Islam dan Korupsi
مَنْ ظَلَمَ قِيْدَ شِبْرٍ مِنَ اْلأ َرْضِ طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَاضِيْنَ
“Barangsiapa yang mengambil hak orang lain walaupun hanya sejengkal tanah, maka akan dikalungkan di lehernya (pada hari Kiamat nanti) seberat 7 lapis bumi.”
Takhrij Hadits
Hadits ini dikeluarkan oleh :
1. Bukhari, juz-V/76.
2. Muslim, hadits no.1612.
Kandungan Hadits
Hukum dapat dibedakan dari norma sosial yang lain sebagai sebuah mekanisme kontrol sosial, sebab ia menggantikan kontrol sosial yang tidak legal (extra legal), dan hukum digunakan untuk mengontrol berbagai perilaku yang secara mendasar tidak terkontrol[i]. Hukum juga merupakan salah satu unsur dan produk dari sejarah, aspek yang memberikan daya bagi sebuah masyarakat yang terorganisasi untuk mengatur individu-individu dan kelompok-kelompok dalam hubungannya untuk menjaga, menata kembali atau memberikan sanksi atas penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma sosial yang telah disepakati[ii]. Hukum telah ditemukan pada tiga tingkatan masyarakat; sejak mulainya hukum pada masyarakat pra baca yang disebut sebagai hukum primitif, pada masyarakat peralihan yang didefinisikan sebagai hukum kuno (archaic law), serta hukum yang dijalankan pada masa peradaban pembangunan yang dikenal sebagai hukum modern sekarang ini[iii].
Mengambil hak orang lain tanpa sepengetahuan ataupun dengan sepengetahuan namun tanpa perkenan, dalam hukum manapun di dunia ini adalah terlarang, setiap sistem kemasyarakatan di dunia dari yang paling primitif hingga yang paling modern memberikan pelbagai sanksi atas perbuatan tersebut. Sanksi yang dijatuhkan dapat berupa sanksi moral (teguran sampai pengucilan atau pengusiran) sampai dengan sanksi material dan fisik (pukulan sampai penjara). Semua sistem kemanusiaan memiliki cara sendiri dalam memberikan sanksi kepada perampas hak milik maupun kehormatan orang lain.
Sebagai sistem yang diturunkan oleh Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, Islam telah menggariskan sebuah sistem sanksi sendiri terhadap para pelaku kezhaliman, namun uniknya sanksi yang ditetapkan Islam memiliki kelebihan dibandingkan dengan sistem buatan manusia, yaitu bahwa sanksi tersebut memiliki 2 dimensi, dimensi fisik yaitu dipotong tangannya dan dimensi metafisik (ukhrawi) yaitu kemurkaan ALLAH SWT dan balasan di akhirat kelak.
Salah satu contoh sanksi non fisik tersebut adalah dalam hadits di atas, nabi SAW menyebutkan kepada para penganutnya yang telah percaya (mukmin) bahwa barangsiapa di antara mereka yang melakukan kezhaliman merampas sejengkal tanah orang lain maka ia akan dibebani sejengkal tanah tersebut namun dengan seluruh bobotnya ke bawah sampai menembus 7 lapis bumi… Inna liLLAH wa inna ‘ilaihi raji’un… Alangkah beratnya dan alangkah ngerinya balasan tersebut, maka bagaimanakah dengan orang-orang yang mengambil tanah orang lain lebih banyak lagi dari itu…?!
Contoh dimensi fisik yang lain yang dijelaskan oleh Islam adalah sanksi terhadap perbuatan kezhaliman suap-menyuap dan korupsi, sebagaimana kesempurnaannya, Islam membasmi kejahatan ini sampai ke tingkat yang sekecil-kecilnya, simaklah perkataan rasul SAW berikut ini terhadap salah seorang petugas pemungut zakatnya:
“Sesungguhnya aku telah mengutus seorang di antara kalian tugas yang diberikan ALLAH kepadaku, lalu ia datang dan berkata: Ini untukmu, sedangkan yang ini hadiah mereka untukku. Andaikata ia memang benar, maka mengapa ia tidak duduk saja di rumahnya, hingga hadiah itu diberikan padanya. Demi ALLAH siapa saja di antara kalian yang mengambil sesuatu yang bukan haknya, niscaya nanti di hari Kiamat ia akan menghadap ALLAH sambil memikul apa yang diambilnya di dunia. Demi ALLAH aku tidak ingin melihat salah seorang di antara kalian yang menghadap ALLAH dengan memikul unta, lembu atau kambing yang mengembek. Lalu nabi SAW mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putih kedua ketiaknya sambil bersabda: Ya ALLAH bukankah aku telah menyampaikannya?”[iv]
Bukankah aku katakan kepadamu Islam telah memberantas suap dan korupsi pada tingkat yang sekecil-kecilnya? Lihatlah bagaimana nabi SAW telah mengharamkan hadiah-hadiah yang diberikan kepada seorang karena jabatan yang dipikulnya, karena hadiah tersebut diberikan dikaitkan dengan jabatan orang tersebut? Perhatikanlah dengan teliti sabda beliau SAW di atas: “Maka mengapa ia tidak diam saja di rumahnya (tidak menjabat apa-apa) hingga hadiah itu datang padanya?” Artinya jika benar itu hadiah, maka tidak akan diberikan ketika sahabat tersebut menjabat, karena ketika ia tidak menjabat hadiah tersebut tidak ada yang memberi. Maka jelaslah bahwa hadiah tersebut ada maunya, alias termasuk suap-menyuap…
Hal lain yang berkaitan dengan pemberantasan perilaku zhalim ini secara fundamental dalam Islam adalah di antaranya memberantas bentuk-bentuk pengakuan terhadap hak orang lain melalui sumpah atau di bawah sumpah, walaupun betapapun kecilnya apalagi jika sumpah tersebut bersifat besar seperti sumpah jabatan, lalu kemudian digunakan untuk berbuat zhalim, simaklah hadits berikut ini:
“Siapa saja yang merampas hak seorang muslim dg sumpahnya, maka ALLAH benar-benar mewajibkan neraka baginya dan diharamkan Jannah untuknya. Lalu seorang sahabat bertanya: Walaupun yang dirampas itu sesuatu yang amat sedikit ya RasuluLLAH? Maka jawab nabi SAW: Walaupun sekecil batang kayu arak (kayu untuk bersiwak).”[v]
Hal lain berkenaan dengan perbuatan kezhaliman yang ditumpas oleh Islam ini adalah dalam bentuk kezhaliman dan kejahatan yang dilakukan seseorang di lembaga peradilan, yaitu perbuatan mengadukan suatu perkara dengan tujuan mengambil sesuatu yang bukan miliknya dengan memperkarakannya di lembaga peradilan. Sabda nabi SAW:
‘Sesungguhnya aku adalah manusia biasa, sedangkan kalian mengadukan persoalan kepadaku. Mungkin salah seorang di antara kalian lebih pandai berbicara daripada yang lain, lalu aku putuskan baginya sesuai dengan yang aku dengar. Maka barangsiapa yang telah aku menangkan perkaranya dengan mengalahkan yang benar, maka sama saja dengan aku telah memberinya sepotong bara api neraka.” [vi]
Lalu bagaimana jika terlanjur melakukan yang demikian itu? Segeralah minta maaf jika kezhaliman tersebut berkaitan dengan diri atau kehormatan seseorang atau kembalikan harta haram tersebut jika berbentuk uang atau materi, sebagaimana sabda nabi SAW:
“Barangsiapa yang pernah menganiaya saudaranya baik kehormatannya maupun sesuatu yang lain hendaklah ia minta maaf sekarang juga sebelum saatnya dinar dan dirham tidak berguna. Jika tidak, apabila ia memiliki amal shalih maka amalnya akan diambil sesuai dengan kadar penganiayaan yang dilakukannya. Apabila tidak memiliki amal baik lagi, maka kejahatan orang yang dianiaya itu diambil dan dibebankan kepadanya.” [vii]
RABBanaghfirlana wa israfana fi amrina…
Oleh: Aba AbduLLAAH
Catatan Kaki:
[i] Social Control, Jack P. Gibbs, p. 83, Sage Publ., Beverly Hills.
[ii] Simpson, SP., dan Ruth Field dalam Hoebel, E. Adamson, The Law of Primitive Man, p. 4, Harvard University Press, Cambridge, Massachussets.
[iii] Ibid, p. 5.
[iv] HR Bukhari, V/162; Muslim (1832); Ahmad, V/423.
[v] HR Muslim (137)
[vi] HR Bukhari, XII/299-300; Muslim (1713); Ahmad VI/203, 290, 307.
[vii] HR Bukhari, V/73
http://www.al-ikhwan.net/islam-dan-korupsi-3345/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment