Matan Hadits:
عَنْ أَبِيْ حَمْزَة أَنَسِ بنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ خَادِمِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَن النبي صلى الله عليه وسلم قَالَ: (لاَ يُؤمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ) رواه البخاري ومسلم
Dari Abu Hamzah Anas bin Malik Radhiallahu Ta’ala ‘Anhu, pelayan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
“Tidak beriman salah seorang kalian sampai dia mencintai saudaranya, seperti dia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Takhrij Hadits:
-
I Bukhari dalam Shahihnya No. 13
- Imam Muslim dalam Shahihnya No. 45
- Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 2515
- Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 66
- Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 12801, 13874
- Imam Abu Ya’la dalam Musnadnya No. 3182, 3257
- Imam Ad Darimi dalam Sunannya No. 2740
- Imam Abdullah bin Mubarak dalam Az Zuhd No.
- Imam Al Qudha’I dalam Musnad Asy Syihab No. 889
- Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 11125
- Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Awsath No. 8288, 8854, juga dalam Musnad Asy Syamiyyin No. 2592
- Imam Ibnu Mandah dalam Al Iman No. 296
Makna Hadits Secara Global:
1.
Hadits ini menunjukkan bahwa Al Mahabbah (rasa cinta) dan persaudaraan kepada sesama muslim adalah syarat kesempurnaan Iman.
Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al Hujurat (49): 10)
Imam Al Qurthubi Rahimahullah mengatakan:
أي في الدين والحرمة لا في النسب، ولهذا قيل: أخوة الدين أثبت من أخوة النسب، فإن أخوة النسب تنقطع بمخالفة الدين،وأخوة الدين لا تنقطع بمخالفة النسب.
Yaitu persaudaraan dalam agama dan kehormatan bukan dalam nasab. Oleh karenanya dikatakan: persaudaraan karena agama lebih kuat dari pada persaudaraan nasab, maka persaudaraan nasab akan terputus dengan berbedanya agama, sedangkan persaudaraan karena agama tidaklah terputus dengan berbedanya nasab.” (Al Jami’ Li Ahkamil Quran, 16/322-323. Darul ‘Alim Al Kutub, Riyadh. Tahqiq: Hisyam Samir Al Bukhari)
Dalam ayat lain:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ (55) وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ (56)
“Sesungguhnya waliy kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). dan Barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, Maka Sesungguhnya pengikut (agama) Allah Itulah yang pasti menang.” (QS. Al Maaidah (5): 55-56)
Apakah waliy itu?
وَلِيُّ (Waliy) jamaknya adalah أَوْلِيَاء (Auliyaa’) yang artinya –sebagaimana kata Imam Ibnu Jarir Ath Thabari- adalah para penolong (Anshar) dan kekasih (Akhilla). (Jami’ul Bayan, 9/319)
Bisa juga bermakna teman dekat, yang mengurus urusan, dan yang mengusai (pemimpin). (Ahmad Warson, Kamus Al Munawwir, Hal. 1582)
Dalam Lisanul ‘Arab disebutkan bahwa Al Waliy adalah An Naashir (penolong/pembantu). (Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, 15/405)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdoa untuk Ali Radhilallahu ‘Anhu:
اللهم والِ مَنْ والاه
“Allahumma waali man waalaahu.” (HR. Ibnu Majah No. 116, Al Hakim No. 4576, Abu Ya’la No. 6423, 6951, Ibnu Hibban No. 6931, Ahmad No. 950, Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Tahqiq Musnad Ahmad mengatakan: shahih lighairih)
Syaikh Ibnu Manzhur mengatakan tentang makna terhadap doa ini:
أَي أَحْبِبْ مَنْ أَحَبَّه وانْصُرْ من نصره
“Yaitu cintailah orang yang mencintainya dan tolonglah orang yang menolongnya.” (Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, 15/405)
- Kadar mencintai saudara sesama muslim harus sama dengan mencintai diri sendiri. Bentuk aplikasi dari hal ini adalah adanya perasaan at takaaful (merasa senasib sepenanggungan) dengan saudaranya. Kita ikut sakit jika saudara kita disakiti, dan kita ikut berbahagia dengan kebahagiaan mereka.
Sebagian ulama menjelaskan bahwa secara zahir, hadits ini menuntut adanya kesetaraan antara mencintai diri sendiri dan saudara kita. Tetapi, kenyataannya itu tidak terjadi, kebanyakan manusia lebih mementingkan dirinya dibanding orang lain.
Berikut penjelas Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah:
وَقَالَ أَبُو الزِّنَاد بْن سِرَاج : ظَاهِر هَذَا الْحَدِيث طَلَب الْمُسَاوَاة ، وَحَقِيقَته تَسْتَلْزِم التَّفْضِيل ؛ لِأَنَّ كُلّ أَحَد يُحِبّ أَنْ يَكُون أَفْضَل مِنْ غَيْره ، فَإِذَا أَحَبَّ لِأَخِيهِ مِثْله فَقَدْ دَخَلَ فِي جُمْلَة الْمَفْضُولِينَ . قُلْت : أَقَرَّ الْقَاضِي عِيَاض هَذَا ، وَفِيهِ نَظَر . إِذْ الْمُرَاد الزَّجْر عَنْ هَذِهِ الْإِرَادَة ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُود الْحَثّ عَلَى التَّوَاضُع . فَلَا يُحِبّ أَنْ يَكُون أَفْضَل مِنْ غَيْره ، فَهُوَ مُسْتَلْزِم لِلْمُسَاوَاةِ .
Berkata Abu Az Zinad bin Siraj: “Zahir hadits ini menuntut adanya kesetaraan, namun kenyataannya dia lebih mementingkan dirinya, karena setiap manusia suka bila dia lebih utama dibanding lainnya, maka jika dia mencintai saudaranya seperti dirinya, maka dia merasa dirinya termasuk kelompok yang dibawah (mafdhul).” Aku (Ibnu Hajar) berkata: “Al Qadhi ‘Iyadh menyetujui ini, dan ini perlu ditinjau lagi. Karena ini bermaksud sebagai larangan terhadap keinginan tersebut; sebab maksudnya adalah anjuran untuk tawadhu’ (rendah hati). Maka janganlah seseorang lebih mencintai dirinya dibanding lainnya, dia mesti menyetarakannya.” (Fathul Bari, 1/58)
- Hadits ini secara tidak langsung mengajarkan kita untuk membersihkan hati kita dari berbagai macam penyakit hati terhadap saudara sesame muslim. Baik berupa iri, dengki, dan lainnya.
Al ‘Allamah Asy Syaikh Muhammad Ismail Al Anshari Rahimahullah mengatakan:
أن من خصال الإيمان أن يحب المرء لأخيه ما يحب لنفسه ، ويستلزم ذلك أن يبغض له ما يبغض لنفسه ، وبهذا تنتظم أحوال المعاش والمعاد ، ويجري الناس على مطابقة قوله تعالى : واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا ، وعماد ذلك وأساسه : السلامة من الأمراض القلبية ، كالحسد وغيره
Bahwasanya diantara tabiat keimanan adalah seorang mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri, demikian itu mengharuskan seseorang untuk membenci bagi saudaranya apa-apa yang dia juga benci, dengan inilah tatanan konisi kehidupan dunia dan akhirat, dan manusia terus menjalankan firmanNya Ta’ala: berpeganglah kalian dengan tali (agama) Allah semuanya dan jangan berpecah belah. Dan, berpegang dengan hal ini serta fondasinya: kebersihan hati dari penyakit-penyakit hati, seperti hasad, dan lainnya. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, pembahasan hadits No. 13)
Makna Kata dan Kalimat
عَنْ أَبِيْ حَمْزَة أَنَسِ بنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ خَادِمِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم
Dari Abu Hamzah Anas bin Malik Radhiallahu Ta’ala ‘Anhu, pelayan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Imam Adz Dzahabi bercerita tentangnya. Nama aslinya adalah Anas bin Malik bin An Nadhr bin Dhamdham bin Zaid bin Haram bin Jundub bin ‘Aamir bin Ghanam bin ‘Adi bin An Najar. Dia seorang mufti, qari’, muhaddits, riwayatul Islam, Al Anshariy, Al Khazrajiy, An Najaariy, Al Madiniy, pelayan Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam merupakan kerabat nabi, muridnya, pengikutnya, dan termasuk sahabat yang wafatnya terakhir.
Beliau mengambil ilmu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, juga dari Abu Bakar, Umar, Utsman, Usaid bin Hudhair, Abu Thalhah, Ibunya Ummu Sulaim binti Milhan, bibinya Ummu Haram, dan suami Ummu Haram yaitu ‘Ubadah bin Ash Shaamit, Abu Dzar, Malik bin Sha’sha’ah, Abu Hurairah, Fathimah anak Nabi, dan banyak lagi.
Dia menghasilkan tokoh-tokoh besar, di antaranya Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin, Asy Sya’bi, Abu Qilabah, Mak-hul, Umar bin Abdul ‘Aziz, Tsabit Al Banani, Bakr bin Abdullah Al Muzani, Az Zuhri, Qatadah, Ibnu Al Munkadir, Ishaq bin Abdullah bin Abu Thalhah, Abdul Aziz bin Shuhaib, Syu’aib bin Al Habhaab, ‘Amru bin ‘Aamir Al Kufiy, Sulaiman At Taimi, Hamid Ath Thawil, Yahya bin Sa’id Al Anshari, Katsir bin Salim, ‘Isa bin Thahman, dan ‘Isa bin Syaakir.
Pengarang At Tahdzib menyebutkan bahwa ada 200 orang yang meriwayatkan dari Anas. Anas bin Malik menceritakan, ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai di Madinah, beliau baru berusia sepuluh tahun, dan ketika Nabi wafat beliau berusia dua puluh tahun. Imam Adz Dzahabi menguatkan bahwa Anas bin Malik lahir sepuluh tahun sebelum hijrah.
Sejak Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai di Madinah hingga wafat, Anas selalu bersamanya dengan pertemanan yang begitu sempurna. Beliau ikut berjihad bersamanya, dan ikut pula berbai’at dI bawah pohon.
Al Anshari menceritakan bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar menuju Badr, Anas menjadi pelayannya saat masih kanak-kanak.
Manusia berbeda pendapat kapan tahun wafatnya. Ma’mar, dari Humaid, mengataka bahwa Anas wafat tahun 91 Hijriyah. Demikian juga menurut catatan Qatadah, Al Haitsam bin ‘Adi, Al Haitsam bin ‘Adi, Sa’id bin ‘Ufair, dan Abu ‘Ubaid.
Ma’an bin ‘Isa meriwayatkan, dari anak Anas bin Malik, bahwa beliau wafat tahum 92 Hijriyah. Yang lain mengatakan 93 Hijriyah, dan inilah yang benar. (Lengkapnya Siyar A’lamin Nubala, 3/395-406)
Selanjutnya:
عَن النبي صلى الله عليه وسلم قَالَ : Dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia bersabda
لاَ يُؤمِنُ أَحَدُكُمْ : Tidak beriman salah seorang kalian
Yaitu kurang sempurna iman kalian. Kalimat ini bukan bermakna sama sekali tidak ada iman, tetapi menunjukkan kurang sempurnannya iman. Makna ini sama dengan kalimat-kalimat serupa, seperti:
لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ، وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ
“Tidak beriman orang yang tidak menjaga amanah, dan tidak beragama orang yang tidak menepati janjinya.” (HR. Ahmad No. 12383, Syaikh Syu’aib Al Arnauth menghasankannya. Abu Ya’la No. 2863, Abdu bin Humaid No. 1198, Al Marwazi dalam Ta’zhim Qadr Ash Shalah No. 493, Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 2627, Ad Daulabi dalam Al Kuna wal Asma’ , 2/154. Al Kharaithi dalam Makarimul Akhlaq, hal. 27. Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil, 6/2221. Al Baghawi No. 38, beliau menghasankannya. Al Qudha’i dalam Musnad Asy Syihab No. 849,850. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 4354, Syaikh Al Albani menshahihkannya. Lihat Shahihul Jami’ No. 7179)
Al Hafizh Al Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Rahimahullah menjelaskan:
وَالْمُرَاد بِالنَّفْيِ كَمَال الْإِيمَان ، وَنَفْي اِسْم الشَّيْء - عَلَى مَعْنَى نَفْي الْكَمَال عَنْهُ - مُسْتَفِيض فِي كَلَامهمْ كَقَوْلِهِمْ : فُلَان لَيْسَ بِإِنْسَانٍ
Maksudnya adalah pengingkaran terhadap kesempurnan iman, pengingkaran terhadap nama sesuatu –hakikatnya adalah mengingkari kesempurnannya- sebagaimana tersebar ucapan mereka: si fulan bukanlah manusia. (Fathul Bari, 1/57)
Al Imam An Nawawi Rahimahullah juga mengatakan:
مَعْنَاهُ لَا يُؤْمِن الْإِيمَان التَّامّ ، وَإِلَّا فَأَصْلُ الْإِيمَان يَحْصُل لِمَنْ لَمْ يَكُنْ بِهَذِهِ الصِّفَة
Makna “tidak beriman” yang dimaksudkan ialah imannya tidak sempurna karena bila tidak dimaksudkan demikian, maka berarti seseorang tidak memiliki iman sama sekali bila tidak mempunyai sifat seperti itu. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/126)
Selanjutnya:
حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ : sampai dia mencintai saudaranya
Yaitu sampai dia juga mencintai saudara seaqidahnya, bukan semata-mata saudara senasab, semarga, sesuku, dan sebangsanya. Persaudaraan di sini adalah persaudaraan yang diikat oleh kalimat Laa Ilaha Illallah Muhammadarrasulullah. Bukan pula persaudaraan karena ikatan kerja, almamater, dan semua selain ikatan tali agama Allah Ta’ala.
Ringkasnya adalah adanya iman adalah sebab lahirnya Al Mahabbah (cinta), tidak ada iman dalam diri mereka maka tidak ada cinta kepada mereka.
Al Hafizh mengatakan:
إِذْ عَدَم الْإِيمَان لَيْسَ سَبَبًا لِلْمَحَبَّةِ .
“Karena ketiadaan iman bukanlah sebab untuk mencintai.” (Fathul Bari, 1/57)
Al Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah menjelaskan secara detil:
والمراد: يحب لأخيه من الطاعات والأشياء المباحات ويدل عليه ما جاء في رواية النسائي: "حتى يحب لأخيه من الخير ما يحب لنفسه". قال الشيخ أبو عمرو بن الصلاح، وهذا قد يعد من الصعب الممتنع وليس كذلك إذ معناه: لا يكمل إيمان أحدكم حتى يحب لأخيه في الإسلام ما يحب لنفسه، والقيام بذلك يحصل بأن يحب له حصول مثل ذلك من جهة لا يزاحمه فيها بحيث لا ينقص عليه شيء من النعمة، وذلك سهل قريب على القلب السليم، وإنما يعسر على القلب الدغل عافانا الله تعالى وإخواننا أجمعين.
Maksud kalimat “mencintai saudaranya” adalah mencintai hal-hal yang baik atau hal yang mubah. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat Imam An Nasa’i yang berbunyi : “Sampai dia mencintai kebaikan untuk saudaranya seperti mencintainya untuk dirinya sendiri”.
Abu ‘Amr bin Shalah berkata : “ Perbuatan semacam ini terkadang dianggap sulit sehingga tidak mungkin dilakukan seseorang. Sesungguhnya tidak demikian, karena yang dimaksudkan adalah bahwa iman seseorang tidak sempurna sampai ia mencintai kebaikan untuk saudaranya sesama muslim seperti mencintai kebaikan untuk dirinya sendiri. Hal tersebut dapat dilaksanakan dengan melakukan sesuatu hal yang baik bagi diriya, misalnya tidak berdesak-desakkan di tempat ramai atau tidak mau mengurangi kenikmatan yang menjadi milik orang lain. Hal-hal seperti itu sebenarnya mudah dilakukan oleh orang berhati bersih, tetapi sulit dilakukan orang yang berhati jahat”. Semoga Allah memaafkan kami dan semua saudara kami. (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 63. Maktabah Misykah)
Selanjutnya:
مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ : seperti dia mencintai dirinya sendiri
Yaitu seperti cintanya dia jika kebaikan juga dia peroleh. Maka, jika kita bahagia karena sesuatu hal, maka bahagiakanlah dia dengan hal itu. Jika kita tidak menyukai satu hal, maka jauhilah dia dari hal itu. Kita tidak suka dihina, dibohongi, difitnah, dan digunjing, maka saudara kita juga demikian, maka jangan menghina, membohongi, memfitnah, dan menggunjing mereka. Kita suka jika manusia tersenyum, sopan, ramah, menyapa, dermawan terhadap diri kita, maka demikian pula mereka juga menyukai hal-hal ini.
Dari An Nu’man bin Basyir Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam cinta, kasih sayang, simpati mereka bagaikan satu jasad, jika salah satu anggota tubuhnya ada yang mengeluh, maka bagian yang lain juga mengikutinya dengan rasa tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Muslim No. 2586, Ahmad No. 18373)
Al Imam Ibnu daqiq Al ‘Id Rahimahullah menjelaskan:
وقال بعض العلماء: في هذا الحديث من الفقه أن المؤمن مع المؤمن كالنفس الواحدة فينبغي أن يحب له ما يحب لنفسه من حيث إنهما نفس واحدة
Sebagian ulama berpendapat : “Hadits ini mengandung pemahaman bahwa seorang mukmin dengan mukmin lainnya laksana satu tubuh. Oleh karena itu, hendaknya ia mencintai saudaranya sendiri seperti dia mencintai apa yang ada pada dirinya, sebagai tanda bahwa keduanya adalah jiwa yang menyatu”. (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah Hal. 64)
Wallahu A’lam
Wa akhiru da’wana anil hamdulillahi rabbil ‘aalamin …
Oleh: Farid Nu’man Hasan