Program Hafal Al Quran untuk PNS Rokan Hulu Terus Dilakukan
Bupati Rohul saat memimpin hafalan Al Quran para pejabat di Masjid Agung Madani Pasirpengaraian.
Hidayatullah.com--Program menghafal Al Quran bagi seluruh pejabat Eselon II, III, dan IV, termasuk pegawai, baik PNS maupun tenaga honorer, di jajaran Pemkab Rokan Hulu terus dilaksanakan.
‘’Ini merupakan kegiatan untuk mensyiarkan Islam. Dengan adanya program hafalan Al Quran ini, secara perlahan seluruh pejabat maupun pegawai, bisa hafal Al Quran dan memahami isinya. Al Quran merupakan firman Allah SWT, dan bila Al Quran jadi panduan hidup kita, maka akan selamat dunia akhirat. Oleh sebab itu, kita menggalakkan program hapalan Al Quran itu,’’ kata Bupati Rokan Hulu Drs H Achmad MSi, diberitakan Riau Pos, Senin (15/4/2013).
Untuk merealisasikan baca dan hafal Al Quran, Bupati langsung memimpin para pejabatnya untuk mendengarkan hafalan tersebut.
Di bawah bimbingan imam besar Masjid Agung Madani Islamic Center Pasirpengaraian, satu persatu para pejabat tersebut menghafalkan bacaan Al Quran.
‘’Dengan adanya program hafalan Al Quran kepada pegawai, diharapkan para pegawai mendapatkan keberkahan dari Allah. Selain mendapatkan keberkahan dunia, kita juga akan dapatkan kebahagiaan akhirat,’’ jelas Bupati.
Mengenai target kegiatan hafalan Al Quran yang dilakukan seluruh pegawai Pemkab Rohul, Bupati mengakui, hanya berniat melakukan pembinaan pegawainya agar semua pegawai menjadi pegawai yang beriman dan bertakwa.
‘’Kita berharap Kabupaten Rohul berjuluk Negeri Seribu Suluk bukan hanya simbol saja, namun jadi barometer pelaksanaan syiar Islam bagi seluruh kabupaten/kota di Riau ini,’’ ujarnya.
Untuk mensyiarkan Islam, Bupati mengaku tidak muluk-muluk dan tidak ada kepentingan politik.
‘’Namun, bagaimana dengan kerja keras kita bersama, maka kegiatan syiar Islam di Rohul yang kini tengah dilaksanakan, bisa dicontoh kabupaten/kota di Riau, bahkan di Indonesia,’’ paparnya.*
http://hidayatullah.com/read/28152/15/04/2013/program-hafal-al-quran-untuk-pns-rokan-hulu-terus-dilakukan-.html
Tafsir Surat Luqman Ayat 6
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ 6
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.
QS Luqman:6
"Lahwal hadits" yang diterjemahkan sebagai perkataan yang tidak berguna ditafsirkan sebagai:
Ibnu Jarir Ath-Thabari menyebutkan:
Ibnu Mas'ud (Sahabat): "Nyanyian, demi Yang tidak ada yang berhak disembah selain Dia" beliau sampai mengulangnya tiga kali
Ibnu 'Abbas (Sahabat): "Nyanyian dan yang sejenisnya dan mendengarkannya"
Jabir (Sahabat):"Nyanyian dan mendengarkannya"
Mujahid (Tab'in):"Nyanyian dan semua permainan yang melalaikan" dalam kesempatan lain beliau mengatakan "Genderang (rebana)"
'Ikrimah (Tabi'in):"Nyanyian"
Adh-Dhahak: "Syirik (menyekutukan ALLAH)"
Ibnu Jarir Ath-Thabari sendiri mengomentari:
والصواب من القول في ذلك أن يقال: عنى به كلّ ما كان من الحديث ملهيا عن سبيل الله مما نهى الله عن استماعه أو رسوله؛ لأن الله تعالى عمّ بقوله:(لَهْوَ الحَدِيثِ) ولم يخصص بعضا دون بعض، فذلك على عمومه حتى يأتي ما يدلّ على خصوصه، والغناء والشرك من ذلك.
Pendapat yang betul adalah: Yang dimaksud dengannya (perkataan yang tidak berguna) adalah semua perkataan yang melalaikan dari jalan ALLAH dari apa-apa yang dilarang ALLAH dari mendengarkannya atau apa-apa yang dilarang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (dari mendengarkannya), karena ALLAH menjadikan firmannya (perkataan tidak berguna) umum dan tidak mengkhususkan sebagian yang satu dari sebagian yang lain. Oleh karena itu tetap berlaku umum sehingga datang dalil yang mengkhususkannya. Nyanyian dan syirik termasuk dari itu (perkataan tidak berguna).
Lihat Tafsir Ath-Thabari tentang ayat tersebut.
Ibnu Katsir juga menyebutkan makna perkataan yang berguna sebagai "nyanyian" dari Sa'id bin Jubair, Makhul, 'Amru bin Syu'aib, Hasan al-Bashri dan 'Ali bin Badzimah dari kalangan para tabi'in.
Ibnu Katsir sendiri juga mengomentari:
عطف بذكر حال الأشقياء، الذين أعرضوا عن الانتفاع بسماع كلام الله، وأقبلوا على استماع المزامير والغناء بالألحان وآلات الطرب
ALLAH menyambung dengan menyebutkan keadaan orang-orang yang celaka yaitu orang -orang yang berpaling dari mengambil manfaat dengan mendengarkan kalam ALLAH dan malah cenderung mendengarkan lagu-lagu, nyanyian dengan nada-nada tertentu dan alat-alat musik.
Lihat Tafsir Ibnu Katsir tentang ayat tersebut.
Al-Baghawi menyebutkan perkataan Ibrahim An-Nakha'i (Tabi'in):
"Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di dalam hati".
Al-Baghawi sendiri menafsirkan (mempergunakan perkataan yang tidak berguna):
يستبدل ويختار الغناء والمزامير والمعازف على القرآن
Menggantikan dan memilih nyanyian, lagu-lagu dan musik atas al-Quran.
Lihat Tafsir Al-Baghawi tentang ayat tersebut.
Dan masih banyak sekali perkataan para sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in tentang makna ayat tersebut yakni nyanyian.
Al-Qurthubi menyampaikan panjang lebar dalam tafsirnya, boleh dirujuk di kitab tafsir beliau.
Kemudian apakah yang dimaksud nyanyian dan lagu dalam pembahasan di atas?
apakah setiap nyanyian dilarang atau setiap nada-nada atau lagu-lagu dilarang mutlak?
Al-Qurthubi menjelaskan dalam tafsirnya:
وَهُوَ الْغِنَاء الْمُعْتَاد عِنْد الْمُشْتَهِرِينَ بِهِ , الَّذِي يُحَرِّك النُّفُوس وَيَبْعَثهَا عَلَى الْهَوَى وَالْغَزَل , وَالْمُجُون الَّذِي يُحَرِّك السَّاكِن وَيَبْعَث الْكَامِن ; فَهَذَا النَّوْع إِذَا كَانَ فِي شِعْر يُشَبَّب فِيهِ بِذِكْرِ النِّسَاء وَوَصْف مَحَاسِنهنَّ وَذِكْر الْخُمُور وَالْمُحَرَّمَات لَا يُخْتَلَف فِي تَحْرِيمِهِ ; لِأَنَّهُ اللَّهْو وَالْغِنَاء الْمَذْمُوم بِالِاتِّفَاقِ .
Nyanyian yang dimaksud adalah nyanyian yang biasa dinyanyikan menurut orang-orang yang mempopulerkannya. Yaitu nyanyian yang yang menggerakkan nafsu dan membangkitkannya atas hawa dan cumbu rayu dan kelakar (lawak) yang akan menggerakkan yang diam dan mengeluarkan yang tersembunyi (muncul aib-aib). Jenis ini apabila di dalam sya'ir akan mengobarkannya dengan menyebutkan wanita dan sifat-sifat kecantikannya, menyebutkan khamr dan hal-hal yang diharamkan di mana tidak ada beda pendapat tentang keharamannya. Karena itu adalah sia-sia dan nyanyian adalah tercela dengan kesepakatan.
فَأَمَّا مَا سَلِمَ مِنْ ذَلِكَ فَيَجُوز الْقَلِيل مِنْهُ فِي أَوْقَات الْفَرَح ; كَالْعُرْسِ وَالْعِيد وَعِنْد التَّنْشِيط عَلَى الْأَعْمَال الشَّاقَّة , كَمَا كَانَ فِي حَفْر الْخَنْدَق
Sedangkan nyanyian yang selamat dari hal tersebut maka sedikit dari itu adalah boleh di dalam masa-masa bergembira seperti pernikahan, hari raya dan ketika digunakan untuk menyemangati beramal yang berat sebagaimana saat menggali parit ...
فَأَمَّا مَا اِبْتَدَعَتْهُ الصُّوفِيَّة الْيَوْم مِنْ الْإِدْمَان عَلَى سَمَاع الْمَغَانِي بِالْآلَاتِ الْمُطْرِبَة مِنْ الشَّبَّابَات وَالطَّار وَالْمَعَازِف وَالْأَوْتَار فَحَرَام .
Sedangkan apa yang dibuat-buat oleh orang-orang shufi pada hari ini (zaman al-Qurthubi) dengan membiasakan atas mendengarkan nyanyi-nyanyian dengan alat-alat musik seperti syabaabaat, thaar, ma'azif, autaar (nama-nama alat musik dipukul, dipetik dlsb) adalah haram.
Kemudian bagaimana pendapat para ulama madzhab?
Al-Qurthubi memberikan beberapa penukilan:
Imam Malik bin Anas pernah ditanya tentang nyanyian yang dibolehkan oleh sebagian orang-orang di Madinah, beliau menjawab: Yang melakukan itu menurut kami hanyalah orang-orang fasiq.
Madzhab Abu Hanifah adalah membenci nyanyian walaupun membolehkan minum nabidz dan beliau menganggap mendengarkan nyanyian termasuk dosa.
Begitu pula madzhab seluruh penduduk Kufah: Ibrahim (an-Nakha'i), Asy-Sya'bi, Hammad, Ats-Tsauri dan selainnya, tidak ada beda pendapat di antara meraka dalam hukum nyanyian.
Begitu pula tidak diketahui di antara penduduk Bashrah adanya beda pendapat tentang dibencinya nyanyian dan larangannya kecuali apa yang diriwayatkan dari 'Ubaidullah bin al-Hasan al-'Anbari, beliau membolehkannya.
Sedangkan madzhab Syafi'i beliau berkata: Nyanyian adalah dibenci dan menyerupai hal yang bathil dan barang siapa memperbanyaknya maka dia orang bodoh yang ditolak persaksiannya.
Sedangkan madzhab Ahmad tidak ada keterangan tegas tentang hal tersebut, bahkan diriwayatkan beliau membolehkannya.
Ibnu al-Jauzi mengatakan yang dimaksud (yang dibolehkan) adalah qashidah zuhud (sya'ir 7-10 bait) berisi tentang hal-hal zuhud.
Ahmad ketika ditanya tentang seseorang yang meninggal dan meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang budak perempuan penyanyi. Si anak ingin menjual budaknya. Ahmad menjawab: budak perempuan dijual sebagai budak biasa bukan sebagai budak yang penyanyi. Ada yang berkata: harganya bisa sampai 30 ribu, boleh jadi kalau dijual sebagai budak biasa hanya 20 ribu. Ahmad menjawab: tidak boleh dijual kecuali sebagai budak biasa.
Ibnu al-Jauzi mengomentari:
Ahmad berkata seperti ini karena budak perempuan ini penyanyi dan tidak bernyanyi dengan qashidah zuhud tapi dengan sya'ir-sya'ir musik yang membangkitkan cinta.
Ini adalah dalil atas nyanyian adalah dilarang di mana kalau tidak dilarang maka tidak boleh menghilangkan harta anak yatim (lihat dan fahami kasus di atas)
Ath-Thabari berkata:
Telah terjadi ijma' (kesepakatan) para ulama akan dibencinya nyanyian dan larangannya. Ibrahim bin Sa'ad dan 'Ubaidullah al-'Anbari telah menyelesihi jama'ah (dengan membolehkan nyanyian).
Lihat tafsir al-Qurthubi.
Dari pembahasan di atas akan lebih baik bagi kita meninggalkan nyanyian terutama nyanyian yang berisi hal-hal yang haram.
Nyanyian yang diberi keringanan untuk mendengarkannya pun hanya dengan kadar yang sedikit dan pada waktu-waktu tertentu saja. Kalau bisa kita tinggalkan semua itu tentu lebih wara' dan lebih baik sebagaimana para salaf terdahulu.
Kemudian harap dibedakan antara mendengarkan dengan mendengar.
Yang dibenci adalah mendengarkan bukan mendengar.
Jadi kalau pada masa kita sekarang memang tidak bisa lepas dari mendengar musik tapi kita bisa menghindari mendengarkan musik.
Itu baru pembahasan tafsir satu ayat. Masih banyak lagi ayat yang lain dan juga hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang melarang nyanyian, lagu dan musik. Saya sementara hanya mampu menulis tulisan di atas sesuai kelapangan waktu yang ada, semoga bisa ditambah di lain waktu.
Sejauh ini berdasar riwayat yang shahih, pembolehan hanya pada saat-saat tertentu (hari raya, pesta pernikahan dan saat bekerja berat perlu semangat) dan dengan alat-alat tertentu (duff atau rebana). Sedangkan hukum asal nyanyian adalah dilarang atau dibenci kecuali ada dalil yang mengecualikannya.
ALLAH A'lam
Abu Ali -- Noor Akhmad S
Referensi:
Tafsir Ath-Thabari
Tafsir Ibnu Katsir
Tafsir Al-Baghawi
Tafsir Al-Qurthubi
http://noorakhmad.blogspot.com/2009/11/tafsir-surat-luqman-ayat-6.html
Subscribe to:
Posts (Atom)