Kisah Nabi Adam
Perintah Allah kepada malaikat dan iblis untuk sujud kepada Adam merupakan awal permusuhan iblis kepada manusia. Ia menolak perintah itu sehingga dihukum Allah. Namun iblis berjanji akan menyesatkan Adam dan keturunannya. Salah satu bentuk tipu dayanya adalah berhasil menggoda Adam untuk melanggar larangan Allah sehingga Adam dikeluarkan dari surga.
Allah subhanahu wa ta'ala ingin menampakkan penghormatan malaikat kepada kepada Nabi Adam secara lahir dan batin. Untuk itu, Allahmj subhanahu wa ta'alaperintahkan para malaikat untuk sujud kepada Nabi Adam alaihisholatu was sallam:
“Sujudlah kepada Adam!” (QS. Al Baqarah: 34)
Hal ini merupakan penghormatan dan penghargaan kepada Nabi Adam alaihishalatu was sallam dan dalam rangka ibadah, cinta dan taat kepada Allah subhanahu wata’ala, serta tuduk kepada perintah-Nya. Segeralah para malaikat itu bersujud.
Namun iblis yang berada di tengah-tengah mereka yang tentunya ikut serta mendapatkan perintah itu -iblis itu sendiri bukan dari golongan malaikat melainkan dari golongan jin yang diciptakan dari api-, justru menyimpan kekafiran kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan kedengkian kepada Nabi Adam alaihishalatu was sallam. Kufur dan rasa dengki itu membuat iblis enggan sujud kepada Nabi Adam alaihishalatu was sallam. Tak cuma menunjukkan kesombongan, iblis bahkan menyangkal perintah Allahsubhanahu wa ta'ala dan mencela kebijaksanaan-Nya. Katanya:
“Saya lebih baik darinya. Engkau ciptakan aku dari api dan Engkau ciptakan dia dari tanah.” (QS. Al A’raf: 12)
Maka Allah katakan:
“Wahai iblis, apa yang menghalangimu untuk sujud kepada apa yang telah Kuciptakan dengan dua tangan-Ku? Apakah engkau sombong ataukah engkau (merasa) termasuk orang-orang yang lebih tinggi?” (QS. Shad:75)
Kekufuran, kesombongan, dan pembangkangan ini merupakan sebab terusirnya dan terlaknatinya Iblis. Allah subhanahu wa ta'ala katakan kepadanya:
“Turunlah kamu dari surga karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina.” (QS. Al A’raf: 13)
Iblis enggan tunduk dan bertobat kepada Tuhannya, bahkan menentang, meremehkan, dan bertekad bulat untuk memusuhi Adam alaihishalatu was sallam beserta anak cucunya. Ia pun menyiapkan dirinya saat mengetahui bahwa dirinya telah ditetapkan menjadi makhluk yang sengsara selama-lamanya. Ia, dengan ucapan dan perbuatan bersama bala tentaranya, berikrar untuk mengajak anak cucu Adam alaihishalatu was sallam agar menjadi golongan yang telah diputuskan untuk tinggal di rumah kehancuran (neraka). Iblis nyatakan hal itu dengan mengatakan kepada Allah subhanahu wa ta'ala:
“Wahai Rabbku, berilah aku waktu sampai hari kebangkitan.” (QS. Shad: 79)
Iblis benar-benar meluangkan waktu untuk menebar permusuhan di kalangan Adam alaihisholatu was sallam dan anak cucunya. Maka tatkala hikmah Allah subhanahu wa ta'ala menuntut agar manusia mempunyai tabiat dan akhlak yang berbeda-beda, maka Allah subhanahu wa ta'ala juga menentukan sesuatu yang menyebabkannya. Yaitu berupa cobaan dan ujian, dan yang terbesarnya adalah diberinya iblis kesempatan untuk mengajak anak Adam alaihishalatu was sallam kepada semua jenis kejahatan. Maka Allah subhanahu wa ta'ala pun menjawab:
“Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai pada hari yang telah di tentukan waktunya.” (QS. Shad: 80-81)
Iblis menyambut jawaban itu dengan menegaskan permusuhan kepada Adam alaihishalatu was sallam beserta anak cucunya dan menegaskan maksiatnya kepada Allahsubhanahu wa ta'ala, katanya:
“Karena Engkau telah menghukumku tersesat, aku benar-benar akan (menghalangi-halangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (QS. Al A’raf:16-17)
Iblis mengucapkan itu berdasarkan sangkaannya, karena ia tahu benar tabiat anak Adam alaihishalatu was sallam. “Dan iblis telah membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka, lalu mereka mengikutinya kecuali sebagian orang-orang yang beriman.” (QS. Saba’: 20)
Allah berikan iblis kesempatan untuk melakukan perkara yang telah menjadi niatannya pada Adam alaihishalatu was sallam dan anak cucunya. Allah katakan:
“Pergilah, siapa yang mengikutimu dari mereka, maka jahannamlah balasan kalian semua sebagai suatu pembalasan yang cukup. Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukan berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak.” (QS. Al Isra: 63-64)
Yakni jika kamu mampu, jadikanlah mereka orang-orang yang menyeleweng dalam mendidik anak-anak mereka dengan didikan yang rusak dan dalam membelanjakan harta mereka kepada hal-hal yang mudharat, juga dalam mencari harta dari yang tidak baik. Begitu pula ikut sertalah dengan mereka jika mereka makan, minum, dan berjima’, yakni ketika mereka tidak menyebut nama Allah subhanahu wa ta'ala. Juga perintahkanlah mereka untuk tidak beriman dengan hari kebangkitan dan pembalasan dan agar mereka tidak melakukan kebajikan. Takut-takuti mereka dengan pembantu-pembantumu, berikan kekhawatiran pada mereka ketika berinfak yang baik dengan kefakiran.
Kesempatan yang Allah berikan ini sesungguhnya demi sebuah hikmah dan rahasia yang besar. Sungguh engkau wahai musuh yang nyata tidak akan menyisakan sedikitpun dari kemampuanmu dalam menyesatkan mereka. Manusia yang jahat akan nampak kejahatan dan kejelekannya, dan Allah subhanahu wa ta'ala tidak akan mempedulikannya.
Adapun keturunan Adam alaihishalatu was sallam yang terpilih, baik dari kalangan para nabi dan pengikutnya, baik orang-orang yang sangat jujur dalam beriman, dan para wali-Nya, maka Allah subhanahu wa ta'ala tidak akan menguasakan musuh ini (iblis) atas mereka. Bahkan Allah subhanahu wa ta'ala menjadikan di sekitar mereka pagar pelindung yang begitu kuat, sebagai perlindungan dari Allah subhanahu wa ta'ala.
Allah subhanahu wa ta'ala membekalinya dengan senjata yang tidak mungkin musuh bisa menandinginya, yaitu kesempurnaan iman dan tawakal mereka kepada Rabb-nya.
“Sungguh mereka tidak memiliki kekuatan atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Rabb mereka.” (QS. An Nahl: 99).
Juga Allah subhanahu wa ta'ala bantu mereka dalam menghadapi musuh yang nyata itu di antaranya dengan menurunkan kitab-kitab yang mencakup ilmu yang bermanfaat, nasehat yang mengena yang memberi semangat untuk melakukan kebajikan dan memperingatkan dari kejelekan. Selain itu, Allah subhanahu wa ta'ala juga mengutus para Rasul yang membawa kabar gembira kepada mereka yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan mentaati-Nya dengan pahala.
Juga memperingatkan orang-orang kafir, yang mendustakan dan berpaling dari Allah, dengan berbagai macam hukuman. Allah subhanahu wa ta'ala juga menjamin orang yang mengikuti petunjuk yang terkandung di dalam kitab-Nya yang dibawa oleh rasul-Nya tidak sesat semasa di dunia dan tidak sengsara kelak di akhirat, tidak takut, serta tidak tertimpa perasaan sedih.
Demikian juga Allah subhanahu wa ta'ala bimbing mereka melalui kitab dan para rasul-Nya kepada hal-hal yang bisa melindungi mereka dari musuh yang nyata ini. Allahsubhanahu wa ta'ala pun menerangkan kepada hamba-Nya, misi yang dibawa setan dan strateginya dalam menjaring manusia ke dalam perangkapnya. Juga Allahsubhanahu wa ta'ala bimbing mereka kepada jalan yang menyelamatkan mereka dari kejahatan setan dan fitnahnya, dan membantu dengan bantuan yang di luar kemampuan mereka. Karena, ketika mereka mengeluarkan segala daya upaya dan minta bantuan kepada Allah subhanahu wa ta'ala, akan mudah bagi mereka jalan mana saja yang dituju.
Setelah itu Allah subhanahu wa ta'ala sempurnakan nikmat kepada Adam alaihishalatu was sallam dengan menciptakan istrinya Hawa dari dirinya dan jenisnya. Ini dimaksudkan agar tercapai ketenangan dan tujuan-tujuan lain seperti pernikahan, kebersamaan, dan adanya anak keturunan.
Allah subhanahu wa ta'ala juga memperingatkan Adam dan istrinya, untuk berhati-hati dari setan karena sesungguhnya setan adalah musuh bagi mereka berdua. Jangan sampai iblis mengeluarkan Adam dan Hawa dari surga Allah subhanahu wa ta'ala. Ketika itu, Allah mempersilahkan mereka makan buah-buahan apa saja yang ada di dalam surga dan menikmati segala kenikmatan yang ada padanya, kecuali pohon tertentu. Allah subhanahu wa ta'ala katakan kepada mereka berdua:
“Dan jangan kalian dekati pohon ini sehingga kalian menjadi orang-orang yang dzalim.” (QS. Al A’raf: 19)
“Sungguh kamu tidak akan lapar padanya dan tidak telanjang dan sungguh engkau tidak akan dahaga padanya, dan tidak tertimpa panas matahari.” (QS. Thaha: 119)
Maka keduanya tinggal di surga selama dikehendaki Allah subhanahu wa ta'ala dengan segala kenikmatannya. Akan tetapi musuh mereka berdua terus mengintai dan mencari kesempatan. Maka ketika setan melihat senangnya Adam alaihishalatu was sallam di dalamnya dan keinginannya yang besar untuk tetap tinggal di dalamnya, setan datang dengan cara yang lembut seolah seorang yang jujur sedang menasehati, ia katakan:
‘Wahai adam apakah engkau mau kutunjukkan sebuah pohon yang jika kamu memakannya kamu akan kekal di surga ini dan akan langgeng kerajaan ini serta tidak akan rusak’. Terus menerus ia rayu Adam alaihishalatu was sallam. Ia janjikan, ia bisikkan, ia berikan harapan dan seolah terus memberi nasehat padahal itu adalah penipuan yang besar. Hingga setan pun berhasil menipu mereka berdua dan akhirnya keduanya makan dari pohon terlarang itu. Maka ketika makan, terlepaslah pakaian mereka berdua sehingga terlihat auratnya, akhirnya keduanya cepat-cepat mengambil daun-daun surga untuk menutupi badan mereka yang telanjang sebagai pengganti pakaian mereka. Seketika itu pula nampak hukuman Allah subhanahu wa ta'ala atas maksiat yang mereka lakukan, lalu Allah subhanahu wa ta'ala menyeru mereka berdua:
“Tidakkah Aku telah melarang kalian berdua makan dari pohon ini dan Aku katakan kepada kalian berdua sungguh setan adalah musuh yang nyata buat kalian berdua.” (QS. Al A’raf: 22).
Kemudian Allah tumbuhkkan pada hati mereka taubat yang sungguh-sungguh.
“Adam memperoleh beberapa kalimat dari Robbnya.” (QS. Al Baqarah: 22).
Maka keduanya berkata:
“Wahai Rabb kami, sungguh kami telah berbuat dzalim pada diri kami, jikalau Engkau tidak mengampuni dan mengasihi kami, benar-benar kami akan menjadi orang-orang yang merugi.” (QS. Al A’raf: 23).
Maka Allah terima taubat mereka dan Allah hapus dosa yang telah menodai mereka. Akan tetapi keluar dari surga jika mereka memakan dari pohon itu, sudah menjadi keputusan yang pasti sehingga keluarlah mereka ke bumi yang kebaikannya dicampuri dengan keburukannya, kesenangan dicampuri dengan kesusahannya.
Allah kabarkan kepada keduanya bahwa Allah subhanahu wa ta'ala pasti akan memberikan cobaan pada keduanya dan anak cucunya, serta orang-orang yang beriman. Yang beramal shalih akan mendapatkan balasan yang baik, sebaliknya yang mendustakan lagi berpaling, akibatnya adalah kesengsaraan yang abadi dan adzab yang kekal. Allah subhanahu wa ta'ala ingatkan anak cucu Adam akan hal itu, kata-Nya:
“Wahai anak Adam jangan sekali-kali kalian dapat ditipu oleh setan seperti telah mengeluarkan ayah ibu kalian dari surga, ia tanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan kepada keduanya aurat. Sesungguhnya ia dan pengikutnya melihat kamu dari seuatu tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka.”(QS. Al A’raf: 27)
Allah subhanahu wa ta'ala kemudian mengganti pakaian yang ditanggalkan oleh setan dari Adam dan Hawa dengan pakaian yang menutupi aurat mereka dan menghiasi mereka secara lahir. Juga dengan pakaiaan yang lebih baik dari itu yaitu pakaian ketakwaan, yakni pakaian hati dan rohani dengan iman, keikhlasan, taubat dan hiasan dengan segala akhlak yang indah serta menanggalkan segala akhlak yang hina. Lalu Allah subhanahu wa ta'ala tebarkan dari Adam alaihishalatu was sallam dan istrinya anak turun yang banyak laki-laki maupun perempuan di muka bumi. Allah ganti mereka generasi demi generasi untuk dilihat oleh-Nya apa yang mereka lakukan.
Faedah yang dipetik:
Allah subhanahu wa ta'ala jadikan kisah itu sebagai ibrah untuk kita yaitu bahwa sesungguhnya sombong, dengki, dan ambisi merupakan akhlak yang berbahaya buat seorang hamba. Kesombongan dan kedengkian iblis membawanya kepada apa yang kita lihat, demikian juga keinginan kuat Adam alaihishalatu was sallam dan istrinya mengantarkan mereka memakan buah pohon itu. Kalaulah rahmat Allah subhanahu wa ta'ala tidak segera menyelamatkan, sungguh perbuatan mereka itu akan menyampaikan kepada kebinasaan. Akan tetapi rahmat-Nya segera menyempurnakan yang kurang, memperbaiki yang rusak, menyelamatkan yang binasa dan mengangkat yang telah jatuh.
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=31
Allah subhanahu wa ta'ala ingin menampakkan penghormatan malaikat kepada kepada Nabi Adam secara lahir dan batin. Untuk itu, Allahmj subhanahu wa ta'alaperintahkan para malaikat untuk sujud kepada Nabi Adam alaihisholatu was sallam:
“Sujudlah kepada Adam!” (QS. Al Baqarah: 34)
Hal ini merupakan penghormatan dan penghargaan kepada Nabi Adam alaihishalatu was sallam dan dalam rangka ibadah, cinta dan taat kepada Allah subhanahu wata’ala, serta tuduk kepada perintah-Nya. Segeralah para malaikat itu bersujud.
Namun iblis yang berada di tengah-tengah mereka yang tentunya ikut serta mendapatkan perintah itu -iblis itu sendiri bukan dari golongan malaikat melainkan dari golongan jin yang diciptakan dari api-, justru menyimpan kekafiran kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan kedengkian kepada Nabi Adam alaihishalatu was sallam. Kufur dan rasa dengki itu membuat iblis enggan sujud kepada Nabi Adam alaihishalatu was sallam. Tak cuma menunjukkan kesombongan, iblis bahkan menyangkal perintah Allahsubhanahu wa ta'ala dan mencela kebijaksanaan-Nya. Katanya:
“Saya lebih baik darinya. Engkau ciptakan aku dari api dan Engkau ciptakan dia dari tanah.” (QS. Al A’raf: 12)
Maka Allah katakan:
“Wahai iblis, apa yang menghalangimu untuk sujud kepada apa yang telah Kuciptakan dengan dua tangan-Ku? Apakah engkau sombong ataukah engkau (merasa) termasuk orang-orang yang lebih tinggi?” (QS. Shad:75)
Kekufuran, kesombongan, dan pembangkangan ini merupakan sebab terusirnya dan terlaknatinya Iblis. Allah subhanahu wa ta'ala katakan kepadanya:
“Turunlah kamu dari surga karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina.” (QS. Al A’raf: 13)
Iblis enggan tunduk dan bertobat kepada Tuhannya, bahkan menentang, meremehkan, dan bertekad bulat untuk memusuhi Adam alaihishalatu was sallam beserta anak cucunya. Ia pun menyiapkan dirinya saat mengetahui bahwa dirinya telah ditetapkan menjadi makhluk yang sengsara selama-lamanya. Ia, dengan ucapan dan perbuatan bersama bala tentaranya, berikrar untuk mengajak anak cucu Adam alaihishalatu was sallam agar menjadi golongan yang telah diputuskan untuk tinggal di rumah kehancuran (neraka). Iblis nyatakan hal itu dengan mengatakan kepada Allah subhanahu wa ta'ala:
“Wahai Rabbku, berilah aku waktu sampai hari kebangkitan.” (QS. Shad: 79)
Iblis benar-benar meluangkan waktu untuk menebar permusuhan di kalangan Adam alaihisholatu was sallam dan anak cucunya. Maka tatkala hikmah Allah subhanahu wa ta'ala menuntut agar manusia mempunyai tabiat dan akhlak yang berbeda-beda, maka Allah subhanahu wa ta'ala juga menentukan sesuatu yang menyebabkannya. Yaitu berupa cobaan dan ujian, dan yang terbesarnya adalah diberinya iblis kesempatan untuk mengajak anak Adam alaihishalatu was sallam kepada semua jenis kejahatan. Maka Allah subhanahu wa ta'ala pun menjawab:
“Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai pada hari yang telah di tentukan waktunya.” (QS. Shad: 80-81)
Iblis menyambut jawaban itu dengan menegaskan permusuhan kepada Adam alaihishalatu was sallam beserta anak cucunya dan menegaskan maksiatnya kepada Allahsubhanahu wa ta'ala, katanya:
“Karena Engkau telah menghukumku tersesat, aku benar-benar akan (menghalangi-halangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (QS. Al A’raf:16-17)
Iblis mengucapkan itu berdasarkan sangkaannya, karena ia tahu benar tabiat anak Adam alaihishalatu was sallam. “Dan iblis telah membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka, lalu mereka mengikutinya kecuali sebagian orang-orang yang beriman.” (QS. Saba’: 20)
Allah berikan iblis kesempatan untuk melakukan perkara yang telah menjadi niatannya pada Adam alaihishalatu was sallam dan anak cucunya. Allah katakan:
“Pergilah, siapa yang mengikutimu dari mereka, maka jahannamlah balasan kalian semua sebagai suatu pembalasan yang cukup. Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukan berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak.” (QS. Al Isra: 63-64)
Yakni jika kamu mampu, jadikanlah mereka orang-orang yang menyeleweng dalam mendidik anak-anak mereka dengan didikan yang rusak dan dalam membelanjakan harta mereka kepada hal-hal yang mudharat, juga dalam mencari harta dari yang tidak baik. Begitu pula ikut sertalah dengan mereka jika mereka makan, minum, dan berjima’, yakni ketika mereka tidak menyebut nama Allah subhanahu wa ta'ala. Juga perintahkanlah mereka untuk tidak beriman dengan hari kebangkitan dan pembalasan dan agar mereka tidak melakukan kebajikan. Takut-takuti mereka dengan pembantu-pembantumu, berikan kekhawatiran pada mereka ketika berinfak yang baik dengan kefakiran.
Kesempatan yang Allah berikan ini sesungguhnya demi sebuah hikmah dan rahasia yang besar. Sungguh engkau wahai musuh yang nyata tidak akan menyisakan sedikitpun dari kemampuanmu dalam menyesatkan mereka. Manusia yang jahat akan nampak kejahatan dan kejelekannya, dan Allah subhanahu wa ta'ala tidak akan mempedulikannya.
Adapun keturunan Adam alaihishalatu was sallam yang terpilih, baik dari kalangan para nabi dan pengikutnya, baik orang-orang yang sangat jujur dalam beriman, dan para wali-Nya, maka Allah subhanahu wa ta'ala tidak akan menguasakan musuh ini (iblis) atas mereka. Bahkan Allah subhanahu wa ta'ala menjadikan di sekitar mereka pagar pelindung yang begitu kuat, sebagai perlindungan dari Allah subhanahu wa ta'ala.
Allah subhanahu wa ta'ala membekalinya dengan senjata yang tidak mungkin musuh bisa menandinginya, yaitu kesempurnaan iman dan tawakal mereka kepada Rabb-nya.
“Sungguh mereka tidak memiliki kekuatan atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Rabb mereka.” (QS. An Nahl: 99).
Juga Allah subhanahu wa ta'ala bantu mereka dalam menghadapi musuh yang nyata itu di antaranya dengan menurunkan kitab-kitab yang mencakup ilmu yang bermanfaat, nasehat yang mengena yang memberi semangat untuk melakukan kebajikan dan memperingatkan dari kejelekan. Selain itu, Allah subhanahu wa ta'ala juga mengutus para Rasul yang membawa kabar gembira kepada mereka yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan mentaati-Nya dengan pahala.
Juga memperingatkan orang-orang kafir, yang mendustakan dan berpaling dari Allah, dengan berbagai macam hukuman. Allah subhanahu wa ta'ala juga menjamin orang yang mengikuti petunjuk yang terkandung di dalam kitab-Nya yang dibawa oleh rasul-Nya tidak sesat semasa di dunia dan tidak sengsara kelak di akhirat, tidak takut, serta tidak tertimpa perasaan sedih.
Demikian juga Allah subhanahu wa ta'ala bimbing mereka melalui kitab dan para rasul-Nya kepada hal-hal yang bisa melindungi mereka dari musuh yang nyata ini. Allahsubhanahu wa ta'ala pun menerangkan kepada hamba-Nya, misi yang dibawa setan dan strateginya dalam menjaring manusia ke dalam perangkapnya. Juga Allahsubhanahu wa ta'ala bimbing mereka kepada jalan yang menyelamatkan mereka dari kejahatan setan dan fitnahnya, dan membantu dengan bantuan yang di luar kemampuan mereka. Karena, ketika mereka mengeluarkan segala daya upaya dan minta bantuan kepada Allah subhanahu wa ta'ala, akan mudah bagi mereka jalan mana saja yang dituju.
Setelah itu Allah subhanahu wa ta'ala sempurnakan nikmat kepada Adam alaihishalatu was sallam dengan menciptakan istrinya Hawa dari dirinya dan jenisnya. Ini dimaksudkan agar tercapai ketenangan dan tujuan-tujuan lain seperti pernikahan, kebersamaan, dan adanya anak keturunan.
Allah subhanahu wa ta'ala juga memperingatkan Adam dan istrinya, untuk berhati-hati dari setan karena sesungguhnya setan adalah musuh bagi mereka berdua. Jangan sampai iblis mengeluarkan Adam dan Hawa dari surga Allah subhanahu wa ta'ala. Ketika itu, Allah mempersilahkan mereka makan buah-buahan apa saja yang ada di dalam surga dan menikmati segala kenikmatan yang ada padanya, kecuali pohon tertentu. Allah subhanahu wa ta'ala katakan kepada mereka berdua:
“Dan jangan kalian dekati pohon ini sehingga kalian menjadi orang-orang yang dzalim.” (QS. Al A’raf: 19)
“Sungguh kamu tidak akan lapar padanya dan tidak telanjang dan sungguh engkau tidak akan dahaga padanya, dan tidak tertimpa panas matahari.” (QS. Thaha: 119)
Maka keduanya tinggal di surga selama dikehendaki Allah subhanahu wa ta'ala dengan segala kenikmatannya. Akan tetapi musuh mereka berdua terus mengintai dan mencari kesempatan. Maka ketika setan melihat senangnya Adam alaihishalatu was sallam di dalamnya dan keinginannya yang besar untuk tetap tinggal di dalamnya, setan datang dengan cara yang lembut seolah seorang yang jujur sedang menasehati, ia katakan:
‘Wahai adam apakah engkau mau kutunjukkan sebuah pohon yang jika kamu memakannya kamu akan kekal di surga ini dan akan langgeng kerajaan ini serta tidak akan rusak’. Terus menerus ia rayu Adam alaihishalatu was sallam. Ia janjikan, ia bisikkan, ia berikan harapan dan seolah terus memberi nasehat padahal itu adalah penipuan yang besar. Hingga setan pun berhasil menipu mereka berdua dan akhirnya keduanya makan dari pohon terlarang itu. Maka ketika makan, terlepaslah pakaian mereka berdua sehingga terlihat auratnya, akhirnya keduanya cepat-cepat mengambil daun-daun surga untuk menutupi badan mereka yang telanjang sebagai pengganti pakaian mereka. Seketika itu pula nampak hukuman Allah subhanahu wa ta'ala atas maksiat yang mereka lakukan, lalu Allah subhanahu wa ta'ala menyeru mereka berdua:
“Tidakkah Aku telah melarang kalian berdua makan dari pohon ini dan Aku katakan kepada kalian berdua sungguh setan adalah musuh yang nyata buat kalian berdua.” (QS. Al A’raf: 22).
Kemudian Allah tumbuhkkan pada hati mereka taubat yang sungguh-sungguh.
“Adam memperoleh beberapa kalimat dari Robbnya.” (QS. Al Baqarah: 22).
Maka keduanya berkata:
“Wahai Rabb kami, sungguh kami telah berbuat dzalim pada diri kami, jikalau Engkau tidak mengampuni dan mengasihi kami, benar-benar kami akan menjadi orang-orang yang merugi.” (QS. Al A’raf: 23).
Maka Allah terima taubat mereka dan Allah hapus dosa yang telah menodai mereka. Akan tetapi keluar dari surga jika mereka memakan dari pohon itu, sudah menjadi keputusan yang pasti sehingga keluarlah mereka ke bumi yang kebaikannya dicampuri dengan keburukannya, kesenangan dicampuri dengan kesusahannya.
Allah kabarkan kepada keduanya bahwa Allah subhanahu wa ta'ala pasti akan memberikan cobaan pada keduanya dan anak cucunya, serta orang-orang yang beriman. Yang beramal shalih akan mendapatkan balasan yang baik, sebaliknya yang mendustakan lagi berpaling, akibatnya adalah kesengsaraan yang abadi dan adzab yang kekal. Allah subhanahu wa ta'ala ingatkan anak cucu Adam akan hal itu, kata-Nya:
“Wahai anak Adam jangan sekali-kali kalian dapat ditipu oleh setan seperti telah mengeluarkan ayah ibu kalian dari surga, ia tanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan kepada keduanya aurat. Sesungguhnya ia dan pengikutnya melihat kamu dari seuatu tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka.”(QS. Al A’raf: 27)
Allah subhanahu wa ta'ala kemudian mengganti pakaian yang ditanggalkan oleh setan dari Adam dan Hawa dengan pakaian yang menutupi aurat mereka dan menghiasi mereka secara lahir. Juga dengan pakaiaan yang lebih baik dari itu yaitu pakaian ketakwaan, yakni pakaian hati dan rohani dengan iman, keikhlasan, taubat dan hiasan dengan segala akhlak yang indah serta menanggalkan segala akhlak yang hina. Lalu Allah subhanahu wa ta'ala tebarkan dari Adam alaihishalatu was sallam dan istrinya anak turun yang banyak laki-laki maupun perempuan di muka bumi. Allah ganti mereka generasi demi generasi untuk dilihat oleh-Nya apa yang mereka lakukan.
Faedah yang dipetik:
Allah subhanahu wa ta'ala jadikan kisah itu sebagai ibrah untuk kita yaitu bahwa sesungguhnya sombong, dengki, dan ambisi merupakan akhlak yang berbahaya buat seorang hamba. Kesombongan dan kedengkian iblis membawanya kepada apa yang kita lihat, demikian juga keinginan kuat Adam alaihishalatu was sallam dan istrinya mengantarkan mereka memakan buah pohon itu. Kalaulah rahmat Allah subhanahu wa ta'ala tidak segera menyelamatkan, sungguh perbuatan mereka itu akan menyampaikan kepada kebinasaan. Akan tetapi rahmat-Nya segera menyempurnakan yang kurang, memperbaiki yang rusak, menyelamatkan yang binasa dan mengangkat yang telah jatuh.
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=31
Bagaimana Mungkin Doa Kita dikabulkan ?
Al-Qadliy berkata, "Hadits dibawah ini merupakan salah satu pilar agama Islam dan tonggak dari hukum-hukum Islam. Ada 40 hadits yang menjadi bagian tak terpisahkan dari hadits ini. Di dalam hadits ini ada perintah kepada kaum muslim untuk berinfak dengan yang rejeki halal, serta larangan untuk berinfak dengan rejeki yang haram. Hadits ini juga menerangkan, bahwa minuman, makanan, pakaian, dan lain-lain harus halal dan terjauh dari syubhat; dan siapa saja yang berdoa hendaknya ia memenuhi syarat-syarat tersebut, dan menjauhi minuman, makanan, dan pakaian yang haram."[1]
Imam al-Hafidz Abu al-'Ala al-Mubarakfuriy, dalam Tuhfat al-Ahwadziy, menyatakan bahwa makna hadits ini adalah, Allah swt suci dari noda, dan tidak akan menerima dan tidak boleh mendekatkan diri kepadaNya, kecuali sejalan dengan makna hadits tersebut.[2]
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
Imam al-Hafidz Abu al-'Ala al-Mubarakfuriy, dalam Tuhfat al-Ahwadziy, menyatakan bahwa makna hadits ini adalah, Allah swt suci dari noda, dan tidak akan menerima dan tidak boleh mendekatkan diri kepadaNya, kecuali sejalan dengan makna hadits tersebut.[2]
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
"Wahai manusia, sesungguhnya Allah tidak akan menerima sesuatu kecuali yang baik (thayyib), dan sesungguhnya Allah memerintahkan kaum mukmin sebagaimana halnya Ia memerintah para Rasul. Kemudian, Ia berfirman, "Wahai para Rasul, makanlah dari rejeki yang baik-baik, dan berbuat baiklah kalian. Sesungguhnya Aku Mengetahui apa yang engkau ketahui." Selanjutnya, beliau bercerita tentang seorang laki-laki yang berada di dalam perjalanan yang sangat panjang, hingga pakaiannya lusuh dan berdebu. Laki-laki itu lantas menengadahkan dua tangannya ke atas langit dan berdoa, "Ya Tuhanku, Ya Tuhanku..", sementara itu makanan yang dimakannya adalah haram, minuman yang diminumnya adalah haram, dan pakaian yang dikenakannya adalah haram; dan ia diberi makanan dengan makanan-makanan yang haram. Lantas, bagaimana mungkin doanya dikabulkan?.".[HR. Muslim]
[1] Imam Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, hadits no. 1686
[2] Tuhfat al-Ahwadziy bi Syarh Jaami' al-Tirmidziy, hadits no. 2722
http://jamaahmasjid.blogspot.com/2010/08/bagaimana-mungkin-doa-kita-dikabulkan.html
Tafsir Surat Al-Ikhlash
Surat ini Makkiyah, terdiri dari 4 ayat. Merupakan surat tauhid dan pensucian nama Allah Taala. Ia merupakan prinsip pertama dan pilar tama Islam. Oleh karena itu pahala membaca surat ini disejajarkan dengan sepertiga Al-Qur’an. Karena ada tiga prinsip umum: tauhid, penerapan hudud dan perbuatan hamba, serta disebutkan dahsyatnya hari Kiamat. Ini tidaklah mengherankan bagi orang yang diberi karunia untuk membacanya dengan tadabbur dan pemahaman, hingga pahalanya disamakan dengan orang membaca sepertiga Al-Qur’an.
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.”
Makna Mufradat:
Syarah:
Inilah prinsip pertama dan tugas utama yang diemban Nabi saw. Beliau pun menyingsingkan lengan baju dan mulai mengajak manusia kepada tauhid dan beribadah kepada Allah yang Esa. Oleh karena itu di dalam surat ini Allah memerintahkan beliau agar mengatakan, “Katakan, ‘Dialah Allah yang Esa.” Katakan kepada mereka, ya Muhammad, “Berita ini benar karena didukung oleh kejujuran dan bukti yang jelas. Dialah Allah yang Esa. Dzat Allah satu dan tiada berbilang. Sifat-Nya satu dan selain-Nya tidak memiliki sifat yang sama dengan sifat-Nya. Satu perbuatan dan selain-Nya tidak memiliki perbuatan seperti perbuatan-Nya.
Barangkali pengertian kata ganti ‘dia’ pada awal ayat adalah penegasan di awal tentang beratnya ungkapan berikutnya dan penjelasan tentang suatu bahaya yang membuatmu harus mencari dan menoleh kepadanya. Sebab kata ganti tersebut memaksamu untuk memperhatikan ungkapan berikutnya. Jika kemudian ada tafsir dan penjelasannya jiwa pun merasa tenang. Barangkali Anda bertanya, tidakkah sebaiknya dikatakan, “Allah yang Esa” sebagai pengganti dari kata, “Allah itu Esa.” Jawabannya, bahwa ungkapan seperti ini adalah untuk mengukuhkan bahwa Allah itu Esa dan tiada berbilang Dzat-Nya.
Kalau dikatakan, “Allah yang Maha Esa,” tentu implikasinya mereka akan meyakini keesaan-Nya namun meragukan eksistensi keesaan itu. Padahal maksudnya adalah meniadakan pembilangan sebagaimana yang mereka yakini. Oleh karena itu Allah berfirman,
Artinya tiada sesuatu pun di atas-Nya dan Dia tidak butuh kepada sesuatu pun. Bahkan selain-Nya butuh kepada-Nya. Semua makhluk perlu berlindung kepada-Nya di saat sulit dan krisis mendera. Maha Agung Allah dan penuh berkah semua nikmat-Nya.
Ini merupakan pensucian Allah dari mempunyai anak laki-laki, anak perempuan, ayah, atau ibu. Allah tidak mempunyai anak adalah bantahan terhadap orang-orang musyrik yang mengatakan bahwa malaikat itu anak-anak perempuan Allah, terhadap orang-orang Nasrani dan Yahudi yang mengatakan ‘Uzair dan Isa anak Allah. Dia juga bukan anak sebagaimana orang-orang Nasrani mengatakan Al-Masih itu anak Allah lalu mereka menyembahnya sebagaimana menyembah ayahnya. Ketidakmungkinan Allah mempunyai anak karena seorang anak biasanya bagian yang terpisah dari ayahnya. Tentu ini menuntut adanya pembilangan dan munculnya sesuatu yang baru serta serupa dengan makhluk. Allah tidak membutuhkan anak karena Dialah yang menciptakan alam semesta, menciptakan langit dan bumi serta mewarisinya. Sedangkan ketidakmungkinan Allah sebagai anak, karena sebuah aksioma bahwa anak membutuhkan ayah dan ibu, membutuhkan susu dan yang menyusuinya. Maha Tinggi Allah dari semua itu setinggi-tingginya.
Ya. Selama satu Dzat-Nya dan tidak berbilang, bukan ayah seseorang dan bukan anaknya, maka Dia tidak menyerupai makhluk-Nya. Tiada yang menyerupai-Nya atau sekutu-Nya. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sekutukan.
Meskipun ringkas, surat ini membantah orang-orang musyrik Arab, Nasrani, dan Yahudi. Menggagalkan pemahaman Manaisme (Al-Manawiyah) yang mempercayai tuhan cahaya dan kegelapan, juga terhadap Nasrani yang berpaham trinitas, terhadap agama Shabi’ah yang menyembah bintang-bintang dan galaksi, terhadap orang-orang musyrik Arab yang mengira selain-Nya dapat diandalkan di saat membutuhkan, atau bahwa Allah mempunyai sekutu. Maha Tinggi Allah dari semua itu.
Surat ini dinamakan Al-Ikhlas, karena ia mengukuhkan keesaan Allah, tiada sekutu bagi-Nya, Dia sendiri yang dituju untuk memenuhi semua kebutuhan, yang tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tiada yang menyerupai dan tandingan-Nya. Konsekuensi dari semua itu adalah ikhlas beribadah kepada Allah dan ikhlas menghadap kepada-Nya saja.
(hdn)
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ ﴿٤﴾
1. Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa.2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.”
Makna Mufradat:
Arti | Mufradat |
1. Satu Dzat-Nya, sifat-Nya, dan perbuatan-Nya. | أحد |
2. Dapat mencukupi semua kebutuhan sendirian. | الصمد |
3. Sepadan, sama, dan tandingan. | كفؤاً |
Syarah:
Inilah prinsip pertama dan tugas utama yang diemban Nabi saw. Beliau pun menyingsingkan lengan baju dan mulai mengajak manusia kepada tauhid dan beribadah kepada Allah yang Esa. Oleh karena itu di dalam surat ini Allah memerintahkan beliau agar mengatakan, “Katakan, ‘Dialah Allah yang Esa.” Katakan kepada mereka, ya Muhammad, “Berita ini benar karena didukung oleh kejujuran dan bukti yang jelas. Dialah Allah yang Esa. Dzat Allah satu dan tiada berbilang. Sifat-Nya satu dan selain-Nya tidak memiliki sifat yang sama dengan sifat-Nya. Satu perbuatan dan selain-Nya tidak memiliki perbuatan seperti perbuatan-Nya.
Barangkali pengertian kata ganti ‘dia’ pada awal ayat adalah penegasan di awal tentang beratnya ungkapan berikutnya dan penjelasan tentang suatu bahaya yang membuatmu harus mencari dan menoleh kepadanya. Sebab kata ganti tersebut memaksamu untuk memperhatikan ungkapan berikutnya. Jika kemudian ada tafsir dan penjelasannya jiwa pun merasa tenang. Barangkali Anda bertanya, tidakkah sebaiknya dikatakan, “Allah yang Esa” sebagai pengganti dari kata, “Allah itu Esa.” Jawabannya, bahwa ungkapan seperti ini adalah untuk mengukuhkan bahwa Allah itu Esa dan tiada berbilang Dzat-Nya.
Kalau dikatakan, “Allah yang Maha Esa,” tentu implikasinya mereka akan meyakini keesaan-Nya namun meragukan eksistensi keesaan itu. Padahal maksudnya adalah meniadakan pembilangan sebagaimana yang mereka yakini. Oleh karena itu Allah berfirman,
هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾
“Dia-lah Allah, Dia itu Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.”Artinya tiada sesuatu pun di atas-Nya dan Dia tidak butuh kepada sesuatu pun. Bahkan selain-Nya butuh kepada-Nya. Semua makhluk perlu berlindung kepada-Nya di saat sulit dan krisis mendera. Maha Agung Allah dan penuh berkah semua nikmat-Nya.
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾
“Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan” Ini merupakan pensucian Allah dari mempunyai anak laki-laki, anak perempuan, ayah, atau ibu. Allah tidak mempunyai anak adalah bantahan terhadap orang-orang musyrik yang mengatakan bahwa malaikat itu anak-anak perempuan Allah, terhadap orang-orang Nasrani dan Yahudi yang mengatakan ‘Uzair dan Isa anak Allah. Dia juga bukan anak sebagaimana orang-orang Nasrani mengatakan Al-Masih itu anak Allah lalu mereka menyembahnya sebagaimana menyembah ayahnya. Ketidakmungkinan Allah mempunyai anak karena seorang anak biasanya bagian yang terpisah dari ayahnya. Tentu ini menuntut adanya pembilangan dan munculnya sesuatu yang baru serta serupa dengan makhluk. Allah tidak membutuhkan anak karena Dialah yang menciptakan alam semesta, menciptakan langit dan bumi serta mewarisinya. Sedangkan ketidakmungkinan Allah sebagai anak, karena sebuah aksioma bahwa anak membutuhkan ayah dan ibu, membutuhkan susu dan yang menyusuinya. Maha Tinggi Allah dari semua itu setinggi-tingginya.
وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ ﴿٤﴾
“Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.”Ya. Selama satu Dzat-Nya dan tidak berbilang, bukan ayah seseorang dan bukan anaknya, maka Dia tidak menyerupai makhluk-Nya. Tiada yang menyerupai-Nya atau sekutu-Nya. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sekutukan.
Meskipun ringkas, surat ini membantah orang-orang musyrik Arab, Nasrani, dan Yahudi. Menggagalkan pemahaman Manaisme (Al-Manawiyah) yang mempercayai tuhan cahaya dan kegelapan, juga terhadap Nasrani yang berpaham trinitas, terhadap agama Shabi’ah yang menyembah bintang-bintang dan galaksi, terhadap orang-orang musyrik Arab yang mengira selain-Nya dapat diandalkan di saat membutuhkan, atau bahwa Allah mempunyai sekutu. Maha Tinggi Allah dari semua itu.
Surat ini dinamakan Al-Ikhlas, karena ia mengukuhkan keesaan Allah, tiada sekutu bagi-Nya, Dia sendiri yang dituju untuk memenuhi semua kebutuhan, yang tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tiada yang menyerupai dan tandingan-Nya. Konsekuensi dari semua itu adalah ikhlas beribadah kepada Allah dan ikhlas menghadap kepada-Nya saja.
(hdn)
Subscribe to:
Posts (Atom)