Perihal Memahami Kedlo'ifan Hadits

Syarat Menurut Syar'i

Pada dasarnya tiap pribadi seseorang itu tergantung "keberadaan faktor Hidayah" sehingga Allah telah menetapkan keberadaan manusia itu segolongan disebut Kafir dan segolongan disebut Mukmin sebagaimana ditetapkan Allah dalam al Quran surah at Taghobun ayat 2, kemudian memahami arti hidup ada dua macam, yaitu :

a. Hidup di dunia yang berarti bahwa Kafir merasa hidup didunia, sehingga dasar berfikir mereka adalah atas dasar fenomena alam.

b. Hidup dalam dunia yang berarti bahwa orang Mukmin dalam hidupnya akan senantiasa merasa ada aturan dari Yang Pencipta alam, sehingga yang menjadi dasar utama berfikir adalah Wahyu.

Dengan demikian maka akan berarti bahwa Kafir itu hanya semata-mata mengutamakan faktor egoistik sentris, sehingga akan menjadi manusia egoisme dan meningkat menjadi berada dalam kondisi "individualistik sentris".

Berbeda dengan Mukmin yang senantiasa berpedoman dengan bimbingan Wahyu yang telah terhimpun di dalam Kitabullah al Quran. Yang dengan itu akan berkemampuan menuju wujud persatuan dan keadilan untuk kepentingan ummat manusia secara keseluruhan sebagaimana disebutkan didalam al Quran surah Ali Imron ayat 110.

Kemudian bagi orang mukmin dalam menerima petunjuk Kebenaran dari al Quran terbagi dua, yaitu :

a. Yang menerima berdasarkan nafsu, maka akan membuat dorongan 'amaliyah yang bersifat obscure atau membabi buta tanpa arah, akhirnya berujung kearah faham materialisme. Orang seperti ini tidak dapat mengadakan koreksi yang tajam terhadap Kebenaran.

b. Yang menerima berdasarkan kesiapan Nurani atau 'aqal, maka akan berkemampuan menerima dan menampung Kebenaran secara teliti dan berhati-hati. Orang seperti ini akan muncul sebagai Ulama Sholih yang penuh tanggung jawab.

Maka Mukmin akan senantiasa menepati Kebenaran dengan penuh keberhati-hatian, mengingat bahwa seruan Allah dan RasulNya akan membuat keadaan hidup yang dapat dipertanggungjawabkan dihadapan Allah sebagaimana diingatkan Allah dalam al Quran surah al Anfal ayat 24.

Dengan gambaran dari yang tersebut terjadilah "kesadaran dalam menerima suatu Hadits", sehingga para Ulama Ahlu Hadits memperoleh bimbingan dari al Quran untuk mendapatkan pernyataan-pernyataan yang menjadi persyaratannya secara syar'iyah.

Persyaratan Hadits yang dihukumkan dlo'if

Hadits akan dinyatakan dlo'if oleh para Ulama Ahlu Hadits manakala para sandaran atau sanad atau isnad yang menjadi perowi atau penyampai Hadits menepati beberapa syarat kelemahan yang antara lain sebagai berikut :

1. Seseorang itu dinyatakan sebagai pendusta atau tukang berdusta dan atau sekurang-kurangnya pernah tertuduh berdusta dalam hal penyampaian Hadits.

2. Dinyatakan banyak keliru dalam hal penyampaian.

3. Lengah dalam hal hafalannya.

4. Berlaku fasiq dan atau fasad dan atau nifaq terhadap Islam.

5. Banyak waham.

6. Menyalahi terhadap perowi kepercayaan.

7. Tidak dikenal dan tidak pernah dikenal dalam hal penyampaian Hadits.

8. Sebagai pengikut dari dan sebagai tukang bid'ah (mengada-ada) dalam Islam.

9. Rusak hafalan dan atau tidak baik dalam hal hafalannya perihal Hadits.

Dengan yang tersebut, maka akan berarti bahwa, apabila "perowinya" sebagai pendusta maka disebut "maudlu", tertuduh pernah berdusta disebut "matruk", apabila banyak kesalahan maka disebut "munkar", apabila menyalahi perowi kepercayaan disebut "mudraj", apabila memutar balik perowi kepercayaan disebut "maqlub dan munqolib", apabila perowi terjadi salah sangka karena berdasarkan pengumpulan jalan-jalan Hadits atau penyisipan disebut "muallal", apabila perowinya ditukar-tukar dengan tanpa ada penguat riwayat disebut "mudlthorib", apabila perowinya ditukar tanpa ada penguat riwayat dan harafnya dirubah walau tulisan tetap disebut "mushafshaf", apabila perowinya tidak dikenal dan Haditsnya dirubah titik dan barisnya disebut "muhar-rof", apabila terjadi banyak waham, tidak dikenal hanya dengan perkataan "dari orang kepercayaan" disebut "mubham", apabila diriwayatkan oleh seorang raja dengan tanpa menyebutkan perowi kepercayaan lain maka disebut "majhul atau mastur", dan sedangkan apabila ternyata perowinya terjadi lemah hafalan dan dikarenakan usia sudah tua dan buku-bukunya juga telah rusak, maka disebut "syadz dan mukhtalith".

Dengan demikian maka akan terbuka wawasan kita apabila menemui dan atau mengadakan penelitian terhadap al Hadits, mengingat bahwa Rasulullah saw melarang sahabatnya mencatat dan atau membukukan perkataan beliau, karena Rasulullah saw khawatir perkataan beliau akan tercampur dengan Wahyu al Quran.

http://www.al-ulama.net/home-mainmenu-1/tafseer/329-perihal-memahami-kedloifan-hadits.html

No comments:

Post a Comment