Wanita Dalam Sejarah Hidup Nabi Musa
Kita kembali ke ribuan tahun ke belakang, membuka lembaran sejarah mereka yang sepanjang zaman jadi teladan. Kita ingin belajar dari sejarah, bukan hanya belajar sejarah. Kita ingin mengambil fakta dari sejarah bukan hanya mengumpulkan data. Kita tak ingin salah melangkah ke depan, dan itulah salah satu fungsi sejarah, belajar dari kekhilafan lalu agar tak salah melangkah di masa depan, atau belajar dari kegemilangannya agar lulus sebagai pemenang. Tidak syak lagi, kalau wanita, selalu dan selamanya memiliki peran penting dalam peradaban setiap bangsa atau ummat. Tidak berlebihan kiranya jika ada sebagian orang yang mengatakan bahwa wanita adalah “Tiang Negara”, tidak berlebihan pula jika sebagian yang lain mengatakan wanita sebagai “Madrasah pertama bagi anak-anaknya”, dan seterusnya-dan seterusnya berbagai ungkapan dilontarkan tentang wanita.
Sejarah tak luput mencatat, bagaimana Musa dan para wanita yang berjasa dalam hidupnya. Musa AS dilahirkan saat kondisi sedang pelik. Rasa takut firaun akan tahtanya membuatnya bertindak tiran dan sewenang-wenang di muka bumi. Setiap bayi laki-laki yang lahir ke dunia patut di sembelih, adapun bayi perempuan dibiarkannya hidup.
Sosok pertama seorang wanita dalam hidup Musa adalah Ibu nya. Lihatlah bagaimana keadaannya tatkala Musa lahir ke dunia? Sang Ibu bimbang hatinya, apa yang harus dilakukan, sedangkan firaun dan bala tentaranya pasti akan segera menjamah dan merampas setiap anak lelaki dari tangan ibu-ibu mereka.
Saat sang ibu mendekap erat Musa kecil dalam pangkuannya, dan bimbang semakin menjadi-jadi, maka Allah sudah merencanakan sesuatu untuk Musa. Tiba-tiba, sang ibu jadi bulat tekadnya untuk menghanyutkan sang buah hati ke sungai dengan memasukannya ke dalam wadah, kemudian menitipkannya kepada laju arus sungai.
Sesaat setelah Musa di biarkan mengambang bersama arus sungai, sang ibu hatinya menjadi kosong, penuh rasa penyesalan. Kenapa dia percaya kepada suara hati nya yang muncul begitu saja itu? Bukankah membiarkannya mengambang di sungai jauh lebih bahaya ketimbang membiarkannya didekap? Boleh jadi ia tenggelam atau dimangsa buaya sungai yang buas! Hampir saja ibu Musa tak dapat menahan dirinya, hampir saja dia berteriak dan ingin mengatakan segala apa yang ada di hatinya yang boleh jadi semua rahasianya ‘kan terbongkar seketika, namun Allah meneguhkan hatinya, agar ia menjadi seorang mu’minah (yang percaya terhadap janji Allah).
“Ikutilah jejaknya!”(QS. Al-Qoshos:11) suruh Ibu Musa terhadap anak perempuannya (Saudari Musa). Ini dia, saudara perempuan Musa, wanita kedua dalam kisah hidup Musa. Dengan amanah, dia mengikuti jejak musa sampai penyusuran jejaknya itu akhirnya mengantarkan ia ke istana firaun, dan ia dapati saudara laki-lakinya tengah berada di pangkuan istri sang penguasa tiran, Firaun. Bagaimana bisa? Jawabannya hanya satu, sungai telah memainkan perannya dengan baik, sungai tidak khianat dengan suruhan Allah yang Maha berkuasa. Jika mau, boleh saja sungai menelan bayi mungil itu, namun ternyata Allah telah menyuruhnya dengan tugas khusus, yaitu mengantar bayi kecil ke sisi wanita mu’minah lainnya (Istri Firaun).
Istri Firaun, wanita ketiga dalam hidup Musa, telah memainkan perannya, Allah menakdirnya ‘tuk menjadi penyelamat Musa kecil ketika kilatan pedang hampir saja memutus lehernya. Istri firaun berkata “Jadikanlah ia sebagai buah hatiku dan dirimu! Jangan lah engkau bunuh, mudah-mudahan anak ini kelak bisa bermanfaat bagi kita, kita jadikan saja sebagai anak…”. (QS. Al-Qoshos: 9)
“Mereka membuat makar, Allah pun membuat makar, dan Allahlah yang paling baik makarnya.” (Ali-Imron: 54). Firaun ingin agar kekuasaannya langgeng, dengan membunuh setiap bayi laki-laki dari masyarakat Bani Israil, sehingga populasi lelaki mereka berkurang dan dengan demikian kekuasaan akan tetap berada ditangannya. Firaun punya keinginan, tapi Allah punya kehendak lain. Apa yang ditakutinya berupa keruntuhan kekuasaan justru tak lama lagi akan terwujud, bayi kecil yang kini berada di bawah asuhan istrinya inilah yang kelak akan menjadi musuhnya.
Mulailah istri firaun mencarikan seseorang yang dapat menyusuinya. Tiap kali didatangkan seorang yang hendak menyusuinya, tiap itu pula Musa kecil dengan isyarat keengganannya menolak sang penyusu, sehingga kemudian saudari perempuan Musa yang menyaksikan peristiwa di istana megah firaun itu berkata “Mau kah ku tunjukkan kalian kepada seseorang yang dapat menyusuinya?”.(Al-Qoshos: 12)
Demikianlah akhirnya Allah mengembalikan musa ke haribaan ibunya, sehingga hati sang ibu kembali menjadi tenang. Hari-hari berlalu, Musa tumbuh di istana musuhnya sendiri, firaun, namun sang durhaka dan durjana firaun tidak menyadarinya kalau bahaya yang ditakutinya sebenarnya setiap hari selalu mengancam.
Kini Musa telah dewasa, Allah telah memberikan kepadanya pengetahuan dan hikmah. Allah pun telah punya rencana lain untuk Musa, hidupnya yang berkelimpahan di istana dan kenyamanan di dalamnya, sesaat dan sesaat lagi akan berubah total.
Pada suatu saat dalam sejarah hidupnya, Musa memasuki sebuah kota yang sedang lengang, tak nampak aktivitas penduduknya, kemudian ia mendapati di kota tersebut, dua orang tengah berselisih, yang satu dari kaumnya (Bani Israil) yang lainnya adalah anak buah firaun. Maka orang yang dari kaumnya itu meminta bantuan kepada Musa, seketika Musa memukul anak buah firaun hingga ia tergeletak tak berdaya bahkan berhenti detak jantungnya. Musa kaget bukan buatan atas apa yang telah dilakukannya, padahal tak ada maksud sedikit pun untuk membunuh orang tersebut.
“Ya Allah, sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku sendiri, maka ampunilah diriku…”(Al-Qoshos:16) kata Musa bermunajat memohon ampun kepada Allah atas kesalahan yang telah diperbuatnya.
Beberapa hari setelah peristiwa itu, Musa dihadapkan kembali pada persoalan yang sama, orang dari kaumnya yang kemarin berselisih meminta pertolongan kembali kepada musa, mengesalkan memang, karena selalu saja orang dari Bani Israel itu berbuat ulah sebagaimana cucu-cucunya saat ini. Musa berkata kepada orang dari kaumnya itu “Engkau sungguh orang yang nyata-nyata sesat”.(Al-Qoshos: 18)
Maka ketika Musa hendak memukul orang yang menjadi musuh mereka berdua, dia (musuhnya) berkata “Apakah engkau bermaksud membunuhku sebagaimana kemarin engkau membunuh seseorang? Engkau hanya bermaksud menjadi orang yang berbuat sewenang-wenang di Negeri ini (Mesir), dan engkau tidak bermaksud menjadi salah seorang dari orang-orang yang mengadakan perdamaian”.(Al-Qoshos: 19) Musa menjadi terdiam ketika mendengar kata-katanya, marahnya terhadap pemuda yang hendak ia pukul ditahannya, hingga berlalu lah pemuda tersebut dari hadapannya.
Rupanya berita pembunuhan itu sudah menyebar ke seantero Mesir, Nama Musa dibicarakan dari mulut ke mulut, dan bahkan ternyata namanya sudah terdengar gaungnya di istana kerajaan firaun, karena beberapa saat setelah musa hendak memukul orang tadi, datanglah seorang laki-laki bergegas dari ujung kota seraya berkata “Wahai Musa! Sesungguhnya para pembesar Negeri sedang berunding tentang engkau untuk membunuhmu, maka keluarlah dari kota ini, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasihat kepadamu”.(QS. Al-Qoshos: 20)
Keluarlah akhirnya musa dari kota tersebut (kota Memphis), tanpa bekal, dan tanpa seseorang yang menunjuki jalan, karena tuntutan tiba-tiba yang membuatnya tidak sempat mempersiapkan apapun. Langkah kakinya menyisir gurun, menapak jejak, akhirnya mengantarkan Musa ke sebuah negeri di antara negeri Syam (Irak, Iran,…) dan Hijaz, yaitu kota Madyan. Kita tidak tahu, seberapa lama musa berjalan, kita pun tidak tahu seberapa banyak bahaya yang mengancamnya selama perjalanan, Al-Quran menjelaskan cerita secara singkat, karena tujuan dari Kisah-kisah Al-Quran itu adalah Mengambil Ibrah atau pelajaran dan nasihat di balik kisah Nabi Musa ini, bukan sekadar hafalan data-data sejarah.
Mulailah satu fase kehidupan baru Bagi Musa, kehidupan yang berbeda 180 derajat dari kehidupan sebelumnya yang penuh dengan kemegahan Istana ayah angkatnya, Firaun. Sekarang, Musa ada di negeri Orang, Negeri Madyan. Matanya memandang jauh ke depan, dan ia dapati sekumpulan orang tengah berkerumun ‘tuk memberi minum ternak mereka. Tiba-tiba saja Musa mengarahkan perhatiannya pada dua orang perempuan yang berdiri jauh dari kumpulan orang tersebut, sembari menahan hewan ternak keduanya agar jangan melaju kearah desakan-desakan kerumunan tersebut.
Kemudian Musa mendekati keduanya sembari berkata “Apakah Maksud Kalian berdua dengan berbuat begitu?…”(QS. Al-Qoshos: 23), kedua perempuan itu menjawab “Kami tidak bisa memberi minum ternak-ternak kami sebelum orang-orang itu memulangkan ternak mereka (setelah selesai dari memberi minumnya), sedangkan ayah kami adalah seorang yang telah lanjut usianya”. (QS. Al-Qoshos: 23) Seakan-akan jawaban dari keduanya menunjukkan kalau keberadaan mereka berdua di tengah desakan adalah perkara yang kurang pantas bagi wanita, oleh karena itu keduanya berdiri jauh dari kerumunan dan desak-desakan orang, sambil kemudian berkata “Ayah kami adalah seorang yang telah lanjut usia”, maksudnya, kalaulah tidak karena ayah kami sudah berumur, maka tentunya kami tidak akan berdiri di sini sekarang.
Maka kemudian Musa membantu keduanya dalam memberi minum ternak mereka berdua, setelah selesai, tanpa banyak kata, pulanglah kedua perempuan itu, tak ada obrolan sedikit pun antara musa dan keduanya, pun begitu pula musa tidak meminta upah dari keduanya. Mulailah Musa mencari tempat berteduh, setelah mendapatkannya, ia bernaung di bawah tempat teduh itu, dan tidak sedikit pun meminta-minta walaupun banyak orang yang lalu-lalang di hadapannya. Musa berdoa “Ya Allah aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang engkau turunkan kepadaku.(QS. Al-Qoshos: 24)
Beberapa saat kemudian, tanpa disangka-sangka datanglah kepada Musa salah satu dari kedua perempuan itu. Sambil berjalan dengan malu-malu dia berkata “Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas kebaikanmu memberi minum ternak kami…”.(QS. Al-Qoshos: 25)
Kebaikan benar-benar datang kepada Musa tanpa harus menunggu berhari-hari, hitungannya hanya menit saja, tibalah pertolongan Allah kepadanya. Setelah Musa sampai ke rumah kedua perempuan itu, bertemulah Musa dengan Ayah keduanya, Sedangkan kedua perempuan tersebut berada di samping ayahnya. Ia (perempuan tersebut) melihat ada sebuah kesempatan baginya dan bagi saudarinya untuk istirahat dari lelah dan penatnya pekerjaan mengembala kambing, oleh karenanya salah seorang dari kedua perempuan berkata “…Wahai Ayah, jadikanlah ia sebagai pekerja kita, sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja pada kita adalah orang yang kuat dan dapat di percaya”.(QS. Al-Qoshos: 26) Keduanya telah menyaksikan sendiri kejujuran orang asing ini (Musa), kemaskulinan (kelaki-lakiannya), dan kebaikan akhlaqnya dengan tidak meminta upah sedikit pun sesaat setelah Musa membantu mereka berdua, oleh karenanya jadilah dalam pandangan mereka berdua Musa sebagai sebaik-baik pemuda.
Apa yang dirasakan kedua perempuan itu, dirasakan pula oleh ayah keduanya, memang benar, orang asing ini (Musa) selain butuh tempat berlindung, pun dapat diperbantukan untuk pekerjaannya menggembala kambing, dan pada saat yang sama pula, orang tua tersebut memiliki dua anak perempuan yang salah satu dari keduanya sudah dirasa cukup untuk menikah, dan juga agar keberadaan Musa di rumahnya tidak mengundang desas desus dan bisik-bisik tetangga, oleh karenanya, menikahkan salah satu dari keduanya dengan ketentuan bekerja beberapa tahun adalah solusi jitu dan pas. Berkatalah orang tua tersebut “Sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan tahun dan jika engkau sempurnakan sepuluh tahun maka itu adalah suatu kebaikan darimu, dan aku tidak bermaksud memberatkan engkau. Insya Allah engkau mendapatiku termasuk orang yang baik.(QS. Al-Qoshos: 27)
Musa menerima perjanjian itu, ia berkata “…Itu perjanjian antara aku dan engkau, yang mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku lagi, dan Allah menjadi saksi atas apa yang kita ucapkan”.(Al-Qoshos: 28)
Tinggallah Musa di negeri asing bersama seorang istri yang mendampinginya, Inilah takdir Allah bagi Nabi Musa AS dalam satu episode sejarah kehidupannya, Musa dan wanita-wanita berjasa dalam hidupnya, Ibunya, Kakak perempuannya, Istri Firaun, dan Istrinya yang solehah.
*******
Pelajaran yang bisa diambil dari satu episode dalam kehidupan Nabi Musa ini:
1. “Boleh jadi Kita tidak menginginkan sesuatu, padahal sesuatu itu ternyata baik bagi kita”. Ini adalah gambaran dari fase kehidupan Musa, kalaulah karena tidak karena sebab Musa memukul anak buah firaun, tidaklah mungkin ia kan meninggalkan Mesir secara langsung dan tiba-tiba. Sungguh ini adalah takdir Allah agar sempurna pembinaan Nabi Musa, dan persiapannya di kemudian hari tuk menghadapi kecongkakan firaun. Allah jauhkan dia dari kemewahan Istana firaun, dan kemudian menempatkannya di tengah lingkungan gurun yang udaranya belum tercemari, akhlak-akhlak penduduknya masih terjaga.
2. Andai Musa terus tinggal di Istana Firaun sampai ia mendapat perintah menghadapinya, maka itu akan menjadi hal yang cukup berat baginya, karena musa hidup dari suapan firaun, tinggal di istananya. Maka dengan mudah firaun akan mencelanya, dan menuduhnya tak tahu diuntung. Kehidupan Mandiri adalah cara tuk mengantisipasi agar hal tersebut tidak terjadi, walau akhirnya firaun mengejeknya juga dengan cara itu, padahal musa sudah mandiri dan tidak sepenuhnya hidup dari suapan firaun, apalagi jika tidak demikian, tentunya ini akan menjadi aib tersendiri bagi Musa.
3. Ada kemiripan antara kisah Nabi Musa dan kisah Nabi Yusuf, pertama, Musa di lempar oleh ibunya ke sungai dengan harapan agar selamat dari cengkraman tangan jahat Firaun, adapun Yusuf, saudara-saudaranya lah yang melemparnya ke sumur karena kedengkian mereka, kedua, keduanya sama-sama hidup di lingkungan istana semasa kecil, namun dalam kisah Yusuf yang paling berperan terhadap pendidikannya dan pengembangan dirinya adalah raja dari istana yang ia tinggali sebagaimana dijelaskan di surat Yusuf ayat 21, adapun dalam kisah Musa yang berperan adalah Istri dari raja Firaun sebagaimana tersebut dalam surat Al-Qosos ayat 9.
Ketiga, keduanya tinggal dalam lingkungan keberhalaan. Pada zaman Nabi Yusuf keberhalaan dan kerusakan moral sudah mencapai puncaknya, pun begitu pula pada zaman Nabi Musa, namun walaupun demikian, Allah telah menjaga kehidupan keduanya dari keterlibatan dengan penyembahan berhala dan kerusakan moral yang merajalela.
Keempat, Setiap fase dari kehidupan dua Nabi ini selalu mengantarkan keduanya pada kondisi yang berbeda bahkan perubahan drastis amat sangat terlihat dari sejarah hidup keduanya. Yusuf hidup dengan nyaman di istana raja Mesir, kedekatan Yusuf dengannya layaknya seorang anak dengan ayahnya, semua kenikmatan hidup ia rasakan di dalamnya, pun begitu pula dengan Nabi Musa, dia termasuk anak angkat firaun, dibesarkan di istananya dan sudah barang tentu sempat mencicipi aneka kenikmatan hidup di dalamnya.
Namun ternyata, keduanya mesti kehilangan semua kenikmatan hidup itu.
Kehidupan mereka berdua tiba-tiba saja berpindah menuju kesengsaraan, kerasnya hidup, ujian dan cobaan. Yusuf, dari kehidupannya yang penuh kenikmatan, tiba-tiba saja harus mendekam di balik jeruji penjara setelah lontaran tuduhan tak pantas ditujukan padanya oleh seorang perempuan, istri pembesar Mesir, Zulaikha. Adapun Musa, kehilangan semuanya sesaat setelah tindakannya yang berakibat pada terbunuhnya anak buah firaun.
Kelima, wanita memiliki peran dalam kehidupan keduanya, hanya saja dalam kisah Nabi Yusuf, peran tersebut berkebalikan dengan peran wanita dalam kehidupan Nabi Musa. Atas takdir Allah perempuan dalam kehidupan Nabi Yusuf menjadi sumber ujian dan cobaan baginya, adapun dalam kehidupan Nabi Musa, bermula dari Ibu, Saudara perempuan, Istri Firaun, sampai Istrinya, semuanya adalah Nikmat Allah yang diberikan kepadanya.
4. Kisah Nabi dengan dua orang perempuan yang ia temui di negeri Madyan ini memberikan gambaran pada kita tentang Nilai-nilai Islam dan akhlak-akhlak yang semestinya dipegang teguh oleh muslimah di manapun dan kapan pun ia berada, beberapa di antaranya adalah:
• Semestinya bagi seorang wanita, ketika ia hendak meninggalkan rumahnya dan menuju tempat lain, baik terjun ke medan kerja, atau sekadar bepergian, berdua lebih baik dari pada sendiri. Kita lihat dalam Kisah tersebut, dua orang perempuan kakak beradik, keluar menuju medan kerja, walaupun boleh jadi orang tuanya yang sudah lanjut usia sangat membutuhkan salah satu dari keduanya untuk hanya sekadar mengambilkan minum, menyuapi makan atau yang lainnya, namun kita lihat bagaimana keduanya keluar bersama-sama agar dapat saling membantu satu sama lain, sehingga tidak membutuhkan bantuan dari orang asing, lebih khusus lagi bahwa karakter dasar pembentukan wanita yang tidak sekuat laki-laki menjadi sebab akan butuhnya seseorang yang menemani dan membantu dalam beberapa pekerjaannya.
• Masing-masing dari kedua perempuan dalam Kisah Musa ini layaknya kamera pengintai bagi yang lainnya, ketika yang satu bekerja, maka yang lain mengawasinya, agar hal-hal yang tidak diinginkan dapat dihindari, karena keberadaan seorang wanita di tengah-tengah kerumunan orang, apalagi jika kerumunan orang tersebut didominasi oleh kaum Adam, adalah hal yang riskan baginya kalau-kalau terjadi hal-hal tercela yang tidak pantas dari orang asing yang ditemuinya.
• Kita lihat bagaimana keduanya tidak mau berdesak-desakan, dan ini dijelaskan oleh kata-kata mereka berdua “Kami tidak bisa memberi minum ternak-ternak kami sebelum orang-orang itu memulangkan ternak mereka (setelah selesai dari memberi minumnya)….”. Seperti telah dijelaskan, bahwa desak-desakan bagi seorang wanita adalah hal yang membuka celah terjadinya sesuatu yang tidak mengenakkan hati, kecuali jika berdesakan di tengah kerumunan sesama wanita, namun lebih utama dijauhi. Hal yang membuat saya miris adalah ketika kebanyakan mahasiswi kita di Kairo, ikut berdesak-desakan di Bus, karena memang di sini transportasi agak sulit, bukan karena kekurangan unit kendaraan/angkutan, namun karena padatnya populasi penduduk. Wanita berdiri di dekat pintu masuk bus sambil kakinya yang sebelah mengambang di udara akan Anda dapati di sini, dan yang berbuat seperti itu rata-rata mahasiswi Indonesia, oleh karena itu tingkat kriminal pemuda Mesir terhadap mahasiswi Indonesia cukup masuk catatan, pun begitu pula terhadap ras Melayu yang lainnya seperti Malaysia, Thailand, dan Singapore.
• Kedua perempuan dalam kisah Nabi Musa ini tidak keluar dengan bersolek dan berhias yang berlebihan, tidak pula berjalan tanpa adab dan rasa malu, melainkan seperti yang digambarkan dalam ayat “Berjalan dengan malu-malu”, seakan-akan rasa malu adalah jalan yang dilewatinya tuk sedikit mendekat menuju Musa.
5. Dari ayat yang berisi perjanjian Musa dan Orang tua, ayah kedua perempuan itu, kita dapati kecerdasan dan kebijakan orang tua tersebut, yakni keputusannya tuk menikahkan salah seorang anak perempuannya dengan Musa, karena memang dia pun membutuhkan seseorang tuk menggantikannya mengurus gembalaan, dan agar kedua anak perempuannya pun dapat istirahat dari lelahnya menggembala. Kalaulah Orang tua tersebut tidak mengambil keputusan menikahkan salah satu putrinya dengan Musa, maka beberapa kesulitan yang mungkin menimpanya adalah sebagai berikut:
• Orang asing ada di rumahnya, sedangkan dia memiliki dua putri, tentunya hal ini akan memancing desas desus yang mencoreng aib keluarga.
• Karena Musa adalah orang asing, boleh jadi ia akan meminta upahnya, karena itu memang haknya, dan ini pun akan membuatnya sulit ‘tuk memenuhi. Tapi karena Musa sudah menjadi menantunya, rasanya kurang pantas jika masih meminta upah terhadap mertuanya.
• Musa akan terus menjadi orang asing di rumahnya karena tidak terikat dengan ikatan apapun, namun ketika sang orang tua menikahkan dengan salah satu putrinya, maka keberadaannya di rumah itu adalah keberadaan yang sah lagi halal, yaitu sebagai seorang suami dari salah satu putri orang tua tersebut, kalau tidak demikian, apa statusnya ketika berkumpul dengan dua orang perempuan yang asing baginya???
6. Tidak seorang Nabi pun melainkan ia pernah menggembala Kambing, Nabi Muhammad, Musa, Isa, dan lain sebagainya. Terdapat beberapa akhlaq yang didapatkan dari hasil menggembala kambing ini, di antaranya:
• Sabar: Pekerjaan penggembala adalah pekerjaan dari matahari terbit hingga terbenam, karena kelambanan hewan ternak dalam mengunyah makanannya, maka sabar adalah sebuah tuntutan akhlaq yang mau tidak mau mesti dipenuhi oleh penggembala.
• Tawadhu (Rendah Hati): Ciri khas penggembala hewan ternak (kambing, domba, dll) adalah pelayanannya terhadap hewan tersebut, mulai dari mengurusi kelahirannya, penjagaannya yang boleh jadi menuntutnya ‘tuk tidur di dekat hewan-hewan tersebut, dan bahkan sesekali terkena kencingnya. Ketika pekerjaan ini terus berlanjut dan berulang-ulang, hal itu akan semakin menjauhkannya dari besar kepala atau sombong.
• Keberanian (Syaja’ah): Ciri khas lainnya dari pekerjaan menggembala hewan ternak ini adalah bahaya yang kerap kali mengancam dari binatang buas sebangsa serigala yang setiap waktu dapat memangsa hewan ternaknya. Maka seorang penggembala harus memiliki keberanian lebih ‘tuk menghadang hewan buas ini.
• Kasih sayang dan Belas kasih: Tuntutan pekerjaan penggembala kambing adalah, mengobati hewan ternaknya ketika sakit, atau terluka karena gigitan hewan buas. Semua ini membutuhkan kasih sayang dan belas kasih terhadap hewan, memperlakukannya sebagaimana perlakuannya terhadap manusia. Siapa saja yang mengasihi hewan dan berbuat lembut padanya, sudah barang tentu akan memperlakukan manusia dengan sikap yang lebih lembut dan penuh kasih sayang.
• Cinta pekerjaan hasil keringat sendiri: Diriwayatkan Bukhari dari Miqdad R.A. dari Rasulullah saw, Beliau berkata, “Tidak ada makanan yang paling baik bagi seseorang selain makanan yang ia dapatkan dari hasil kerja tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud A.S. makan dari hasil kerja tangannya sendiri” (HR. Muslim). Tidak diragukan lagi bahwa dengan bersandar pada usaha halal ‘kan membuat seseorang meraih kebebasan sempurna dan berkuasa untuk terang-terangan dalam melantangkan kebenaran.
Wallohu ‘alam bis shawab
Cairo, 29 Juni 2010
(hdn)
Sejarah tak luput mencatat, bagaimana Musa dan para wanita yang berjasa dalam hidupnya. Musa AS dilahirkan saat kondisi sedang pelik. Rasa takut firaun akan tahtanya membuatnya bertindak tiran dan sewenang-wenang di muka bumi. Setiap bayi laki-laki yang lahir ke dunia patut di sembelih, adapun bayi perempuan dibiarkannya hidup.
Sosok pertama seorang wanita dalam hidup Musa adalah Ibu nya. Lihatlah bagaimana keadaannya tatkala Musa lahir ke dunia? Sang Ibu bimbang hatinya, apa yang harus dilakukan, sedangkan firaun dan bala tentaranya pasti akan segera menjamah dan merampas setiap anak lelaki dari tangan ibu-ibu mereka.
Saat sang ibu mendekap erat Musa kecil dalam pangkuannya, dan bimbang semakin menjadi-jadi, maka Allah sudah merencanakan sesuatu untuk Musa. Tiba-tiba, sang ibu jadi bulat tekadnya untuk menghanyutkan sang buah hati ke sungai dengan memasukannya ke dalam wadah, kemudian menitipkannya kepada laju arus sungai.
Sesaat setelah Musa di biarkan mengambang bersama arus sungai, sang ibu hatinya menjadi kosong, penuh rasa penyesalan. Kenapa dia percaya kepada suara hati nya yang muncul begitu saja itu? Bukankah membiarkannya mengambang di sungai jauh lebih bahaya ketimbang membiarkannya didekap? Boleh jadi ia tenggelam atau dimangsa buaya sungai yang buas! Hampir saja ibu Musa tak dapat menahan dirinya, hampir saja dia berteriak dan ingin mengatakan segala apa yang ada di hatinya yang boleh jadi semua rahasianya ‘kan terbongkar seketika, namun Allah meneguhkan hatinya, agar ia menjadi seorang mu’minah (yang percaya terhadap janji Allah).
“Ikutilah jejaknya!”(QS. Al-Qoshos:11) suruh Ibu Musa terhadap anak perempuannya (Saudari Musa). Ini dia, saudara perempuan Musa, wanita kedua dalam kisah hidup Musa. Dengan amanah, dia mengikuti jejak musa sampai penyusuran jejaknya itu akhirnya mengantarkan ia ke istana firaun, dan ia dapati saudara laki-lakinya tengah berada di pangkuan istri sang penguasa tiran, Firaun. Bagaimana bisa? Jawabannya hanya satu, sungai telah memainkan perannya dengan baik, sungai tidak khianat dengan suruhan Allah yang Maha berkuasa. Jika mau, boleh saja sungai menelan bayi mungil itu, namun ternyata Allah telah menyuruhnya dengan tugas khusus, yaitu mengantar bayi kecil ke sisi wanita mu’minah lainnya (Istri Firaun).
Istri Firaun, wanita ketiga dalam hidup Musa, telah memainkan perannya, Allah menakdirnya ‘tuk menjadi penyelamat Musa kecil ketika kilatan pedang hampir saja memutus lehernya. Istri firaun berkata “Jadikanlah ia sebagai buah hatiku dan dirimu! Jangan lah engkau bunuh, mudah-mudahan anak ini kelak bisa bermanfaat bagi kita, kita jadikan saja sebagai anak…”. (QS. Al-Qoshos: 9)
“Mereka membuat makar, Allah pun membuat makar, dan Allahlah yang paling baik makarnya.” (Ali-Imron: 54). Firaun ingin agar kekuasaannya langgeng, dengan membunuh setiap bayi laki-laki dari masyarakat Bani Israil, sehingga populasi lelaki mereka berkurang dan dengan demikian kekuasaan akan tetap berada ditangannya. Firaun punya keinginan, tapi Allah punya kehendak lain. Apa yang ditakutinya berupa keruntuhan kekuasaan justru tak lama lagi akan terwujud, bayi kecil yang kini berada di bawah asuhan istrinya inilah yang kelak akan menjadi musuhnya.
Mulailah istri firaun mencarikan seseorang yang dapat menyusuinya. Tiap kali didatangkan seorang yang hendak menyusuinya, tiap itu pula Musa kecil dengan isyarat keengganannya menolak sang penyusu, sehingga kemudian saudari perempuan Musa yang menyaksikan peristiwa di istana megah firaun itu berkata “Mau kah ku tunjukkan kalian kepada seseorang yang dapat menyusuinya?”.(Al-Qoshos: 12)
Demikianlah akhirnya Allah mengembalikan musa ke haribaan ibunya, sehingga hati sang ibu kembali menjadi tenang. Hari-hari berlalu, Musa tumbuh di istana musuhnya sendiri, firaun, namun sang durhaka dan durjana firaun tidak menyadarinya kalau bahaya yang ditakutinya sebenarnya setiap hari selalu mengancam.
Kini Musa telah dewasa, Allah telah memberikan kepadanya pengetahuan dan hikmah. Allah pun telah punya rencana lain untuk Musa, hidupnya yang berkelimpahan di istana dan kenyamanan di dalamnya, sesaat dan sesaat lagi akan berubah total.
Pada suatu saat dalam sejarah hidupnya, Musa memasuki sebuah kota yang sedang lengang, tak nampak aktivitas penduduknya, kemudian ia mendapati di kota tersebut, dua orang tengah berselisih, yang satu dari kaumnya (Bani Israil) yang lainnya adalah anak buah firaun. Maka orang yang dari kaumnya itu meminta bantuan kepada Musa, seketika Musa memukul anak buah firaun hingga ia tergeletak tak berdaya bahkan berhenti detak jantungnya. Musa kaget bukan buatan atas apa yang telah dilakukannya, padahal tak ada maksud sedikit pun untuk membunuh orang tersebut.
“Ya Allah, sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku sendiri, maka ampunilah diriku…”(Al-Qoshos:16) kata Musa bermunajat memohon ampun kepada Allah atas kesalahan yang telah diperbuatnya.
Beberapa hari setelah peristiwa itu, Musa dihadapkan kembali pada persoalan yang sama, orang dari kaumnya yang kemarin berselisih meminta pertolongan kembali kepada musa, mengesalkan memang, karena selalu saja orang dari Bani Israel itu berbuat ulah sebagaimana cucu-cucunya saat ini. Musa berkata kepada orang dari kaumnya itu “Engkau sungguh orang yang nyata-nyata sesat”.(Al-Qoshos: 18)
Maka ketika Musa hendak memukul orang yang menjadi musuh mereka berdua, dia (musuhnya) berkata “Apakah engkau bermaksud membunuhku sebagaimana kemarin engkau membunuh seseorang? Engkau hanya bermaksud menjadi orang yang berbuat sewenang-wenang di Negeri ini (Mesir), dan engkau tidak bermaksud menjadi salah seorang dari orang-orang yang mengadakan perdamaian”.(Al-Qoshos: 19) Musa menjadi terdiam ketika mendengar kata-katanya, marahnya terhadap pemuda yang hendak ia pukul ditahannya, hingga berlalu lah pemuda tersebut dari hadapannya.
Rupanya berita pembunuhan itu sudah menyebar ke seantero Mesir, Nama Musa dibicarakan dari mulut ke mulut, dan bahkan ternyata namanya sudah terdengar gaungnya di istana kerajaan firaun, karena beberapa saat setelah musa hendak memukul orang tadi, datanglah seorang laki-laki bergegas dari ujung kota seraya berkata “Wahai Musa! Sesungguhnya para pembesar Negeri sedang berunding tentang engkau untuk membunuhmu, maka keluarlah dari kota ini, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasihat kepadamu”.(QS. Al-Qoshos: 20)
Keluarlah akhirnya musa dari kota tersebut (kota Memphis), tanpa bekal, dan tanpa seseorang yang menunjuki jalan, karena tuntutan tiba-tiba yang membuatnya tidak sempat mempersiapkan apapun. Langkah kakinya menyisir gurun, menapak jejak, akhirnya mengantarkan Musa ke sebuah negeri di antara negeri Syam (Irak, Iran,…) dan Hijaz, yaitu kota Madyan. Kita tidak tahu, seberapa lama musa berjalan, kita pun tidak tahu seberapa banyak bahaya yang mengancamnya selama perjalanan, Al-Quran menjelaskan cerita secara singkat, karena tujuan dari Kisah-kisah Al-Quran itu adalah Mengambil Ibrah atau pelajaran dan nasihat di balik kisah Nabi Musa ini, bukan sekadar hafalan data-data sejarah.
Mulailah satu fase kehidupan baru Bagi Musa, kehidupan yang berbeda 180 derajat dari kehidupan sebelumnya yang penuh dengan kemegahan Istana ayah angkatnya, Firaun. Sekarang, Musa ada di negeri Orang, Negeri Madyan. Matanya memandang jauh ke depan, dan ia dapati sekumpulan orang tengah berkerumun ‘tuk memberi minum ternak mereka. Tiba-tiba saja Musa mengarahkan perhatiannya pada dua orang perempuan yang berdiri jauh dari kumpulan orang tersebut, sembari menahan hewan ternak keduanya agar jangan melaju kearah desakan-desakan kerumunan tersebut.
Kemudian Musa mendekati keduanya sembari berkata “Apakah Maksud Kalian berdua dengan berbuat begitu?…”(QS. Al-Qoshos: 23), kedua perempuan itu menjawab “Kami tidak bisa memberi minum ternak-ternak kami sebelum orang-orang itu memulangkan ternak mereka (setelah selesai dari memberi minumnya), sedangkan ayah kami adalah seorang yang telah lanjut usianya”. (QS. Al-Qoshos: 23) Seakan-akan jawaban dari keduanya menunjukkan kalau keberadaan mereka berdua di tengah desakan adalah perkara yang kurang pantas bagi wanita, oleh karena itu keduanya berdiri jauh dari kerumunan dan desak-desakan orang, sambil kemudian berkata “Ayah kami adalah seorang yang telah lanjut usia”, maksudnya, kalaulah tidak karena ayah kami sudah berumur, maka tentunya kami tidak akan berdiri di sini sekarang.
Maka kemudian Musa membantu keduanya dalam memberi minum ternak mereka berdua, setelah selesai, tanpa banyak kata, pulanglah kedua perempuan itu, tak ada obrolan sedikit pun antara musa dan keduanya, pun begitu pula musa tidak meminta upah dari keduanya. Mulailah Musa mencari tempat berteduh, setelah mendapatkannya, ia bernaung di bawah tempat teduh itu, dan tidak sedikit pun meminta-minta walaupun banyak orang yang lalu-lalang di hadapannya. Musa berdoa “Ya Allah aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang engkau turunkan kepadaku.(QS. Al-Qoshos: 24)
Beberapa saat kemudian, tanpa disangka-sangka datanglah kepada Musa salah satu dari kedua perempuan itu. Sambil berjalan dengan malu-malu dia berkata “Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas kebaikanmu memberi minum ternak kami…”.(QS. Al-Qoshos: 25)
Kebaikan benar-benar datang kepada Musa tanpa harus menunggu berhari-hari, hitungannya hanya menit saja, tibalah pertolongan Allah kepadanya. Setelah Musa sampai ke rumah kedua perempuan itu, bertemulah Musa dengan Ayah keduanya, Sedangkan kedua perempuan tersebut berada di samping ayahnya. Ia (perempuan tersebut) melihat ada sebuah kesempatan baginya dan bagi saudarinya untuk istirahat dari lelah dan penatnya pekerjaan mengembala kambing, oleh karenanya salah seorang dari kedua perempuan berkata “…Wahai Ayah, jadikanlah ia sebagai pekerja kita, sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja pada kita adalah orang yang kuat dan dapat di percaya”.(QS. Al-Qoshos: 26) Keduanya telah menyaksikan sendiri kejujuran orang asing ini (Musa), kemaskulinan (kelaki-lakiannya), dan kebaikan akhlaqnya dengan tidak meminta upah sedikit pun sesaat setelah Musa membantu mereka berdua, oleh karenanya jadilah dalam pandangan mereka berdua Musa sebagai sebaik-baik pemuda.
Apa yang dirasakan kedua perempuan itu, dirasakan pula oleh ayah keduanya, memang benar, orang asing ini (Musa) selain butuh tempat berlindung, pun dapat diperbantukan untuk pekerjaannya menggembala kambing, dan pada saat yang sama pula, orang tua tersebut memiliki dua anak perempuan yang salah satu dari keduanya sudah dirasa cukup untuk menikah, dan juga agar keberadaan Musa di rumahnya tidak mengundang desas desus dan bisik-bisik tetangga, oleh karenanya, menikahkan salah satu dari keduanya dengan ketentuan bekerja beberapa tahun adalah solusi jitu dan pas. Berkatalah orang tua tersebut “Sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan tahun dan jika engkau sempurnakan sepuluh tahun maka itu adalah suatu kebaikan darimu, dan aku tidak bermaksud memberatkan engkau. Insya Allah engkau mendapatiku termasuk orang yang baik.(QS. Al-Qoshos: 27)
Musa menerima perjanjian itu, ia berkata “…Itu perjanjian antara aku dan engkau, yang mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku lagi, dan Allah menjadi saksi atas apa yang kita ucapkan”.(Al-Qoshos: 28)
Tinggallah Musa di negeri asing bersama seorang istri yang mendampinginya, Inilah takdir Allah bagi Nabi Musa AS dalam satu episode sejarah kehidupannya, Musa dan wanita-wanita berjasa dalam hidupnya, Ibunya, Kakak perempuannya, Istri Firaun, dan Istrinya yang solehah.
*******
Pelajaran yang bisa diambil dari satu episode dalam kehidupan Nabi Musa ini:
1. “Boleh jadi Kita tidak menginginkan sesuatu, padahal sesuatu itu ternyata baik bagi kita”. Ini adalah gambaran dari fase kehidupan Musa, kalaulah karena tidak karena sebab Musa memukul anak buah firaun, tidaklah mungkin ia kan meninggalkan Mesir secara langsung dan tiba-tiba. Sungguh ini adalah takdir Allah agar sempurna pembinaan Nabi Musa, dan persiapannya di kemudian hari tuk menghadapi kecongkakan firaun. Allah jauhkan dia dari kemewahan Istana firaun, dan kemudian menempatkannya di tengah lingkungan gurun yang udaranya belum tercemari, akhlak-akhlak penduduknya masih terjaga.
2. Andai Musa terus tinggal di Istana Firaun sampai ia mendapat perintah menghadapinya, maka itu akan menjadi hal yang cukup berat baginya, karena musa hidup dari suapan firaun, tinggal di istananya. Maka dengan mudah firaun akan mencelanya, dan menuduhnya tak tahu diuntung. Kehidupan Mandiri adalah cara tuk mengantisipasi agar hal tersebut tidak terjadi, walau akhirnya firaun mengejeknya juga dengan cara itu, padahal musa sudah mandiri dan tidak sepenuhnya hidup dari suapan firaun, apalagi jika tidak demikian, tentunya ini akan menjadi aib tersendiri bagi Musa.
3. Ada kemiripan antara kisah Nabi Musa dan kisah Nabi Yusuf, pertama, Musa di lempar oleh ibunya ke sungai dengan harapan agar selamat dari cengkraman tangan jahat Firaun, adapun Yusuf, saudara-saudaranya lah yang melemparnya ke sumur karena kedengkian mereka, kedua, keduanya sama-sama hidup di lingkungan istana semasa kecil, namun dalam kisah Yusuf yang paling berperan terhadap pendidikannya dan pengembangan dirinya adalah raja dari istana yang ia tinggali sebagaimana dijelaskan di surat Yusuf ayat 21, adapun dalam kisah Musa yang berperan adalah Istri dari raja Firaun sebagaimana tersebut dalam surat Al-Qosos ayat 9.
Ketiga, keduanya tinggal dalam lingkungan keberhalaan. Pada zaman Nabi Yusuf keberhalaan dan kerusakan moral sudah mencapai puncaknya, pun begitu pula pada zaman Nabi Musa, namun walaupun demikian, Allah telah menjaga kehidupan keduanya dari keterlibatan dengan penyembahan berhala dan kerusakan moral yang merajalela.
Keempat, Setiap fase dari kehidupan dua Nabi ini selalu mengantarkan keduanya pada kondisi yang berbeda bahkan perubahan drastis amat sangat terlihat dari sejarah hidup keduanya. Yusuf hidup dengan nyaman di istana raja Mesir, kedekatan Yusuf dengannya layaknya seorang anak dengan ayahnya, semua kenikmatan hidup ia rasakan di dalamnya, pun begitu pula dengan Nabi Musa, dia termasuk anak angkat firaun, dibesarkan di istananya dan sudah barang tentu sempat mencicipi aneka kenikmatan hidup di dalamnya.
Namun ternyata, keduanya mesti kehilangan semua kenikmatan hidup itu.
Kehidupan mereka berdua tiba-tiba saja berpindah menuju kesengsaraan, kerasnya hidup, ujian dan cobaan. Yusuf, dari kehidupannya yang penuh kenikmatan, tiba-tiba saja harus mendekam di balik jeruji penjara setelah lontaran tuduhan tak pantas ditujukan padanya oleh seorang perempuan, istri pembesar Mesir, Zulaikha. Adapun Musa, kehilangan semuanya sesaat setelah tindakannya yang berakibat pada terbunuhnya anak buah firaun.
Kelima, wanita memiliki peran dalam kehidupan keduanya, hanya saja dalam kisah Nabi Yusuf, peran tersebut berkebalikan dengan peran wanita dalam kehidupan Nabi Musa. Atas takdir Allah perempuan dalam kehidupan Nabi Yusuf menjadi sumber ujian dan cobaan baginya, adapun dalam kehidupan Nabi Musa, bermula dari Ibu, Saudara perempuan, Istri Firaun, sampai Istrinya, semuanya adalah Nikmat Allah yang diberikan kepadanya.
4. Kisah Nabi dengan dua orang perempuan yang ia temui di negeri Madyan ini memberikan gambaran pada kita tentang Nilai-nilai Islam dan akhlak-akhlak yang semestinya dipegang teguh oleh muslimah di manapun dan kapan pun ia berada, beberapa di antaranya adalah:
• Semestinya bagi seorang wanita, ketika ia hendak meninggalkan rumahnya dan menuju tempat lain, baik terjun ke medan kerja, atau sekadar bepergian, berdua lebih baik dari pada sendiri. Kita lihat dalam Kisah tersebut, dua orang perempuan kakak beradik, keluar menuju medan kerja, walaupun boleh jadi orang tuanya yang sudah lanjut usia sangat membutuhkan salah satu dari keduanya untuk hanya sekadar mengambilkan minum, menyuapi makan atau yang lainnya, namun kita lihat bagaimana keduanya keluar bersama-sama agar dapat saling membantu satu sama lain, sehingga tidak membutuhkan bantuan dari orang asing, lebih khusus lagi bahwa karakter dasar pembentukan wanita yang tidak sekuat laki-laki menjadi sebab akan butuhnya seseorang yang menemani dan membantu dalam beberapa pekerjaannya.
• Masing-masing dari kedua perempuan dalam Kisah Musa ini layaknya kamera pengintai bagi yang lainnya, ketika yang satu bekerja, maka yang lain mengawasinya, agar hal-hal yang tidak diinginkan dapat dihindari, karena keberadaan seorang wanita di tengah-tengah kerumunan orang, apalagi jika kerumunan orang tersebut didominasi oleh kaum Adam, adalah hal yang riskan baginya kalau-kalau terjadi hal-hal tercela yang tidak pantas dari orang asing yang ditemuinya.
• Kita lihat bagaimana keduanya tidak mau berdesak-desakan, dan ini dijelaskan oleh kata-kata mereka berdua “Kami tidak bisa memberi minum ternak-ternak kami sebelum orang-orang itu memulangkan ternak mereka (setelah selesai dari memberi minumnya)….”. Seperti telah dijelaskan, bahwa desak-desakan bagi seorang wanita adalah hal yang membuka celah terjadinya sesuatu yang tidak mengenakkan hati, kecuali jika berdesakan di tengah kerumunan sesama wanita, namun lebih utama dijauhi. Hal yang membuat saya miris adalah ketika kebanyakan mahasiswi kita di Kairo, ikut berdesak-desakan di Bus, karena memang di sini transportasi agak sulit, bukan karena kekurangan unit kendaraan/angkutan, namun karena padatnya populasi penduduk. Wanita berdiri di dekat pintu masuk bus sambil kakinya yang sebelah mengambang di udara akan Anda dapati di sini, dan yang berbuat seperti itu rata-rata mahasiswi Indonesia, oleh karena itu tingkat kriminal pemuda Mesir terhadap mahasiswi Indonesia cukup masuk catatan, pun begitu pula terhadap ras Melayu yang lainnya seperti Malaysia, Thailand, dan Singapore.
• Kedua perempuan dalam kisah Nabi Musa ini tidak keluar dengan bersolek dan berhias yang berlebihan, tidak pula berjalan tanpa adab dan rasa malu, melainkan seperti yang digambarkan dalam ayat “Berjalan dengan malu-malu”, seakan-akan rasa malu adalah jalan yang dilewatinya tuk sedikit mendekat menuju Musa.
5. Dari ayat yang berisi perjanjian Musa dan Orang tua, ayah kedua perempuan itu, kita dapati kecerdasan dan kebijakan orang tua tersebut, yakni keputusannya tuk menikahkan salah seorang anak perempuannya dengan Musa, karena memang dia pun membutuhkan seseorang tuk menggantikannya mengurus gembalaan, dan agar kedua anak perempuannya pun dapat istirahat dari lelahnya menggembala. Kalaulah Orang tua tersebut tidak mengambil keputusan menikahkan salah satu putrinya dengan Musa, maka beberapa kesulitan yang mungkin menimpanya adalah sebagai berikut:
• Orang asing ada di rumahnya, sedangkan dia memiliki dua putri, tentunya hal ini akan memancing desas desus yang mencoreng aib keluarga.
• Karena Musa adalah orang asing, boleh jadi ia akan meminta upahnya, karena itu memang haknya, dan ini pun akan membuatnya sulit ‘tuk memenuhi. Tapi karena Musa sudah menjadi menantunya, rasanya kurang pantas jika masih meminta upah terhadap mertuanya.
• Musa akan terus menjadi orang asing di rumahnya karena tidak terikat dengan ikatan apapun, namun ketika sang orang tua menikahkan dengan salah satu putrinya, maka keberadaannya di rumah itu adalah keberadaan yang sah lagi halal, yaitu sebagai seorang suami dari salah satu putri orang tua tersebut, kalau tidak demikian, apa statusnya ketika berkumpul dengan dua orang perempuan yang asing baginya???
6. Tidak seorang Nabi pun melainkan ia pernah menggembala Kambing, Nabi Muhammad, Musa, Isa, dan lain sebagainya. Terdapat beberapa akhlaq yang didapatkan dari hasil menggembala kambing ini, di antaranya:
• Sabar: Pekerjaan penggembala adalah pekerjaan dari matahari terbit hingga terbenam, karena kelambanan hewan ternak dalam mengunyah makanannya, maka sabar adalah sebuah tuntutan akhlaq yang mau tidak mau mesti dipenuhi oleh penggembala.
• Tawadhu (Rendah Hati): Ciri khas penggembala hewan ternak (kambing, domba, dll) adalah pelayanannya terhadap hewan tersebut, mulai dari mengurusi kelahirannya, penjagaannya yang boleh jadi menuntutnya ‘tuk tidur di dekat hewan-hewan tersebut, dan bahkan sesekali terkena kencingnya. Ketika pekerjaan ini terus berlanjut dan berulang-ulang, hal itu akan semakin menjauhkannya dari besar kepala atau sombong.
• Keberanian (Syaja’ah): Ciri khas lainnya dari pekerjaan menggembala hewan ternak ini adalah bahaya yang kerap kali mengancam dari binatang buas sebangsa serigala yang setiap waktu dapat memangsa hewan ternaknya. Maka seorang penggembala harus memiliki keberanian lebih ‘tuk menghadang hewan buas ini.
• Kasih sayang dan Belas kasih: Tuntutan pekerjaan penggembala kambing adalah, mengobati hewan ternaknya ketika sakit, atau terluka karena gigitan hewan buas. Semua ini membutuhkan kasih sayang dan belas kasih terhadap hewan, memperlakukannya sebagaimana perlakuannya terhadap manusia. Siapa saja yang mengasihi hewan dan berbuat lembut padanya, sudah barang tentu akan memperlakukan manusia dengan sikap yang lebih lembut dan penuh kasih sayang.
• Cinta pekerjaan hasil keringat sendiri: Diriwayatkan Bukhari dari Miqdad R.A. dari Rasulullah saw, Beliau berkata, “Tidak ada makanan yang paling baik bagi seseorang selain makanan yang ia dapatkan dari hasil kerja tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud A.S. makan dari hasil kerja tangannya sendiri” (HR. Muslim). Tidak diragukan lagi bahwa dengan bersandar pada usaha halal ‘kan membuat seseorang meraih kebebasan sempurna dan berkuasa untuk terang-terangan dalam melantangkan kebenaran.
Wallohu ‘alam bis shawab
Cairo, 29 Juni 2010
(hdn)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment