SYARAH HADITS ARBAIN AN NAWAWI (2)

Hadits 2:

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَيضاً قَال: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَاب شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النبي صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الإِسْلاَم، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: (الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُولُ الله،وَتُقِيْمَ الصَّلاَة، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ،وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ البيْتَ إِنِ اِسْتَطَعتَ إِليْهِ سَبِيْلاً قَالَ: صَدَقْتَ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِيْمَانِ، قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِالله،وَمَلائِكَتِه،وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ،وَالْيَوْمِ الآَخِر،وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسئُوُلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَاتِها، قَالَ: أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا،وَأَنْ تَرى الْحُفَاةَ العُرَاةَ العَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي البُنْيَانِ ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثَ مَلِيَّاً ثُمَّ قَالَ: يَا عُمَرُ أتَدْرِي مَنِ السَّائِلُ؟ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوله أَعْلَمُ، قَالَ: فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ) . رواه مسلم

Dari Umar Radhiallahuanhu juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah Shallallahu’Alaihi wa Sallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu menyandarkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam) dan meletakkan kedua tangannya di atas dua pahanya (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) seraya berkata: “Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam : “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “ anda benar “. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian dia berkata: “ anda benar“. Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya “. Dia berkata: “ Beritahukan aku tentang tanda-tandanya “, beliau bersabda: “ Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan tak berpakaian, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya “, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “ Ya Umar tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian “. (Riwayat Muslim)

Takhrij Hadits:

- Imam Muslim dalam Shahihnya No. 8

- Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 2610

- Imam Abu Daud dalam Sunannya No. 4695

- Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 63

- Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, No. 20660

- Imam Ad Daruquthni dalam Sunannya No. 207

- Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No.168,159,tapi dari jalur Abu Hurairah

- Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya No. 2244,dari jalur Abu Hurairah

- Imam Ishaq Rahawaih dalam Musnadnya No.165,dari jalur Abu Hurairah&Abu Dzar

- Imam Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf , kitabul iman war ru’ya No. 1

- Imam Abu Ya’ala dalam Musnadnya No. 242


Makna Kalimat:

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَيضاً قَال: Dari Umar Radhiallahu Ta’ala ‘Anhu juga, dia berkata:

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم: Ketika kami duduk-duduk di sisi

Rasulullah Shallallahu’Alaihi wa Sallam

ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ: suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki

Rajul - رجل yakni ملك في صورة رجل, malaikat dalam tampilan seorang laki-laki. (Syaikh Muhammad bin Ismail Al Anshari, At Tuhfah Ar Rabbaniyah, lihat Syarah hadits No. 2), sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin:

وهو رجل في شكله لكن حقيقته أنه مَلَك.

“Dia adalah seorang laki-laki dalam wujudnya, tetapi hakikatnya dia adalah malaikat.” (Syarh Arbain An Nawawiyah, Hal. 19)

شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَاب: baju yang sangat putih

شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ:berambut sangat hitam

لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ:tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh

Sebagian ada yang meriwayatkan dengan kata: Laa Naraa لاَ نَرَى – kami tidak melihat- dengan huruf nun yang difat-hahkan, dan keduanya (baik Laa Yuraa dan Laa Naraa) adalah benar. (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 29. Maktabah Al Misykah. Lihat juga Syaikh Muhammad bin Ismail Al Anshari, At Tuhfah Ar Rabbaniyah, hadits no. 2)

Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin berkata tentang kalimat ini:

لأن ثيابه بيضاء وشعره أسود ليس فيه غبار ولاشعث السفر، ولهذا قال: لايُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ لأن المسافر في ذلك الوقت يُرى عليه أثر السفر، فيكون أشعث الرأس،مغبرّاً، ثيابه غير ثياب الحضر، لكن لايرى عليه أثر السفر.

Karena pakaiannya putih dan rambutnya hitam tidak ada debu dan kekusutan safar (perjalanan). Oleh karena itulah dia (Umar) berkata: tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh, sebab bagi seorang musafir pada waktu seperti itu akan Nampak padanya bekas-bekas perjalanan, seperti rambut yang kusut dan berdebu, pakaiannya bukanlah pakaian menetap, justru tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan.” (Syarh Al Arba’in An Nawawiyah Hal. 19. Mawqi’ Ruh Al Islam)

وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ: dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya

Maksudnya:

وليس من أهل المدينة المعروفين، فهوغريب.

Dan tidaklah diantara penduduk Madinah yang mengenalnya, maka dia adalah seorang yang asing.” (Ibid)

حَتَّى جَلَسَ إِلَى النبي صلى الله عليه وسلم : Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ : lalu menyandarkan kedua lututnya kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam)

وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ : dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas dua pahanya.

Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin memberikan penjelasan sebagai berikut:

وَوَضَعَ كَفَّيْهِ أي كفي هذا الرجل عَلَىَ فَخِذَيْهِ أي فخذي هذا الرجل، وليس على فخذي النبي صلى الله عليه وسلم ، وهذا من شدة الاحترام.

Dan meletakkan dua telapak tangannya yaitu dua telapak laki-laki tersebut, di atas dua pahanya yaitu pada dua paha laki-laki tersebut, bukan pada dua paha Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan ini merupakan bentuk penghormatan yang tinggi. (Ibid)

وَقَالَ : dan dia (malaikat yang menyerupai laki-laki, pen) berkata:

يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الإِسْلاَم : Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam

فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam

الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُولُ الله،وَتُقِيْمَ الصَّلاَة، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ،وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ البيْتَ: Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji ke baitullah

Kalimat ini merupakan penegasan landasan operasional ajaran Islam. Kalimat syahadat merupakan intisari semua muatan ajaran Islam, dan ikrar yang membedakan Islam dan kafir. Dan, dia menjadi syarat dasar bagi benar dan diterimanya amal ibadah seorang hamba. Sebaik apa pun orang kafir, walau dia bersedekah untuk masjid dan ikut berjihad membantu kaum muslimin, maka semuanya sia-sia baginya di akhirat, karena dia belum berikrar atas hak ketuhanan Allah Ta’ala dan kebenaran kenabian Muhammad Shalalllahu ‘Alaihi wa Sallam dan risalah yang dibawanya.

Bagi yang sudah mengucapkannya dengan sadar tanpa terpaksa, maka baginya terlindungi darah, kehormatan, dan hartanya. Maka, dia diperlakukan sebagai seorang muslim walapun melakukan dosa besar, selama tidak melakukan perbuatan syirik dan kekafiran yang jelas (kufrun bawwah).

Shalat di sini adalah gerakan dan ucapan tertentu dan pada waktu yang ditetapkan pula, dari takbiratul ihram hingga salam. Yang diwajibkan adalah lima kali sehari, kecuali menurut Imam Abu Hanifah yang menambahkan wajibnya witir pula, namun tak satu pun ulama yang mendukung pendapatnya ini. Bagi yang mengingkari kewajiban shalat fardhu maka dia kafir dan murtad, dan tak ada perbedaan pendapat dalam hal itu. Ada pun meninggalkannya karena kemalasan dan kelalaian tapi masih mengakui kewajibannya, maka para ulama berbeda pendapat antara yang mengkafirkan seperti Imam Ahmad, pelakunya –jika tidak mau tobat- mesti dibunuh, tidak dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak dikuburkan bersama kaum muslimin.

Sementara yang lain masih mengakuinya sebagai Islam tapi sebagai pelaku dosa besar dan di dunia dinilai sebagai fasik, sebagaimana pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Abu Hanifah. Namun, secara hukum meninggalkan shalat adalah tindakan pidana (kriminal) yang juga mesti dibunuh jika tidak mau bertobat, inilah padangan Malik dan Syafi’i, sedangkan Abu Hanifah berpendapat dikucilkan hingga dia bertobat.

Zakat di sini adalah sedekah wajib yang dikeluarkan dari harta seorang muslim yang memiliki kelebihan hartanya dengan ukuran tertentu jika sudah mencapai nishabnya (batas minimal kepemilikan harta). Berfungsi untuk membersihkan harta dan membersihkan jiwa pelakunya, dan juga memiliki dimensi sosial. Yang mengingkarinya juga dihukumi kafir dan tidak ada perselisihan dalam hal itu. Ada pun yang menolak mengeluarkan zakat, tapi mengakui kewajibannya, maka menurut jumhur (mayortas) ulama dia adalah pelaku dosa besar. Dan, Abu Bakar Ash Shiddiq telah memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, walau mereka masih shalat. Beliau Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:

أنا لاقاتل من فرق بين الصلاة والزكاة ، والله لاقاتلن من فرق بينهما حتى أجمعهما

Saya benar-benar akan memerangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat, demi Allah benar-benar akan saya perangi orang yang memisahkan keduanya sampai mereka kembali menyatukannya.” (Imam Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 6/14. Darul Fikr)

Puasa di sini adalah menahan diri (Al Imsak)dari hal-hal yang membatalkan puasa dari terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari pada bulan Ramadhan, yakni bulan antara sya’ban dan syawal. Sebanyak 29 hari atau digenapkan hingga 30 hari. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فاقدروا ثلاثين

Puasalah kalian karena melihatnya (hilal), dan berhari rayalah karena melihatnya, dan jika terhalang awan maka hitunglah sampai 30 hari.” (HR. An Nasa’i No. 2118 dan Ibnu Hibban No. 3442 dan 3443, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 2118)

Meninggalkan puasa karena mengingkarinya maka kafir. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata tentang orang yang mengingkari kewajibannya:

وأجمعت الامة: على وجوب صيام رمضان.

وأنه أحد أركان الاسلام، التي علمت من الدين بالضرورة، وأن منكره كافر مرتد عن الاسلام.

Umat telah ijma’ (konsensus) atas wajibnya puasa Ramadhan. Dia merupakan salah satu rukun Islam yang telah diketahui secara pasti dari agama, yang mengingkarinya adalah kafir dan murtad dari Islam.” (Fiqhus Sunnah, 1/433. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Ada pun meninggalkannya karena lalai dan malas, tapi masih mengakui kewajibannya, maka sebagian ulama ada yang yang menyatakan kafir dan boleh dibunuh. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

عرى الاسلام، وقواعد الدين ثلاثة، عليهن أسس الاسلام، من ترك واحدة منهن، فهو بها كافر حلال الدم: شهادة أن لا إله إلا الله، والصلاة المكتوبة، وصوم رمضان

Tali Islam dan kaidah-kaidah agama ada tiga, di atasnyalah agama Islam difondasikan, dan barangsiapa yang meninggalkannya satu saja, maka dia kafir dan darahnya halal ( untuk dibunuh), (yakni): Syahadat Laa Ilaaha Illallah, shalat wajib, dan puasa Ramadhan.” (HR. Abu Ya’ala dan Ad Dailami dishahihkan oleh Adz Dzahabi. Berkata Hammad bin Zaid: aku tidak mengetahui melainkan hadits ini telah dimarfu’kan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Al Haitsami mengatakan sanadnya hasan, Majma’ Az Zawaid, 1/48. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Berkata Imam Adz Dzahabi Rahimahullah:

وعند المؤمنين مقرر: أن من ترك صوم رمضان بلا مرض، أنه شر من الزاني، ومدمن الخمر، بل يشكون في إسلامه، ويظنون به الزندقة، والانحلال.

Bagi kaum mukminin telah menjadi ketetapan bahwa meninggalkan puasa Ramadhan padahal tidak sakit adalah lebih buruk dari pezina dan pemabuk, bahkan mereka meragukan keislamannya dan mencurigainya sebagai zindiq dan tanggal agamanya.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/434. Lihat juga Imam Al Munawi, Faidhul Qadir, 4/410. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Namun, Sebagain besar ulama mengatakan bahwa dia masih muslim, tapi dia adalah pelaku dosa besar dan termasuk perbuatan yang keji. Ada pun hadits di atas, maka Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani telah mendhaifkannya, lantaran kelemahan beberapa perawinya, yakni ‘Amru bin Malik An Nukri, di mana tidak ada yang menilainya tsiqah kecuali Ibnu Hibban, itu pun masih ditambah dengan perkataan: “Dia suka melakukan kesalahan dan keanehan.

Telah masyhur bahwa Imam Ibnu Hibban termasuk ulama hadits yang terlalu mudah mentsiqahkan seorang rawi, sampai-sampai orang yang majhul (tidak dikenal) pun ada yang dianggapnya tsiqah. Oleh karena itu, para ulama tidak mencukupkan diri dengan tautsiq yang dilakukan Imam Ibnu Hibban, mereka biasanya akan meneliti ulang.

Selain dia, rawi lainnya Ma’mal bin Ismail, adalah seorang yang shaduq (jujur) tetapi banyak kesalahan, sebagaimana dikatakan Imam Abu Hatim dan lainnya. Umumnya hadits darinya yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas hanyalah bernilai mauquf (sampai sahabat) saja.

Lalu, secara zhahir pun hadits ini bertentangan dengan hadits muttafaq ‘alaih: “Islam dibangun atas lima perkara …dst.” Bukan tiga perkara.

Maka dari itu, Syaikh Al Albani tidak meyakini adanya seorang ulama mu’tabar yang mengkafirkan orang yang meninggalkan puasa, kecuali jika dia menganggap halal perbuatan itu. (Lihat As Silsilah Adh Dhaifah No. 94)

Dengan kata lain, jika dia masih meyakini kewajibannya, tetapi dia meninggalkannya maka dia fasiq, jika Allah Ta’ala berkehendak maka di akhirat nanti Dia akan mengampuninya sesuai kasih sayangNya, dan jika berkehendak maka Dia akan mengazabnya sesuai dengan keadilanNya, sejauh kadar dosanya. Inilah pendapat yang lebih mendekati kepada kebenaran. Wallahu A’lam

Allah Ta’ala juga berfirman:

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisa’ (4): 116)

Ada pun haji, secara fiqih maknanya adalah sebagai berikut:

هو قصد مكة، لان عبادة الطواف، والسعي والوقوف بعرفة، وسائر المناسك، استجابة لامر الله، وابتغاء مرضاته.

وهو أحد أركان الخمسة، وفرض من الفرائض التي علمت من الدين بالضرورة.

فلو أنكر وجوبه منكر كفر وارتد عن الاسلام.

Yaitu mengunjungi Mekkah untuk melaksanakan Ibadah, seperti thawaf, sa’i, wuquf di Arafah, dan seluruh manasik, sebagai pemenuhan kewajiban dari Allah, dan dalam rangka mencari ridha-Nya. Haji merupakan salah satu rukun Islam yang lima, kewajiban di antara kewajiban agama yang sudah diketahui secara pasti. Seandainya ada yang mengingkari kewajibannya, maka dia kafir dan telah murtad dari Islam.” (Fiqhus Sunnah, 1/625)

Kewajiban haji hanya sekali seumur hidup, sedangkan yang kedua kali dan seterusnya adalah sunah.

إِنِ اِسْتَطَعتَ إِليْهِ سَبِيْلاً : jika engkau mampu

Kalimat ini menunjukkan bahwa istitha’ah (mampu) merupakan hal yang membuat seorang muslim wajib melaksanakan haji. Ketika dia belum ada kemampuan, baik finansial dan fisik, maka dia tidak wajib, serta tidak berdosa jika tidak melaksanakannya. Namun, dia dianjurkan untuk berupaya menjadi mampu secara normal. Ada pun berhutang untuk haji, maka telah ada riwayat sebagai berikut:

Dari Abdullah bin Abi Aufa Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

سألته عن الرجل لم يحج ، أيستقرض للحج ؟ قال : « لا »

Aku bertanya kepadanya, tentang seorang yang belum pergi haji, apakah dia berhutang saja untuk haji?” Beliau bersabda: “Tidak.” (HR. Asy Syafi’i, Min Kitabil Manasik, No. 460. Al Baihaqi, Ma’rifatus Sunan wal Atsar, Juz. 7, Hal. 363, No. 2788. Asy Syamilah)

Imam Asy Syafi’i berkata tentang hadits ini:

ومن لم يكن في ماله سعة يحج بها من غير أن يستقرض فهو لا يجد السبيل

Barangsiapa yang tidak memiliki kelapangan harta untuk haji, selain dengan hutang, maka dia tidak wajib untuk menunaikannya.” (Imam Asy Syafi’i, Al Umm, Juz. 1, Hal. 127. Asy Syamilah)

Namun, demikian para ulama tetap menilai hajinya sah, sebab status tidak wajib haji karena dia belum istitha’ah, bukan berarti tidak boleh haji. Ada pun larangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu karena Beliau tidak mau memberatkan umatnya yang tidak mampu, itu bukan menunjukkan larangannya. Yang penting, ketika dia berhutang, dia harus dalam kondisi bahwa dia bisa melunasi hutang atau tersebut pada masa selanjutnya.

قَالَ: صَدَقْتَ : dia (laki-laki tersebut) berkata: engkau benar

فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ: Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan

Imam Ibnu Dadiq Al ‘Id menjelaskan bahwa keheranan mereka (para sahabat) lantaran biasanya apa-apa yang dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah diketahui melalui orang yang mendatanginya, dan si penanya ini tidak pernah berjumpa dan tidak pernah mendengar dari nabi, tetapi si penanya ini justru dia membenarkan apa yang nabi katakan. Inilah yang membuat mereka heran. (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 29)

Dialog ini menunjukkan bahwa dibolehkan bagi seseorang bertanya sesuatu yang dia sendiri sudah mengetahuinya. Ucapan laki-laki tersebut: engkau benar! Menunjukkan bahwa dia juga mengetahui apa yang ditanyakannya. Hal ini sama dengan guru yang bertanya kepada murid-muridnya sebuah persoalan, yang tentunya dia sendiri mengetahui jawabannya.

قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِيْمَانِ: dia bertanya lagi: Beritahukan aku tentang Iman

قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِالله،وَمَلائِكَتِه،وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ،وَالْيَوْمِ الآَخِر،وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ: Lalu beliau bersabda: Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk

Kalimat ini adalah rincian rukun iman yang menjadi landasan ideologis bagi kaum muslimin. Syaikh Said bin Ali bin Wahf Al Qahthani menjelaskan tentang makna rukun iman ini, sebagai berikut:

Iman kepada Allah Ta’ala adalah keyakinan yang patut bahwa Allah adalah Rabb segala sesuatu, Dialah pemiliknya, pencipta, pemberi rizki, yang memberi kehidupan, yang mematikan. Dan, Dialah yang berhak diibadahi bukan selainNya, hanya dia satu-satunya yang disembah secara merendahkan diri dan tunduk dan seluruh macam peribadatan. Dialah Allah yang disifati dengan sifat-sifat yang sempurna, agung, dan tinggi, serta suci dari segala kekurangan.

Iman kepada malaikat adalah keyakinan yang patut bahwa milik Allah-lah para malaikat yang diciptakan dari cahaya. Mereka –sebagaimana yang Allah sifatkan- adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan yang tidak pernah membangkang perintah yang Allah berikan, dan mereka melaksanakan aa-apa yang mereka telah diperintahkan. Mereka senantiasa bertasbih siang dan malam tanpa letih. Mereka menjalankan tugas-tugas yang Allah perintahkan kepada mereka sebagaimana telah mutawatir tentang hal itu dalam nash Al Quran dan As Sunnah. Maka, semua pergerakan pada langit dan bumi merupakan perbuatan mereka sebagai wujud dari menjalankan perintah Allah ‘Azza wa Jalla. Wajib mengimani mereka, baik yang nama-nama mereka disebutkan secara rinci, atau mereka yang belum disebutkan namanya secara global.

Iman kepada kitab adalah membenarkan bahwa milik Allah-lah kitab-kitab yang Dia turunkan kepada para Nabi dan RasulNya, dia itu adalah ucapaNya secara hakiki, dia adalah cahaya dan petunjuk, dan apa-apa yang terkandung di dalamnya adalah kebenaran, serta tidak ada yang mengetahui jumlahnya kecuali Allah. Maka, wajib mengimaninya secara global, juga yang disebutkan namanya secara rinci, maka wajib mengimaninya, yaitu: Taurat, Injil, Zabur, dan Al Quran. Kewajiban mengimani Al Quran juga mengharuskan meyakini bahwa Al Quran adalah dari sisi Allah, dan Dia berbicara dengannya sebagaimana berbicara dengan kitab-kitab yang diturunkan. Bersaman ini, juga wajib bagi semuanya untuk mengikuti apa-apa yang ada di dalamnya, baik berupa perintahnya, atau menjauhi yang dilarangnya. Al Quran adalah pengawas (Muhaimin) bagi kitab-kitab sebelumnya, dan dia mendapatkan keistimewaan dari Allah bahwa dia terjaga dari penggantian dan perubahan. Dia adalah firmanNya bukan makhluk. Dari Dia dan kepadaNya kembali.

Iman kepada para Rasul adalah membenarkan bahwa Allah-lah yang mengutus para rasul unuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Dan, menetapkan hikmahNya Ta’ala bahwa mereka di utus sebagai pembawa kabar gembira (mubasyirin) dan peringatan (mundzirin). Wajib beriman kepada mereka secara keseluruhan, dan wajib beriman kepada mereka yang namanya telah Allah rinci; mereka adalah 25 orang yang telah Allah sebutkan dalam Al Quran. Wajib beriman pula bahwa milik Allah-lah para Nabi dan Rasul selain mereka, dan tidak ada yang mengetahui jumlah mereka kecuali Allah Ta’ala, dan tidak ada yang mengetahui nama-nama mereka kecuali Dia Jalla wa ‘Ala, sebagaimana wajib beriman bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah yang paling utama dan penutup para nabi, dan bahwa risalah yang dibawanya adalah untuk semua, dan tidak ada nabi lagi setelahnya.

Iman kepada hari kebangkitan setelah kematian adalah meyakini secara pasti bahwa ada kehidupan kampung akhirat yang saat itu Allah Ta’ala membalas kebaikan orang yang berbuat baik, keburukan orang yang berbuat buruk, dan Dia mengampuni siapa saja yang dikehendakiNya, kecuali dosa syirik. Hari kebangkitan (Al Ba’ts) secara syara’ bermakna: kembalinya badan dan masuknya ruh ke dalamnya, mereka keluar dari kuburnya, seakan mereka adalah belalang yang berhamburan menyambut dengan cepat yang memanggilnya. Kita mohon kepada Allah ampunan dan keselamatan dunia dan akhirat.

Iman kepada qadar baik dan qadar buruk adalah membenarkan secara pasti bahwa semua kebaikan dan keburukan terjadi dengan ketetapan (qadha) Allah dan qadar (keputusan)Nya. Allah Ta’ala Maha mengetahui semua taqdir segala sesuatu dan waktu-waktunya yang azali sejak sebelum diwujudkannya, kemudian Dia menjadikannya dengan qudrahNya, serta kehendak yang sesuai dengan apa yang diketahuiNya, bahwa Dia telah menuliskannya dalam Lauh Mahfuzh sebelum terjadinya.

Selesai kutipan dari Syaikh Said bin Ali bin Wahf Al Qahthani. (Lihat Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Hal. 12-15. Cet. 2. Rabiul Awal 1411H. Muasasah Al Juraisi)

قَالَ: صَدَقْتَ : dia (laki-laki tersebut) berkata: engkau benar

Al Imam Ibnu Ash Shalah Rahimahullah mengomentari semua kalimat di atas –sebagaimana dikutip oleh Imam An Nawawi:

هَذَا بَيَان لِأَصْلِ الْإِيمَان ، وَهُوَ التَّصْدِيق الْبَاطِن ، وَبَيَان لِأَصْلِ الْإِسْلَام وَهُوَ الِاسْتِسْلَام وَالِانْقِيَاد الظَّاهِر ، وَحُكْم الْإِسْلَام فِي الظَّاهِر ثَبَتَ بِالشَّهَادَتَيْنِ ، وَإِنَّمَا أَضَافَ إِلَيْهِمَا الصَّلَاة وَالزَّكَاة ، وَالْحَجّ ، وَالصَّوْم ، لِكَوْنِهَا أَظْهَرَ شَعَائِرِ الْإِسْلَامِ وَأَعْظَمِهَا وَبِقِيَامِهِ بِهَا يَتِمُّ اِسْتِسْلَامه ، وَتَرْكُهُ لَهَا يُشْعِرُ بِانْحِلَالِ قَيْدِ اِنْقِيَادِهِ أَوْ اِخْتِلَالِهِ

Ini merupakan penjelasan bagi dasar keimanan yaitu membenarkan (At Tashdiq) dalam hati, dan merupakan penjelasan dasar keislaman yaitu ketundukan/patuh (Al Istislam) dan keterikatan zhahir, dan hukum Islam terhadap zhahirnya adalah menguatkannya dengan dua kalimat syahadat, dan bahwasanya keduanya dilanjutkan dengan shalat, zakat, haji, dan puasa sebagai wujud nyata dari tanda keIslaman dan keagungannya, dan menjalankan hal itu merupakan wujud kesempurnaan ketundukannya. Meninggalkannya merupakan tanda tipisnya ketudukannya atau cacatnya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/69. Mawqi’ Ruh Al Islam)

قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ : Kemudian dia berkata lagi: Beritahukan aku tentang ihsan

قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ : Lalu beliau bersabda: Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, jika engkau tidak melihatNya maka Dia melihat engkau

Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id mengatakan:

حاصله راجع إلى إتقان العبادات ومراعاة حقوق الله ومراقبته واستحضار عظمته وجلالته حال العبادات.

Esensinya adalah kembali pada keitqanan (kualitas) peribadatan dan menjaga hak-hak Allah, mendekatkan diri kepadaNya dan menghadirkan keagunganNya dan kebesaranNya dalam keadaan berbagai ibadah.” (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, hal. 31)

Imam Sufyan bin ‘Uyainah Radhiallahu ‘Anhu mengatakan tentang makna Al Ihsan:

أن تكون سريرته أحسن من علانيته

Menjadikan yang tersembunyi (di hati) lebih baik dari yang ditampakkannya.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/595)

قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ : Kemudian dia berkata: Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)

قَالَ: مَا الْمَسئُوُلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ : Beliau bersabda: Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya

Maknanya adalah bahwa baik yang ditanya (yakni Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) dan yang bertanya (yakni laki-laki yang pada hakikatnya adalah malaikat Jibril), keduanya sama sama tidak mengetahui kapan pastinya terjadi kiamat. Pengetahuan mereka sama-sama terbatas.

Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari mengatakan tentang makna ucapan di atas:

لا أعلم وقتها أنا ولا أنت ، بل هو مما استأثر الله بعلمه .

Saya tidak mengetahui kapan waktunya begitu pula engkau, tetapi itu termasuk hal yang telah Allah tentukan dengan ilmuNya.” (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, hadits ke 2. Maktabah Misykah)

Hal ini ditegaskan dalam Al Quran:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي لا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلا هُوَ

Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia.” (QS. Al A’raf (7): 187)

Ayat lainnya:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا (42) فِيمَ أَنْتَ مِنْ ذِكْرَاهَا (43) إِلَى رَبِّكَ مُنْتَهَاهَا (44)

42. (orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah terjadinya? 43. siapakah kamu (maka) dapat menyebutkan (waktunya)? 44. kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya). (QS. An Naziat (79): 42-44)

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan tentang ayat-ayat ini:

ليس علمها إليك ولا إلى أحد من الخلق، بل مَردها ومَرجعها إلى الله عز وجل، فهو الذي يعلم وقتها على التعيين

Pengetahuan tentang kiamat tidaklah ada padamu (Rasulullah) dan tidak pula seorang pun pada hambaNya, bahkan kembalikan dan pulangkanlah ilmu tentang kiamat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan Dialah yang mengetahui waktunya secara khusus/pasti.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 8/318. Dar An Nasyr wa At Tauzi’)

Dalam hadits ini, istilah kiamat diistilahkan dengan As Saa’ah- السَّاعَة. Secara bahasa penggunaan sehari-hari arti As Saa’ah adalah waktu, jam, arloji, dan masa 60 menit. Tapi, dalam konteks hadits ini dia bermakna kiamat. Istilah kiamat sendiri disebutkan dalam berbagai kata dalam Al Quran sesuai dengan bentuk peristiwanya, seperti Al Qiyamah (kiamat), Al Haaqqah (yang benar), Al Waaqi’ah (kenyataan yang terjadi), Al Infithar (pecah), At Takwir (terbelah), Al Insyiqaq (terbelah), Al Qaari’ah (pukulan keras), dan Al Zalzalah (guncangan).

Secara umum, pengetahuan manusia terhadap yang ghaib –bukan hanya kiamat- memang sangat sedikit. Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

Katakanlah: "tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (QS. An Naml (27): 65)

Tapi, yang jelas kiamat hanya terjadi pada hari Jum’at. Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al Abad Al Badr Hafizhahullah:

فكلهم لا يعلمون متى تقوم، الله تعالى هو الذي يعلم متى تقوم، فلا يُعلم متى تقوم في أي سنة وفي أي يوم من أي شهر، ولكن بلا شك هي لا تقوم يوم السبت ولا الأحد ولا الإثنين ولا الثلاثاء ولا الأربعاء ولا الخميس، وإنما تقوم يوم الجمعة بالتحديد، لأنه ثبت بذلك الحديث عن رسول الله عليه الصلاة والسلام، لكن أي جمعة من أي شهر من أي سنة لا يعلم بذلك إلا الله سبحانه وتعالى

Maka, mereka semua tidak tahu kapan terjadinya kiamat, Allah Ta’ala yang mengetahui kapan terjadinya. Tidak diketahui pada tahun kapan terjadinya, pada hari apa, dan bulan apa. Tetapi, tidak diragkan lagi bahwa kiamat tidaklah terjadi pada hari sabut, ahad, senin, selasa, rabu, dan kamis. Dia terjadi pada hari jumat tertentu, karena hal ini telah shahih diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tetapi, jumat yang mana dari bulan yang mana, dari tahun yang mana? Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Ta’ala.” (Syaikh Abdul Muhsin Al Abad Al Badr, Syarh Sunan Abi Daud, No. 490)

Hadits shahih yang menyebutkan bahwa kiamat terjadi pada hari Jumat cukup banyak diantaranya, dari jalur Abu Hurairah. (HR. Abu Daud No. 1046, An Nasa’i No. 1430, At Tirmidzi No. 491), dari jalur Abu Lubabah. (HR. Ibnu Majah No. 84, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 2/9).

قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَاتِها : Dia berkata: Beritahukan aku tentang tanda-tandanya

Bagian ini menunjukkan bahwa walaupun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengetahui secara pasti datangnya kiamat, namun Allah Ta’ala memberikannya keutamaan dengan mengetahui tanda-tanda datangnya kiamat. Dan, ini merupakan kekhususan bagi Beliau saja, tidak pada umatnya. Oleh karena itu banyak di antara ulama Islam yang mengumpulkan hadits-hadits dan juga penjelasannya tentang tanda-tanda dan peristiwa-peristiwa yang mendahului datangnya kiamat.

Imam Bukhari dalam Shahihnya menulisnya dalam Kitab Al Fitan (Berbagai Huru Hara), Imam Muslim dalam Shahihnya menulisnya dalam Kitabul Fitan wa Asyrath As Saa’ah (Berbagai Huru Hara dan Tanda-Tanda Kiamat), dan kitab hadits dari imam lainnya. Begitu pula hadits-hadits tanda-tanda kiamat beserta pejelasannya seperti yang ditulis oleh Imam Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah pada sub bab Al Fitan wal Malahim, juga Syaikh Yusuf Abdullah Yusuf Al Wabil dengan kitabnya Asyratus Saa’ah. Kedua buku ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

قَالَ: أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا، : beliau bersabda: Jika seorang hamba melahirkan tuannya

Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan maksud ungkapan ini. Di antara mereka ada yang memaknai bahwa saat itu kaum muslimin berhasil menguasai negeri-negeri kafir, mengalahkan kaum musyrikin, dan banyak futuhat (penaklukan) yang mereka raih. Seakan, posisi mereka yang tadinya anak dari budak wanita (Al Amah), justru anak itu menjadi tuan bagi budak tersebut. Sedangkan yang lainnya memahami bahwa saat itu kondisi manusia sudah sangat rusak sampai wanita (budak) dijual anak-anaknya sendiri sehingga keberadaan mereka ditangan pembelinya membuat ragu-ragu para pembelinya. Demikianlah tanda kiamat yang menunjukkan kebodohan mereka atas keharaman menjual ibu mereka sendiri. Ada juga yang mengatakan itu menunjukkan banyaknya kedurhakaan anak kepada orang ibunya, mereka memperlalukan ibu mereka seperti tuan terhadap budaknya, merendahkan dan memakinya. (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 31)

Al Qadhi ‘Iyadh menyebutkan sebuah pendapat bahwa pada akhir zaman banyak anak-anak yang menjual ibunya sendiri (yakni ibu yang statusnya budak – al amah), sampai-sampai seorang pembeli menjadi pemilik ibunya sendiri dan dia tidak tahu, lantaran wanita ini sudah mengalami berbagai pergantian pemiliknya. (Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmal Al Mu’allim, 1/158. Maktabah Al Misykah)

وَأَنْ تَرى الْحُفَاةَ العُرَاة العَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ َ: dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan tak berpakaian, fakir dan penggembala domba

Kalimat ini menggambarkan seseorang yang fakir, disebutkannya penggembala domba menunjukkan posisi mereka yang paling lemah di antara penduduk gurun pasir, berbeda dengan pemilik Unta yang biasanya bukan orang-orang fakir. (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah Hal. 32)

Tetapi, walau keadaan demikian, mereka tetap berlomba-lomba melakukan hal yang tidak mereka butuhkan. Oleh karena itu, dilanjutkan dalam hadits tersebut dengan ungkapan:

يَتَطَاوَلُوْنَ فِي البُنْيَانِ: (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya

Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id mengatakan:

وفي الحديث كراهة ما لا تدعو الحاجة إليه من تطويل البناء وتشييده وقد روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: "يؤجر ابن آدم في كل شيء إلا ما وضعه في هذا التراب

“Pada hadits ini dimakruhkan ajakan terhadap hal-hal yang tidak dibutuhkan, berupa memanjangkan bangunan dan meninggikannya. Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa Dia bersabda; Akan diberikan pahala bagi anak Adam dalam segala hal kecuali apa-apa yang diletakannya (dibangunkannya) pada tanah ini. (Ibid)

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi, dengan lafaz:

يؤجرُ الرجل في نفقته كلّها إلا التراب أو قال: - "في البناء"

Seseorang akan diberika pahala pada semua nafkahnya kecuali tanah.” Atau dia berkata: “pada bangunan.

Imam At Tirmidzi mengatakan: hasan shahih. (Sunan At tirmidzi No. 2483, Syaikh Al Albani menshahihkan dalam As Silsilah Ash Shahihah No. 2831)

ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثَ مَلِيَّاً : kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam

Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin mengatakan, Maliyyan artinya muddah thawilah (waktu yang lama), ada yang mengatakan tiga hari atau lebih, ada juga yang mengatakan lebih sedikit, tetapi yang ma’ruf (telah diketahui) maknanya adalah az zaman ath thawil (waktu yang lama). (Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 58. Mawqi’ Ruh Al islam)

Artinya, ketika laki-laki itu pergi, Umar bin Al Khathab terdiam cukup lama.

ثُمَّ قَالَ : Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya

: يَا عُمَرُ أتَدْرِي مَنِ السَّائِلُ؟ Ya Umar tahukah engkau siapa yang bertanya ?

قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوله أَعْلَمُ : aku berkata: Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui

قَالَ: فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ : Beliau bersabda: Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian

رواه مسلم: diriwayatkan oleh Imam Muslim

Kedudukan hadits, Kadungan dan Faidahnya Secara Global

Hadits ini termasuk memuat permasalahan yang sangat penting dan mendalam dalam Islam, yakni tentang aqidah berupa dasar-dasar Islam dan Iman, dan juga beberapa kandungan fiqih serta adab yang mesti diketahui oleh kaum muslimin.

Pertama. Membaur di masyarakat adalah kebiasaan para Nabi dan Rasul. Hal ini ditunjukkan oleh perkataan bahwa dia dan para sahabat duduk-duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan, hadits yang menyebutkan seperti ini banyak. Imam An Nawawi telah membuat bab khusus dalam kitab Riyadhusshalihin tentang keutamaan membaur bersama masyarakat dengan bertahan atas fitnah yang ada pada mereka. Itulah jalan hidup yang ditempuh oleh para nabi, sahabat, tabi’in, fuqaha, dan pendapat yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad.

Kedua. Adab menemui orang terhormat atau ahli ilmu. Yakni dengan menggunakan pakaian yang sopan, rapi, dan bersih, serta penampilan yang baik. Serta gaya duduk yang pantas dilakukan di depan mereka. Hal ini dicontohkan oleh laki-laki itu dengan meletakkan dua telapak tangannya di atas kedua pahanya sendiri ketika memulai pembicaraan di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Sekaligus menunjukkan kedudukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang tinggi di antara manusia secara khusus dan di antara makhluk Allah Ta’ala secara umum.

Ketiga. Dalam berbagai riwayat hadits ini, laki-laki itu datang tidak mengucapkan Salam. Hal ini menunjukkan bahwa –secara fiqih- mengawali ucapan salam ketika berjumpa adalah tidak wajib, tetapi sunah. Namun, menjawab salam adalah wajib.

Keempat. Hadits ini juga menunjukkan bahwa Malaikat bisa menjumpai manusia dalam wujud manusia pula. Ini bukan hanya dialami oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tapi juga para Rasul sebelumnya, seperti Nabi Ibrahim dan Nabi Luth ‘Alaihimassalam.

Allah Ta’ala berfirman:

Dan Sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada lbrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: "Selamat." Ibrahim menjawab: "Selamatlah," Maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka. Malaikat itu berkata: "Jangan kamu takut, Sesungguhnya Kami adalah (malaikat-ma]aikat) yang diutus kepada kaum Luth." Dan isterinya berdiri (dibalik tirai) lalu Dia tersenyum, Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishak dan dari Ishak (akan lahir puteranya) Ya'qub. Isterinya berkata: "Sungguh mengherankan, Apakah aku akan melahirkan anak Padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam Keadaan yang sudah tua pula?. Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh." Para Malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, Hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah." (QS. Huud (11): 69-73)

Dalam ayat lainnya:

Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, Dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan Dia berkata: "Ini adalah hari yang Amat sulit." dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata: "Hai kaumku, Inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, Maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. tidak Adakah di antaramu seorang yang berakal?" (QS. Huud (11): 77-78)

Nabi Luth ‘Alaihissalam merasa susah akan kedatangan utusan-utuaan Allah itu karena mereka berupa pemuda yang rupawan sedangkan kaum Luth Amat menyukai pemuda-pemuda yang rupawan untuk melakukan homo sexual. dan Dia merasa tidak sanggup melindungi mereka bilamana ada gangguan dari kaumnya.

Kelima. Dibolehkan mengambil pelajaran dari ‘sandiwara’. Apa yang dilakukan oleh Jibril yang menjelma menjadi laki-laki, secara zahir menunjukkan dia menanyakan hal-hal penting kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, seakan dia tidak tahu. Namun, sebenarnya dia tahu, hal ini ditunjukkan dengan mengucapkan: engkau benar! Hal ini diperkuat lagi dengan ucapan Rasulullah: Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian.

Jadi, kedatangannya bukanlah untuk menguji Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan berbagai pertanyaan itu, tetapi untuk mengajarkan para sahabat, agar para sahabat mengambil manfaat dari dialog mereka berdua.

Keenam. Ajakan agar kita profesional dalam beribadah, yakni dengan merasakan kehadiran Allah dan pengawasanNya. Tentunya, juga berlaku untuk pekerjaan duniawi.

Ketujuh. Keterbatasan pengetahuan makhluk Allah Ta’ala atas terjadinya kiamat dan hal-hal ghaib. Namun, Rasulullah diberikan kekhususan oleh Allah Ta’ala untuk mengetahui tanda-tandanya seperti yang dikatakannya, yang memang sudah terjadi pada saat ini.

Kedelapan. Tanda-tanda kiamat tidak selalu berupa hal-hal yang buruk. Memang umumnya adalah hal-hal yang buruk, dan pada hadits ini pun dijelaskan demikian. Tetapi, berdirinya gedung-gedung yang memberikan manfaat bagi manusia sebagai tempat tinggal, tempat bekerja, dan memakmurkan dunia, tidaklah berkonotasi negatif. Yang buruk adalah berlomba-lomba meninggikan bangunan yang tidak dibutuhkannya. Dalam riwayat shahih lainnya tentang tanda-tanda kiamat, disebutkan bahwa lahirnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan kiamat hanya berjarak seperti dua jari. Nah, apakah lahirnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah sebuah keburukan?

Kesembilan. Ini menunjukkan manfaat berkumpul bersama orang-orang shalih dan ahli ilmu. Walau nampaknya sedang duduk-duduk saja, tetapi banyak ilmu dan nilai kebaikan yang di dapatkan oleh banyak manusia yang hadir di dalamnya. Inilah sebaik-baiknya majelis.

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda:

البركة مع أكابركم

Keberkahan ada bersama orang-orang besar kalian.” (HR. Ath Thabarani dalam Al Awsath, Al Hakim dalam Al Mustadrak, katanya shahih sesuai syarat Imam Muslim. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Targhib wat Tarhib No. 99)

Sekian. Wallahu A’lam
Oleh: Farid Nu’man Hasan
http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/164

No comments:

Post a Comment