Pelurusan Kisah Nabi Yusuf

Tentang firman Allah dalam kisah Yusuf

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا

Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu.” (QS Yusuf: 24)

Oleh: Adil Sulaiman al-Qathawi

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam… wa ba’du:

Sesungguhnya pembahasan tentang keinginan Nabiyullah Yusuf ‘alaihis salam telah mengambil tempat yang tidak remeh di kalangan para ulama, dai dan penuntut ilmu. Yang kemudian perselisihan itu pun beralih kepada umumnya manusia…

Maka dalam pembahasan ini, saya akan menukil perkataan yang penting dari Imam Ibnu Hazm – rohimahulloh ta’ala dalam permasalahan ini,untuk selanjutnya saya berikan komentar atau catatan yang sesuai, insyaalloh ta’ala…

Ibnu Hazm menyebutkan dalam kitabnya yang sangat bagus ‘al-Fashlu fil Milal wal Ahwa wan Nihal’ (4/10):

Adapun firman Allah : ( وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلا أَن رَّأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ )

Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Robbnya.

Maka tidaklah sebagaimana yang disangka oleh orang yang tidak memperhatikan dengan seksama,bahkan ada orang belakangan yang berkata, ‘Dia (Nabi Yusuf ‘alaihis salam) telah mendudukinya sebagaimana duduknya seorang laki-laki terhadap wanita!!’

Aku berlindung kepada Allah dari persangkaan terjadinya hal semacam ini pada diri seorang laki-laki yang shalih atau terjaga di kalangan kaum muslimin, apalagi pada diri seorang utusan Allah.

Jika ada yang berkata bahwa hal ini telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhu dari jalan yang bagus sanadnya, maka kita katakan: “benar”, namun perkataan seseorang bukanlah hujjah (dalil) kecuali yang valid berasal dari Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam saja. Dan ternyata ada keraguan dalam riwayat tersebut pada perawi yang berada di bawah Ibnu Abbas atau karena Ibnu Abbas sendiri tidak memastikan hal tersebut. Karena beliau hanya mengambil (informasi) dari orang yang tidak diketahui siapa dia. Juga tidak diragukan bahwa informasi tersebut adalah sesuatu yang beliau dengar lalu beliau sampaikan, karena beliau tidak menghadiri peristiwa itu. Beliau juga tidak menyebutkannya bahw keterangan tersebut bersumber dari Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam.Adalah tidak mungkin Ibnu Abbas memastikan sesuatu yang tidak beliau miliki ilmunya…

Makna Ayat


Makna ayat ini tidaklah lepas dari dua kemungkinan:

Pertama, bahwa maksud keinginan dalam ayat ini adalah keinginan untuk mencelakai dan memukulnya. Sebagaimana firman Allah,

وَهَمَّتْ كُلُّ أُمَّةٍ بِرَسُولِهِمْ لِيَأْخُذُوهُ

Dan tiap-tiap umat telah menginginkan makar terhadap Rasul mereka untuk menawannya.” (Ghafir: 5)

Dan sebagaimana perkataan: لقد هممت بك

Sungguh aku telah berkeinginan terhadapmu (mencelakaimu).

Namun beliau ‘alaihis salam tercegah dari keinginannya itu karena tanda yang Allah perlihatkan padanya. Beliau pun tidak jadi memukulnya, dan mengetahui bahwa lari lebih bermanfaat baginya serta lebih menampakkan kesuciannya, sebagaimana yang nampak dari kesimpulan hukum seorang saksi setelah itu dengan (petunjuk) bagian baju yang terkoyak.

Kedua, bahwa kalimat yang Allah sampaikan itu telah lengkap/sempurna pada perkataan-Nya, “Sesungguhnya wanita itu telah berkeinginan terhadap Yusuf.” Kemudian Allah memulai berita yang lain dengan firman-Nya, “Dan Yusuf pun telah berkeinginan terhadap wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Robbnya.” Inilah zhahir (yang langsung terpahami) dari ayat ini tanpa adanya usaha untuk mentakwilkannya. Dan inilah pendapat kami…”

Kemudian Ibn Hazm menyebutkan hadits Anas yang marfu’ (disandarkan kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam) tentang firman Allah,

ذَلِكَ لِيَعْلَمَ أَنِّي لَمْ أَخُنْهُ بِالْغَيْبِ

Yang demikian itu agar dia (al-Aziz) mengetahui bahwa sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya di belakangnya.” (Yusuf: 52)

Rasulullah shallallaahu‘alaihi wa sallam bersabda, tatkala Yusuf ‘alaihis salam mengucapkannya, Jibril berkata kepadanya, wahai Yusuf sebutkan keinginanmu. Lalu Yusuf berkata, “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.”

[Tentang hadits Anas ini, al-Albani dalam ‘as-Silsilah adh-Dho’ifah’ (4/455 no. 1991) mengatakan: “Hadits ini munkar”. Sedangkan firman Allah, “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan),” adalah lanjutan perkataan istri al-Aziz. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan diikuti oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.]

Maka dengan makna apapun, dalam hadits ini tidak ada penegasan keinginan untuk melakukan fahisyah (perbuatan keji, zina). Namun yang ada dalam hadits ini hanyalah keinginan terhadap sesuatu, dan ini benar sebagaimana kami katakan. Maka gugurlah argumen ini dan benarlah kemungkinan yang pertama dan kedua sekaligus…

Namun rasa ingin melakukan perbuatan keji itu tentu sesuatu yang bathil ditinjau segala keadaannya. Olehkarenanya yang benar bahwa keinginan yang dimaksud adalah (keinginan) untuk memukul majikan perempuannya.Perbuatan keji itu adalah khianat kepada tuannya, ketika dia berkeinginan untuk memukul istri tuannya.

Sedangkan tanda dari Robbnya di sini adalah kenabian dan penjagaan Allah ‘azza wa jalla terhadapnya. Seandainya tidak ada tanda ini, niscaya dia akan berkeinginan melakukan perbuatan keji. Ini tidak diragukan lagi.

Barangkali orang yang menisbatkan hal ini kepada seorang Nabi yang disucikan, Yusuf, menyatakan kesucian dirinya yang buruk dari kondisi semacam ini, sehingga dia pun akan binasa. Padahal Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah mengkhawatirkan kebinasaan akan menimpa orang yang menyangka demikian terhadap beliau. Yaitu ketika beliau berkata kepada dua orang Anshor tatkala berjumpa dengannya, “Ini adalah Shofiyah (istri beliau).” [Hadits shahih]

[PENTING]

Abu Muhammad berkata, “Termasuk kebatilan yang jelas tidak mungkin terjadi adalah seseorang menyangka bahwa Yusuf ‘alaihis salam memiliki keinginan berbuat zina, padahal dia mendengar firman Allah ta’ala,

كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاء

Demikianlah agar Kami palingkan darinya keburukan dan perbuatan keji.

Maka kami tanyakan kepada orang yang menyelisihi kami, apakah keinginan berbuat zina termasuk keburukan atau bukan? Maka tentu itu adalah keburukan. Jika dia berkata bahwa itu bukan keburukan, berarti dia telah menentang ijma’. Jika jelas hal itu adalah keburukan, padahal keburukan telah dipalingkan darinya, berarti keinginan berbuat zina pun telah dipalingkan dari beliau, dengan yakin.

Disamping itu, wanita itu telah berkata,

قَالَتْ مَا جَزَاء مَنْ أَرَادَ بِأَهْلِكَ سُوَءاً

Wanita itu berkata, apa balasan bagi orang yang menghendaki keburukan bagi keluargamu.

Beliau pun mengingkari hal itu, dan bersaksilah seorang yang jujur lagi dibenarkan.

وَإِنْ كَانَ قَمِيصُهُ قُدَّ مِن دُبُرٍ فَكَذَبَتْ وَهُوَ مِن الصَّادِقِينَ

Dan jika pakaiannya terkoyak dari arah belakang, berarti wanita itu yang dusta sedangkan dia (Yusuf) termasuk orang-orang yang jujur.

Maka jelaslah bahwa wanita itu telah berdusta, menurut nash al-Qur`an. Dan jika wanita itu berdusta berdasarkan nash al-Qur`an, berarti (Yusuf) tidak menginginkan keburukan terhadap wanita itu, dan tidak menginginkan perbuatan zina sama sekali. Jika dia (Yusuf) menghendaki perbuatan zina, berarti wanita itulah yang termasuk orang-orang yang jujur. Ini sangat jelas sekali.

Demikian pula firman Allah ta’ala tentang beliau, bahwa beliau berkata,

وَإِلا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ

Dan seandainya Engkau tidak hindarkan dariku tipu daya mereka, niscaya aku cenderung (memenuhi keinginan) mereka dan tentu aku akan termasuk orang-orang yang bodoh.” (Yusuf: 33)

Maka menjadi benar bahwa beliau sama sekali tidak memiliki kecenderungan kepada wanita itu. Dan taufiq hanyalah dari Allah ta’ala.

Selesai perkataan Ibnu Hazm rohimahulloh.

Dalam perkataan beliau itu terdapat ketetapan yang tegas, tentang pensucian Nabi Allah,Yusuf ‘alaihis salam dari keinginan untuk melakukan perbuatan keji, berbeda dengan banyak ahli tafsir dan ulama selain mereka yang berbicara tentang ayat yang mulia ini…

Berdasarkan penerangan dari perkataan beliau – rohimahullah – akan kami jelaskan beberapa permasalahan…

Bahwa ayat tentang keinginan Nabi Yusuf ‘alaihis salam) ini harus dipahami dari rangkaian kisah dalam al-Qur`an…

Maka barangsiapa berpendapat bahwa beliau berkeinginan terhadap wanita itu, yaitu bermaksud kepada ajakan wanita itu, atau hal itu terbesit di hatinya sesuai dengan fitrah (manusia), dan bahwa keinginan ini tidak akan menjadi sebab beliau disiksa karena beliau tidak meneruskannya, bahkan beliau akan diberi pahala…

Maka ini adalah pendapat yang bagus. Akan tetapi, lebih bagus darinya kita menetapkan terjaganya beliau dari keinginan melakukan perbuatan keji karena agungnya kedudukan sebagai Nabi.

Jumhur salaf telah berpendapat, bahkan hampir-hampir mereka sepakat bahwa tidak ada seorang istri Nabi pun yang berbuat zina. Dan lebih pantas jika hal semacam ini tidak telintas di hati-hati mereka… Maka pendapat ini tentunya lebih tegas dan lebih utama bagi haknya para Nabi.

Dan termasuk perkara yang tidak diragukan, bahwa sikap Yusuf ‘alaihis salam terhadap wanita ini adalah kandungan kisah yang paling terkenal… sekaligus sebagai sumber perselisihan yang panjang dan tersebar di berbagai karya tulis…

Maka jika Allah berkehendak untuk menjadikannya sebagai permisalan yang senantiasa dihikayatkan, senantiasa bernilai ibadah ketika dibaca sepanjang masa, dan pelajarannya dijadikan sebagai panutan, maka tidak ada jalan lain kecuali memilih sesuatu yang paling tinggi kemuliaan, reputasi dan kesuciannya.

Ini bukanlah terkaan atau dugaan terhadap perkara yang ghaib… akan tetapi ini adalah penafsiran firman Allah dengan firman-Nya yang lain.

Jika kita sedikit mengalah dalam perdebatan ini, yaitu dengan meninggalkan semua penafsiran yang telah kita dengar sebelumnya tentang permasalahan ini… maka hendaknya sekarang kita memperhatikan secara inshaf (seimbang)…

Apakah keinginan itu terjadi sebelum perbuatan atau sesudahnya?

Jawaban yang disepakati oleh seluruh orang berakal adalah keinginan terjadi sebelum perbuatan…

Jika demikian, maka (ketahuilah) rangkaian kisah itu telah menyebutkan dengan jelas bahwa perbuatan itu adalah bujuk rayu, dan ini telah berakhir. Telah lengkap segala unsur perbuatan, yaitu adanya ajakan wanita itu kepada Yusuf secara terang-terangan, berupa perbuatan dan ucapan, untuk berbuat keji…

Allah ta’ala berfirman,

وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَن نَّفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ

Dan wanita yang Yusuf tinggal di rumahnya, menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: “Marilah ke sini.” Yusuf berkata: “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang-orang yang zhalim tiada akan beruntung.” (Yusuf: 23)

Yakni, wanita itu menggoda Yusuf tatkala Yusuf telah beranjak dewasa… Sedangkan godaan adalah kehendak dan ajakan dengan cara lembut dan halus. Wanita yang Yusuf tinggal dirumahnya, adalah istri al-Aziz. Dia menutup pintu dan mengatakan kemarilah ke sini…

Maka wanita itu menggoda… menutup pintu… dan berkata…

Lalu Allah menyebutkan sikap Yusuf yang menolak perbuatan keji itu seraya berargumen dengan dua perkara:

(Pertama) permohonan perlindungan kepada Allah dari perbuatan buruk terhadap hak tuannya yang telah membesarkan dan memuliakannya.

(Kedua) bahwa ini adalah perbuatan orang zhalim yang bodoh, bukan perbuatan orang yang berakal dan lurus.

Barangsiapa menyatakan makna kata ( رَبّي ) di sini (dalam ayat di atas) adalah tuannya, maka tidak terlarang. Begitu pula yang mengembalikan kata ganti dalam kata ( إِنَّهُ ) kepada lafzhul jalalah (Allah), dia pun tidak salah. Hanya saja kata ( مثوى ) telah diucapkan oleh tuannya sebelum itu, sedangkan lafzhul jalalah telah tegas disebutkan dalam ucapan Yusuf, “Aku berlindung kepada Allah.” Maka jika kata ( ربي ) yang dimaksud adalah tuannya, ini lebih sesuai dengan rangkaian kalimat.

Bagaimanapun juga, ini adalah sikap yang nyata dalam mengajak kepada perbuatan keji dan melaksanakannya serta terus terang dalam hal itu. Begitu pula penolakan Nabi Allah,Yusuf , terhadap wanita itu, nasihat dan peringatannya terhadap akibat perbuatan buruk nan munkar ini…

Tentang makna ‘murawadah’ (godaan atau rayuan), Rasyid Ridha dalam ‘al-Manar’ menyebutkan perkataan al-Ashfahani:

“Murawadah adalah penyelisihanmu terhadap orang lain dalam hal kehendak. Engkau menghendaki sesuatu yang tidak dia kehendaki. Atau menginginkan sesuatu yang tidak dia inginkan. Seakan-akan maknanya adalah, menipu daya terhadap dirinya (orang lain). Yaitu, melakukan sebagaimana yang dilakukan seorang penipu terhadap sesuatu yang tidak ingin dikeluarkan oleh orang lain dari tangannya, dia melakukan tipu daya agar bisa menguasai dan mengambil sesuatu itu darinya. Dan ini adalah ungkapan atas tipu daya yang dilakukan agar dia mau menggaulinya. Selesai perkataan beliau. Dan seandainya wanita itu melihat sedikit kecenderungan Nabi Yusuf kepadanya, sedangkan dia menyendiri bersamanya dalam satu kamar dalam rumahnya, tentunya dia tidak perlu untuk menipudayai Yusuf dengan bujuk rayu”. Selesai (nukilan dari ‘al-Manar’)

Maka siapa saja yang mengatakan setelah itu bahwa keinginan di sini adalah keinginan untuk melakukan perbuatan keji berarti dia telah menyelisihi ketegasan al-Qur`an yang secara tegas telah menyatakan berakhirnya sikap perbuatan tersebut…

Jika demikian, agar kita mengetahui makna keinginan ini, kita harus melihat dan memperhatikan lebih dalam lagi…

Kita lihat semuanya memiliki pikiran yang sama bahwa keinginan ini adalah perkataan jiwa dan apa yang terlintas dalam hati. Dan sepertinya tidak ada makna yang lain…

Ingatlah ayat yang disebutkan oleh Ibnu Hazm, yaitu firman Allah ta’ala,

وَهَمَّتْ كُلُّ أُمَّةٍ بِرَسُولِهِمْ لِيَأْخُذُوهُ

Dan tiap-tiap umat telah menginginkan(hamma) makar terhadap Rasul mereka untuk menawannya.” (Ghafir: 5)

Apakah ini keinginan hati dan perkataan jiwa, ataukah keinginan perbuatan?

Juga firman Allah ta’ala,

أَلا تُقَاتِلُونَ قَوْمًا نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ وَهَمُّوا بِإِخْرَاجِ الرَّسُولِ وَهُمْ بَدَءُوكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ

Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras keinginannya (hamma) untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama mulai memerangi kamu?” (at-Taubah: 13)

Apakah ini keinginan hati dan perkataan jiwa, ataukah keinginan perbuatan?

Dan firman-Nya,

يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ مَا قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلامِهِمْ وَهَمُّوا بِمَا لَمْ يَنَالُوا

Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam dan menginginkan(hamma) apa yang mereka tidak dapat mencapainya.” (at-Taubah: 74)

Apakah ini keinginan hati dan perkataan jiwa, ataukah keinginan perbuatan?

Keinginan, sebagaimana dalam bahasa, adalah perkataan jiwa dan hati. Dalam bahasa Arab dikatakan, ‘Hamamtu bi fulan,’ yakni aku bermaksud (menuju) kepadanya.

Sedangkan kebanyakan ahli tafsir, di antaranya Syaikhul Islam, beliau berkata dalam ‘al-Fatawa’ (10/296):

Al-Hamm (keinginan) adalah nama jenis yang mencakup dua macam, sebagaimana perkataan Imam Ahmad, keinginan itu ada dua; (1)keinginan yang terbetik dan (2)keinginan yang terus menerus… Sedangkan Yusuf shollallohu ‘alaihi wa sallam memiliki keinginan yang dia tinggalkan karena Allah. Oleh karenanya, Allah palingkan darinya keburukan dan perbuatan keji karena keikhlasannya. Dan hal itu terjadi ketika ada penyebab perbuatan dosa, yaitu keinginan, dan ditentang dengan keikhlasan yang akan menyebabkan berpalingnya hati dari dosa karena Allah. Maka yang muncul dari Yusuf ‘alaihis salam hanyalah kebaikan yang mendatangkan pahala. Selesai perkataan beliau.

Ini berdasarkan (pendapat) bahwa keinginan di sini adalah keinginan yang berupa lintasan hati… yakni, bahwa Yusuf – ‘alaihis salam – dalam hatinya terlintas untuk menyepakati wanita itu melakukan perbuatan keji.

Maka dikatakan, manakah yang lebih utama, kita menisbatkan kepada Nabi Allah pikiran untuk berbuat zina dan terlintasnya hal itu dalam hati meskipun hanya sebentar, ataukah kita mengambil pendapat Ibnu Hazm bahwa beliau tidak memiliki keinginan untuk berbuat kekejian sama sekali?

Apa yang mendorong kita mengatakan bahwa beliau berkeinginan melakukan perbuatan keji?Bukankah dalam nash yang tegas, Allah telah membersihkan beliau dari keburukan dan kekejian?Apakah di sana ada keburukan yang lebih besar dari keinginan berbuat keji, dan kekejian apakah itu?

Kita perhatikan bahwa dua kata keburukan ( السوء ) dan kekejian ( الفحشاء ) ada ‘alif-lam’ yang bermakna ‘istighraq tamm’ (yakni makna yang mencakup segala jenisnya). Sehingga yang ditiadakan (dari diri Nabi Yusuf – ‘alaihis salam) adalah segala keburukan dan kekejian, meskipun hanya berupa keinginan dalam hati dan jiwa yang tidak sampai pada perbuatan…

Dan ini lebih sempurna dalam permasalahan ‘ishmah’ (keterjagaan, kemakshuman seorang Nabi) sebagaimana hal itu nampak dengan jelas…

Lantas kenapa kita katakan bahwa keinginan dalam ayat ini – paling tidak pada diri Nabi Yusuf – bukan keinginan untuk berbuat kekejian padahal itu termasuk konsekuensi fitrah dan tabiat manusia?Jawabnya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hazm di atas bahwa al-Qur`an telah tegas menyatakan bahwa keinginan Nabiyullah Yusuf bukanlah keinginan untuk berbuat perkara keji… dan jalan untuk mengetahui hal itu adalah dengan pertanyaan sederhana:Apakah keinginan melakukan perbuatan keji adalah suatu keburukan ataukah tidak?

Syariat, akal dan fitrah telah menyatakan bahwa keinginan melakukan perbuatan keji adalah keburukan yang jelas, namun tidak ada hukuman atasnya selama tidak dilaksanakan.

Dan kami, ketika menetapkan hal itu, kami menempatkan firman Allah tabaroka wa ta’ala berada di hadapan kami, agar kami melihat kesucian Nabiyullah Yusuf dari keinginan melakukan perbuatan keji…

Allah ta’ala berfirman,

أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

Dia melihat tanda (dari) Robbnya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (Yusuf: 24)

Aku sampaikan ayat ini demikian, agar kita tidak bingung dengan pendapat orang yang mengatakan adanya taqdim dan ta`khir (pemajuan dan pengakhiran) kalimat yang menjadi jawab dari kata ‘law laa’(seandainya tidak)… dan untuk menyelesaikan masalah ini, cukup aku nukilkan perkataan berharga dari Ibnul Qayyim dalam ‘ash-Showa’iqul Mursalah’ (2/716):

“Adapun anggapan adanya taqdim dan ta`khir dalam firman Allah,

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلا أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ

Sesungguhnya wanita itu telah berkeinginan terhadap Yusuf. Dan Yusuf pun berkeinginan terhadap wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Robbnya.” (Yusuf: 24)

bahwa pada perkataan ini, jawab dari kata ‘law laa’ telah mendahuluinya, maka (sebagai bantahan) yang pertama, para ahli nahwu tidaklah membolehkan hal tersebut. Dan tidak ada dalil atas anggapannya itu. Selain itu, perkataan ini tidaklah merusak pemahaman terhadap apa yang dimaksud”. Selesai perkataan Ibn Qoyyim.

Jika demikian, yang telah pasti secara yakin dengan nash al-Qur`an, bahwa Nabiyullah Yusuf melihat tanda dari Robbnya – apapun maksud dari tanda ini, agar kita keluar dari perselisihan – lalu Allah memalingkan darinya keburukan dan perbuatan keji, karena beliau termasuk hamba Allah yang ikhlas dan terpilih.

Kata ( المخلصين ) jika dibaca al-mukhlashin, maknanya adalah orang-orang terpilih, dan jika dibaca al-mukhlishin, maknanya adalah orang-orang yang ikhlas.

Al-Qurthubi berkata, “Ibnu Katsir, Abu ‘Amr dan Abu ‘Amir membacanya ‘al-mukhlishin’ dan maknanya adalah orang-orang yang mengikhlaskan ketaatan kepada Allah. Yang lain membacanya ‘al-mukhlashin’ dan maknanya adalah orang-orang yang Allah pilih untuk (mengemban) risalah-Nya. Dan Nabi Yusuf – shollallohu ‘alaihi wa sallam – memiliki dua sifat ini, karena beliau adalah orang yang ikhlas dalam menaati Allah ta’ala dan terpilih untuk (mengemban) risalah Allah ta’ala.” Selesai perkataan beliau.

Maka penyifatan beliau dengan ikhlas di sini adalah dalil (petunjuk atau bukti) terbesar yang menunjukkan bahwa beliau tidak berkeinginan melakukan perbuatan keji sama sekali.Ikhlas adalah amalan hati yang hanya diketahui oleh Allah. Sedangkan keinginan berbuat keji jelas bertentangan dengan ikhlas.

Sedangkan lintasan-lintasan hati dan keinginan hati (terhadap keburukan) tidak ragu lagi merupakan penyesatan syaithan, Allah ta’ala telah berfirman tentangnya yang telah bersumpah,

لأغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ (٣٩) إِلا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ (٤٠)

Pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka.” (al-Hijr: 39-40)

Dan Allah telah menyifati Yusuf termasuk orang-orang yang mukhlis (ikhlas), maka dengan sedikit pembandingan, akan nampak jelas hasilnya.

Ini saja sudah cukup untuk menjawab dan membantah orang yang berpendapat bahwa beliau berkeinginan melakukan perbuatan keji karena (konsekuensi) tabiat dan fitrah manusia…

Apalagi jika kita tambahkan bahwa keinginan berbuat keji adalah suatu keburukan tersendiri. Padahal Allah telah membebaskan beliau dari keburukan, dengan nash yang tegas dan jelas yang tidak perlu kepada takwil atau takalluf (memberat-beratkan diri).

Tentang kedudukan sebagai nabi dan keagungannya, Imam Ibnul Arabi berkata dalam ‘Ahkamul Qur`an’ (5/39):

Bahwa faidah dari firman Allah,

وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا

Dan tatkala dia cukup dewasa Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu.” (Yusuf: 22)

Adalah Allah memberikan ilmu dan hikmah di hadapan kuatnya penguasaan syahwat, agar hal itu menjadi sebab penjagaan baginya. Selesai perkataan beliau.

Yakni, beliau diberi ilmu dan hikmah dari sisi Allah sebelum kejadian ini…

Dan kita tidak akan memperdalam pembicaraan tentang kemakshuman (terjaganya) para nabi…

Hanya saja kita mempertanyakan, apakah dibenarkan kita membolehkan bagi beliau untuk memiliki keinginan dalam hatinya untuk berbuat kekejian?

Jika kita katakan hal itu boleh bagi para nabi… maka apakah rangkaian kisah ini bisa membantu kita untuk memahaminya?

Syaikhul Islam berkata dalam ‘Majmu’ al-Fatawa’ (10/296):

Adapun Yusuf ash-Shiddiq (yang memiliki sifat sangat jujur), Allah tidak menyebutkan satu dosa pun darinya. Oleh karena itulah Allah tidak menyebutkan darinya, sesuatu yang pantas dilakukan karena dosa, yaitu permohonan ampun… Lalu Allah memberitakan bahwa Dia telah memalingkan keburukan dan perbuatan keji darinya. Dan ini menunjukkan bahwa tidak ada satu keburukan atau kekejian pun yang muncul dari beliau.

Beliau juga berkata dalam ‘Qa’idah fil Mahabbah’ (1/77):

Maka Allah – subhanah – memberitakan bahwa Dia telah memalingkan keburukan dan perbuatan keji dari beliau. Dan termasuk keburukan adalah kasmaran dan kecintaan terhadapnya, sedangkan termasuk perbuatan keji adalah zina. Terkadang yang berbuat zina dengan kemaluannya bukanlah orang yang kasmaran, dan terkadang ada orang yang kasmaran namun tidak berbuat zina dengan kemaluannya. Dan zina dengan kemaluan lebih berat dari pada mengerjakan dosa kecil seperti melihat atau mencium.” Selesai perkataan beliau.

Ini adalah perkataan yang benar. Akan tetapi seandainya kita ganti perkataan beliau di atas, “dan termasuk keburukan adalah kasmaran dan kecintaan terhadapnya,” dengan perkataan, “dan termasuk keburukan adalah keinginan untuk melakukan perbuatan keji.”

Apakah engkau melihat, apa yang dikatakan orang berakal tentang anggapan ini? Inilah yang dipilih oleh Ibnu Hazm di atas.

Perkara yang lain…


Sesungguhnya istri al-Aziz itu telah berkata di hadapan para wanita,

وَلَقَدْ رَاوَدْتُهُ عَنْ نَفْسِهِ فَاسْتَعْصَمَ

Dan sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku) akan tetapi dia menolak.” (Yusuf: 32)

Dan dia berkata di hadapan Raja,

أَنَا رَاوَدْتُهُ عَنْ نَفْسِهِ وَإِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ

Akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.” (Yusuf: 51)

Dan Yusuf berkata tentang dirinya, sedangkan beliau adalah orang yang sangat jujur,

قَالَ هِيَ رَاوَدَتْنِي عَنْ نَفْسِي

Yusuf berkata: Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya).” (Yusuf: 26)

Perhatikanlah bagaimana diri itu (diri Nabi Yusuf) disebutkan tiga kali sebagai pembersihan yang sangat tegas…

Seandainya keinginan itu bermakna perkataan jiwa, bagaimana kita mengarahkan tiga ayat ini dalam pembersihan diri beliau?

Ini juga sebagai bantahan bagi orang yang mengatakan bahwa jiwa beliau menginginkan berbuat kekejian.

Untuk mengetahui hakikat keinginan ini, kita tempatkan di hadapan kita bahwa godaan itu terjadi sebelum keinginan… sebagaimana hal itu nampak dari zhahir rangkaian kisah dalam al-Qur`an… sedangkan pada bujuk rayu itu terdapat penegasan adanya perbuatan, baik secara lisan maupun perbuatan anggota badan dari wanita itu, dan telah ada penolakan yang jelas dan tegas dari beliau (Nabi Yusuf) yang menunjukkan bahwa beliau tidak ikut serta bersama wanita itu dalam perkara yang akan dia lakukan…

Maka jika datang keinginan, kita tidak mengatakan, itu adalah keinginan untuk berbuat sebagaimana layaknya manusia, sedangkan keinginan semata bukanlah suatu dosa selama tidak terjadi!!!

Akan tetapi kita katakan, bahwa keinginan yang ada dari kedua belah pihak di sini jelas perkara lain, setelah terjadinya keterusterangan untuk melakukan perbuatan keji dari pihak wanita.

Maka keinginan yang ada pada tahapan akhir ini telah menjadi keinginan untuk saling melawan (dengan mendorong dan menarik) atau memukul. Wanita itu melakukan hal ini terhadap Yusuf karena beliau enggan dan menolak ajakannya untuk berbuat keji. Sedangkan beliau melakukan hal ini kepada wanita itu untuk berusaha lari dan menyelamatkan diri. Kemudian setelah itu keduanya berlomba-lomba menuju pintu.

Kemudian hendaknya kita perhatikan lebih teliti lagi kepada kata ‘al-murawadah’ (godaan, bujuk rayu) yang maknanya adalah keinginan dan permintaan dengan lembut dan halus…

Dan kita perhatikan situasi saling berkejaran menuju pintu itu. Ini adalah gerakan dari dua belah pihak yang menuju satu arah tapi dengan niat yang berbeda….

Menjadi jelaslah bagimu, bahwa keinginan dari keduanya adalah keinginan untuk saling melawan dengan mendorong dan menarik, atau memukul… sesuai dengan tujuan masing-masing.

Dan penafsiran ini dikuatkan oleh runtutan kisah. Karena keinginan jelas terjadi sebelum perbuatan, dan tidak mungkin dikatakan berbuat kemudian baru berkeinginan.

Dan yang paling indah dalam runtutan kisah ini, bahwa ia menetapkan terjaganya Nabi Yusuf, sampai pun pada keinginan untuk melakukan perbuatan keji.

Situasi lari saling mendahului

Berdasarkan keterangan yang telah lalu, maka kita perhatikan dengan seimbang tentang kondisi kejar-kejaran ini…

Allah ta’ala berfirman,

( وَاسُتَبَقَا الْبَابَ وَقَدَّتْ قَمِيصَهُ مِن دُبُرٍ وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ قَالَتْ مَا جَزَاء مَنْ أَرَادَ بِأَهْلِكَ سُوَءاً إِلاَّ أَن يُسْجَنَ أَوْ عَذَابٌ أَلِيمٌ )

Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu. Dan wanita itu menarik baju Nabi Yusuf dari belakang hingga koyak. Dan keduanya mendapati suami wanita itu di muka pintu. Wanita itu berkata, apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan istrimu, selain dipenjara atau dihukum dengan hukuman yang pedih?” (Yusuf: 25)

Shidiq Hasan Khan, Raja Bhopal, berkata dalam ‘Husnul Uswah bima Tsabata min Allah wa Rasulihi fin Niswah’ (1/113):

Firman Allah, “Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu,” maksudnya adalah keduanya berusaha saling mendahului… dan alasan keduanya saling berusaha mendahului adalah karena Yusuf ingin lari dan keluar melalui pintu, sedangkan istri al-Aziz itu ingin mendahuluinya menuju pintu untuk menghalanginya membuka dan keluar dari pintu. As-Suyuthi berkta, Yusuf bergegas menuju pintu untuk kabur, sedangkan wanita itu (bergegas) untuk menangkapnya lalu wanita itu memegangi baju Nabi Yusuf… dan wanita itu merobek bajunya, yakni menarik baju Nabi Yusuf dari belakangnya sehingga terbelahlah bajunya sampai ke bagian bawah. Dan keduanya mendapati suami wanita itu di depan pintu, yakni mendapati al-Aziz di sana. Wanita itu berkata,” apa balasan bagi orang yang menginginkan keburukan untuk keluargamu, berupa zina dan semisalnya”. Wanita itu mengucapkan perkataan ini untuk menghindar dan menutupi diri, lalu menyandarkannya kepada Yusuf, apa yang sesungguhnya menjadi keinginannya. Selain dipenjara atau hukuman yang pedih, yakni berupa sabetan cambuk. Dan yang nampak, beliau tidaklah mendapati hukuman pedih berupa cambukan atau yang semisalnya. Tidak disebutkannya hal ini bisa untuk menambah kengerian. Selesai perkataan beliau.

Situasi yang genting ini menggambarkan kepadamu suatu perkara yang sangat jelas…

Yaitu, bahwa Yusuf telah mengetahui dengan tanda yang Allah berikan kepadanya, bahwa tinggalnya beliau di tempat kemaksiatan adalah kehinaan yang terbesar bagi beliau.

Dan terjeratnya beliau bersama wanita itu dalam perlawanan berupa mendorong dan menarik atau memukul itu adalah bukti yang terbesar atas tinggalnya beliau…

Maka pemikiran yang selamat adalah usaha untuk kabur dari dua jenis tipu daya… maka keduanya saling berlomba-lomba menuju pintu…

Beliau berusaha kabur, sebagaimana telah kami jelaskan, sedangkan wanita itu berusaha untuk menahannya karena rasa jengkel akan keengganan Yusuf dan rusaknya kebanggaan dirinya.

Dan bisa dimungkinkan tanda yang dimaksud di sini sebagaimana riwayat yang datang dari perkataan Ibnu Abbas dan Ibnu Ishaq yang disebutkan oleh Ibnu Jarir dan selainnya. Bahwa tanda di sini adalah sesuatu yang memberitahu keduanya bahwa tuannya telah masuk ke dalam rumah, seperti suara yang mereka dengar atau bayangan yang mereka lihat.

Dan yang mendukung penafsiran ini, bahwa kata ‘Robbihi’ dalam surat ini bisa memiliki dua makna: Robbnya, yakni Penciptanya, atau Robbnya (tuannya) yang telah memuliakan tempat kedudukannya…

Sedangkan kalimat ‘burhan’ telah datang dalam Kitabullah dengan makna petunjuk yang menjadi hujah. Baik petunjuk yang didapat dengan akal atau petunjuk yang didapat dengan penelitian. Dan ini sesuai dengan kedua pendapat dalam penafsiran kata ‘burhan’ (tanda) sebagaimana telah lalu penjelasannya…

Adapun pendapat-pendapat lainnya, yang berpendapat bahwa Nabi Yusuf melihat gambaran bapaknya, atau melihat ayat al-Qur`an di dinding, dan penafsiran yang semacam itu, maka ini adalah penafsiran yang jauh (dari kebenaran). Karena kita tidak berpendapat bahwa seorang Nabi membutuhkan mukjizat hissiyah (yang bisa ditangkap oleh indera manusia) agar dia tidak melakukan keburukan dan perbuatan keji.

Maka pendapat yang menyatakan bahwa tanda itu adalah petunjuk munculnya tuannya, adalah pendapat yang tidak ditolak oleh kisah ini secara global, tidak pula ditolak oleh rangkaian kisah tersebut.

Dengan ini maka menjadi jelas – jika hal ini benar – bahwa alasan keduanya untuk saling berlomba menuju pintu adalah sangat logis.

Yaitu, untuk keluar dari tempat maksiat, dan agar tidak terjerat bersama wanita itu. Karena dalam dua perkara itu terdapat penghinaan yang nyata.

Sedangkan wanita itu berusaha untuk menahannya di dalam kamarnya, dia menariknya agar terjerat bersamanya. Makan nampaklah bahwa beliau adalah orang yang terzhalimi di dalam kamar wanita itu. Lalu wanita itu menampakkan bahwa dirinyalah yang terzhalimi.

Akan tetapi Allah memberikan ilham kepada beliau agar memalingkan punggungnya kepada wanita itu untuk menolak saling pukul dan saling tarik bersama wanita itu… maka jadilah baju yang terkoyak itu sebagai tanda yang Allah nampakkan untuk menunjukkan secara tegas akan kesucian Yusuf.

Dan dalam ‘Tafsir al-Lubab’ karya Ibnu Adil al-Hanbali (9/243):

Ibnul Khathib berkata:

Para ahli tahqiq dari kalangan ahli tafsir dan ahli kalam telah berkata, bahwa Yusuf – ‘alaihish sholatu was salam – berlepas diri dari perbuatan yang batil, dan keinginan yang haram. Inilah pendapat kami, dan inilah yang kami bela. Dan dalil-dalil yang menunjukkan wajib terjaganya para Nabi – ‘alaihimush sholatu was salam – telah disebutkan dan ditetapkan. Dan di sini kami tambah dengan beberapa sisi:

Pertama: Bahwa zina termasuk dosa besar yang mungkar. Dan khianat di hadapan amanah juga termasuk dosa yang mungkar.

Demikian juga: Jika seorang anak dibesarkan di pangkuan seseorang, lalu dia mendapatkan kecukupan, dan terjaga kehormatannya semenjak kecil hingga dia beranjak dewasa dan menjadi kuat, maka kelakuan anak ini untuk memberikan keburukan yang paling jelek kepada orang yang telah memberi kenikmatan dan keutamaan itu, adalah termasuk perbuatan yang mungkar.

Jika hal ini telah jelas, maka kita katakan, sesungguhnya kemaksiatan ini jika mereka sandarkan kepada Yusuf – ‘alaihish sholatu was salam – maka ini adalah kemaksiatan yang dipenuhi dengan kebodohan. Dan kemaksiatan semacam ini jika disandarkan kepada orang yang paling fasik, dan paling jauh dari segala kebaikan, niscaya dia akan menolak dan mengingkarinya. Lalu bagaimana mungkin dibolehkan hal itu disandarkan kepada seorang Rasul yang dikuatkan dengan mukjizat yang sangat nyata, padahal Allah telah berfirman,

كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ

Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian.” (Yusuf: 24)

Hal ini juga tidak sesuai dengan hikmah Allah. Dan itu menunjukkan bahwa materi keburukan dan kekejian telah dipalingkan dari beliau. Sedangkan maksiat yang mereka sandarkan kepada beliau adalah jenis keburukan dan kekejian yang paling besar.

Juga tidak sesuai dengan rahmat Allah apabila Dia mengisahkan tentang seseorang yang melakukan maksiat lalu Dia memujinya dengan pujian teragung setelah mengisahkan tentangnya dosa yang besar itu. Perumpamaannya, sebagaimana seorang raja yang menyebutkan dosa terburuk dan amalan terkeji dari sebagian budaknya, kemudian dia menyebutkannya dengan pujian yang agung dan berlebihan setelahnya. Maka semacam ini jelas diingkari, begitu pula di sini. Selesai perkataan beliau.

Adapun persangkaan sebagian orang terhadap perkataan Nabiyullah Yusuf,

قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُن مِّنَ الْجَاهِلِينَ

Yusuf berkata: Wahai Robbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Yusuf: 33)

lalu dia menjadikan perkataan itu sebagai dalil bahwa tidak mengapa pikiran yang terlintas dalam hati untuk berbuat kekejian, karena ini merupakan tabiat manusia!!

Maka hendaknya dia menyempurnakan firman Allah ta’ala itu,

فَاسْتَجَابَ لَهُ رَبُّهُ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Maka Robbnya memperkenankan doa Yusuf dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Yusuf: 34)

Pertama, hendaknya dia tahu bahwa ini berkaitan dengan peristiwa bersama para wanita (setelah kejadian kisah di atas), bukan berkenaan dengan kejadian bersama istri al-Aziz. Dan perbedaannya sangatlah jelas.

Yang kedua, Syaikhul Islam berkata dalam ‘Majmu’ al-Fatawa’ (15/130):

Dan dalam perkataan Yusuf, “Yusuf berkata: Wahai Robbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” Ada dua pelajaran:

Pertama, lebih memilih penjara dan musibah dari pada dosa dan kemaksiatan.

Kedua, meminta dan berdoa kepada Allah agar Dia meneguhkan hati di atas agama-Nya dan memalingkan hati itu kepada ketaatan kepadanya, karena jika Dia tidak meneguhkan hati itu, niscaya hati itu akan condong kepada orang-orang yang memerintahkan perbuatan dosa, sehingga jadilah termasuk orang-orang yang bodoh.

Maka di sini ada tawakal (penyandaran hati) kepada Allah dan permintaan tolong kepadanya agar Dia meneguhkan hati di atas keimanan dan ketaatan. Dan di sini juga ada kesabaran terhadap ujian, musibah dan gangguan yang terjadi jika dia teguh di atas keimanan dan ketaatan. Selesai perkataan beliau.

Dan yang tidak diragukan lagi, bahwa tidak ada seorang makhluk pun baik dari golongan manusia maupun jin, jika dia tidak dijaga oleh Robbnya, niscaya dia akan menyimpang dan tersesat.

Lalu, bagaimanakah keadaan kita dibandingkan seorang Nabi yang sangat jujur, yang termasuk hamba Allah terpilih dan ikhlas, yang telah Allah nyatakan dengan tegas bahwa beliau,

وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ

Dan tatkala dia cukup dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Yusuf: 22)

Wallahu A’la wa A’lam.

Akhirnya:

Inilah komentar singkat yang bisa aku berikan dalam menafsirkan ayat yang mulia ini, sesuai dengan keterangan yang telah ditetapkan oleh Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya ‘al-Fashl fil Milal wal Ahwa wan Nihal’…

Jika benar, maka hal itu dari Allah, dan jika tidak demikian, maka kami memohon ampunan dan keselamatan kepada Allah, dan agar Dia mengajarkan dan mengilhamkan kepada kami dan kelurusan dan kebenaran.

Sumber : http://www.almenhaj.net/TextSubject.php?linkid=7735

http://www.direktori-islam.com/2009/07/pelurusan-kisah-nabi-yusuf/

No comments:

Post a Comment