Syarah Hadits Arbain Ke 6 (Halal, Haram, dan Syubhat)

Teks Hadits:
عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بِشِيْر رضي الله عنهما قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: (إِنَّ الحَلالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَات لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاس،ِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِه، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ. أَلا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَىً . أَلا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلا وإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وإذَا فَسَدَت فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلا وَهيَ القَلْبُ)  رواه البخاري ومسلم .
Dari Abu Abdullah An Nu’man bin Basyir Radhiallahu ‘Anhuma, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Aalihi wa Sallam bersabda:

“Sesungguhnya yang halal adalah jelas dan yang haram juga jelas dan di antara keduanya terdapat perkara yang samar, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menghindar dari yang samar maka dia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara yang samar maka dia telah terjatuh dalam perkara yang haram, seperti penggembala yang berada dekat di pagar milik orang lain dikhawatiri dia masuk ke dalamnya.  Ketahuilah setiap raja memeliki pagar (aturan), aturan Allah adalah larangan-laranganNya. Sesungguhnya di  dalam tubuh terdapat segumpal daging jika dia baik maka baiklah seluruh jasad itu, jika dia rusak maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Takhrij Hadits:

-          Imam Bukhari dalam Shahihnya No.52, 1946
-          Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1599
-          Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 1221
-          Imam Ibnu Majah Sunannya No. 3984
-          Imam Abu Daud dalam Sunannya No. 3329
-          Imam Ad Darimi dalam Sunannya No. 2531
-          Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 10180

Kandungan Hadits Secara Global:

1.Hadits ini menyebutkan bahwa hukum ada tiga macam:

a.         Yang jelas halal,  seperti minum air putih, makan buah-buahan, memakai pakaian yang pantas dan menutup aurat, berbuat baik, berkata yang baik, dan lainnya.
b.      Yang jelas haram, seperti zina, judi, mencuri, makan riba, babi, minum khamr, membunuh jiwa tanpa hak, durhaka kepada orang tua, sumpah palsu, dan lainnya.
c.       Yang masih samar (syubhat) statusnya, yang terjadi karena dalilnya ada tapi multi tafsir, atau jelas maknanya namun lemah riwayatnya, atau kuat riwayatnya tapi tidak jelas dan tegas maksudnya.

2. Anjuran untuk menghindari syubhat, sebab sangat mungkin  akan jatuh ke yang haram, demi menjaga kehormatan agamanya (hak Allah Ta’ala) dan kehormatan dirinya (terkait dengan hak dirinya sendiri di hadapan manusia).

3. Pengabaran tentang sangat pentingnya kedudukan hati dalam diri manusia. Tidaklah seseorang itu menjadi  baik dengan segala bentuk perbuatannya,  jika tanpa memiliki  hati yang baik. Begitu pula hati yang jahat akan  menampilkan perbuatan yang jahat pula.

Oleh karena itu, pembinaan dan penjagaan terhadap hati dari berbagai penyakitnya seperti; sombong, kikir, serakah, dengki, putus asa, cinta dunia, takut mati, dendam, cinta maksiat, benci ketaatan, dan lainnya, adalah kewajiban agama yang utama yang tidak pernah sepi dari pembahasan kitab para ulama Islam. Sebaliknya, kita dituntut untuk membina hati agar menjadi pribadi yang rendah hati, sabar, bersyukur, zuhud (tidak dikuasai dunia), qana’ah (puas dengan pemberian Allah), dermawan, husnuzhan dengan Allah, lapang dada, pemberani, cinta kebaikan, benci kemaksiatan dan lainnya. 

Makna Kalimat:
 
عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ : Dari Abi Abdillah (Ayahnya Abdullah), ini adalah nama kun-yahnya.

:النُّعْمَانِ بْنِ بِشِيْر An Nu’man bin Bisyir, ini adalah nama aslinya, An Nu’man anak dari Bisyir.

                An Nu’man dilahirkan tahun kedua hijriyah, Sedangkan Bukhari mengatakan dia lahir pada tahun hijrah.  Dia termasuk shigharush shahabah (sahabat nabi yang junior). Di mendengarkan hadits langsung dari Nabi Shallalahu ‘alaihi wa Sallam. Banyak para tabi’in yang meriwayatkan hadits darinya.  Dalam hidupnya dia pernah menjadi amir (gubernur)nya Muawiyah di Kufah, pernah juga jadi Hakim di Damaskus, dan memimpin di kota Himsh. Dia wafat akhir tahun 64 Hijriyah, karena di bunuh oleh Khalid bin Khala. Ada juga yang mengatakan dibunuh oleh penduduk Himsh karena dia mengajak berbai’at kepada Ibnu Zubeir untuk memberontak melawan khalifah. (Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam An Nubala, 3/412. Cet. 9. 1993M-1413H. Muasasah Ar Risalah)

 : رضي الله عنهما semoga Allah meridhai keduanya, yakni An Nu’man dan ayahnya yakni Bisyir.

                Bisyir adalah Basyir bin Sa’ad, orang Anshar dari suku Khazraj. Pemimpin yang berilmu di masyarakatnya, dan termasuk syuhada Badar.

قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ:

Dia (An Nu’man) berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
               
Ini menunjukkan bahwa An Nu’man bin Bisyir mendapatkan hadits ini secara langsung dari Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam tanpa perantara.
  
:   إِنَّ الحَلالَ بَيِّنٌ Sesungguhnya yang halal itu jelas, yaitu meyakinkan, pasti, tegas, dan tanpa adanya keraguan dan kesamaran.

1.       Yang halal adalah yang telah Allah Ta’ala halalkan dalam Al Quran, seperti mubasyarah (bercumbu) dengan istri pada malam Ramadhan. Sesuai ayat:

  أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.” (QS. Al Baqarah (2): 187)

                Contoh lain sangat banyak, halalnya makanan (dan minuman) yang baik-baik .

كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ

“Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu.” (QS. Al Baqarah  (2): 57)

 Halalnya semua hewan laut, Allah Ta’ala berfirman:

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu.” (QS. Al Maidah (5):96)

Halalnya sembelihan ahli kitab, Allah Ta’ala befirman:

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ

“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.”  (QS. Al Maidah (5):5)

Halalnya jual beli, Allah Ta’ala berfirman:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ

“ … padahal Allah telah menghalalkan jual beli ..” (QS. Al Baqarah (2): 275), dan banyak lainnya.

-          Yang dihalalkan secara pasti dalam As Sunnah, seperti halalnya bercumbu dengan isteri yang sedang haid selama tidak digauli.

 Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bawah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
اصنعوا كل شيء إلا النكاح
                “Lakukan apa saja (kepada mereka), kecuali menggaulinya.” (HR. Muslim No. 302, Ibnu Hibban No. 1362, Ahmad No. 12354, 13576, Ibnu Majah No. 644, dengan lafaz: …kecuali jima’)
Halalnya daging dua bangkai (ikan dan belalang). Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang laut:
هو الطهور ماؤه الحل ميتته

“Air laut suci, dan halal bangkainya.” (HR. Abu Daud No. 83, Ibnu Majah No. 386)

Hadits lain dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

أحلت لنا ميتتان ودمان: فأما الميتتان فالجراد والحوت، وأما الدمان فالطحال والكبد

“Dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah; ada pun dua bangkai yakni belalang dan ikan, dan dua darah adalah hati dan limpa.” (HR. Ibnu majah No. 3314, Ahmad No. 5723. Syaikh Syu’aib Al Arna’uth mengatakan; hasan, sebenarnya sanad hadits ini dhaif karena Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, seorang rawi yang dhaif. Namun, hadits ini banyak jalur lain yang menguatkannya. Syaikh Al Albani menshahihkannya. Lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 1118, Misykah Al Mashabih No. 4232)

   Tentang halalnya dhabb  (biawak gurun), Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam Shahih Muslim dan lainnya:
لَسْت بِآكِلِهِ وَلَا مُحَرِّمه
                “Aku tidak memakannya dan  itu tidak diharamkan.”

                Dalam riwayat lain:

لَا آكُلهُ وَلَا أُحَرِّمهُ
                “Aku tidak memakannya dan aku  tidak mengharamkannya.”

                Dalam riwayat lain:

كُلُوا فَإِنَّهُ حَلَال وَلَكِنَّهُ لَيْسَ مِنْ طَعَامِي
                “Makanlah dia itu halal, tetapi bukan termasuk makananku.”

                Dalam riwayat lain:

أَنَّهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَده مِنْهُ فَقِيلَ : أَحَرَام هُوَ يَا رَسُول اللَّه ؟ قَالَ : لَا وَلَكِنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدنِي أَعَافهُ

          “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengangkat tangannya (menolak) darinya. Ditanyakan: “Apakah biawak itu haram ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi itu bukan makanan di negeri saya, makanan ini  membuat aku mual.” (Semua hadits ini shahih, lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/430. Mawqi’ Ruh Al Islam)

-          Yang dihalalkan karena tidak ada dalil yang mengatakan HARAM, Imam Asy Syaukani mengatakan ketika menafsirkan Al Baqarah ayat 29:  

وفيه دليل على أن الأصل في الأشياء المخلوقة الإباحة حتى يقوم دليل يدل على النقل عن هذا الأصل، ولا فرق بين الحيوانات وغيرها  مما ينتفع به من غير ضرر

 Di dalamnya ada dalil bahwa hukum asal dari segala sesuatu ciptaan adalah mubah (boleh) sampai tegaknya dalil yang menunjukkan perubahan hukum asal ini. Tidak ada perbedaan antara hewan-hewan atau selainnya, dari apa-apa yang dengannya membawa manfaat, bukan kerusakan. (Fathul Qadir, 1/64. Mawqi Ruh Al Islam)


Berkata Imam Muhammad  At Tamimi Rahimahullah:

أن كل شيء سكت عنه الشارع فهو عفو لا يحل لأحد أن يحرمه أو يوجبه أو يستحبه أو يكره

“Bahwa segala sesuatu yang didiamkan oleh syari’ (pembuat syariat), maka hal itu dimaafkan (mubah), tidak boleh bagi seorang pun untuk mengharamkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan, atau memakruhkan. (Imam Muhammad  At Tamimi, Arba’u Qawaid Taduru Al Ahkam ‘Alaiha, Hal. 3)

:الحَرَامَ بَيِّنٌ Yang haram itu jelas,yaitu keharaman yang yakin, pasti, tegas dan tidak ada keraguan.

1.       Yang haram sesuai penjelasan Al Quran, seperti haramnya khamr, judi, makanan untuk berhala, mengundi nasib.   Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah (5): 90)

Haramnya zina, Allah Ta’ala berfirman:

وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isra (17): 32)

Haramnya membunuh, Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلا خَطَأً

 Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja).” (QS. An Nisa (4):92)

Haramnya babi, bangkai, darah, sembelihan bukan untuk Allah. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  (QS.  Al Baqarah (2):173), dan lain sebagainya.

2.       Yang haram sesuai penjelasan As Sunnah, seperti haramnya mencela sesama muslim.

Dari beberapa sahabat seperti Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah Radhial, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

سباب المسلم فسوق، وقتاله كفر
            “Mencela seorang muslim adalah fasiq dan membunuhnya adalah kufur.” (HR. Bukhari No. 48,5687, 6665, Muslim No. 116, At Tirmidzi No. 2771, 2772, Ibnu Majah No. 3939, 3940. Ahmad No. 3647, Ibnu Hibban No. 5939, Al Khathib dalam At Tarikh, 13/158, dari jalur Yahya. Ath Thayalisi No. 248,  Abu ‘Awanah, 1/24. Ath Thahawi dalam Syarh Musykilul Atsar, 1/365, Ibnu Mandah No. 654, 655, dan lain-lain)

Haramnya mendatangi dan percaya kepada peramal/dukun/paranormal. Dari sebagian isterinya, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من أتى عرافا فسأله عن شيء لم تقبل له صلاة أربعين ليلة
“Barangsiapa yang mendatangi peramal, lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak akan diterima selama 40 malam.” (HR. Muslim No. 2230)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من أتى عرافا أو كاهنا فصدقه بما يقول فقد كفر بما أنزل على محمد
“Barangsiapa yang mendatangi peramal atau dukun dan membenarkan apa yang dikatakannya, maka dia telah kafir terhadap agama yang diturunkan kepada Muhammad.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunannya No. 1627, 16274. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 15, katanya shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim. Abu Ya’ala dalam Musnadnya No. 5408, dari Ibnu Mas’ud)

Haramnya penangkal/jimat. Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إن الرقى والتمائم والتولة شركٌ
“Sesungguhnya ruqyah, penangkal, dan pellet, adalah syirik.” (HR. Abu Daud No. 3883, Ibnu Majah No. 3530, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 19387. Syaikh Al Albani menyatakan: shahih. Lihat Shahihul Jami’ No. 1632)

   Haramnya patung/lukisan makhluk bernyawa. Dalam Shahih Muslim ada bab:

بَاب تَحْرِيمِ تَصْوِيرِ صُورَةِ الْحَيَوَانِ وَتَحْرِيمِ اتِّخَاذِ مَا فِيهِ صُورَةٌ غَيْرُ مُمْتَهَنَةٍ بِالْفَرْشِ وَنَحْوِهِ وَأَنَّ الْمَلَائِكَةَ عَلَيْهِمْ السَّلَام لَا يَدْخُلُونَ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ وَلَا كَلْبٌ

“Bab Haramnya  melukis Lukisan Hewan dan Haramnya memanfaatkan sesuatu yang  terdapat lukisan yang tidak usang, baik di permadani atau semisalnya. Dan, malaikat ‘Alaihimussalam tidaklah masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat lukisan dan anjing.”

 Hadits-hadits shahih tentang ini sangat banyak, baik yang menyebutkan Shuurah (lukisan) atau Tamaatsil (patung). Namun, dikecualikan lukisan yang  selain makhluk bernyawa.
 
Dan lain-lainnya.
                 
3.       Yang Haram karena kaidah-kaidah, walau pun di Al Quran dan As Sunnah tidak disebutkan pengharamannya secara khusus dan manthuq (tersurat):

Setiap minuman yang memabukkan adalah haram. Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ
“Setiap minuman yang memabukkan, maka itu haram.” (HR. Bukhari No. 239, 5263, 5264.  Muslim No. 2001, Malik dalam Muwatha’ No. 1540, Ibnu Majah No. 3386, Ibnu Hibban No. 5345, At Tirmidzi No. 1925, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 24)

Jadi walau pun minuman tersebut tidak berakohol tetapi memabukkan tetap haram apapun nama, merk, dan istilah minuman itu walau dinamakan jamu dan suplemen.

Haramnya makan hewan buas, taring, cakar tajam, Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu,  dia berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنْ الطَّيْر

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang memakan semua binatang buas yang memiliki taring, dan burung yang memiliki cakar.” (HR. Muslim No. 1934, Abu Daud No. 3803, Ad Darimi No. 1982, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No.92, 19141, Abu Ya’la dalam Musnadnya No. 357, dari jalur Ali bin Abi Thalib, juga No. 2690. Ahmad No. 2194)

Imam Ibnu Mundzir Rahimahullah mengatakan:

وأجمع عوام أهل العلم أن كل ذي ناب من السباع حرام.
                “Umumnya, para ulama telah ijma’(sepakat), bahwa semua yang memiliki bertaring dari binatang buas adalah haram.” (Kitabul Ijma’ No. 740)

4.       Haramnya perbuatan merusak dan membahayakan diri sendiri. Allah Ta’ala berfirman:

“..dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan ..” (QS. Al Baqarah (2): 195)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda, dari berbagai sahabat:

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

“Jangan melakukan dharar (kerusakan, kebinasaan), dan jangan menjadi rusak.” (HR.  Ahmad No. 2865, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan. Malik dalam Al Muwaththa’ No. 1429, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 11657, 11166, 20230. Ad Daruquthni No. 83, 288)

Dari  ayat dan hadits ini  maka para ulama menetapkan keharaman perilaku apa pun yang merusak diri sendiri dan orang lain, walau secara tekstual hal tersebut tidak disebutkan namanya;  seperti rokok, ganja, dan NAZA.

5. Haramnya perbuatan yang menjadi sarana menuju keharaman. Contoh:  jalan-jalan ke pasar adalah perbuatan boleh, tetapi dengan ke pasar itu ia bermaksud sengaja bebas  melihat aurat. Maka ke pasar dalam keadaan seperti ini menjadi terlarang baginya. Berzina adalah haram maka berbuatan apa pun yang ‘nyerempet’ kepada zina juga haram.

    Ini Sesuai kaidah Ushul Fiqh:

وَمَا أَدَّى إلَى الْحَرَامِ فَهُوَ حَرَامٌ .
“Apa saja yang membawa kepada yang haram, maka dia  juga haram.” (Imam Izzuddin bin Abdissalam, Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam, 2/ 402)

Kaidah ini berasal dari ayat berikut:

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.(QS. Al Isra (17): 32)

Catatan:

Banyak sekali perkara yang diperselisihkan para ulama sejak dulu sampai sekarang tentang hukum dari benda atau perbuatan. Contoh:

-          Mencukur janggut. Imam empat  madzhab mengharamkan, sementara Al Qadhi Iyadh dan Imam An Nawawi, Syaikh Al Qaradhawi, mengatakan makruh. Tetapi, mereka tetap mencela pelakunya, bahkan Imam An Nawawi dan Imam Al Ghazali menyebut sebagai kemungkaran. Sedangkan Syaikh Abu Zahrah menyatakan mubah, karena menurutnya jenggot hanya tradisi, tetapi ini pendapat lemah.
-          Mendengarkan nyanyian yang baik-baik. Jumhur ulama membolehkan, selama tidak dibarengi hal yang munkar, tidak lalai dari kewajiban agama dan dunia, dan tidak berlebihan. Sementara Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud tetap mengharamkan. Sedangkan nyanyian yang cabul, mendorong untuk maksiat, maka tak ada perbedaan pendapat tentang keharamannya.
-          Mendengarkan musik. Kebanyakan ulama mengharamkannya, termasuk pendapat Syaikh Utsaimin, Syaikh Ibnu baz, Syaikh Al Albani, Syaikh Abdullah Nashih ‘Ulwan, dan lainnya. Namun Imam Ibnu hajar Al Haitami menyebutkan ada 12 pendapat dalam hal ini. Sedangkan Imam Said bin Jubeir, Imam Ibnul ‘Arabi, Imam Ibnu Hazm, Imam Ibnu Thahir, Imam Al Ghazali, Syaikh Ali Ath Thanthawi, Syaikh Al Qaradhawi, Syaikh Ahmad Asy Syurbasi, Syaikh ‘Athiyah Saqr, Syaikh Jad Al Haq, Syaikh Ali Jum’ah mengatakan boleh, dengan syarat tidak dibarengi dengan hal yang munkar, tidak sampai melalaikan, dan tidak dengan musik-musik yang digunakan oleh ahli maksiat, sebagaimana disyaratkan oleh Imam Al Ghazali.
-          Isbal (memakai kain, gamis, dan celana panjang melebihi mata kaki). Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan jumhur ulama mengatakan tidak haram, dengan syarat tidak dibarengi khuyala (sombong). Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Muflih, Syaikh Al Qaradhawi, dan umumnya para ulama Al Azhar mengatakan MUBAH. Sedangkan Imam Asy Syafi’i, Al Qadhi ‘Iyadh, Imam Ibnu Qudamah, Imam An Nawawi,  Imam Asy Syaukani, mengatakan MAKRUH jika tanpa sombong, jika sombong maka haram. Ada pun Imam Ibnu Hajar, Imam Ibnu Katsir, Imam Ibnul ‘Arabi, Imam Adz Dzahabi, Syaikh Utsaimin, Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Shalih Fauzan, Syaikh Al Albani, mengatakan HARAM walau tanpa sombong, jika dengan sombong maka lebih haram lagi.
-          Membom musuh dengan mengorbankan diri. Kebanyakan ulama membolehkan dengan syarat dilakukan menurut perhitungan matang dan di negeri perang. Mereka adalah Syaikh Al Qaradhawi, Syaikh Tha’mah Al Qadah, Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Syaikh Muhammad Az Zuhaili, Syaikh Nashir Sulaiman ‘Umar, Syaikh Nashir Al ‘Ulwan, Syaikh Nawal Hail At Takruri, Syakh Farid Washil, Syaikh ‘Aidh Al Qarni, Syaikh Salman Fahd Al ‘Audah, Syaikh Safar Al Hawali, Syaikh Hamud ‘Uqla Asy Syu’aibi, Fatwa Nahdhatul Ulama tahun 2003M, para ulama Palestina,   dan lain-lain. Menurut mereka pelakunya adalah syahid. Sedangkan Syaikh Al Albani membolehkan jika atas izin khalifah. Ada pun Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Utsaimin, Syaikh Shalih Fauzan, Syaikh Hasan Ayyub, dan lainnya mengatakan haram dan itu merupakan bunuh diri.
-          Daging Kodok. Jumhur ulama mengatakan haram dimakan, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang membunuh Kodok (juga semut, burung Hud Hud, Shurad, dan lebah). Ada pun Imam Malik membolehkan, karena menurutnya tidak ada dalil yang melarangnya.
-          Kalelawar. Mayoritas ulama mengharamkan seperti Imam Abu Hanifah, Imam Asy Syafi’i, Imam An Nawawi, Imam Ar Rafi’i, Imam Zakaria Al Anshari, sedangkan Imam Hasan Al Bashri dan Imam Ahmad memakruhkan saja.
-          Landak. Mayoritas ulama mengatakan mubah. Seperti Ibnu Umar, Ibnu Abi Laila, Imam Syafi’i, Abu Tsaur, An Nawawi,  Laits, juga Imam Malik dalam satu riwayat darinya. Sedangkan Abu Hurairah dan Imam Ahmad mengharamkan, dan Imam Abu Hanifah memakruhkan.

Dan lainnya.

Selanjutnya:

وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَات : dan di antara keduanya terdapat perkara yang samar

Bainahuma - Di antara keduanya yakni diantara halal dan haram, artinya secara asal dia bukan termasuk haram, dan juga bukan termasuk halal.

Umuurun Musytabihaat – perkara yang samar  yakni perkara yang belum jelas hukum halal haramnya. (Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari, At Tuhfah Ar Rabbabiyah, No. 6. Maktabah Al Misykah)

Menurut Syaikh Al ‘Utsaimin,  ketidak jelasan ini disebabkan beberapa hal:
1.       Ketidak jelasan dalil; jika dalilnya dari hadits, apakah haditsnya shahih atau tidak?
2.       Kalau pun shahih, apakah hadits tersebut secara makna memang mengarah pada hukum perkara  tersebut atau tidak? (Syarhul Al Arba’in, Hal. 107. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Secara Bahasa (Lughah) arti syubhat adalah  Al Mitsl  (serupa, mirip) dan iltibas (samar, kabur, tidak jelas, gelap, sangsi). Maka, sesuatu yang dinilai syubhat  belum memiliki hukum yang sama dengan haram atau sama dengan halal. Sebab mirip halal bukanlah halal, dan mirip haram bukanlah haram.  Maka, tidak ada kepastian hukum halal atau haramnya, masih samar dan gelap.

Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Radhiallahu ‘Anhu menyebutkan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam mengkategorikan perkara syubhat:

1.Kelompok yang memasukan syubhat sebagai perkara yang haram. Alasan mereka adalah ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Barangsiapa yang menghindar dari yang samar maka dia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara yang samar maka dia telah terjatuh dalam perkara yang haram.”

2. Kelompok yang memasukan syubhat sebagai perkara yang halal. Alasan mereka adalah ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “seperti penggembala yang berada dekat di pagar milik orang lain.”  Ini menunjukkan dia belum masuk keharaman, namun   sebaiknya kita bersikap wara’ (hati-hati)  untuk meninggalkannya.

3.  Kelompok yang mengatakan bahwa syubhat  bukanlah halal dan bukan pula haram, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menyebutkan bahwa halal dan haram adalah jelas, maka hendaknya kita bersikap seperti itu. Tetapi meninggalkannya adalah lebih baik, dan hendaknya bersikap wara’. (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 44. Maktabah Al Misykah)

Pendapat kelompok ketiga inilah yang nampaknya lebih kuat. Hal ini diperkuat lagi oleh ucapan Nabi:

 لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاس : Banyak manusia yang tidak mengetahuinya

Berkata Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah:

وفيه دليل على أن الشبهة لها حكم خاص بها يدل عليه دليل شرعي يمكن أن يصل إليه بعض الناس.

“Hal ini menunjukkan bahwa masalah syubhat mempunyai hukum tersendiri yang diterangkan oleh syari’at sehingga sebagian orang ada yang berhasil mengetahui hukumnya dengan benar.” (Syarhul Arba’in An Nawawiyah, Hal. 47)

Contoh Perkara Syubhat:

Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan sebuah hadits dari ‘Aisyah, ia berkata : “Sa’ad bin Abu Waqash dan ‘Abd bin Zam’ah mengadu kepada Rasulullah tentang seorang anak laki-laki. Sa’ad berkata : Wahai Rasulullah anak laki-laki ini adalah anak saudara laki-lakiku.’Utbah bin Abu Waqash. Ia (‘Utbah) mengaku bahwa anak laki-laki itu adalah anaknya. Lihatlah kemiripannya” sedangkan ‘Abd bin Zam’ah berkata; “ Wahai Rasulullah, Ia adalah saudara laki-lakiku, Ia dilahirkan ditempat tidur ayahku oleh budak perempuan milik ayahku”, lalu Rasulullah memperhatikan wajah anak itu (dan melihat kemiripannya dengan ‘Utbah) maka beliau Rasulullah bersabda : “Anak laki-laki ini untukmu wahai ‘Abd bin Zam’ah, anak itu milik laki-laki yang menjadi suami perempuan yang melahirkannya dan bagi orang yang berzina hukumannya rajam. Dan wahai Saudah, berhijablah kamu dari anak laki-laki ini” sejak saat itu Saudah tidak pernah melihat anak laki-laki itu untuk seterusnya.

Abd bin Zam’ah adalah Saudara laki-laki dari Saudah (istri Nabi). Dan, Rasulullah menetapkan bahwa anak laki-laki tersebut adalah hak (saudara) dari Abd bin Zam’ah. Tetapi, ternyata Rasulullah memerintahkan Saudah untuk berhijab (menutup aurat) di depan laki-laki tersebut, padahal Saudah juga saudara dari Abd bin Zam’ah. Perintah ini disebabkan kesamaran (syubhat) pada masalah ini dan ini menunjukan kehati-hatian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Contoh lain:

Pada Hadits ‘Adi bin Hatim, ia berkata : “Wahai Rasulullah, saya melepas anjing saya dengan ucapan Bismillah untuk berburu, kemudian saya dapati ada anjing lain yang melakukan perburuan” Rasulullah bersabda, “Janganlah kamu makan (hewan buruan yang kamu dapat) karena yang kamu sebutkan Bismillah hanyalah anjingmu saja, sedang anjing yang lain tidak”. Rasulullah memberi fatwa semacam ini dalam masalah syubhat karena beliau khawatir bila anjing yang menerkam hewan buruan tersebut adalah anjing yang dilepas tanpa menyebut Bismillah. Jadi seolah-olah hewan itu disembelih dengan cara diluar aturan Allah. Allah berfirman, “Sesungguhnya hal itu adalah perbuatan fasiq” (QS. Al An’am (6):121)

Dalam fatwa ini Rasulullah menunjukkan sifat kehati-hatian terhadap hal-hal yang masih samar tentang halal atau haramnya, karena sebab-sebab yang masih belum jelas. Inilah yang dimaksud dengan sabda Rasulullah , “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan kamu untuk berpegang pada sesuatu yang tidak meragukan kamu.”

لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاس : Banyak manusia yang tidak mengetahuinya

Berkata Syaikh ‘Utsaimin Rahimahullah:

يعني هذه المشتبهات لا يعلمهن كثير من الناس ويعلمهن كثير، فكثير لا يعلم وكثير يعلم، ولم يقل : لايعلمهن أكثر الناس، فلو قال:لا يعلمهن أكثر الناس لصار الذين يعلمون قليلاً.
إذاً فقوله لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ إما لقلة علمهم، وإما لقلة فهمهم، وإما لتقصيرهم في المعرفة.

“Yaitu perkara syubhat ini, banyak (katsir) manusia yang tidak mengetahuinya dan banyak juga yang mengetahuinya, maka banyak yang tidak tahu dan banyak yang tahu. Tidak dikatakan: lebih banyak manusia (aktsar) yang tidak mengetahuinya, seandainya dikatakan: lebih banyak manusia yang  tidak mengetahuinya, maka yang tahu sedikit. Jadi, ucapan Nabi: Banyak manusia yang tidak mengetahuinya, baik karena sedikitnya ilmu mereka, sedikit pemahaman mereka, dan karena terbatasnya pengetahuan mereka.” (Syarhul Arba’in, Hal. 107)

Sementara dalam riwayat Imam At Tirmidzi tertulis:

لا يدري كثير من الناس أمن الحلال هي أم من الحرام .

“Banyak manusia yang tidak tahu, manakah yang halal itu dan mana yang haram.” (HR. At Tirmidzi No. 1205, katanya: hasan shahih) ِ

فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ : Barangsiapa yang  bertaqwa (takut/menghindar) dari yang samar

Yaitu meninggalkannya dan memelihara diri darinya. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah,  No. 6) Yaitu menjauhinya. (Syarhul Arba’in An Nawawiyah, Hal. 107)

فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِه : berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya

Yaitu dia telah menjaga hubungan antara dirinya dengan Allah Ta’ala dan hubungan antara dirinya di hadapan manusia. Berkata Syaikh Utsaimin Rahimahullah:

لِدِيْنِهِ فيما بينه وبين الله تعالى وَعِرْضِهِ فيما بينه وبين الناس، لأن الأمور المشتبهة إذا ارتكبها الإنسان صار عرضة للناس يتكلمون في عرضه بقولهم: هذا رجل يفعل كذا ويفعل كذا، وكذلك فيما بينه وبين الله تعالى.

Bagi agamanya yaitu antara dirinya dengan Allah Ta’ala. Dan, Bagi kehormatannya yaitu antara dirinya dan manusia. Karena perkara syubhat jika dikerjakan manusia, maka manusia akan membicarakan kehormatannya dengan mengatakan: orang ini mengerjakan ini dan mengerjakan itu. Dan demikian juga antara dirinya dan Allah Ta’ala.” (Syarhul Arba’in An Nawawiyah, Hal. 107)

Syaikh Ismail Al Anshari Rahimahullah mengatakan:

استبرأ لدينه : طلب البراءة له من الذم الشرعي وحصلها له .وعرضه : يصونه عن كلام الناس فيه بما يشينه ويعيبه . والعرض : موضع المدح والذم من الإنسان .

Menyelamatkan agama yaitu melakukan pemutusan terhadap hal-hal yang dicela syariat dan dia berhasil. Dan kehormatannya yaitu dia telah melindungi dirinya dari omongan manusia  tentang apa yang dilakukannya dan yang menjadi aibnya. Al ‘Irdhu adalah tempat bagi pujian dan celaan dari manusia.” (At Tuhfah Ar Rabbaniyah No. 6)

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:

برأ دينه من النقص وعرضه من الطعن فيه، لأن من لم يعرف باجتناب الشبهات لم يسلم لقول من يطعن فيه، وفيه دليل على أن من لم يتوق الشبهة في كسبه ومعاشه فقد عرض نفسه للطعن فيه، وفي هذا إشارة إلى المحافظة على أمور الدين ومراعاة المروءة.

“Dia telah menjaga agamanya dari kekurangan dan kehormatannya dari celaan, karena orang yang tidak mengetahui bagaimana menjauhi syubhat tidak akan selamat dari ucapan orang yang mencelanya. Hadits ini juga terdapat dalil bahwa orang yang tidak ada keinginan kuat terhadap syubhat maka dia telah menghalangi dirinya dari celaan, dan ini terdapat isyarat agar menjaga urusan dunia dan melindungi muru’ah (kewibawaan).” (Fathul Bari, 1/127)


وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ : barangsiapa terjerumus dalam wilayah samar-samar maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram

Yaitu barangsiapa yang melakukan perbuatan samar-samar dia akan berpotensi jatuh ke perbuatan haram, sebab hal itu merupakan kecerobohan sekaligus sikap tidak wara’ (hati-hati) terhadap batasan syariat.

Kalimat ini memiliki dua makna:

1.       Membiasakan diri melakukan syubhat adalah haram.
2.       Kalimat yang bernada  prefentif agar tidak terjatuh pada keharaman. (Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Syarhul Arba’in An Nawawiyah, Hal. 197)

Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah juga mengatakan:

Kalimat, “barangsiapa terjerumus dalam wilayah samar-samar maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram” hal ini dapat terjadi dalam dua hal :

1.Orang yang tidak bertaqwa kepada Allah dan tidak memperdulikan perkara syubhat maka hal semacam itu akan menjerumuskannya kedalam perkara haram, atau karena sikap sembrononya membuat dia berani melakukan hal yang haram, seperti kata sebagian orang : “Dosa-dosa kecil dapat mendorong perbuatan dosa besar dan dosa besar mendorong pada kekafiran.”

2.Orang yang sering melakukan perkara syubhat berarti telah menzhalimi hatinya, karena hilangnya cahaya ilmu dan sifat wara’ kedalam hatinya, sehingga tanpa disadari dia telah terjerumus kedalam perkara haram. Terkadang hal seperti itu menjadikan perbuatan dosa jika menyebabkan pelanggaran syari’at. (Syarhul Arba’in An Nawawiyah, Hal. 47)

كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ. : seperti penggembala yang berada dekat di pagar milik orang lain dikhawatiri dia masuk ke dalamnya.

Yaitu karena kecerobohan, kebodohan, dan kecerobohannya dia mendekati  daerah yang bukan haknya, hingga akhirnya ia terjebak di dalam daerah terlarang tersebut.

Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id mengatakan: “Ini adalah kalimat perumpamaan bagi orang-orang yang melanggar larangan-larangan Allah. Dahulu orang arab biasa membuat pagar agar hewan peliharaannya tidak masuk ke daerah terlarang dan membuat ancaman kepada siapapun yang mendekati daerah terlarang tersebut. Orang yang takut mendapatkan hukuman dari penguasa akan menjauhkan gembalaannya dari daerah tersebut, karena kalau mendekati wilayah itu biasanya terjerumus. Dan terkadang penggembala hanya seorang diri hingga tidak mampu mengawasi seluruh binatang gembalaannya. Untuk kehati-hatian maka ia membuat pagar agar gembalaannya tidak mendekati wilayah terlarang sehingga terhindar dari hukuman. Begitu juga dengan larangan Allah seperti membunuh, mencuri, riba, minum khamr, qadzaf, menggunjing, mengadu domba dan sebagainya adalah hal-hal yang tidak patut didekati karena khawatir terjerumus dalam perbuatan itu.” (Syarhul Arba’in An Nawawiyah, Hal. 47-48. Maktabah Al Misykah)

أَلا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمىً . : Ketahuilah setiap raja memiliki pagar /penjagaan/aturan

Berkata Syaikh Ismail Al Anshari Rahimahullah:

حمى : موضعا يحميه عن الناس ، ويتوعد من دخل إليه أو قرب منه ، بالعقوبة الشديدة .

“Himaa: tempat yang dijaga dari manusia dan diancam bagi siapa saja yang memasuki atau mendekatinya dengan hukuman yang keras.” (At Tuhfah Rabbaniyah, No 6)


Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar:
فمثل لهم النبي صلى الله عليه وسلم بما هو مشهور عندهم

“Maka, hal ini diumpamakan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena ini masyhur bagi mereka.” (Fathul Bari, 1/128)

 أَلا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ: aturan Allah adalah apa-apa yang diharamkanNya.

Yaitu perbuatan yang dilarangNya dan meninggalkannya adalah wajib, karena perbuatan tersebut mendatangkan dosa dan siksa bagi pelakunya.

  أَلا وإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً : ketahuilah sesungguhnya dalam jasad terdapat mudghah

أَلا (ketahuilah) adalah harf istiftah (huruf pembuka) yang menunjukkan adanya penekanan pada kalimat setelahnya. Hal ini diulang-ulang menunjukkan adanya keadaan dan kondisi yang begitu besar  yang mencakup di dalamnya. (At Tuhfah, No. 6)

Mudghah adalah  Qith’ah Lahm – sepotong daging.  

إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وإذَا فَسَدَت فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلا وَهيَ القَلْبُ : jika dia baik maka baiklah seluruh jasad itu, jika dia rusak maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah itu adalah hati.”

Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id  Rahimahullah mengatakan:

“Yang dimaksud adalah hati, betapa pentingnya daging ini walaupun bentuknya kecil, daging ini disebut Al Qalb (hati) yang merupakan anggota tubuh yang paling terhormat, karena ditempat inilah terjadi perubahan gagasan, sebagian penyair bersenandung, “Tidak dinamakan hati kecuali karena menjadi tempat terjadinya perubahan gagasan, karena itu waspadalah terhadap hati dari perubahannya.”

Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan bahwa manusia dan hewan memiliki hati yang menjadi pengatur kebaikan-kebaikan yang diinginkan. Hewan dan manusia dalam segala jenisnya mampu melihat yang baik dan buruk, kemudian Allah mengistimewakan manusia dengan karunia akal disamping dikaruniai hati sehingga berbeda dari hewan. Allah berfirman, “Tidakkah mereka mau berkelana dimuka bumi karena mereka mempunyai hati untuk berpikir, atau telinga untuk mendengar…” (QS. Al-Hajj (22):46). Allah telah melengkapi dengan anggota tubuh lainnya yang dijadikan tunduk dan patuh kepada akal. Apa yang sudah dipertimbangkan akal, anggota tubuh tinggal melaksanakan keputusan akal itu, jika akalnya baik maka perbuatannya baik, jika akalnya jelek, perbuatannya juga jelek.” (Syarhul Arba’in An Nawawiyah, Hal. 48) selesai

http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/196

No comments:

Post a Comment