencintai-Nya karena keutamaan dan kebaikan-Nya, sebuah kecintaan yang tak tertandingi dengan kecintaan mana pun. Oleh karena itu, kecintaan merupakan jenis ibadah yang paling agung. Maka alhamdulillahi Rabbil ‘alamin mengandung -ajaran- kecintaan.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 12)
Allah ta’ala berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Di antara manusia, ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai sesembahan tandingan. Mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman lebih dalam kecintaannya kepada Allah.” (QS. al-Baqarah: 165)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allah memberitakan bahwa barangsiapa yang mencintai selain Allah sebagaimana kecintaannya kepada Allah ta’ala maka dia tergolong orang yang menjadikan selain Allah sebagai sekutu. Ini merupakan persekutuan dalam hal kecintaan, bukan dalam hal penciptaan maupun rububiyah, sebab tidak ada seorang pun di antara penduduk dunia ini yang menetapkan sekutu dalam hal rububiyah ini, berbeda dengan sekutu dalam hal kecintaan, maka sebenarnya mayoritas penduduk dunia ini telah menjadikan selain Allah sebagai sekutu dalam hal cinta dan pengagungan.” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 20)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Ada tiga perkara, barangsiapa yang memilikinya maka dia akan mendapatkan manisnya iman. Yaitu apabila Allah dan rasul-Nya lebih dicintainya daripa selain keduanya. Apabila dia mencintai orang tidak lain karena kecintaannya kepada Allah. Dan dia membenci kembali ke dalam kekafiran sebagaimana orang yang tidak senang untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu)
Oleh sebab itu jalinan kecintaan karena selain Allah akan musnah, sedangkan kecintaan yang dibangun di atas ketaatan dan kecintaan kepada-Nya akan tetap kekal hingga hari kemudian. Allah ta’ala berfirman,
الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
“Pada hari itu orang-orang yang saling berkasih sayang akan saling memusuhi satu dengan yang lainnya, kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zukhruf: 67)
Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Tidak tersisa selain kecintaan sesama orang-orang yang bertakwa, karena ia dibangun di atas landasan yang benar, ia akan tetap kekal di dunia dan di akhirat. Adapun kecintaan antara orang-orang kafir dan musyrik, maka ia akan terputus dan berubah menjadi permusuhan.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 15)
Allah ta’ala berfirman,
وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا يَا وَيْلَتَا لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا
“Dan ingatlah pada hari kiamat itu nanti orang yang gemar melakukan kezaliman akan menggigit kedua tangannya dan mengatakan, ‘Aduhai alangkah baik seandainya dahulu aku mengambil jalan mengikuti rasul itu. Aduhai sungguh celaka diriku, andai saja dulu aku tidak menjadikan si fulan itu sebagai teman dekatku. Sungguh dia telah menyesatkanku dari peringatan itu (al-Qur’an) setelah peringatan itu datang kepadaku.’ Dan memang syaitan itu tidak mau memberikan pertolongan kepada manusia.” (QS. al-Furqan: 27-29)
Faedah Kedua: Kewajiban untuk berharap kepada Allah
Di dalam ayat ‘ar-Rahman ar-Rahim’ terkandung roja’/harapan. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan, “Di dalam ayat tersebut terkandung roja’.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 18). Harapan merupakan energi yang akan memacu seorang insan. Dengan masih adanya harapan di dalam dirinya, maka ia akan bergerak dan melangkah, berjuang dan berkorban. Dia akan berdoa dan terus berdoa kepada Rabbnya. Demikianlah karakter hamba-hamba pilihan. Allah ta’ala berfirman,
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
“Mereka itu -sosok orang salih yang disembah oleh orang musyrik- justru mencari jalan untuk bisa mendekatkan diri kepada Allah; siapakah di antara mereka yang lebih dekat dengan-Nya, mereka mengharapkan rahmat-Nya dan merasa takut dari siksa-Nya. Sesungguhnya siksa Rabbmu harus senantiasa ditakuti.” (QS. al-Israa’: 57)
Allah ta’ala berfirman,
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Rabb kalian berfirman; Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan permintaan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku maka mereka akan masuk ke dalam Neraka dalam keadaan hina dina.” (QS. Ghafir: 60)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلَا يَقُلْ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي إِنْ شِئْتَ وَلَكِنْ لِيَعْزِمْ الْمَسْأَلَةَ وَلْيُعَظِّمْ الرَّغْبَةَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَتَعَاظَمُهُ شَيْءٌ أَعْطَاهُ
“Apabila salah seorang di antara kalian berdoa maka janganlah dia mengatakan, ‘Ya Allah, ampunilah aku jika Kamu mau’ tetapi hendaknya dia bersungguh-sungguh dalam memintanya dan memperbesar harapan, sebab Allah tidak merasa berat terhadap apa pun yang akan diberikan oleh-Nya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَسْأَلْ اللَّهَ يَغْضَبْ عَلَيْه
“Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya.” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dihasankan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Tirmidzi [3373])
Harapan bukanlah angan-angan kosong, namun ia merupakan perbuatan hati yang mendorong pemiliknya untuk berusaha dan bersungguh-sungguh dalam mencapai keinginannya. Karena harapan itulah maka dia tetap tegar di atas keimanan, rela untuk meninggalkan apa yang disukainya demi mendapatkan keridhaan Allah, dan dia akan rela mengerahkan segala daya dan kekuatannya di jalan Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah: 218)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya harapan yang terpuji tidaklah ada kecuali bagi orang yang beramal dengan ketaatan kepada Allah dan mengharapkan pahala atasnya, atau orang yang bertaubat dari kemaksiatannya dan mengharapkan taubatnya diterima. Adapun harapan semata yang tidak diiringi dengan amalan, maka itu adalah ghurur/ketertipuan dan angan-angan yang tercela.” (Syarh Tsalatsat Ushul, hal. 58)
Faedah Ketiga: Kewajiban untuk takut kepada Allah
Di dalam ayat ‘Maaliki yaumid diin’ terkandung ajaran untuk merasa takut kepada hukuman Allah. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Di dalamnya terkandung khauf/rasa takut.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 18). Dengan adanya rasa takut inilah, seorang hamba akan menahan diri dari melanggar aturan-aturan Allah ta’ala. Dengan adanya rasa takut inilah, seorang hamba akan rela meninggalkan sesuatu yang disukainya karena takut terjerumus dalam larangan dan kemurkaan-Nya. Sebab pada hari kiamat nanti manusia akan mendapatkan balasan atas amal-amalnya di dunia. Barangsiapa yang amalnya baik, maka baik pula balasannya Dan barangsiapa yang amalnya buruk, maka buruk pula balasannya.
Allah ta’ala berfirman,
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
“Adapun orang yang merasa takut kepada kedudukan Rabbnya dan menahan diri dari memperturutkan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surga itulah tempat tinggalnya.” (QS. an-Nazi’at: 40-41)
Di hari kiamat nanti, semua orang akan tunduk di bawah kekuasaan-Nya. Tidak ada seorang pun yang berani dan mampu untuk menentang titah-Nya. Ketika itu langit dan bumi akan dilipat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَطْوِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ السَّمَاوَاتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُهُنَّ بِيَدِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ ثُمَّ يَطْوِي الْأَرَضِينَ بِشِمَالِهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ
“Allah ‘azza wa jalla akan melipat langit pada hari kiamat nanti kemudian Allah akan mengambilnya dengan tangan kanan-Nya, lalu Allah berfirman; ‘Akulah Sang raja, di manakah orang-orang yang bengis, di manakah orang-orang yang suka menyombongkan dirinya.’ Kemudian Allah melipat bumi dengan tangan kirinya, kemudian Allah berfirman; ‘Aku lah Sang Raja, di manakah orang-orang yang bengis, di manakah orang-orang yang suka menyombongkan diri.’.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma).
Di hari kiamat nanti, harta dan keturunan tidak ada gunanya, kecuali bagi orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. Allah ta’ala berfirman,
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ وَأُزْلِفَتِ الْجَنَّةُ لِلْمُتَّقِينَ وَبُرِّزَتِ الْجَحِيمُ لِلْغَاوِينَ
“Pada hari itu tidak berguna harta dan keturunan kecuali bagi orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih, dan surga itu akan didekatkan kepada orang-orang yang bertakwa, dan akan ditampakkanlah dengan jelas neraka itu kepada orang-orang yang sesat.” (QS. as-Syu’ara’: 88-91)
Suatu hari ketika kegoncangan di hari itu sangatlah dahsyat, sampai-sampai seorang ibu melalaikan bayi yang disusuinya dan setiap janin akan gugur dari kandungan ibunya. Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ إِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيمٌ يَوْمَ تَرَوْنَهَا تَذْهَلُ كُلُّ مُرْضِعَةٍ عَمَّا أَرْضَعَتْ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَ سُكَارَى وَمَا هُمْ بِسُكَارَى وَلَكِنَّ عَذَابَ اللَّهِ شَدِيدٌ
“Hai umat manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian, sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah kejadian yang sangat besar. Ingatlah, pada hari itu ketika kamu melihatnya, setiap ibu yang menyusui anaknya akan lalai terhadap anak yang disusuinya, dan setiap perempuan yang hamil akan mengalami keguguran kandungannya, dan kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sesuangguhnya mereka tidak sedang mabuk, namun ketika itu adzab Allah sangatlah keras.” (QS. al-Hajj: 1-2)
Khauf kepada Allah semata merupakan bukti jujurnya keimanan seorang hamba. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Sesungguhnya itu hanyalah syaitan yang menakut-nakuti para walinya, maka janganlah kalian takut kepada mereka, akan tetapi takutlah kepada-Ku, jika kalin benar-benar beriman.” (QS. Ali Imran: 175)
Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Apabila ketiga perkara ini terkumpul: cinta, harap, dan takut, maka itulah asas tegaknya aqidah.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 18).
Ketiga hal di atas -mahabbah, raja’ dan khauf- merupakan pondasi aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Oleh karena itu para ulama kita mengatakan, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja maka dia adalah seorang Zindiq. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan rasa takut semata, maka dia adalah seorang Haruri/penganut aliran Khawarij. Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan rasa harap semata, maka dia adalah seorang Murji’ah. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan cinta, takut, dan harap maka dia adalah seorang mukmin muwahhid.” (Syarh Aqidah at-Thahawiyah tahqiq Ahmad Syakir [2/275] as-Syamilah).
Faedah Keempat: Kewajiban untuk mentauhidkan Allah
Di dalam ayat ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ terkandung ajaran untuk mentauhidkan Allah ta’ala. Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan kandungan ayat ini, “Maknanya adalah: Kami mengkhususkan ibadah dan isti’anah hanya untuk-Mu…” (Taisir al-Karim ar-Rahman [1/28]). Inilah hakikat ajaran Islam yaitu mempersembahkan segala bentuk ibadah kepada Allah semata. Karena tujuan itulah Allah menciptakan jin dan manusia. Untuk mendakwahkan itulah Allah mengutus para nabi dan rasul kepada umat manusia. Dengan ibadah yang ikhlas itulah seorang hamba akan bisa menjadi sosok yang bertakwa dan mulia di sisi-Nya. Allah ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56)
Allah ta’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Tidaklah Kami mengutus sebelum seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (QS. al-Anbiya’: 25)
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai umat manusia, sembahlah Rabb kalian, yaitu yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian menjadi bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 21)
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa.” (QS. al-Hujurat: 13)
Maka barangsiapa yang menujukan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah sungguh dia telah terjerumus dalam kemusyrikan. Sebagaimana kita meyakini bahwa Allah satu-satunya yang menciptakan alam semesta ini, yang menghidupkan dan mematikan, yang menguasai dan mengatur alam ini, maka sudah seharusnya kita pun menujukan segala bentuk ibadah kita yang dibangun di atas rasa cinta, harap, dan takut itu hanya kepada Allah semata.
Faedah Kelima: Kewajiban untuk bertawakal kepada-Nya
Hal ini terkandung di dalam potongan ayat ‘wa iyyaka nasta’in’. Karena kita meyakini bahwa tidak ada yang menguasai kemanfaatan dan kemadharatan kecuali Allah, tidak ada yang mengatur segala sesuatu kecuali Dia, maka semestinya kita pun bergantung dan berharap hanya kepada-Nya. Kita tidak boleh meminta pertolongan dalam perkara-perkara yang hanya dikuasai oleh Allah kepada selain-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma,
يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ رُفِعَتْ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ
“Hai anak muda, aku akan mengajarkan beberapa kalimat kepadamu. Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kamu akan menemukan-Nya di hadapanmu. Apabila kamu meminta maka mintalah kepada Allah. Apabila kamu meminta pertolongan maka mintalah pertolongan kepada Allah. Ketauhilah, seandainya seluruh manusia bersatu padu untuk memberikan suatu manfaat kepadamu maka mereka tidak akan memberikan manfaat itu kepadamu kecuali sebatas apa yang Allah tetapkan untukmu. Dan seandainya mereka bersatu padu untuk memudharatkan dirimu dengan sesuatu maka mereka tidak akan bisa menimpakan mudharat itu kecuali sebatas apa yang Allah tetapkan menimpamu. Pena telah diangkat dan lembaran takdir telah mengering.” (HR. Tirmidzi, dia berkata; hasan sahih, disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan at-Tirmidzi [2516])
Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan berikan baginya jalan keluar dan akan memberikan rezeki kepadanya dari jalan yang tidak disangka-sangka. Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah maka Allah pasti mencukupinya.” (QS. at-Thalaq: 2-3)
Orang-orang yang beriman adalah orang yang bertawakal kepada Allah semata. Allah ta’ala berfirman,
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Hanya kepada Allah sajalah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (QS. al-Maa’idah: 23)
Apabila disebutkan nama Allah maka bergetarlah hati mereka. Allah ta’ala juga berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah maka hati mereka menjadi takut/bergetar, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka. Dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka. Orang-orang yang mendirikan sholat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang mukmin yang sejati, mereka akan mendapatkan derajat yang berlainan di sisi Rabb mereka dan ampunan serta rezeki yang mulia.” (QS. al-Anfal: 2-4)
Dengan mengingat Allah maka hati mereka menjadi tenang. Allah ta’ala berfirman,
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah, dengan mengingat Allah maka hati akan menjadi tenang.” (QS. ar-Ra’d: 28)
Berbeda halnya dengan orang yang bergantung dan berharap kepada selain Allah. Hati mereka tenang dan gembira ketika mengingat sesembahan dan pujaan selain Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman,
وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآَخِرَةِ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ
“Apabila disebut nama Allah saja maka akan menjadi kesal hati orang-orang yang tidak beriman dengan hari akhirat itu, sedangkan apabila disebut selain-Nya maka mereka pun tiba-tiba merasa bergembira.” (QS. az-Zumar: 45)
Karena tawakal pula seorang hamba akan bisa masuk ke dalam surga tanpa hisab dan tanpa siksa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعُونَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ هُمْ الَّذِينَ لَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Akan masuk surga tujuh puluh ribu orang di antara umatku tanpa hisab, mereka itu adalah orang-orang yang tidak meminta diruqyah, tidak mempunyai anggapan sial/tathayyur, dan hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” (HR. Bukhari dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma).
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Sembilan Faedah Surat al-Fatihah (2)
Faedah Keenam: Kewajiban untuk meminta petunjuk kepada-Nya
Hal ini terkandung dalam ayat ‘Ihdinas shirathal mustaqim’. Hidayah merupakan anugerah dari Allah ta’ala kepada hamba yang dipilih-Nya. Sedangkan hidayah itu terdiri dari dua macam; hidayah ilmu dan hidayah amal. Dan hidayah semacam itu dibutuhkan oleh manusia di setiap saat dalam perjalanan hidupnya. Setiap hamba senantiasa membutuhkan hidayah tersebut selama dia masih hidup di alam dunia ini. Oleh karena besarnya kebutuhan setiap hamba untuk memohon hidayah maka Allah pun mewajibkan mereka memintanya dalam sehari dan semalam minimal tujuh belas kali di dalam sholat.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “…Seandainya bukan karena besarnya kebutuhan dirinya untuk mendapatkan hidayah di waktu malam maupun siang niscaya Allah ta’ala tidak akan membimbingnya untuk melakukan hal itu -meminta hidayah setiap kali sholat-. Sebab seorang hamba itu sesungguhnya di setiap saat dan keadaan senantiasa memerlukan pertolongan dari Allah untuk bisa tegar mengikuti hidayah dan berpijak dengan kokoh padanya, agar terus mendapatkan pencerahan, peningkatan ilmu, dan bisa terus menerus berada di atasnya. Karena setiap hamba tidaklah menguasai kemanfaatan maupun kemudharatan bagi dirinya sendiri kecuali sebatas yang Allah kehendaki. Oleh sebab itulah maka Allah ta’ala membimbingnya untuk senantiasa meminta hidayah itu di setiap saat agar Allah mencurahkan kepadanya pertolongan, keteguhan dan tafik dari-Nya.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/39])
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad mengatakan, “Doa ini mengandung seagung-agung tuntutan seorang hamba yaitu mendapatkan petunjuk menuju jalan yang lurus. Dengan meniti jalan itulah seseorang akan keluar dari berbagai kegelapan menuju cahaya serta akan menuai keberhasilan dunia dan akhirat. Kebutuhan hamba terhadap petunjuk ini jauh lebih besar daripada kebutuhan dirinya terhadap makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman hanyalah bekal untuk menjalani kehidupannya yang fana. Sedangkan petunjuk menuju jalan yang lurus merupakan bekal kehidupannya yang kekal dan abadi. Doa ini juga mengandung permintaan untuk diberikan keteguhan di atas petunjuk yang telah diraih dan juga mengandung permintaan untuk mendapatkan tambahan petunjuk.” (Min Kunuz al-Qur’an)
Segala puji hanya bagi Allah yang telah menunjukkan kita ke jalan Islam. Sebab dengan Islam inilah seorang hamba akan bisa masuk ke dalam surga. Allah ta’ala berfirman mengenai kegembiraan penduduk surga,
وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ
“Mereka mengatakan; ‘Segala puji hanya bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kami ke surga ini. Kami tidak akan mendapat petunjuk sekiranya Allah tidak memberikan petunjuk kepada kami. Sesungguhnya rasul-rasul Rabb kami telah datang dengan membawa kebenaran.’.” (QS. al-A’raaf: 43)
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْ أَحَدِهِمْ مِلْءُ الْأَرْضِ ذَهَبًا وَلَوِ افْتَدَى بِهِ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati dalam keadaan kafir maka tidak akan pernah diterima dari mereka emas sepenuh bumi walaupun hal itu mereka gunakan untuk menebus siksa, mereka itu memang layak untuk menerima siksa yang sangat menyakitkan dan tidak ada bagi mereka seorang penolongpun.” (QS. Ali Imran: 91)
Allah juga berfirman,
إِنَّهُ ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan surga baginya dan tempat kembalinya adalah neraka, dan bagi orang-orang zalim itu tidak ada seorang penolong.” (QS. al-Maa’idah: 72)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَّا نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ
“Tidak akan masuk ke dalam surga melainkan jiwa yang muslim.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Dalam riwayat lainnya, beliau bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَّا الْمُؤْمِنُونَ
“Tidak akan masuk surga selain orang-orang yang beriman.” (HR. Muslim dari Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu)
Hidayah juga bukan yang perkara sepele, namun dia adalah anugerah Allah kepada hamba pilihan-Nya. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya engkau tidak akan bisa memberikan hidayah (taufik) kepada orang yang kamu cintai, akan tetapi Allah lah yang memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui siapakah orang yang ditakdirkan mendapatkan hidayah.” (QS. al-Qashash: 56)
al-Musayyab radhiyallahu’anhu menuturkan,
لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدُ لَهُ تِلْكَ الْمَقَالَةَ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Di saat kematian akan menghampiri Abu Thalib maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang untuk menemuinya dan ternyata di sisinya telah ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata; ‘Wahai pamanku, ucapkanlah la ilaha illallah, sebuah kalimat yang akan aku gunakan untuk bersaksi untukmu di sisi Allah’. Maka Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah mengatakan; ‘Wahai Abu Thalib, apakah kamu benci kepada agama Abdul Muthallib -bapakmu-?’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menawarkan dan mengulangi ajakannya itu, sampai akhirnya Abu Thalib mengucapkan perkataan terakhirnya kepada mereka bahwa dia tetap berada di atas agama Abdul Muthallib. Dia enggan untuk mengucapkan la ilaha illallah…” (HR. Muslim)
Faedah Ketujuh: Kewajiban untuk mengikuti Rasul dan para sahabatnya
Hal itu terkandung dalam ayat ‘Shirathalladzina an’amta ‘alaihim’. Jalan orang-orang yang mendapatkan kenikmatan dari Allah, yaitu jalan para nabi, orang-orang shiddiq, syuhada’ dan orang-orang salih. Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul, maka mereka itulah orang-orang yang akan bersama dengan orang-orang yang diberi kenikmatan oleh Allah yaitu para nabi, orang-orang shiddiq, syuhada’, dan orang-orang salih. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. an-Nisaa’: 69)
Allah ta’ala juga berfirman,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia juga mengikuti selain jalan orang-orang beriman maka Kami akan membiarkan dia terlantar di atas kesesatan yang dipilihnya dan Kami pun akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115)
Allah ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Tidaklah pantas bagi seorang mukmin lelaki maupun perempuan apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara kemudian masih ada bagi mereka pilihan yang lainnya dalam menghadapi masalah mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Semua umatku akan masuk surga kecuali yang enggan.” Maka para sahabat bertanya, ‘Siapakah orang yang enggan itu wahai Rasulullah?’. beliau menjawab, “Barangsiapa yang menaatiku akan masuk surga dan barangsiapa yang durhaka kepadaku dialah yang enggan.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berpesan,
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang masih hidup sesudahku maka dia pasti akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk tetap mengikuti Sunnah/ajaranku dan Sunnah para khalifah yang berada di atas petunjuk dan terbimbing. Berpegang teguhlah dengannya, dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan -di dalam agama-, karena sesungguhnya setiap yang diada-adakan -dalam agama- itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah pasti sesat.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu, disahihkan al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib [37])
Inilah jalan lurus itu, yaitu mengikuti pemahaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ilmu maupun amalan. Allah ta’ala berfirman,
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama -membela Islam- dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Allah sediakan untuk mereka surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, itulah keberuntungan yang sangat besar.” (QS. at-Taubah: 100)
Faedah Kedelapan: Kewajiban untuk mengamalkan ilmu
Hal ini terkandung dalam potongan ayat ‘Ghairil maghdhubi ‘alaihim’. Orang yang dimurkai itu adalah orang yang mengetahui kebenaran tapi justru tidak mau mengamalkannya. Sebagaimana orang-orang Yahudi dan yang mengikuti mereka. Syaikh Abdurrahman bin Naashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “(Shirathal Mustaqim) adalah jalan terang yang akan mengantarkan hamba menuju Allah dan masuk ke dalam Surga-Nya. Hakikat jalan itu adalah mengetahui kebenaran dan mengamalkannya…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39). Sehingga jalan yang lurus itu menuntut seorang muslim untuk mengamalkan ilmunya.
Syaikh Abdul Muhsin mengatakan, “Petunjuk menuju jalan yang lurus itu akan menuntun kepada jalan orang-orang yang diberikan kenikmatan yaitu para nabi, orang-orang shiddiq, para syuhada’, dan orang-orang salih. Mereka itu adalah orang-orang yang memadukan ilmu dengan amal. Maka seorang hamba memohon kepada Rabbnya untuk melimpahkan hidayah menuju jalan lurus ini yang merupakan sebuah pemuliaan dari Allah kepada para rasul-Nya dan wali-wali-Nya. Dia memohon agar Allah menjauhkan dirinya dari jalan musuh-musuh-Nya yaitu orang-orang yang memiliki ilmu akan tetapi tidak mengamalkannya. Mereka itulah golongan Yahudi yang dimurkai.” (Min Kunuz al-Qur’an)
Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata,
“Hendaknya diingat bahwa seseorang yang tidak beramal dengan ilmunya maka ilmunya itu kelak akan menjadi bukti yang menjatuhkannya. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits Abu Barzah radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sampai dia akan ditanya tentang empat perkara, diantaranya adalah tentang ilmunya, apa yang sudah diamalkannya.” (HR. Tirmidzi 2341)
Hal ini bukan berlaku bagi para ulama saja, sebagaimana anggapan sebagian orang. Akan tetapi semua orang yang mengetahui suatu perkara agama maka itu berarti telah tegak padanya hujjah. Apabila seseorang memperoleh suatu pelajaran dari sebuah pengajian atau khutbah Jum’at yang di dalamnya dia mendapatkan peringatan dari suatu kemaksiatan yang dikerjakannya sehingga dia pun mengetahui bahwa kemaksiatan yang dilakukannya itu adalah haram maka ini juga ilmu. Sehingga hujjah juga sudah tegak dengan apa yang didengarnya tersebut. Dan terdapat hadits yang sah dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ
“al-Qur’an itu adalah hujjah bagimu atau hujjah untuk menjatuhkan dirimu” (HR. Muslim)” (Hushulul Ma’mul, hal. 18)
Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah mengatakan, “Amal adalah buah dari ilmu. Ilmu itu ada dalam rangka mencapai sesuatu yang lainnya. Ilmu diibaratkan seperti sebuah pohon, sedangkan amalan adalah seperti buahnya. Maka setelah mengetahui ajaran agama Islam seseorang harus menyertainya dengan amalan. Sebab orang yang berilmu akan tetapi tidak beramal dengannya lebih jelek keadaannya daripada orang bodoh. Di dalam hadits disebutkan, “Orang yang paling keras siksanya adalah seorang berilmu dan tidak diberi manfaat oleh Allah dengan sebab ilmunya.” Orang semacam inilah yang termasuk satu di antara tiga orang yang dijadikan sebagai bahan bakar pertama-tama nyala api neraka. Di dalam sebuah sya’ir dikatakan,
Orang alim yang tidak mau
Mengamalkan ilmunya
Mereka akan disiksa sebelum
Disiksanya para penyembah berhala
(Hasyiyah Tsalatsatul Ushul, hal. 12)
Ibnu Katsir rahimahullah di dalam kitab tafsirnya ketika membahas firman Allah ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya kebanyakan pendeta dan rahib-rahib benar-benar memakan harta manusia dengan cara yang batil dan memalingkan manusia dari jalan Allah.” (QS. at-Taubah: 34) menukilkan ucapan Sufyan bin Uyainah yang mengatakan, “Orang-orang yang rusak di antara orang berilmu di kalangan kita, padanya terdapat keserupaan dengan Yahudi. Dan orang-orang yang rusak di antara para ahli ibadah di kalangan kita, padanya terdapat keserupaan dengan Nasrani.” (Min Kunuz al-Qur’an)
Faedah Kesembilan: Kewajiban untuk beribadah di atas ilmu
Hal ini terkandung dalam potongan ayat ‘wa lad dhaallin’. Orang-orang yang sesat itu adalah orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah namun dengan cara yang tidak benar, sebagaimana kaum Nasrani. Allah ta’ala berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, dan minta ampunlah bagi dosa-dosamu.” (QS. Muhammad: 19)
Ilmu merupakan landasan ucapan dan perbuatan. Oleh sebab itu Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab di dalam Kitab Shahihnya dengan judul al-’Ilmu qablal qaul wal ‘amal (Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan). Allah ta’ala berfirman,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, itu semua pasti akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. al-Israa’: 36)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangisapa ang dikehendaki baik oleh Allah maka akan dipahamkan dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’awiyah radhiyallahu’anhu)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya seluruh sifat yang menyebabkan hamba dipuji oleh Allah di dalam al-Qur’an maka itu semua merupakan buah dan hasil dari ilmu. Dan seluruh celaan yang disebutkan oleh-Nya maka itu semua bersumber dari kebodohan dan akibat darinya…” (al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 128). Beliau juga menegaskan, “Tidaklah diragukan bahwa sesungguhnya kebodohan adalah pokok seluruh kerusakan. Semua bahaya yang menimpa manusia di dunia dan di akhirat maka itu adalah akibat dari kebodohan…” (al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 101)
Syaikh Muhammad al-Amin as-Syinqithi mengatakan di dalam kitabnya Adhwa’ul Bayan (1/53), “Orang-orang Yahudi dan Nasrani -meskipun sebenarnya mereka sama-sama sesat dan sama-sama dimurkai- hanya saja kemurkaan itu lebih dikhususkan kepada Yahudi -meskipun orang Nasrani juga termasuk di dalamnya- dikarenakan mereka telah mengenal kebenaran namun justru mengingkarinya, dan secara sengaja melakukan kebatilan. Karena itulah kemurkaan lebih condong dilekatkan kepada mereka. Adapun orang-orang Nasrani adalah orang yang bodoh dan tidak mengetahui kebenaran, sehingga kesesatan merupakan ciri mereka yang lebih menonjol. Meskipun begitu Allah menyatakan bahwa ‘al magdhubi ‘alaihim’ adalah kaum Yahudi melalui firman-Nya ta’ala tentang mereka (yang artinya), “Maka mereka pun kembali dengan menuai kemurkaan di atas kemurkaan.” (QS. al-Baqarah: 90). Demikian pula Allah berfirman mengenai mereka (yang artinya), “Katakanlah; maukah aku kabarkan kepada kalian tentang golongan orang yang balasannya lebih jelek di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dilaknati Allah dan dimurkai oleh-Nya.” (QS. al-Ma’idah: 60). Begitu pula firman-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan patung sapi itu sebagai sesembahan niscaya akan mendapatkan kemurkaan.” (QS. al-A’raaf: 152). Sedangkan golongan ‘adh dhaalliin’ telah Allah jelaskan bahwa mereka itu adalah kaum Nasrani melalui firman-Nya ta’ala (yang artinya), “Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu suatu kaum yang telah tersesat, dan mereka pun menyesatkan banyak orang, sungguh mereka telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. al-Ma’idah: 77)”
Semoga tulisan yang ringkas ini bermanfaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Yogyakarta, Senin 9 Jumadil Ula 1430 H
Hamba yang fakir kepada Rabbnya
Semoga Allah mengampuninya, kedua orang tuanya
dan segenap kaum muslimin
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Cara Berdakwah dengan Non-Muslim
Pertanyaan:
Pak Ustadz, saya ingin bertanya. Bagaimana cara berdakwah yang baik dengan non muslim. Dan saya sempat mempelajari ilmu kristologi untuk beritahu mereka, bahwa kitab suci mereka mengandung banyak kesalahan. Apa itu boleh menurut Islam? Terima kasih Pak ustadz.
Soenirman, Jakarta
Jawaban:
Allah SWT berfirman, ada tiga cara dalam berdakwah kepada siapa saja, yaitu: dengan hikmah, dengan mawidzah hasanah, atau dengan dialog (ditopang alasan yang lebih baik dan lebih kuat).
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An Nahl: 125)
Jika tidak bisa (seperti di atas), (nanti) jadi akan mengesankan negatif terhadap Islam itu sendiri. Jika demikian, ajak mereka menggunakan akalnya secara sehat. Misalnya, bahwa bila sebuah kitab suci banyak yang tidak asli, secara akal kita tidak bisa merasa aman untuk berpegang teguh kepadanya, dan seterusnya..
Oleh: DR. Amir Faishol Fath
www.dakwatuna.com
Pak Ustadz, saya ingin bertanya. Bagaimana cara berdakwah yang baik dengan non muslim. Dan saya sempat mempelajari ilmu kristologi untuk beritahu mereka, bahwa kitab suci mereka mengandung banyak kesalahan. Apa itu boleh menurut Islam? Terima kasih Pak ustadz.
Soenirman, Jakarta
Jawaban:
Allah SWT berfirman, ada tiga cara dalam berdakwah kepada siapa saja, yaitu: dengan hikmah, dengan mawidzah hasanah, atau dengan dialog (ditopang alasan yang lebih baik dan lebih kuat).
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An Nahl: 125)
Jika tidak bisa (seperti di atas), (nanti) jadi akan mengesankan negatif terhadap Islam itu sendiri. Jika demikian, ajak mereka menggunakan akalnya secara sehat. Misalnya, bahwa bila sebuah kitab suci banyak yang tidak asli, secara akal kita tidak bisa merasa aman untuk berpegang teguh kepadanya, dan seterusnya..
Oleh: DR. Amir Faishol Fath
www.dakwatuna.com
Pilihan Takdir
Pada saat dirinya memberikan penilaian baik buruk terhadap seluruh alternatif yang ada dihadapannya maka tidaklah ada pahala maupun dosa baginya akan tetapi ketika ia melaksanakan pilihannya itu dan jika hal itu merupakan ketaatan maka baginya pahala, jika maksiat maka baginya dosa dan jika ia perkara mubah maka tidak ada dosa dan pahala baginya.
Dikarenakan orang itu tidak mengetahui apa catatan maupun ketentuan Allah terhadap dirinya di Lauh Mahfuzh apakah pada akhirnya dia akan memilih PT A atau si fulan sebagai suaminya maka hendaklah dia berusaha memilih yang terbaik bagi dirinya dan menghindari kemaksiatan didalamnya. Dan Allah swt tidak akan pernah sedikit pun menzhalimi hamba-hamba-Nya akan tetapi merekalah yang menzhalimi diri mereka sendiri. Allah juga tidak akan pernah salah memberikan pahala kepada orang yang berhak mendapatkan pahala dan tidak akan salah memberikan dosa kepada orang yang memang berhak atasnya.
إِنَّ اللّهَ لاَ يَظْلِمُ النَّاسَ شَيْئًا وَلَكِنَّ النَّاسَ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia Itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.” (QS. Yunus : 44)
Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo, Lc.
www.eramuslim.com
Dikarenakan orang itu tidak mengetahui apa catatan maupun ketentuan Allah terhadap dirinya di Lauh Mahfuzh apakah pada akhirnya dia akan memilih PT A atau si fulan sebagai suaminya maka hendaklah dia berusaha memilih yang terbaik bagi dirinya dan menghindari kemaksiatan didalamnya. Dan Allah swt tidak akan pernah sedikit pun menzhalimi hamba-hamba-Nya akan tetapi merekalah yang menzhalimi diri mereka sendiri. Allah juga tidak akan pernah salah memberikan pahala kepada orang yang berhak mendapatkan pahala dan tidak akan salah memberikan dosa kepada orang yang memang berhak atasnya.
إِنَّ اللّهَ لاَ يَظْلِمُ النَّاسَ شَيْئًا وَلَكِنَّ النَّاسَ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia Itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.” (QS. Yunus : 44)
Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo, Lc.
www.eramuslim.com
Karomah
Karomah merupakan perkara luar biasa yang diberikan Allah swt kepada hamba-Nya yang shaleh (wali Allah) baik semasa hidupnya maupun setelah matinya sebagai kemuliaan yang diberikan Allah kepadanya. Karomah ini bukanlah bentuk kenabian sebagaimana yang telah Allah berikan kepada para nabi-Nya.
Kemunculan karomah tidaklah bisa disesuaikan dengan keinginan atau kemauan wali itu. Tidaklah setiap kali orang itu menginginkan perkara luar biasa itu terjadi maka ia terjadi akan tetapi semua adalah atas kehendak dan keinginan Allah swt sebagaimana seorang Nabi tidak bisa mendatangkan mu’jizat dari dirinya sendiri kecuali Allah menghendakinya.
وَقَالُوا لَوْلَا أُنزِلَ عَلَيْهِ آيَاتٌ مِّن رَّبِّهِ قُلْ إِنَّمَا الْآيَاتُ عِندَ اللَّهِ وَإِنَّمَا أَنَا نَذِيرٌ مُّبِينٌ
Artinya : “Dan orang-orang kafir Mekah berkata: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya mukjizat-mukjizat dari Tuhannya?" Katakanlah: "Sesungguhnya mukjizat- mukjizat itu terserah kepada Allah. dan Sesungguhnya Aku Hanya seorang pemberi peringatan yang nyata". (QS. Al Ankabut : 50)
Dan diantara sebab yang menjadikan seseorang itu bisa dikatakan sebagai wali Allah adalah keimanan dan ketakwaananya kepada Allah swt, sebagaimana firman-Nya :
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاء اللّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾
الَّذِينَ آمَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ ﴿٦٣﴾
لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَياةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ لاَ تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿٦٤﴾
Artinya : “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus : 62 – 64)
Didalam ayat diatas disebutkan bahwa wali Allah adalah seorang yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt yaitu yang menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Ketakwaannya nampak dalam akidah, ibadah, akhlak ataupun dalam setiap sisi kehidupannya.
Karena keimanan dan ketakwaannya yang utuh kepada Allah swt menjadikan mereka tidak merasa takut akan berbagai peristiwa di hari kiamat dan tidak bersedih terhadap berbagai kehidupan yang ditinggalkannya di dunia. Al Baidhowi mengatakan bahwa wali-wali Allah ini adalah orang-orang yang diberikan karomah.
Ustadz Sigit Pranowo, Lc.
www.eramuslim.com
Kemunculan karomah tidaklah bisa disesuaikan dengan keinginan atau kemauan wali itu. Tidaklah setiap kali orang itu menginginkan perkara luar biasa itu terjadi maka ia terjadi akan tetapi semua adalah atas kehendak dan keinginan Allah swt sebagaimana seorang Nabi tidak bisa mendatangkan mu’jizat dari dirinya sendiri kecuali Allah menghendakinya.
وَقَالُوا لَوْلَا أُنزِلَ عَلَيْهِ آيَاتٌ مِّن رَّبِّهِ قُلْ إِنَّمَا الْآيَاتُ عِندَ اللَّهِ وَإِنَّمَا أَنَا نَذِيرٌ مُّبِينٌ
Artinya : “Dan orang-orang kafir Mekah berkata: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya mukjizat-mukjizat dari Tuhannya?" Katakanlah: "Sesungguhnya mukjizat- mukjizat itu terserah kepada Allah. dan Sesungguhnya Aku Hanya seorang pemberi peringatan yang nyata". (QS. Al Ankabut : 50)
Dan diantara sebab yang menjadikan seseorang itu bisa dikatakan sebagai wali Allah adalah keimanan dan ketakwaananya kepada Allah swt, sebagaimana firman-Nya :
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاء اللّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾
الَّذِينَ آمَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ ﴿٦٣﴾
لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَياةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ لاَ تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿٦٤﴾
Artinya : “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus : 62 – 64)
Didalam ayat diatas disebutkan bahwa wali Allah adalah seorang yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt yaitu yang menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Ketakwaannya nampak dalam akidah, ibadah, akhlak ataupun dalam setiap sisi kehidupannya.
Karena keimanan dan ketakwaannya yang utuh kepada Allah swt menjadikan mereka tidak merasa takut akan berbagai peristiwa di hari kiamat dan tidak bersedih terhadap berbagai kehidupan yang ditinggalkannya di dunia. Al Baidhowi mengatakan bahwa wali-wali Allah ini adalah orang-orang yang diberikan karomah.
Ustadz Sigit Pranowo, Lc.
www.eramuslim.com
Agama adalah Nasihat
Nabi SAW bersabda,
''Agama itu adalah nasihat.'' Kami (para sahabat) bertanya, ''Untuk siapa Wahai Rasulullah?''Beliau menjawab, ''Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, untuk para pemimpin umat Islam, dan bagi seluruh umat Islam.'' (HR Muslim).
Things to tink
Memberi dan menerima nasihat, sejatinya berlaku untuk segenap manusia, siapa pun orangnya, apa pun jabatannya, tanpa terkecuali. Nasihat yang berdasarkan Allah SWT dan Rasul-Nya, berlaku untuk para pemimpin umat Islam dan masyarakat pada umumnya. Ini mengingat manusia tidak luput dari lupa dan salah.
Kata nasihat berasal dari akar kata nasaha yang artinya menjahit atau menambal pakaian yang sobek. Maka, orang yang mau menerima nasihat, pada hakikatnya adalah dirinya siap untuk ditambal lubang kekurangannya, dijahit atau ditutup sobekan kesalahan pada dirinya.
Sebaliknya, orang yang tidak mau menerima nasihat menunjukkan bahwa dirinya merasa telah sempurna, merasa tidak ada lubang-lubang kesalahan sedikit pun, serta merasa tidak punya celah kekurangan.
Memang, menerima nasihat, saran, dan teguran tidaklah mudah, karena di samping rasa malu, kekurangannya terlihat orang banyak, juga perasaan gengsi atau menjaga wibawa. Padahal, dengan tidak mau disempurnakan itulah, bisa jadi sobekan kekurangannya akan bertambah lebar.
Bersyukurlah kita sebagai umat beragama yang masih mau menerima nasihat kebaikan dari orang lain. Hal itu adalah bagian dari penyempurnaan keagamaan kita sebagai makhluk Allah SWT.
Dengan saling menasihati di antara sesama, maka kita akan banyak memperoleh mutiara-mutiara hikmah yang sangat bermanfaat dalam kehidupan pribadi, keluarga, bermasyarakat, dan berbangsa.
http://www.republika.co.id/berita/49160/Agama_adalah_Nasihat
''Agama itu adalah nasihat.'' Kami (para sahabat) bertanya, ''Untuk siapa Wahai Rasulullah?''Beliau menjawab, ''Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, untuk para pemimpin umat Islam, dan bagi seluruh umat Islam.'' (HR Muslim).
Things to tink
Memberi dan menerima nasihat, sejatinya berlaku untuk segenap manusia, siapa pun orangnya, apa pun jabatannya, tanpa terkecuali. Nasihat yang berdasarkan Allah SWT dan Rasul-Nya, berlaku untuk para pemimpin umat Islam dan masyarakat pada umumnya. Ini mengingat manusia tidak luput dari lupa dan salah.
Kata nasihat berasal dari akar kata nasaha yang artinya menjahit atau menambal pakaian yang sobek. Maka, orang yang mau menerima nasihat, pada hakikatnya adalah dirinya siap untuk ditambal lubang kekurangannya, dijahit atau ditutup sobekan kesalahan pada dirinya.
Sebaliknya, orang yang tidak mau menerima nasihat menunjukkan bahwa dirinya merasa telah sempurna, merasa tidak ada lubang-lubang kesalahan sedikit pun, serta merasa tidak punya celah kekurangan.
Memang, menerima nasihat, saran, dan teguran tidaklah mudah, karena di samping rasa malu, kekurangannya terlihat orang banyak, juga perasaan gengsi atau menjaga wibawa. Padahal, dengan tidak mau disempurnakan itulah, bisa jadi sobekan kekurangannya akan bertambah lebar.
Bersyukurlah kita sebagai umat beragama yang masih mau menerima nasihat kebaikan dari orang lain. Hal itu adalah bagian dari penyempurnaan keagamaan kita sebagai makhluk Allah SWT.
Dengan saling menasihati di antara sesama, maka kita akan banyak memperoleh mutiara-mutiara hikmah yang sangat bermanfaat dalam kehidupan pribadi, keluarga, bermasyarakat, dan berbangsa.
http://www.republika.co.id/berita/49160/Agama_adalah_Nasihat
Kurnia dan Rahmat Allah
Petunjuk al Qur-an
Mentadabburi petunjuk Allah dalam surah Yunus 58 sebagai berikut:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ .٥٨
“Katakanlah(Muhammad):”Dengan kurnia dan dengan rahmatNya, maka dengan demikian itu hendaklah mereka bergembira, (karena) dia itu lebih baik daripada segala apa yang mereka kumpulkan”.
Ayat tersebut berhubungan dalam masalah Nur Islam[qa22s39=az zumar] dan Hidayah Iman [qa100s10=yunus].Karena dengan yang tersebut berarti bahwa pola hidup yang muthlaq akan kebenarannya, yaitu Islam[qa85s3=ali imron] dan Al Qur-an[qa20s45=al jatsiyah] telah bersarang dan menghiasi hatinya; Maka hal tersebut merupakan nilai yang tidak dapat diukur dengan segala ragam kesenangan duniawiyah.
Pembahasan
Bahwa sesungguhnya Hidayah Iman dan Nur Islam yang telah bersarang dalam sanubari hamba Allah, secara pasti merupakan pelita yang terang benderang, sehingga secara meyakinkan tidak akan mudah terkecoh atau tertipu oleh gemerlapan kehidupan dunia[qa20s57=al hadidi], maupun sistem yang disodorkan oleh para musuh Allah[qa204-206s2=al baqarah].Dengan demikian akan merupakan sosok hamba Allah yang teguh dalam Kebenaran dan berpandangan jauh kedepan[qa37s24=an nur], yaitu janji Allah “Daulah Islam Dunia secara muthlaq”[qa33s9=at taubah], untuk “menandai bangunnya Khilafatul Muslimin” atas Kekuasaan dan Ketetapan Allah[qa55s24=sn nur].
Untuk selanjutnya akan senantiasa memacu diri, antara lain:
1. Secara aktif mencari Kebenaran melalui majlis ilmu[qa18s39-az zumar], guna memupuk semangat bertadabbur[qa82s4=an nisa].
2. Secara ikhlas membuka diri dalam menerima Kebenaran al Qur-an dan segala yang dipandukan oleh RasulNya bagi penataan seluruh jurusan kehidupan[qa164s3=ali imron].
3. Secara aktif dan penuh loyalitas menepati kaidah kebersamaan dalam kehidupan berjama’ah dalam berbagai keadaan, dengan tanpa membeda-bedakan, agar terantisipasi dari pengaruh yang tidak Islami[qa28s18=al kahfi].
Dengan demikian maka sebagai hamba Allah akan senantiasa berada dalam pola kebajikan yang ditetapkan Allah dan RasulNya, sehingga akan berupaya menegak kan “sistem dari Al Kholiq, dan bukan dari makhluq” dalam menjemput JanjiNya. Karena Daulah Islam Dunia, Al Mahdi, dan Khilafah, bagi Allah adalah hak dan wajib akan penegakannya pada akhir zaman, Inilah Kurnia dan Rahmat Allah.
Written by mubarki
WWW.AL-ULAMA.NET
Mentadabburi petunjuk Allah dalam surah Yunus 58 sebagai berikut:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ .٥٨
“Katakanlah(Muhammad):”Dengan kurnia dan dengan rahmatNya, maka dengan demikian itu hendaklah mereka bergembira, (karena) dia itu lebih baik daripada segala apa yang mereka kumpulkan”.
Ayat tersebut berhubungan dalam masalah Nur Islam[qa22s39=az zumar] dan Hidayah Iman [qa100s10=yunus].Karena dengan yang tersebut berarti bahwa pola hidup yang muthlaq akan kebenarannya, yaitu Islam[qa85s3=ali imron] dan Al Qur-an[qa20s45=al jatsiyah] telah bersarang dan menghiasi hatinya; Maka hal tersebut merupakan nilai yang tidak dapat diukur dengan segala ragam kesenangan duniawiyah.
Pembahasan
Bahwa sesungguhnya Hidayah Iman dan Nur Islam yang telah bersarang dalam sanubari hamba Allah, secara pasti merupakan pelita yang terang benderang, sehingga secara meyakinkan tidak akan mudah terkecoh atau tertipu oleh gemerlapan kehidupan dunia[qa20s57=al hadidi], maupun sistem yang disodorkan oleh para musuh Allah[qa204-206s2=al baqarah].Dengan demikian akan merupakan sosok hamba Allah yang teguh dalam Kebenaran dan berpandangan jauh kedepan[qa37s24=an nur], yaitu janji Allah “Daulah Islam Dunia secara muthlaq”[qa33s9=at taubah], untuk “menandai bangunnya Khilafatul Muslimin” atas Kekuasaan dan Ketetapan Allah[qa55s24=sn nur].
Untuk selanjutnya akan senantiasa memacu diri, antara lain:
1. Secara aktif mencari Kebenaran melalui majlis ilmu[qa18s39-az zumar], guna memupuk semangat bertadabbur[qa82s4=an nisa].
2. Secara ikhlas membuka diri dalam menerima Kebenaran al Qur-an dan segala yang dipandukan oleh RasulNya bagi penataan seluruh jurusan kehidupan[qa164s3=ali imron].
3. Secara aktif dan penuh loyalitas menepati kaidah kebersamaan dalam kehidupan berjama’ah dalam berbagai keadaan, dengan tanpa membeda-bedakan, agar terantisipasi dari pengaruh yang tidak Islami[qa28s18=al kahfi].
Dengan demikian maka sebagai hamba Allah akan senantiasa berada dalam pola kebajikan yang ditetapkan Allah dan RasulNya, sehingga akan berupaya menegak kan “sistem dari Al Kholiq, dan bukan dari makhluq” dalam menjemput JanjiNya. Karena Daulah Islam Dunia, Al Mahdi, dan Khilafah, bagi Allah adalah hak dan wajib akan penegakannya pada akhir zaman, Inilah Kurnia dan Rahmat Allah.
Written by mubarki
WWW.AL-ULAMA.NET
Multi kejahatan kafir
Petunjuk al Qur-an
Sesungguhnya Allah telah menggambarkan tentang berbagai multi kejahatan yang dilakukan oleh kafirin, yang disebut”kesombongan dan berbagai program makar mereka”, sebagaimana tersebut dalam surah Fathir 43:
اسْتِكْبَارًا فِي الأرْضِ وَمَكْرَ السَّيِّئِ وَلا يَحِيقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلا بِأَهْلِهِ فَهَلْ يَنْظُرُونَ إِلا سُنَّةَ
الأوَّلِينَ فَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلا وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَحْوِيلا .٤٣
“Berbagai bentuk kesombongan dalam kehidupan dibumi ini, dan berbagai rencana kejahatan. Dan tiadalah rencana kejahatan itu akan mengenai melainkan kepada ahlinya. Maka bukankah mereka itu menunggu kecuali Sunnah Allah yang telah ditetapkan dari dahulu, maka tidak akan pernah kamu dapati Sunnatullah itu berubah, dan tidak akan pernah kamu dapati Sunnatullah itu menyimpang”
Pembahasan
Dalam ayat tersebut sesungguhnya Allah memberikan gambaran tentang berbagai rahasia kejahatan kafir terhadap Dunia Islam dan Muslim, antara lain:
1. Seluruh perbuatan kafir, secara hukum, betapapun keadaannya, maka tiada bernilai sama sekali, dan bahkan diibaratkan sebagai fatamorgana dipadang pasir[qa39s24= an nur].Hal ini untuk menguatkan “sikap waspada”, yang dengan itu tidak akan mudah tergelincir dan terjebak terhadap program unggulan si kafir [qa204-206s2=al baqarah].Karena pada hakikatnya merupakan sebagian proses yang diupayakan untuk menghancurkan Islam dan melumpuhkan mukmin, walaupun sebenarnya tidak akan pernah dibiarkan oleh Allah[qa30 s8=al anfal].
2. Berbagai sikap ketakaburan yang dilakukan untuk menghancurkan Kebenaran Islam dan ummat Muslim, antara lain penonjolan kecanggihan dibidang teknologi mereka dan pola fikir serba modern, bahkan membanggakan “Institusi Dunia” mereka untuk mengecilkan nyali umat Islam[qa73s19=maryam].
3. Berbagai bentuk aliansi (-penyatuan fikiran-)[qa73s8=al anfal], untuk melampiaskan rasa kebencian terhadap Islam dan umat Islam[qa120s2=al baqarah].Maka mereka merencanakan berbagai program yang terselubung dan beralibi, dengan isyarat gerakan yang disebut ”tis’ata rohthin” (:9 aktor intelektual), dan sekarang dikenal dengan istilah peran mafia [qa48-49s27=an naml].
Dengan mengambil beberapa gambaran tersebut dapat difahami bahwa”betapa serius dan ketatnya upaya kafir untuk menghancurkan cahaya Kebenaran Islam”[qa8s61=ash shaf]. Tetapi kesemua itu secara pasti akan berakhir dengan kegagalan dan kehancuran kebathilan mereka secara total [qa50s27=an naml].Dan yang pasti terjadi adalah tegak Daulah Islam Mendunia atas Kekuasaan Allah semata, sampai akhir zaman[qa33s9=at taubah];Oleh karena itu para ‘Ulama dituntut tanggung jawabnya untuk menjemput janji Allah melalui “citra dan cita” yang dibenarkan oleh Quran & Hadits yang shaheh, Karena apabila tidak mampu menepati hal tersebut maka bagi Allah sangat mudah untuk mengganti dengan kaum yang lain dan lebih baik[qa19s14=ibrahim].
Written by mubarki
www.al-ulama.net
Sesungguhnya Allah telah menggambarkan tentang berbagai multi kejahatan yang dilakukan oleh kafirin, yang disebut”kesombongan dan berbagai program makar mereka”, sebagaimana tersebut dalam surah Fathir 43:
اسْتِكْبَارًا فِي الأرْضِ وَمَكْرَ السَّيِّئِ وَلا يَحِيقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلا بِأَهْلِهِ فَهَلْ يَنْظُرُونَ إِلا سُنَّةَ
الأوَّلِينَ فَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلا وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَحْوِيلا .٤٣
“Berbagai bentuk kesombongan dalam kehidupan dibumi ini, dan berbagai rencana kejahatan. Dan tiadalah rencana kejahatan itu akan mengenai melainkan kepada ahlinya. Maka bukankah mereka itu menunggu kecuali Sunnah Allah yang telah ditetapkan dari dahulu, maka tidak akan pernah kamu dapati Sunnatullah itu berubah, dan tidak akan pernah kamu dapati Sunnatullah itu menyimpang”
Pembahasan
Dalam ayat tersebut sesungguhnya Allah memberikan gambaran tentang berbagai rahasia kejahatan kafir terhadap Dunia Islam dan Muslim, antara lain:
1. Seluruh perbuatan kafir, secara hukum, betapapun keadaannya, maka tiada bernilai sama sekali, dan bahkan diibaratkan sebagai fatamorgana dipadang pasir[qa39s24= an nur].Hal ini untuk menguatkan “sikap waspada”, yang dengan itu tidak akan mudah tergelincir dan terjebak terhadap program unggulan si kafir [qa204-206s2=al baqarah].Karena pada hakikatnya merupakan sebagian proses yang diupayakan untuk menghancurkan Islam dan melumpuhkan mukmin, walaupun sebenarnya tidak akan pernah dibiarkan oleh Allah[qa30 s8=al anfal].
2. Berbagai sikap ketakaburan yang dilakukan untuk menghancurkan Kebenaran Islam dan ummat Muslim, antara lain penonjolan kecanggihan dibidang teknologi mereka dan pola fikir serba modern, bahkan membanggakan “Institusi Dunia” mereka untuk mengecilkan nyali umat Islam[qa73s19=maryam].
3. Berbagai bentuk aliansi (-penyatuan fikiran-)[qa73s8=al anfal], untuk melampiaskan rasa kebencian terhadap Islam dan umat Islam[qa120s2=al baqarah].Maka mereka merencanakan berbagai program yang terselubung dan beralibi, dengan isyarat gerakan yang disebut ”tis’ata rohthin” (:9 aktor intelektual), dan sekarang dikenal dengan istilah peran mafia [qa48-49s27=an naml].
Dengan mengambil beberapa gambaran tersebut dapat difahami bahwa”betapa serius dan ketatnya upaya kafir untuk menghancurkan cahaya Kebenaran Islam”[qa8s61=ash shaf]. Tetapi kesemua itu secara pasti akan berakhir dengan kegagalan dan kehancuran kebathilan mereka secara total [qa50s27=an naml].Dan yang pasti terjadi adalah tegak Daulah Islam Mendunia atas Kekuasaan Allah semata, sampai akhir zaman[qa33s9=at taubah];Oleh karena itu para ‘Ulama dituntut tanggung jawabnya untuk menjemput janji Allah melalui “citra dan cita” yang dibenarkan oleh Quran & Hadits yang shaheh, Karena apabila tidak mampu menepati hal tersebut maka bagi Allah sangat mudah untuk mengganti dengan kaum yang lain dan lebih baik[qa19s14=ibrahim].
Written by mubarki
www.al-ulama.net
Zina
Pada dasarnya zina adalah masuknya kemaluan seorang laki-laki kedalam kemaluan seorang perempuan yang tidak sah baginya atau bukan istrinya tanpa adanya keraguan dengan masuknya kemaluan laki-laki itu kedalam kemaluan perempuan itu, berdasarkan firman Allah swt ;
وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً
Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Israa : 32).
Dan para ulama telah bersepakat jika hal itu terjadi maka wajib bagi pelakunya dikenakan hadd (sangsi).
Namun demikian ada suatu hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh bahwa Nabi saw bersabda,”Sesungguhnya Allah telah menetapkan terhadap anak-anak Adam bagian dari zina yang bisa jadi ia mengalaminya dan hal itu tidaklah mustahil. Zina mata adalah pandangan, zina lisan adalah perkataan dimana diri ini menginginkan dan menyukai serta kemaluan membenarkan itu semua atau mendustainya.” (HR. Bukhori)
Hadits diatas menjelaskan kepada kita bahwa zina bisa terjadi melalui pandangan, perkataan, begitupula dengan tangan atau anggota tubuh yang lain yang kemudian diikuti oleh kemaluannya.
Namun terhadap zina kedua ini maka pelakunya tidaklah dikenakan hadd (hukuman) bahkan kafarat dikarenakan tidak adanya nash yang jelas menyebutkan tentang permasalahan ini.
Ustadz Sigit Pranowo, Lc.
www.eramuslim.com
وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً
Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Israa : 32).
Dan para ulama telah bersepakat jika hal itu terjadi maka wajib bagi pelakunya dikenakan hadd (sangsi).
Namun demikian ada suatu hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh bahwa Nabi saw bersabda,”Sesungguhnya Allah telah menetapkan terhadap anak-anak Adam bagian dari zina yang bisa jadi ia mengalaminya dan hal itu tidaklah mustahil. Zina mata adalah pandangan, zina lisan adalah perkataan dimana diri ini menginginkan dan menyukai serta kemaluan membenarkan itu semua atau mendustainya.” (HR. Bukhori)
Hadits diatas menjelaskan kepada kita bahwa zina bisa terjadi melalui pandangan, perkataan, begitupula dengan tangan atau anggota tubuh yang lain yang kemudian diikuti oleh kemaluannya.
Namun terhadap zina kedua ini maka pelakunya tidaklah dikenakan hadd (hukuman) bahkan kafarat dikarenakan tidak adanya nash yang jelas menyebutkan tentang permasalahan ini.
Ustadz Sigit Pranowo, Lc.
www.eramuslim.com
Subscribe to:
Posts (Atom)