SYARAH HADITS ARBAIN KE 5 (Larangan Berbuat Bid’ah)
Teks Hadits:
عَنْ أُمِّ المُؤمِنِينَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللهُ عَنْهَا - قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : (مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ) رواه البخاري ومسلم، وفي رواية لمسلم (مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ)
Dari Ummul Mu’minin, Ummu Abdillah, ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata: “Barangsiapa yang menciptakan hal baru dalam urusan kami ini (yakni Islam) , berupa apa-apa yang bukan darinya, maka itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan dalam riwayat Muslim: “Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak kami kami perintahkan dalam agama kami maka itu tertolak.”
Takhrij Hadits:
Dalam hadits kelima ini ada dua teks (matan):
Matan pertama:
- Imam Al Bukhari dalam Shahihnya No. 2550
- Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1718
- Imam Abu Daud dalam Sunannya No. 4606
- Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 14
- Imam Ahmad dalam Musnadnya No.26033
- Imam Abu Ya’la dalam Musnadnya No. 4594
- Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 26, 27
- Imam Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil , 1/247
- Imam Ad Daruquthni dalam Sunannya No. 78
- Imam Al Baihaqi dalam Sunannya No. 20158, 20323
- Imam Al Lalika’i dalam Al I’tiqad, No. 190-191
- Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 103
Matan Kedua:
- Imam Al Bukhari dalam Shahihnya, Kitab Al I’tisham bil Kitab was Sunnah Bab Idza Ijtahada Al ‘Amil aw Al Hakim Fa Akhtha’a Khilafar Rasuli min Ghairi ‘Ilmin fahukmuhu Mardud. (lalu disebutkan hadits: man ‘amila ‘amalan .. dst tanpa menuliskan sanadnya (mu’alaq) dan dengan shighat jazm: Qaala Rasulullah ….)
- Imam Muslim dalam Shahihnya, juga pada No. 1718
- Imam Ad Daruquthni dalam Sunannya No. 81
- Imam Ahmad dalam Musnadnya No.26191
Syarah Hadits:
Secara umum hadits ini merupakan larangan untuk mengadakan hal-hal yang baru (muhdatsatul umuur) dalam agama. Bukan hanya tertolak amalan tersebut tetapi juga mendatangkan dosa bagi pelakunya dan diancam dengan neraka sebagaimana tertera dalam hadits shahih. Sebab, melakukan bid’ah merupakan penodaan dan penistaan terhadap agama yang sangat dilarang bahkan bisa membawa pelakunya pada dosa besar dan –bahkan- kufur. (Hal ini akan kami jelaskan secara khusus, Insya Allah)
Pada hadits ini juga terdapat kaidah yang sangat berharga dalam kehidupan peribadatan kaum muslimin. Beribadah –khususnya mahdhah- dalam Islam mesti didahului dasar hukumnya, baik berupa perintah dan contoh dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Paling tidak, pernah dilakukan para sahabat dan mereka tidak mengingkarinya.
Kaidah tersebut adalah;
فالأصل في العبادات البطلان حتى يقوم دليل على الأمر
“Maka, dasar dari semua ibadah adalah batal (tidak ada) sampai tegaknya dalil yang memerintahkannya.” (Imam Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, Hal. 344. 1968M – 1388H. Maktabah Al Kuliyat Al Azhariyah, Kairo – Mesir)
Kenapa demikian? Berkata Imam Rabbani Ibnul Qayyim Rahimahullah:
…. أن الله سبحانه لا يعبد إلا بما شرعه على ألسنة رسله فإن العبادة حقه على عباده
“Sesungguhnya Allah Subhanahu Tidaklah diibadati kecuali dengan apa-apa yang Dia syariatkan melalui lisan rasul-rasulnya. Karena, ibadah adalah hakNya atas hamba-hambanya.” (Ibid)
Makna Kalimat:
عَنْ أُمِّ المُؤمِنِينَ: Dari Ummul Mu’minin
Para isteri nabi disebut ummahatul mu’minin (ibu-ibunya orang beriman), jika satu orang maka ummul mu’minin. Sedangkan ‘Aisyah adalah salah satu dari isteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Penyebutan ini langsung datangnya dari Allah Ta’ala:
وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu bagi mereka …” (QS. Al Ahzab (33): 6)
Oleh karena itu, para isteri nabi tidak boleh dinikahi oleh siapa pun setelah wafat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebab kedudukan mereka dihadapan umat Islam sama seperti kedudukan ibu terhadap anak-anaknya. Namun, walaupun sebagai ‘ibu’, syariat juga melarang laki-laki berkhalwat dengan mereka, dan dilarang berbicara tanpa hijab, sebab mereka tidak sama dengan wanita lainnya.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلا مَعْرُوفًا
“Wahai isteri-isteri nabi, kalian tidaklah seperti wanita-wanita lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik (QS. Al Ahzab (33): 32)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:
وقوله: { وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ } أي: في الحرمة والاحترام، والإكرام والتوقير والإعظام، ولكن لا تجوز الخلوة بهن
“FirmanNya (dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu bagi mereka) yakni dalam hal kehormatan, penghormatan, pemuliaan, wibawa, dan pengagungan, tetapi tidak boleh berkhalwat dengan mereka ..” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/380-381. Dar Ath Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’)
Jika para isteri nabi adalah ibu bagi kaum mu’minin, maka kedudukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap umat Islam adalah seperti ayah bagi anak-anaknya. Hal ini Beliau katakan sendiri.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إنما أنا لكم بمنزلة الوالد أعَلِّمكم ….
“Sesungguhnya saya ini bagi kalian sama kedudukannya dengan seorang ayah yang mengajarkan kalian …dst.” (HR. Abu Daud No. 8, Syaikh Al Albani mengatakan: hasan. Lihat Shahihul Jami’ No. 2346)
Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan:
النبي أولى بالمؤمنين من أنفسهم وأزواجه أمهاتهم وهو أب لهم
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka, dan Beliau adalah ayah bagi mereka. “ yang seperti ini juga diriwayatkan dari Muawiyah, ‘Ikrimah, Mujahid, dan Al Hasan. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/381)
Selanjutnya :
أُمِّ عَبْدِ الله عَائِشَةَ ِ : Ummi Abdillah
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha diberikan kun-yah dengan Ummu Abdillah karena beberapa kemungkinan.
Pertama. Karena kedudukannya sebagai Ummul Mu’minin, sehingga dengan demikian ia juga ibu bagi hamba Allah (ummu abdillah).
Kedua. Bisa jadi beliau pernah punya anak dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetapi keguguran dan tidak hidup.
Ketiga. Digelarinya dengan Ummu Abdillah karena nama yang paling disukai Allah Ta’ala adalah Abdullah dan Abdurrahman.
Berkata Syaikh ‘Utsaimin Rahimahullah:
أنه ذكر بعض أهل العلم أنه ولد لها ولد سقط لم يعش، وذكر آخرون أنه لم يولد لها لا سقط ولا حي، ولكن هي تكنّت بهذه الكنية،لأن أحبُّ الأسماء إلى الله: عبد الله، وعبد الرّحمن
“Sesungguhnya sebagian ulama menyebutkan ‘Aisyah pernah memiliki anak yang lahirnya keguguran dan tidak hidup. Ulama lainnya menyebutkan dia tidak pernah punya anak, tidak pernah keguguran tidak pula hidup, tetapi digelarinya dia dengan gelar tersebut karena nama yang paling Allah Ta’ala sukai adalah Abdullah dan Abdurrahman.” (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 98. Mawqi’ Ruh Al Islam)
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, beliau adalah anak dari Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu, dan ibunya bernama Ummu Ruman binti ‘Amir bin ‘Uwaimir bin Abdu Syams bin ‘Itab bin Udzainah Al Kinaniyah.
Dia ikut hijrah bersama kedua orang tuanya. Dinikahi oleh nabi setelah wafatnya Khadijah binti Khuwailid Radhiallahu ‘Anha, beberapa bulan sebelum hijrah. Ada juga yang mengatakan dua tahun sebelum hijrah. Dia menjadi satu-satunya perawan yang dinikahi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan menjadi isteri yang paling disayangi nabi setelah wafatnya Khadijah.
Dia adalah seorang wanita cerdas dan mendalam ilmunya dalam hadits dan fiqih, dan menjadi rujukanpara ulama pada masa sahabat dan tabi’in. Dia berkulit putih dan cantik, dan disebut: Al Humaira (yang kemerah-merahan). Sebagian ulama mengatakan dia adalah isteri nabi di dunia dan akhirat. Imam Adz Dzahabi mengatakan Khadijah lebih utama darinya.
Usianya lebih muda dari Fathimah sebanyak delapan tahun. Beliau wafat pada malam 17 Ramadhan setelah witir. Pada tahun 56H sebagaimana kata Hasyim bin ‘Urwah, Ahmad, Syibab, dan lainnya. Ada pula yang mengatakan 58H seperti Abu Ubaidah Ma’mar bin Al Mutsanna dan Al Waqidi. Menurut ‘Urwah bin Zubeir beliau dikuburkan pada malam hari. Dishalatkan diantara oleh Abu Hurairah di Baqi’ dan juga dikuburkan di sana. (Selengkapnya, Siyar A’lamin Nubala, 2/135-201)
Diantara banyak keutamaan ‘Aisyah, kami paparkan beberapa saja.
Dari ‘Amr bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أي الناس أحب إليك؟ قال: (عائشة). فقلت: من الرجال؟ فقال: (أبوها). قلت: ثم من؟ قال: (عمر بن الخطاب).
“Siapakah manusia yang paling kau cintai?” Nabi menjawab: “ ‘Aisyah.” Aku berkata: “Dari kaum laki-laki?” beliau menjawab; “Ayahnya.” Aku bertanya: “lalu siapa?” Beliau menjawab: “Umar bin Al Khathab.” (HR. Bukhari No. 3462)
Diceritakan bahwa Malaikat Jibril berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:
هذه زوجتك في الدنيا والآخرة
“Ini adalah istrimu di dunia dan akhirat.” (HR. At Tirmidzi No. 3880, katanya: hasan gharib. Ibnu Hibban No. 7094, Musnad Ishaq No. 1237. Syaikh Al AlBani mengatakan: shahih. Misykah Al Mashabih No. 6182)
Hadits ini tidak mengingkari posisi isteri nabi yang lain, tetapi menunjukkan kelebihan ‘Aisyah dibanding mereka. Hal ini sama ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan bahwa ‘Aisyah adalah yang paling dicintainya, tidak berarti Beliau tidak mencintai isterinya yang lain. Namun, itu menunjukkan kedudukan ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha yang lebih utama.
Sebagian ulama Ahlus Sunnah – sebagaimana dikatakan Syaikh Umar Sulaiman Al Asyqar- mengatakan bahwa di akhirat nanti, wanita akan hidup bersama laki-laki terakhir yang menikahinya. Inilah diantara alasan kenapa para isteri nabi tidak menikah lagi setelah wafatnya Beliau, yakni agar Beliau menjadi suami terakhir di dunia dan akan menjadi pendamping lagi di akhirat. Wallahu A’lam
Selanjutnya:
مَنْ أَحْدَثَ : Barangsiapa yang menciptakan hal baru
Yaitu siapa saja dari kaum muslimin, dahulu, sekarang, dan akan datang, laki dan perempuan, orang awam dan cendikiawan, kaya dan miskin, dan seluruhnya. Kata man (barangsiapa) di sini adalah muthlaq (tidak terikat pada person atau kelompok tertentu saja).
Ahdatsa (mengada-ngada hal baru), yakni bid’ah. Secara bahasa (lughatan/Etimologis) bid’ah adalah Ma uhditsa ‘ala ghairi mitsal as sabiq (Sesuatu yang diciptakan tanpa adanya contoh yang mendahuluinya). (Al Munjid fil Lughah wal A’lam, Hal. 29. Al Maktabah Asy Syarqiyah)
Tertulis dalam Lisanul ‘Arab:
وفلان بِدْعٍ في هذا الأَمر أَي أَوّل لم يَسْبِقْه أَحد
“Fulan melakukan bid’ah dalam urusan ini artinya orang pertama yang mengerjakan yang belum ada seorang pun mendahuluinya.” (Syaikh Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, 8/6. Dar Shadir)
Salah satu Asma’ul Husna adalah Al Badii’ (Maha Mencipta). Allah Ta’ala berfirman:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Dialah (Allah) yang menciptakan langit dan bumi.” (QS. Al Baqarah (2): 117)
Selanjutnya:
فِيْ أَمْرِنَا هَذَا : dalam urusan kami ini (yakni Islam)
Ini menjadi batas yang penting, yakni bid’ah yang tercela adalah dalam urusan agama, bukan keduniaan. Sebab, dalam urusan dunia hukum dasarnya adalah boleh dan bukan bid’ah walau itu sebuah kreasi dan inovasi baru yang belum ada pada masa terbaik Islam, selama tidak ada dalil yang mengatakan haram. Sekali pun hal itu mau disebut bid’ah, itu adalah bid’ah secara makna bahasa saja, karena memang itu hal yang baru (muhdats).
Hal ini berdasarkan ayat:
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah: 29)
Berkata Imam Asy Syaukani dalam Fathul Qadirnya:
وفيه دليل على أن الأصل في الأشياء المخلوقة الإباحة حتى يقوم دليل يدل على النقل عن هذا الأصل، ولا فرق بين الحيوانات وغيرها مما ينتفع به من غير ضرر، وفي التأكيد بقوله: "جميعاً" أقوى دلالة على هذا
Di dalamnya ada dalil bahwa hukum asal dari segala sesuatu ciptaan adalah mubah sampai tegaknya dalil yang menunjukkan perubahan hukum asal ini. Tidak ada perbedaan antara hewan-hewan atau selainnya, dari apa-apa yang dengannya membawa manfaat, bukan kerusakan. Hal ini dikuatkan lagi dengan firmanNya: (jami’an) “Semua”, yang memberikan korelasi yang lebih kuat dalam hal ini. “ (Fathul Qadir, 1/64. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Ada pun dari As Sunnah:
الحلال ما احل الله في كتابه والحرام ما حرم الله في كتابه وما سكت عنه وهو مما عفو عنه (رواه الترمذى)
“Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitabNya, yang haram adalah yang Allah haramkan dalam kitabNya, dan apa saja yang di diamkanNya, maka itu termasuk yang dimaafkan.” (HR. At Tirmidzi No. 1726, katanya: hadits gharib. Syaikh Al Albani mengatakan: hasan. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1726)
Ada kaidah lain, yang diterangkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman At Tamimi Rahimahullah sebagai berikut:
أن كل شيء سكت عنه الشارع فهو عفو لا يحل لأحد أن يحرمه أو يوجبه أو يستحبه أو يكرهه
“Sesungguhnya segala sesuatu yang didiamkan oleh Syari’ (pembuat Syariat) maka hal itu dimaafkan, dan tidak boleh bagi seorang pun untuk mengharamkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan, atau memakruhkan.” (Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, Arba’u Qawaid Taduru al Ahkam ‘Alaiha, Hal. 3. Maktabah Al Misykah)
Ada pun dalam perkara agama tidak boleh ada inovasi dan kreasi yang tidak ada dalam Al Quran, As Sunnah, Ijma, dan qiyas. Pada sisi inilah bid’ah adalah tercela.
Secara istilah syariat (terminologis) bid’ah adalah:
الحَدَثُ في الدين بعدَ الإِكْمَالِ، أو ما اسْتُحْدِثَ بعد النبيِّ، صلى الله عليه وسلم، من الأَهْواءِ والأَعْمالِ
“Hal yang baru dalam agama setelah kesempurnaannya, atau apa-apa yang baru diada-adakan setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang berasal dari hawa nafsu dan perbuatan.” (Syaikh Fairuzabadi, Al Qamus Al Muhith, 2/252. Mawqi’ Al Warraq)
Ibnu Manzhur mengatakan:
إِنما يريد ما خالَف أُصولَ الشريعة ولم يوافق السنة
“Sesungguhnya yang dimaksud hanyalah sesuatu yang bertentangan dengan dasar-dasar syariat dan sesuatu yang tidak sesuai dengan sunah.” (Syaikh Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, 8/6. Dar Shadir)
Beliau juga mengatakan:
وقيل أَراد بِدْعَةً حَدثت لم تكون في عهد النبي صلى الله عليه وسلم
“Dikatakan, yang dimaksud dengan bid’ah adalah hal baru yang belum terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Ibid, 13/331)
Senada dengan Ibnu Manzhur, Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam mengatakan:
الْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِي عَصْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Bid’ah adalah melakukan perbuatan yang belum terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam, 2/380. Mawqi’ Al Islam)
Jadi, bid’ah menurut syariat adalah ajaran dan amalan baru dalam peribadatan yang tidak ada contohnya pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan bertentangan dasar-dasar agama baik Al Quran, As Sunnah, dan ijma’. Inilah bid’ah sesat yang dimaksud oleh hadits nabi: Kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat). Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
فَلَيْسَ لِأَحَدِ أَنْ يَعْبُدَ اللَّهَ إلَّا بِمَا شَرَعَهُ رَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ وَاجِبٍ وَمُسْتَحَبٍّ لَا يَعْبُدُهُ بِالْأُمُورِ الْمُبْتَدَعَةِ
“Maka, tidak boleh bagi seorang pun menyembah Allah kecuali dengan apa-apa yang telah disyariatkan oleh RasulNya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, baik berupa kewajiban atau sunah, serta tidak menyembahNya dengan perkara-perkara yang baru (Al Umur Al Mubtadi’ah) .” (Majmu’ Fatawa, 1/12. Mawqi’ Al Islam)
Selanjutnya:
مَا لَيْسَ مِنْهُ : apa-apa yang bukan darinya
Yakni amaliah yang bukan dari agama lalu diklaim sebagai ajaran agama. Ketahuilah, apa-apa yang dahulu bukan bagian dari agama, maka selamanya dia bukanlah agama, dan tak seorang pun berhak memasukkannya ke dalam ajaran agama. Dan, apa-apa yang dahulu merupakan bagian dari agama, maka selamanya dia adalah bagian dari agama, dan tak seorang pun berhak menghapuskannya dari agama. Umat terdahulu binasa lantaran mereka telah merubah ajaran agama dan kitab suci mereka, baik menambah atau mengurangi.
Berkata Imam Malik bin Anas Radhiallahu ‘Anhu:
من ابتدع فى الإسلام بدعة يراها حسنة فقد زعم أن محمدا صلى الله عليه وسلم خان الرسالة ، لأن اللّه قال {اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتى ورضيت لكم الإسلام دينا} المائدة : 3
“Barangsiapa yang berbuat bid’ah dalam Islam, dan dia memandangnya itu hasanah (baik), maka dia telah menuduh bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengkhianati risalah, karena Allah Ta’ala telah berfirman: “Hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan dan aku sempurnakan nikmatKu atas kamu, dan Aku ridha Islam sebagai agamamu.” (Fatawa Darul Ifta Al Mishriyah, 10/177)
Selanjutnya:
فَهُوَ رَدٌّ : maka itu tertolak
Yakni perbuatan bid’ah tersebut tidak akan diterima, tidak diberi pahala, justru itu merupakan dosa dan kesesatan karena dia telah mencemari dan merusak kemurnian agama.
Berkata Syakhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:
وَكُلُّ بِدْعَةٍ لَيْسَتْ وَاجِبَةً وَلَا مُسْتَحَبَّةً فَهِيَ بِدْعَةٌ سَيِّئَةٌ وَهِيَ ضَلَالَةٌ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ وَمَنْ قَالَ فِي بَعْضِ الْبِدَعِ إنَّهَا بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ فَإِنَّمَا ذَلِكَ إذَا قَامَ دَلِيلٌ شَرْعِيٌّ أَنَّهَا مُسْتَحَبَّةٌ فَأَمَّا مَا لَيْسَ بِمُسْتَحَبِّ وَلَا وَاجِبٍ فَلَا يَقُولُ أَحَدٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ إنَّهَا مِنْ الْحَسَنَاتِ الَّتِي يُتَقَرَّبُ بِهَا إلَى اللَّهِ . وَمَنْ تَقَرَّبَ إلَى اللَّهِ بِمَا لَيْسَ مِنْ الْحَسَنَاتِ الْمَأْمُورِ بِهَا أَمْرَ إيجَابٍ وَلَا اسْتِحْبَابٍ فَهُوَ ضَالٌّ مُتَّبِعٌ لِلشَّيْطَانِ وَسَبِيلُهُ مِنْ سَبِيلِ الشَّيْطَانِ كَمَا { قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ : خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا وَخَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَشِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ : هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ وَهَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ : { وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
“Setiap bid’ah yang tidak ada kewajiban dan sunahnya, maka itu adalah bid’ah yang jelek, dan itu adalah sesat menurut kesepakatan kaum muslimin. Barangsiapa yang mengatakan bahwa pada sebagian bid’ah ada bid’ah hasanah. Sedangkan jika perbuatan itu terdapat dalil syar’i, maka itu adalah sunah. Adapun apa-apa yang tidak ada sunahnya atau kewajibannya, maka tidak ada satu pun kaum muslimin yang mengatakan itu adalah kebaikan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Barangsiapa yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan kebaikan yang tidak diperintahkan, baik perkara wajib atau sunah, maka dia sesat dan telah mengikuti syetan, dan jalannya adalah jalan syetan, sebagaimana yang dikatakan Abdullah bin Mas’ud: “Rasulullah membuat garis kepada kami dengan garis yang lurus. Lalu dia membuat garis dibagian kanan dan kirinya, lalu dia bersabda: ‘Inilah jalan Allah, sedangkan ini adalah jalan-jalan lain yang setiap jalan itu ada syetan yang senantiasa mengajak kepadanya,’, lalu Beliau mebaca ayat: “Dan sesungguhnya inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah, dan jangan ikuti jalan-jalan lain yang mencerai-beraikanmu dari jalanNya.” (Majmu’ Fatawa, 1/162)
Wallahu A'lam
Oleh: Farid Nu’ man Hasan
http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/192
عَنْ أُمِّ المُؤمِنِينَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللهُ عَنْهَا - قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : (مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ) رواه البخاري ومسلم، وفي رواية لمسلم (مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ)
Dari Ummul Mu’minin, Ummu Abdillah, ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata: “Barangsiapa yang menciptakan hal baru dalam urusan kami ini (yakni Islam) , berupa apa-apa yang bukan darinya, maka itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan dalam riwayat Muslim: “Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak kami kami perintahkan dalam agama kami maka itu tertolak.”
Takhrij Hadits:
Dalam hadits kelima ini ada dua teks (matan):
Matan pertama:
- Imam Al Bukhari dalam Shahihnya No. 2550
- Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1718
- Imam Abu Daud dalam Sunannya No. 4606
- Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 14
- Imam Ahmad dalam Musnadnya No.26033
- Imam Abu Ya’la dalam Musnadnya No. 4594
- Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 26, 27
- Imam Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil , 1/247
- Imam Ad Daruquthni dalam Sunannya No. 78
- Imam Al Baihaqi dalam Sunannya No. 20158, 20323
- Imam Al Lalika’i dalam Al I’tiqad, No. 190-191
- Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 103
Matan Kedua:
- Imam Al Bukhari dalam Shahihnya, Kitab Al I’tisham bil Kitab was Sunnah Bab Idza Ijtahada Al ‘Amil aw Al Hakim Fa Akhtha’a Khilafar Rasuli min Ghairi ‘Ilmin fahukmuhu Mardud. (lalu disebutkan hadits: man ‘amila ‘amalan .. dst tanpa menuliskan sanadnya (mu’alaq) dan dengan shighat jazm: Qaala Rasulullah ….)
- Imam Muslim dalam Shahihnya, juga pada No. 1718
- Imam Ad Daruquthni dalam Sunannya No. 81
- Imam Ahmad dalam Musnadnya No.26191
Syarah Hadits:
Secara umum hadits ini merupakan larangan untuk mengadakan hal-hal yang baru (muhdatsatul umuur) dalam agama. Bukan hanya tertolak amalan tersebut tetapi juga mendatangkan dosa bagi pelakunya dan diancam dengan neraka sebagaimana tertera dalam hadits shahih. Sebab, melakukan bid’ah merupakan penodaan dan penistaan terhadap agama yang sangat dilarang bahkan bisa membawa pelakunya pada dosa besar dan –bahkan- kufur. (Hal ini akan kami jelaskan secara khusus, Insya Allah)
Pada hadits ini juga terdapat kaidah yang sangat berharga dalam kehidupan peribadatan kaum muslimin. Beribadah –khususnya mahdhah- dalam Islam mesti didahului dasar hukumnya, baik berupa perintah dan contoh dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Paling tidak, pernah dilakukan para sahabat dan mereka tidak mengingkarinya.
Kaidah tersebut adalah;
فالأصل في العبادات البطلان حتى يقوم دليل على الأمر
“Maka, dasar dari semua ibadah adalah batal (tidak ada) sampai tegaknya dalil yang memerintahkannya.” (Imam Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, Hal. 344. 1968M – 1388H. Maktabah Al Kuliyat Al Azhariyah, Kairo – Mesir)
Kenapa demikian? Berkata Imam Rabbani Ibnul Qayyim Rahimahullah:
…. أن الله سبحانه لا يعبد إلا بما شرعه على ألسنة رسله فإن العبادة حقه على عباده
“Sesungguhnya Allah Subhanahu Tidaklah diibadati kecuali dengan apa-apa yang Dia syariatkan melalui lisan rasul-rasulnya. Karena, ibadah adalah hakNya atas hamba-hambanya.” (Ibid)
Makna Kalimat:
عَنْ أُمِّ المُؤمِنِينَ: Dari Ummul Mu’minin
Para isteri nabi disebut ummahatul mu’minin (ibu-ibunya orang beriman), jika satu orang maka ummul mu’minin. Sedangkan ‘Aisyah adalah salah satu dari isteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Penyebutan ini langsung datangnya dari Allah Ta’ala:
وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu bagi mereka …” (QS. Al Ahzab (33): 6)
Oleh karena itu, para isteri nabi tidak boleh dinikahi oleh siapa pun setelah wafat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebab kedudukan mereka dihadapan umat Islam sama seperti kedudukan ibu terhadap anak-anaknya. Namun, walaupun sebagai ‘ibu’, syariat juga melarang laki-laki berkhalwat dengan mereka, dan dilarang berbicara tanpa hijab, sebab mereka tidak sama dengan wanita lainnya.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلا مَعْرُوفًا
“Wahai isteri-isteri nabi, kalian tidaklah seperti wanita-wanita lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik (QS. Al Ahzab (33): 32)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:
وقوله: { وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ } أي: في الحرمة والاحترام، والإكرام والتوقير والإعظام، ولكن لا تجوز الخلوة بهن
“FirmanNya (dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu bagi mereka) yakni dalam hal kehormatan, penghormatan, pemuliaan, wibawa, dan pengagungan, tetapi tidak boleh berkhalwat dengan mereka ..” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/380-381. Dar Ath Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’)
Jika para isteri nabi adalah ibu bagi kaum mu’minin, maka kedudukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap umat Islam adalah seperti ayah bagi anak-anaknya. Hal ini Beliau katakan sendiri.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إنما أنا لكم بمنزلة الوالد أعَلِّمكم ….
“Sesungguhnya saya ini bagi kalian sama kedudukannya dengan seorang ayah yang mengajarkan kalian …dst.” (HR. Abu Daud No. 8, Syaikh Al Albani mengatakan: hasan. Lihat Shahihul Jami’ No. 2346)
Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan:
النبي أولى بالمؤمنين من أنفسهم وأزواجه أمهاتهم وهو أب لهم
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka, dan Beliau adalah ayah bagi mereka. “ yang seperti ini juga diriwayatkan dari Muawiyah, ‘Ikrimah, Mujahid, dan Al Hasan. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/381)
Selanjutnya :
أُمِّ عَبْدِ الله عَائِشَةَ ِ : Ummi Abdillah
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha diberikan kun-yah dengan Ummu Abdillah karena beberapa kemungkinan.
Pertama. Karena kedudukannya sebagai Ummul Mu’minin, sehingga dengan demikian ia juga ibu bagi hamba Allah (ummu abdillah).
Kedua. Bisa jadi beliau pernah punya anak dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetapi keguguran dan tidak hidup.
Ketiga. Digelarinya dengan Ummu Abdillah karena nama yang paling disukai Allah Ta’ala adalah Abdullah dan Abdurrahman.
Berkata Syaikh ‘Utsaimin Rahimahullah:
أنه ذكر بعض أهل العلم أنه ولد لها ولد سقط لم يعش، وذكر آخرون أنه لم يولد لها لا سقط ولا حي، ولكن هي تكنّت بهذه الكنية،لأن أحبُّ الأسماء إلى الله: عبد الله، وعبد الرّحمن
“Sesungguhnya sebagian ulama menyebutkan ‘Aisyah pernah memiliki anak yang lahirnya keguguran dan tidak hidup. Ulama lainnya menyebutkan dia tidak pernah punya anak, tidak pernah keguguran tidak pula hidup, tetapi digelarinya dia dengan gelar tersebut karena nama yang paling Allah Ta’ala sukai adalah Abdullah dan Abdurrahman.” (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 98. Mawqi’ Ruh Al Islam)
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, beliau adalah anak dari Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu, dan ibunya bernama Ummu Ruman binti ‘Amir bin ‘Uwaimir bin Abdu Syams bin ‘Itab bin Udzainah Al Kinaniyah.
Dia ikut hijrah bersama kedua orang tuanya. Dinikahi oleh nabi setelah wafatnya Khadijah binti Khuwailid Radhiallahu ‘Anha, beberapa bulan sebelum hijrah. Ada juga yang mengatakan dua tahun sebelum hijrah. Dia menjadi satu-satunya perawan yang dinikahi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan menjadi isteri yang paling disayangi nabi setelah wafatnya Khadijah.
Dia adalah seorang wanita cerdas dan mendalam ilmunya dalam hadits dan fiqih, dan menjadi rujukanpara ulama pada masa sahabat dan tabi’in. Dia berkulit putih dan cantik, dan disebut: Al Humaira (yang kemerah-merahan). Sebagian ulama mengatakan dia adalah isteri nabi di dunia dan akhirat. Imam Adz Dzahabi mengatakan Khadijah lebih utama darinya.
Usianya lebih muda dari Fathimah sebanyak delapan tahun. Beliau wafat pada malam 17 Ramadhan setelah witir. Pada tahun 56H sebagaimana kata Hasyim bin ‘Urwah, Ahmad, Syibab, dan lainnya. Ada pula yang mengatakan 58H seperti Abu Ubaidah Ma’mar bin Al Mutsanna dan Al Waqidi. Menurut ‘Urwah bin Zubeir beliau dikuburkan pada malam hari. Dishalatkan diantara oleh Abu Hurairah di Baqi’ dan juga dikuburkan di sana. (Selengkapnya, Siyar A’lamin Nubala, 2/135-201)
Diantara banyak keutamaan ‘Aisyah, kami paparkan beberapa saja.
Dari ‘Amr bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أي الناس أحب إليك؟ قال: (عائشة). فقلت: من الرجال؟ فقال: (أبوها). قلت: ثم من؟ قال: (عمر بن الخطاب).
“Siapakah manusia yang paling kau cintai?” Nabi menjawab: “ ‘Aisyah.” Aku berkata: “Dari kaum laki-laki?” beliau menjawab; “Ayahnya.” Aku bertanya: “lalu siapa?” Beliau menjawab: “Umar bin Al Khathab.” (HR. Bukhari No. 3462)
Diceritakan bahwa Malaikat Jibril berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:
هذه زوجتك في الدنيا والآخرة
“Ini adalah istrimu di dunia dan akhirat.” (HR. At Tirmidzi No. 3880, katanya: hasan gharib. Ibnu Hibban No. 7094, Musnad Ishaq No. 1237. Syaikh Al AlBani mengatakan: shahih. Misykah Al Mashabih No. 6182)
Hadits ini tidak mengingkari posisi isteri nabi yang lain, tetapi menunjukkan kelebihan ‘Aisyah dibanding mereka. Hal ini sama ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan bahwa ‘Aisyah adalah yang paling dicintainya, tidak berarti Beliau tidak mencintai isterinya yang lain. Namun, itu menunjukkan kedudukan ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha yang lebih utama.
Sebagian ulama Ahlus Sunnah – sebagaimana dikatakan Syaikh Umar Sulaiman Al Asyqar- mengatakan bahwa di akhirat nanti, wanita akan hidup bersama laki-laki terakhir yang menikahinya. Inilah diantara alasan kenapa para isteri nabi tidak menikah lagi setelah wafatnya Beliau, yakni agar Beliau menjadi suami terakhir di dunia dan akan menjadi pendamping lagi di akhirat. Wallahu A’lam
Selanjutnya:
مَنْ أَحْدَثَ : Barangsiapa yang menciptakan hal baru
Yaitu siapa saja dari kaum muslimin, dahulu, sekarang, dan akan datang, laki dan perempuan, orang awam dan cendikiawan, kaya dan miskin, dan seluruhnya. Kata man (barangsiapa) di sini adalah muthlaq (tidak terikat pada person atau kelompok tertentu saja).
Ahdatsa (mengada-ngada hal baru), yakni bid’ah. Secara bahasa (lughatan/Etimologis) bid’ah adalah Ma uhditsa ‘ala ghairi mitsal as sabiq (Sesuatu yang diciptakan tanpa adanya contoh yang mendahuluinya). (Al Munjid fil Lughah wal A’lam, Hal. 29. Al Maktabah Asy Syarqiyah)
Tertulis dalam Lisanul ‘Arab:
وفلان بِدْعٍ في هذا الأَمر أَي أَوّل لم يَسْبِقْه أَحد
“Fulan melakukan bid’ah dalam urusan ini artinya orang pertama yang mengerjakan yang belum ada seorang pun mendahuluinya.” (Syaikh Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, 8/6. Dar Shadir)
Salah satu Asma’ul Husna adalah Al Badii’ (Maha Mencipta). Allah Ta’ala berfirman:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Dialah (Allah) yang menciptakan langit dan bumi.” (QS. Al Baqarah (2): 117)
Selanjutnya:
فِيْ أَمْرِنَا هَذَا : dalam urusan kami ini (yakni Islam)
Ini menjadi batas yang penting, yakni bid’ah yang tercela adalah dalam urusan agama, bukan keduniaan. Sebab, dalam urusan dunia hukum dasarnya adalah boleh dan bukan bid’ah walau itu sebuah kreasi dan inovasi baru yang belum ada pada masa terbaik Islam, selama tidak ada dalil yang mengatakan haram. Sekali pun hal itu mau disebut bid’ah, itu adalah bid’ah secara makna bahasa saja, karena memang itu hal yang baru (muhdats).
Hal ini berdasarkan ayat:
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah: 29)
Berkata Imam Asy Syaukani dalam Fathul Qadirnya:
وفيه دليل على أن الأصل في الأشياء المخلوقة الإباحة حتى يقوم دليل يدل على النقل عن هذا الأصل، ولا فرق بين الحيوانات وغيرها مما ينتفع به من غير ضرر، وفي التأكيد بقوله: "جميعاً" أقوى دلالة على هذا
Di dalamnya ada dalil bahwa hukum asal dari segala sesuatu ciptaan adalah mubah sampai tegaknya dalil yang menunjukkan perubahan hukum asal ini. Tidak ada perbedaan antara hewan-hewan atau selainnya, dari apa-apa yang dengannya membawa manfaat, bukan kerusakan. Hal ini dikuatkan lagi dengan firmanNya: (jami’an) “Semua”, yang memberikan korelasi yang lebih kuat dalam hal ini. “ (Fathul Qadir, 1/64. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Ada pun dari As Sunnah:
الحلال ما احل الله في كتابه والحرام ما حرم الله في كتابه وما سكت عنه وهو مما عفو عنه (رواه الترمذى)
“Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitabNya, yang haram adalah yang Allah haramkan dalam kitabNya, dan apa saja yang di diamkanNya, maka itu termasuk yang dimaafkan.” (HR. At Tirmidzi No. 1726, katanya: hadits gharib. Syaikh Al Albani mengatakan: hasan. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1726)
Ada kaidah lain, yang diterangkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman At Tamimi Rahimahullah sebagai berikut:
أن كل شيء سكت عنه الشارع فهو عفو لا يحل لأحد أن يحرمه أو يوجبه أو يستحبه أو يكرهه
“Sesungguhnya segala sesuatu yang didiamkan oleh Syari’ (pembuat Syariat) maka hal itu dimaafkan, dan tidak boleh bagi seorang pun untuk mengharamkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan, atau memakruhkan.” (Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, Arba’u Qawaid Taduru al Ahkam ‘Alaiha, Hal. 3. Maktabah Al Misykah)
Ada pun dalam perkara agama tidak boleh ada inovasi dan kreasi yang tidak ada dalam Al Quran, As Sunnah, Ijma, dan qiyas. Pada sisi inilah bid’ah adalah tercela.
Secara istilah syariat (terminologis) bid’ah adalah:
الحَدَثُ في الدين بعدَ الإِكْمَالِ، أو ما اسْتُحْدِثَ بعد النبيِّ، صلى الله عليه وسلم، من الأَهْواءِ والأَعْمالِ
“Hal yang baru dalam agama setelah kesempurnaannya, atau apa-apa yang baru diada-adakan setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang berasal dari hawa nafsu dan perbuatan.” (Syaikh Fairuzabadi, Al Qamus Al Muhith, 2/252. Mawqi’ Al Warraq)
Ibnu Manzhur mengatakan:
إِنما يريد ما خالَف أُصولَ الشريعة ولم يوافق السنة
“Sesungguhnya yang dimaksud hanyalah sesuatu yang bertentangan dengan dasar-dasar syariat dan sesuatu yang tidak sesuai dengan sunah.” (Syaikh Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, 8/6. Dar Shadir)
Beliau juga mengatakan:
وقيل أَراد بِدْعَةً حَدثت لم تكون في عهد النبي صلى الله عليه وسلم
“Dikatakan, yang dimaksud dengan bid’ah adalah hal baru yang belum terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Ibid, 13/331)
Senada dengan Ibnu Manzhur, Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam mengatakan:
الْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِي عَصْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Bid’ah adalah melakukan perbuatan yang belum terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam, 2/380. Mawqi’ Al Islam)
Jadi, bid’ah menurut syariat adalah ajaran dan amalan baru dalam peribadatan yang tidak ada contohnya pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan bertentangan dasar-dasar agama baik Al Quran, As Sunnah, dan ijma’. Inilah bid’ah sesat yang dimaksud oleh hadits nabi: Kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat). Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
فَلَيْسَ لِأَحَدِ أَنْ يَعْبُدَ اللَّهَ إلَّا بِمَا شَرَعَهُ رَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ وَاجِبٍ وَمُسْتَحَبٍّ لَا يَعْبُدُهُ بِالْأُمُورِ الْمُبْتَدَعَةِ
“Maka, tidak boleh bagi seorang pun menyembah Allah kecuali dengan apa-apa yang telah disyariatkan oleh RasulNya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, baik berupa kewajiban atau sunah, serta tidak menyembahNya dengan perkara-perkara yang baru (Al Umur Al Mubtadi’ah) .” (Majmu’ Fatawa, 1/12. Mawqi’ Al Islam)
Selanjutnya:
مَا لَيْسَ مِنْهُ : apa-apa yang bukan darinya
Yakni amaliah yang bukan dari agama lalu diklaim sebagai ajaran agama. Ketahuilah, apa-apa yang dahulu bukan bagian dari agama, maka selamanya dia bukanlah agama, dan tak seorang pun berhak memasukkannya ke dalam ajaran agama. Dan, apa-apa yang dahulu merupakan bagian dari agama, maka selamanya dia adalah bagian dari agama, dan tak seorang pun berhak menghapuskannya dari agama. Umat terdahulu binasa lantaran mereka telah merubah ajaran agama dan kitab suci mereka, baik menambah atau mengurangi.
Berkata Imam Malik bin Anas Radhiallahu ‘Anhu:
من ابتدع فى الإسلام بدعة يراها حسنة فقد زعم أن محمدا صلى الله عليه وسلم خان الرسالة ، لأن اللّه قال {اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتى ورضيت لكم الإسلام دينا} المائدة : 3
“Barangsiapa yang berbuat bid’ah dalam Islam, dan dia memandangnya itu hasanah (baik), maka dia telah menuduh bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengkhianati risalah, karena Allah Ta’ala telah berfirman: “Hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan dan aku sempurnakan nikmatKu atas kamu, dan Aku ridha Islam sebagai agamamu.” (Fatawa Darul Ifta Al Mishriyah, 10/177)
Selanjutnya:
فَهُوَ رَدٌّ : maka itu tertolak
Yakni perbuatan bid’ah tersebut tidak akan diterima, tidak diberi pahala, justru itu merupakan dosa dan kesesatan karena dia telah mencemari dan merusak kemurnian agama.
Berkata Syakhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:
وَكُلُّ بِدْعَةٍ لَيْسَتْ وَاجِبَةً وَلَا مُسْتَحَبَّةً فَهِيَ بِدْعَةٌ سَيِّئَةٌ وَهِيَ ضَلَالَةٌ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ وَمَنْ قَالَ فِي بَعْضِ الْبِدَعِ إنَّهَا بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ فَإِنَّمَا ذَلِكَ إذَا قَامَ دَلِيلٌ شَرْعِيٌّ أَنَّهَا مُسْتَحَبَّةٌ فَأَمَّا مَا لَيْسَ بِمُسْتَحَبِّ وَلَا وَاجِبٍ فَلَا يَقُولُ أَحَدٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ إنَّهَا مِنْ الْحَسَنَاتِ الَّتِي يُتَقَرَّبُ بِهَا إلَى اللَّهِ . وَمَنْ تَقَرَّبَ إلَى اللَّهِ بِمَا لَيْسَ مِنْ الْحَسَنَاتِ الْمَأْمُورِ بِهَا أَمْرَ إيجَابٍ وَلَا اسْتِحْبَابٍ فَهُوَ ضَالٌّ مُتَّبِعٌ لِلشَّيْطَانِ وَسَبِيلُهُ مِنْ سَبِيلِ الشَّيْطَانِ كَمَا { قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ : خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا وَخَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَشِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ : هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ وَهَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ : { وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
“Setiap bid’ah yang tidak ada kewajiban dan sunahnya, maka itu adalah bid’ah yang jelek, dan itu adalah sesat menurut kesepakatan kaum muslimin. Barangsiapa yang mengatakan bahwa pada sebagian bid’ah ada bid’ah hasanah. Sedangkan jika perbuatan itu terdapat dalil syar’i, maka itu adalah sunah. Adapun apa-apa yang tidak ada sunahnya atau kewajibannya, maka tidak ada satu pun kaum muslimin yang mengatakan itu adalah kebaikan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Barangsiapa yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan kebaikan yang tidak diperintahkan, baik perkara wajib atau sunah, maka dia sesat dan telah mengikuti syetan, dan jalannya adalah jalan syetan, sebagaimana yang dikatakan Abdullah bin Mas’ud: “Rasulullah membuat garis kepada kami dengan garis yang lurus. Lalu dia membuat garis dibagian kanan dan kirinya, lalu dia bersabda: ‘Inilah jalan Allah, sedangkan ini adalah jalan-jalan lain yang setiap jalan itu ada syetan yang senantiasa mengajak kepadanya,’, lalu Beliau mebaca ayat: “Dan sesungguhnya inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah, dan jangan ikuti jalan-jalan lain yang mencerai-beraikanmu dari jalanNya.” (Majmu’ Fatawa, 1/162)
Wallahu A'lam
Oleh: Farid Nu’ man Hasan
http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/192
Syarah Hadits Al Arbain An Nawawiyah (hadits No. 4)
Matan Hadits:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ المَصْدُوْقُ: إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمَاً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ،ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ،ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ المَلَكُ فَيَنفُخُ فِيْهِ الرٌّوْحَ،وَيَؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ. فَوَالله الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنََّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلاذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَايَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: telah berkata kepada kami Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan dia adalah orang yang jujur lagi dipercaya:
“Sesungguhnya tiap kalian dikumpulkan ciptaannya dalam rahim ibunya, selama 40 hari berupa nutfah (air mani yang kental), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama itu juga, lalu menjadi mudghah (segumpal daging) selama itu, kemudian diutus kepadanya malaikat untuk meniupkannya ruh, dan dia diperintahkan mencatat empat kata yang telah ditentukan: rezekinya, ajalnya, amalnya, kesulitan atau kebahagiannya.
Demi zat yang tiada Ilah kecuali Dia, sesungguhnya setiap kalian ada yang melaksanakan perbuatan ahli surga sehingga jarak antara dirinya dan surga hanyalah sehasta, namun dia telah didahului oleh al kitab (ketetapan/takdir), maka dia mengerjakan perbuatan ahli neraka, lalu dia masuk ke dalamnya. Di antara kalian ada yang mengerjakan perbuatan ahlin naar (penduduk neraka), sehingga jarak antara dirinya dan neraka cuma sehasta, namun dia telah didahului oleh taqdirnya, lalu dia mengerjakan perbuatannya ahli surga, lalu dia memasukinya. ”
Takhrij Hadits:
- Imam Bukhari dalam Shahihnya No. 3036, 3151, 6221, 7016
- Imam Muslim dalam Shahihnya No. 2643
- Imam At Tirmidzi dalam As Sunannya No. 2220
- Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 15198, 21069
- Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 3624
Makna Hadits Secara Global:
Pertama. Hadits ini menegaskan kembali tentang posisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di mata para sahabatnya yang mulia, dan seharusnya itu juga menjadi sikap kita kepadanya. Penyebutan Ash Shaadiqul Mashduuq (yang jujur lagi dipercaya) kepadanya merupakan tingkat tsiqah (percaya) yang sangat tinggi kepadanya; bahwa seluruh apa-apa yang datang darinya secara shahih adalah kebenaran, risalah yang dibawanya adalah benar, janjinya adalah benar, ancamannya adalah benar, berita darinya adalah benar, dan berguraunya adalah benar bukan dusta.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى (4)
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu berasal dari hawa nafsunya, Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm (53): 3-4)
Al Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:
إنما يقول ما أمر به، يبلغه إلى الناس كاملا موفَّرًا من غير زيادة ولا نقصان، كما رواه الإمام أحمد.
“Sesungguhnya dia hanyalah mengatakan apa-apa yang diperintahkan, menyampaikannya kepada manusia secara sempurna dan lengkap, tanpa ditambah dan dikurangi, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 7/443. Daar Ath Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’)
Abdullah bin Amr Radhiallahu ‘Anhuma, berkata:
كنت أكتب كل شيء أسمعه من رسول الله صلى الله عليه وسلم أريد حفظه، فنهتني قريش فقالوا: إنك تكتب كل شيء تسمعه من رسول الله، ورسول الله صلى الله عليه وسلم بشر، يتكلم في الغضب. فأمسكتُ عن الكتاب، فذكرت ذلك لرسول الله صلى الله عليه وسلم، فقال: "اكتب، فوالذي نفسي بيده، ما خرج مني إلا حق".
“Dahulu saya menulis semua hal yang saya dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saya hendak menghafalnya, lalu orang Quraisy melarang saya. Mereka mengatakan: “Engkau menulis semua yang kau dengar dari Rasulullah padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah manusia, dia bisa bicara dalam keadaan marah.” Maka saya pun menahan diri untuk menulisnya, lalu saya ceritakan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia berkata: “Tulislah! Demi yang jiwaku ada ditanganNya, tidaklah keluar dariku melainkan kebenaran.” (HR. Ahmad No. 6510, Syaikh Syu’aib Al Arna’uth mengatakan; sanadnya shahih, perawinya adalah tsiqat (kredibel), termasuk perawi shaikhan (Bukhari-Muslim), kecuali Al Walid bin Abdullah, dia adalah Ibnu Abi Mughits Al ‘Abdari, dia adalah perawi yang digunakan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, dan dia tsiqah. Lihat Musnad Ahmad dengan tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh ‘Adil Mursyid, dll. Cet. 1. 1421H-2001M. Muasasah Ar Risalah)
Kedua. Hadits ini menceritakan tahapan penciptaan manusia dalam rahim ibunya dan telah dibenarkan oleh ilmu pengetahuan modern, bahwa demikianlah kejadiannya. Hal ini juga difirmankan dalam Al Quran:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ (12) ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ (13) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ (14)
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al Mu’minun (23): 12-14)
Ketiga. Hadits ini menyebutkan bahwa ditiupnya ruh ke janin yang berada dalam kandungan seorang wanita adalah pada hari ke 120 (kandungan 4 bulan). Hal ini berimplikasi kepada berbagai permasalahan fiqih seperti hukum aborsi; apakah boleh aborsi ketika kandungan sebelum 4 bulan, karena ruh belum ada, atau kah memang aborsi adalah haram secara mutlak disemua usia kandungan? Lalu, keguguran sebelum 4 bulan apakah darah yang keluar sudah termasuk nifas? Lalu bagaimana menyikapi bayi yang keguguran sebelum usia kandungan 4 bulan, apakah juga disikapi sebagaimana bayi yang telah memiliki ruh; seperti dimandikan, dikafankan, dan dishalatkan? Dan sebagainya. (Insya Allah akan dibahas pada bagiannya nanti)
Keempat. Pada hadits ini disebutkan adanya malaikat yang bertugas meniupkan ruh, sebagaimana telah masyhur pula adanya malaikat yang bertugas mencabut ruh itu kembali. Keduanya hanya bisa melakukannya dengan izin Allah Ta’ala. Hanya saja memang nama kedua malaikat tersebut tidak disebutkan, baik dalam Al Quran dan As Sunnah. Malaikat pencabut nyawa dalam Islam biasa disebut malaikat maut, sedangkan istilah malaikat Izrail tidaklah kita dapatkan dalam Al Quran dan As Sunnah Ash Shahihah, melainkan itu istilah Israiliyat (berasal dari Bani Israel) yang menyusup ke dalam Islam.
Dalam hadits cukup panjang (saya kutip bagian depan saja), dari Abu Hurairah secara mauquf, katanya:
أُرْسِلَ مَلَكُ الْمَوْتِ إِلَى مُوسَى، فَلَمَّا جَاءَهُ، صَكَّهُ فَفَقَأَ عَيْنَهُ، فَرَجَعَ إِلَى رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَقَالَ: أَرْسَلْتَنِي إِلَى عَبْدٍ لَا يُرِيدُ الْمَوْتَ قَالَ: فَرَدَّ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِ عَيْنَه ُ…
“Malaikat maut diutus kepada Nabi Musa, ketika malaikat itu mendatanginya, Nabi Musa memukul dan mencungkil mata malaikat maut tersebut, maka kembalilah dia kepada Rabbnya ‘Azza wa Jalla, dia berkata; “Engkau utus aku kepada seorang hamba yang tidak menghendaki kematian.” Dia (Abu Hurairah) berkata: “Maka Allah ‘Azza wa Jalla kembalikan mata malaikat tersebut. …. dst” (HR. Bukhari No. 1339, 3407. Muslim No. 157, 2372. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah No. 599, Al Baihaqi dalam Al Asma wash Shifat, hal. 492. Ahmad No. 7646)
Kelima. Hadits ini juga menyebutkan takdir Allah Ta’ala bagi setiap hamba-hambanya berupa rezeki, ajal, amal, dan bahagia serta kesulitannya. Setiap manusia tidak dapat mengelak rencana Allah Ta’ala terhadap mereka. Allah Ta’ala berfirman;
قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal." (QS. At Taubah 99): 51)
Hendaknya seorang muslim mengimaninya, baik takdir yang buruk atau yang baik, semuanya merupakan ketentuan Allah Ta’ala, yang hikmahnya selalu baik bagi hamba-hambaNya. Dengan mengimani hal ini secara baik dan benar, maka seorang muslim tidak akan pernah gundah, lemah, khawatir, dan takut terhadap kematian dan kemiskinan di dunia, sebab semuanya telah ada alamat dan waktunya masing-masing yang tidak bisa dipercepat atau ditunda jika memang sudah waktunya, dan tidak bisa dielak jika memang itu bagian dari kehidupan kita. Di sinilah iman dan sabar kita diuji.
Keenam. Hadis ini juga menyebutkan salah satu contoh takdir Allah ‘Azza wa Jalla kepada hambaNya; yaitu takdir Allah Ta’ala atas amal manusia. Telah banyak contoh yang membuktikan kebenaran hadits ini, bahwa banyak manusia yang berubah pada akhir hayatnya, berupa yang baik menjadi buruk, atau yang buruk yang menjadi baik, namun kebanyakan yang terjadi adalah perubahan dari amal-amal yang buruk kepada amal-amal yang baik di akhir hidupnya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Dan, Allah yang menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu lakukan.” (QS. Ash Shafat (37): 96)
Mungkin ada pertanyaan yang menggelitik kita, jika Allah Ta’ala telah menentukan akhir hidup manusia seperti apa, sehat sakitnya, susah senangnya, dan lainnya, lalu buat apa manusia diperintahkan untuk beribadah dan bekerja?
Pertanyaan ini telah dijawab oleh Al ‘Allamah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah sebagai berikut:
أن أهل السنة والجماعة قرروا هذا وجعلوا عقيدتهم ومذهبهم أن الإنسان يفعل باختياره وانه يقول كما يريد ولكن أرادته واختياره تابعان لإرادة الله تبارك وتعالى ومشيئته ثم يؤمن أهل السنة والجماعة بان مشيئة الله تعالى تابعة لحكمته وانه سبحانه و تعالى ليس مشيئته مطلقة مجردة ولكنها مشيئة تابعة لحكمته لان من أسماء الله تعالى الحكيم والحكيم هو الحاكم المحكم الذي يحكم الأشياء كوناً وشرعاً ويحكمها عملاً صنعاً والله تعالى بحكمته يقدر الهداية لمن أرادها لمن يعلم سبحانه وتعالى انه يريد الحق وان قلبه على الاستقامة ويقدر الضلالة لمن لم يكن كذلك لمن إذا عرض عليه الإسلام يضيف صدره كأنما يصعد في السماء فان حكمة الله تبارك وتعالى تأبى أن يكون هذا من المهتدين آلا أن يجدد الله له عزماً ويقلب أرادته إلى إرادة أخرى والله تعالى على كل شي قدير ولكن حكمة الله تأبى إلا أن تكون الأسباب مربوطة بها مسبباتها .
“Bahwasanya Ahlus Sunnah wal Jama’ah menegaskan ini dan menjadikan aqidah dan madzhab mereka bahwa manusia berbuat karena pilihannya, dia berkata sebagaimana yang diinginkan, tetapi kehendak dan pilihannya itu mengikuti (dibawah cakupan, pen) kehendak Allah Tabaraka wa Ta’ala dan masyi’ah(kemauan)Nya. Kemudian, Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwa kehendak Allah Ta’ala mengikuti hikmahNya, dan sesungguhnya kehendakNya Subhanahu wa Ta’ala bukanlah kehendak semata-mata, melainkan kehendak yang disebabkan oleh hikmahNya, karena di antara nama-nama Allah Ta’ala adalah Al Hakiim (Maha Bijaksana). Dialah Raja yang memberikan keputusan segala sesuatu baik alam dan syariat, dan memutuskan pula baginya amal dan perbuatan. Dan, Allah Ta’ala dengan hikmahNya menentukan hidayah bagi siapa yang menghendaki hidayah itu dan bagi siapa yang mengetahui Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan bahwa dia menghendaki kebenaran dan hatinya pun tetap istiqamah. Dia juga menetapkan kesesatan bagi siapa yang tidak berbuat demikian, bagi siapa yang berpaling dari Islam Dia menyempitkan dadanya seakan dia naik ke langit. Maka, sesungguhnya hikmah Allah Ta’ala tidak hendaki hal ini terjadi bagi orang-orang yang mendapat petunjuk. Ketahuilah, baginya Allah akan memperbarui tekadnya dan merubah kehendaknya dari yang satu kepada kehendak lainnya. Allah Ta’ala Maha berkuasa atas segala sesuatu, tetapi hikmah dari Allah tidak menghendaki kecuali telah terjadi sebab-sebab terkait yang mendatangkan akibatnya.” (Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Risalah Fil Qadha wal Qadr, Hal. 20-21. 1423H. Darul Wathan)
Ketujuh. Hadits ini juga menunjukkan bahwa penghujung hidup seseorang sangat menentukan kehidupan akhiratnya. Oleh karena itu sangat baik bagi seorang muslim berdoa kepada Allah Ta’ala untuk wafat dalam keadaan husnul khatimah (akhir yang baik), agar Dia menghapus keburukan yang akan menimpa kita, dan menetapkan kebaikan bagi kita, sehingga masa depan akhirat kita juga baik.
Allah Ta’ala berfirman:
يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh). (QS. Ar Ra’du (13) : 39)
Manshur berkata:
سألت مجاهدًا فقلت: أرأيت دعاءَ أحدنا يقول:"اللهم إن كان اسمي في السعداء فأثبته فيهم، وإن كان في الأشقياء فامحه واجعله في السعداء"، فقال: حَسنٌ .
Aku bertanya kepada Mujahid: “Apa pendapat anda tentang doa dari salah seorang kami yang berkata: “Ya Allah jika namaku ada pada deretan orang-orang bahagia maka tetapkanlah bersama mereka, dan jika berada pada deretan orang-orang sulit maka hapuslah dan jadikanlah bersama orang-orang bahagia.” Mujahid menjawab: “Bagus.” (Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ Al Bayan fi Ta’wilil Quran, Juz. 16, Hal. 480. Cet. 1. 1420H-2000M. Tahqiq: Syaikh Ahmad Syakir. Muasasah Ar Risalah)
Kaum salaf –seperti Syaqiq dan Abu Wa-il- juga berdoa:
اللهم إن كنت كتبتنا أشقياء، فامحنَا واكتبنا سعداء، وإن كنت كتبتنا سعداء فأثبتنا، فإنك تمحو ما تشاءُ وتثبت وعندَك أمّ الكتاب
“Ya Allah, jika Engkau menetapkan kami bersama orang-orang yang sengsara, maka hapuskanlah kami, dan tulislah kami bersama orang-orang yang bahagia. Jika Engkau tetapkan kami bersama orang-orang yang bahagia, maka tetapkanlah, sesungguhnya Engkau menghapus apa-apa yang Kau kehendaki, dan menetapkannya, dan pada sisiMu terdapat Ummul Kitab.” (Ibid)
Diriwayatkan dari Abu Utsman Al Hindi, bahwa Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu berdoa –dan dia sedang thawaf di baitullah sambil menangis:
اللهم إن كنت كتبت علي شِقْوة أو ذنبًا فامحه، فإنك تمحو ما تشاء وتثبت . وعندك أم الكتاب، فاجعله سعادةً ومغفرةً
“Ya Allah, jika Engkau menetakan atasku kesulitan atau dosa maka hapuslah, sesungguhnya Engkau menghapuskan apa-apa yang Engkau kehendaki dan menetakannya. Dan pada sisiMu ada Ummul Kitab, maka jadikanlah dia menjadi bahagia dan ampunan.” (Ibid)
Sementara Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu berdoa:
اللهم إن كنت كتبتني في [أهل] الشقاء فامحني وأثبتني في أهل السعادة
“Ya Allah, jika Engkau tetapkan aku pada kelompok orang yang malang, maka hapuskanlah aku, dan tetapkanlah aku pada golongan orang yang bahagia.” (Ibid, Juz. 16, Hal. 483)
Apa yang dilakukan para salaf, bukanlah tanpa dalil, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri menegaskan:
لَا يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلَّا الدُّعَاءُ وَلَا يَزِيدُ فِي الْعُمْرِ إِلَّا الْبِرُّ
“Tidaklah ketetapan Allah dapat ditolak kecuali dengan doa, dan tidaklah menambahkan usia kecuali kebaikan.” (HR. At Tirmidzi no. 2139, katanya: hasan gharib. Syaikh Al Albani mengatakan hasan, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2139. Lihat Juga Shahihul Jami’ No. 7687. Lihat juga Shahih At Targhib wat Tarhib No.1639, 2489. Lihat juga As Silsilah Ash Shahihah No. 154)
Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun mengajarkan doa sebagai berikut: Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمْ الْمَوْتَ مِنْ ضُرٍّ أَصَابَهُ فَإِنْ كَانَ لَا بُدَّ فَاعِلًا فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتْ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتْ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي
“Janganlah kalian mengharapkan kematian lantaran buruknya musibah yang menimpa, sekali pun ingin melakukannya, maka berdoalah: “Allahumma Ahyini Maa Kaanat Al Hayatu Khairan Liy, wa Tawaffani Idza Kaanat Al Wafaatu Khairan Liy (Ya Allah, hidupkanlah aku selama kehidupan itu adalah baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika memang wafat itu baik bagiku).” (HR. Bukhari No. 5990, Muslim No. 2680, At Tirmidzi No. 970, Ibnu Hibban No. 968, Abu Ya’ala No. 3799, 3891, Ahmad No. 13579 )
Ya, Ahlus Sunnah meyakini bahwa doa dapat merubah ketetapan Allah Ta’ala pada hambaNya.
Makna Kalimat Dalam Hadits:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:
Siapakah dia?
Dia adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghaafil bin Hubaib bin Syamakh bin Faar bin Makhzum bin Shahilah bin Kaahil bin Al Harits bin Tamim bin Sa’ad bin Hudzail bin Mudrikah bin ilyas bin Mudhar bin Nazar.
Dia seorang Imam yang ilmunya luas (Al Imam Al Hibr), ahli fiqihnya umat ini (Faqihul Ummah), Abu Abdirrahman Al Hudzali Al Makki Al Muhajiri Al Badri, sekutu Bani Zahrah.
Dia termasuk As Sabiqunal Awalin (yang pertama-tama masuk Islam), termasuk ulama yang paling mulia, mengikuti perang Badar, ikut hijrah dua kali, termasuk yang mendapatkan an nafl dalam perang Yarmuk, berbudi sangat baik, dan banyak meriwayatkan ilmu.
Banyak yang meriwayatkan hadits darinya; Abu Musa, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, ‘Imran bin Hushain, Anas, Jabir, Abu Umamah, sekelompok sahabat, dan Al Qamah, Al Aswad, Masruq, ‘Ubaidah, Abu Wailah, Qais bin Abi Hazim, Zar bin Hubais, Ar Rabi’ bin Khatsaim, Thariq bin Syihab, Zaid bin Wahab, kedua anaknya Abu Ubaidah dan Abdurrahman, Abul Ahwash ‘Auf bin Malik, Abu ‘Amru Asy Syaibani, dan banyak yang lainnya. Sedangkan yang meriwayatkan darinya tentang bacaan Al Quran adalah Abdurrahman As Sulami dan ‘Ubaidah bin Nadhilah, dan sekelompok ulama.
Qais bin Hazim menceritakan bahwa Abdullah Mas’ud seseorang yang tipis dagingnya (kurus). Dari Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah bahwa Abdullah bin Mas’ud adalah seorang yang kurus dan pendek , kulitnya sawo matang yang gelap, dan dia tidak merubah ubannya (tidak mewarnainya).
Beliau meninggal di Madinah, dikubur di Baqi’ pada tahun 32H. (Selengkapnya lihat Siyar A’lamin Nubala, 1/461-500. 1413H - 1993M. Cet. 9. Muasasah Ar Risalah)
Ada pun tentang keluasannya dalam ilmu tafsir, dapat tergambar dari riwayat berikut. Diriwayatkan dari Masruq, bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata: “Demi Allah, tidaklah satu ayat diturunkan melainkan akulah yang paling tahu, tentang siapa ayat tersebut? di mana ayat tersebut turun? Seandainya aku tahu ada orang lain yang lebih tahu dariku, maka aku akan datangi dia.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/7-8. Darul Thayibah lin Nasyr wat Tauzi’. Lihat juga As Siyar, 1/470-471. Juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya No. 5002)
Selanjutnya:
حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ المَصْدُوْقُ
Bercerita kepada kami Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan dia adalah Ash Shaadiqul Mashduuq
Ash Shaadiq artinya: المخبر بالحق – pembawa berita yang benar.
Al Mashduuq artinya: الذي صدقه الله وعده – orang yang janjinya telah dibenarkan oleh Allah. (Syakh Muhammad Ismail Al Anshari, At Tuhfah Ar Rabbaniyah, No. 4)
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah memberikan penjelasan:
قوله: "وهو الصادق المصدوق" أي الصادق في قوله المصدوق فيما يأتيه من الوحي الكريم.
“Sabdanya: dan dia adalah Ash Shaadiqul Mashduuq artinya Ash Shaadiq (yang benar) dalam ucapannya, dan Al Mashduuq (yang dibenarkan) pada apa-apa yang datang kepadanya berupa wahyu yang mulia. “ (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 37. Maktabah Al Misykah. Lihat juga Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/489. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri Rahimahullah mengomentari dalam Tuhfah Al Ahwadzi:
ومعناه الصادق في جميع أفعاله حتى قبل النبوة لما كان مشهوراً فيما بينهم بمحمد الأمين، المصدوق في جميع ما أتاه من الوحي الكريم
“Maknanya adalah, dia adalah Ash Shaadiq (yang benar) pada semua perilakunya sampai-sampai sebelum kenabiannya, hal ini telah masyhur di antara mereka ketika beliau diberikan pujian dengan sebutan Al Amin. Sedangkan dia Al Mashduuq (yang dibenarkan) pada semua apa-apa yang dibawanya berupa wahyu yang mulia (Al Quran).” (Syaikh Abul ‘Ala Muhammad bin Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi Bisyarhi Sunan At Tirmidzi, Juz. 6, Hal. 341. Cet. 2, 1963M – 1383H. Tahqiq: Abdul Wahhab bin Abdul Lathif. Al Maktabah As Salafiyah, Madinah )
Kebenaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah diisyaratkan dalam berfirmanNya:
وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الأحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا
“Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata : "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita." Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (QS. Al Ahzab (33): 22)
Selanjutnya:
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمَاً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ
“Sesungguhnya tiap kalian dikumpulkan ciptaannya dalam rahim ibunya, selama 40 hari berupa nutfah (air mani yang kental), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama itu juga”
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah mengutip dari sebagian ulama tentang makna kalimat tersebut:
أن المني يقع في الرحم متفرقا فيجمعه الله تعالى في محل الولادة من الرحم في هذه المدة، وقد جاء عن ابن مسعود في تفسير ذلك "إن النطفة إذا وقعت في الرحم فأراد الله تعالى أن يخلق منها بشراً طارت في بشر المرأة تحت كل ظفر وشعر ثم تمكث أربعين ليلة ثم تصير دماً في الرحم فذلك جمعها وهو وقت كونها علقة"
“Maksudnya yaitu Air mani yang memancar kedalam rahim, lalu Allah pertemukan dalam rahim tersebut selama rentang waktu tersebut (40 hari). Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa dia menafsirkan kalimat diatas dengan menyatakan, “Nutfah yang memancar kedalam rahim bila Allah menghendaki untuk dijadikan seorang manusia, maka nutfah tersebut mengalir pada seluruh pembuluh darah perempuan sampai kepada kuku dan rambut kepalanya, kemudian tinggal selama 40 hari, lalu berubah menjadi darah yang tinggal di dalam rahim. Itulah yang dimaksud dengan “Allah mengumpulkannya” Setelah 40 hari Nutfah menjadi ‘Alaqah (segumpal darah).” (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 38. Maktabah Al Misykah)
Selanjutnya:
ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ
“Kemudian menjadi Mudhghah (segumpal daging) selama itu juga.”
Mudghah adalah قطعة لحم- sepotong daging. Mitsla Dzalik adalah waktunya yakni 40 hari juga. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 4)
Selanjutnya::
ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ المَلَكُ
“ … kemudian diutus kepadanya malaikat ..”
Berkata Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah:
يعني الملك الموكل بالرحم.
“yaitu malaikat yang mungurus rahim.” (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Arbain An Nawawiyah, Hal. 38. Maktabah Al Miykat)
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
ظَاهِره أَنَّ إِرْسَاله يَكُون بَعْد مِائَة وَعِشْرِينَ يَوْمًا
“Menurut zhahirnya, bahwa diutusnya malaikat terjadi setelah 120 hari.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/489)
Selanjutnya:
فَيَنفُخُ فِيْهِ الرٌّوْحَ
“ … untuk meniupkannya ruh ..”
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
…لِأَنَّ نَفْخ الرُّوح لَا يَكُون إِلَّا بَعْد تَمَام صُورَته . وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّ نَفْخ الرُّوح لَا يَكُون إِلَّا بَعْد أَرْبَعَة أَشْهُر
“ .. karena sesungguhnya tidaklah ruh ditiup melainkan setelah sempurnanya bentuk. Para ulama telah sepakat bahwa ditiupnya ruh tidaklah terjadi kecuali setelah empat bulan.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/489. Mawqi’ Ruh Al Islam. Lihat juga Imam As Suyuthi, Ad Dibaj ‘Ala Shahih Muslim, 6/6. Cet. 1. 1996M-1416H. Dar Ibnu ‘Affan Lin Nasyr wat Tauzi’. Lihat juga Imam Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 5/455. Maktabah Al Misykah)
Al Imam Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah menceritakan dalam kitab Ikmal Al Mu’allim:
Dalam hadits Ibnu Mas’ud pada riwayat yang lain, beliau bersabda: “jika nuthfah sudah berada selama 43 hari –dalam riwayat lain 42 hari – maka Allah utus malaikat untuk menentukan bentuknya.” Hingga sabdanya: “Wahai Rabb, laki-laki atau perempuan?” Beliau juga bersabda dalam hadits Hudzaifah bin Usaid: “Malaikat datang kepada nuthfah setelah dia tinggal di rahim selama 40 hari atau 45 hari, lalu malaikat berkata: “Wahai Rabb, sengsara atau bahagia?” Dalam riwayat lain: “Bahwa nuthfah berada dalam rahim selama 40 malam, lalau malaikat mendekatinya dan berkata: Wahai Rabb, laki-laki atau perempuan?” dalam riwayat lain: “40 hari lebih sedikit.” Dalam hadits Anas: “Sesungguhnya Allah telah mengutus malaikat yang mengurus rahim, lalu dia berkata: “Wahai Rabb-nya Nuthfah, wahai Rabbnya ‘alaqah, wahai Rabbnya mudghah!” maka ketika dia hendak menyelesaikannya, dia berkata; “Wahai Rabb, laki-laki atau perempuan? Sengsara atau bahagia? Bagaimana rezekinya? Bagaimana ajalnya?” (Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmal Al Mu’allim Syarh Shahih Muslim, 8/58. Maktabah Al Misykah)
Beliau melanjutkan: “Di berbagai sumber hadits ini berbeda-beda lafaznya, dan tak ada perbedaan bahwa ditiupkannya ruh adalah setelah 120 hari, demikian itu setelah sempurnanya empat bulan, dan memasuki bulan kelima, adanya hal ini dapat diketahui dengan dilihat/kesaksian.” (Ibid. Ucapan ini Juga dikutip oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 11/485. Darul Fikr)
Yaitu bisa diketahui dengan gerakan janin yang dapat dirasakan si ibu dan diketahui oleh mata yang melihat gerakan gelombang pada perut. Berkata Imam Al ‘Aini Rahimahullah:
وقال الراغب وذكر الأطباء أن الولد إذا كان ذكرا يتحرك بعد ثلاثة أشهر وإذا كان أنثى بعد أربعة أشهر
Berkata Ar Raghib: para dokter menyebutkan bahwa bayi, jika laki-laki maka bergerak setelah tiga bulan, dan jika dia perempuan bergerak setelah empat bulan.” (‘Umdatul Qari, 5/455)
Persoalan Fiqih Yang Terkait Usia Kehamilan 4 Bulan
1. Aborsi (menggugurkan kandungan secara sengaja)
Ini pun terbagi atas dua bagian:
a. Aborsi Usia Kandungan 4 bulan lebih dan seterusnya.
Seluruh fuqaha sepakat, bahwa jika aborsi dilakukan pada usia kandungan 4 bulan secara sempurna, atau di atas usia 4 bulan, maka haram. Hal ini sama saja dia telah menghilangkan makhluk bernyawa (yakni manusia) lainnya (baca: pembunuhan). Sebab, usia kandungan 4 bulan sudah menjadi makhluk bernyawa, bukan sekedar lagi gumpalan darah atau daging sebagaimana penjelasan di atas. Dalilnya adalah;
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu? (QS. Al An’am (6): 151).
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu? (QS. Al Isra` (17): 31).
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan (alasan) yang benar (menurut syara’)? (QS. Al Isra` (17): 33).
Dan bila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh? (QS. At Takwir (81): 8-9)
Berkata Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah:
اتفق العلماء على تحريم الإجهاض دون عذر بعد الشهر الرابع أي بعد 120 يوماً من بدء الحمل،ويعد ذلك جريمة موجبة للغُرَّة ، لأنه إزهاق نفس وقتل إنسان.
“Ulama sepakat atas haramnya aborsi tanpa ‘udzur setelah kandungan 4 bulan yaitu 120 hari sejak awal kehamilan, dan mengancam hal itu sebagai kejahatan pembunuhan terhadap permulaan kehidupan, karena dia sudah berbentuk jiwa dan termasuk membunuh manusia.” (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/196. Maktabah Al Misykah)
Tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Quwaitiyah:
وَلاَ يُعْلَمُ خِلاَفٌ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي تَحْرِيمِ الإِْجْهَاضِ بَعْدَ نَفْخِ الرُّوحِ . فَقَدْ نَصُّوا عَلَى أَنَّهُ إِذَا نُفِخَتْ فِي الْجَنِينِ الرُّوحُ حُرِّمَ الإِْجْهَاضُ إِجْمَاعًا . وَقَالُوا إِنَّهُ قَتْلٌ لَهُ ، بِلاَ خِلاَفٍ
“Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat diantara para fuqaha tentang haramnya aborsi setelah ditiupkan ruh. Dasar mereka adalah jika telah ditiupkan ruh terhadap janin maka ijma’ telah mengharamkan aborsi tersebut. Mereka mengatakan hal itu adalah pembunuhan terhadapnya, tak ada perbedaan pendapat.” (Al Mausu’ah, 2/57)
Tetapi jika jika kandungan tersebut –setelah dianalisa dokter terpercaya- membawa bahaya yang jelas bagi si ibu dan mengancam kehidupannya, atau jika dipaksakan maka membawa kematian bagi ibu dan bayi sekaligus, maka para ulama membolehkan menggugurkan bayi tersebut, baik sebelum atau sesudah 4 bulan. Hal ini sesuai kaidah: Al Irtikab Akhafu Dharurain (memilih/menjalankan mudharat yang paling ringan di antara dua mudharat). Maka, nyawa si ibu lebih layak diselamatkan dibanding janin. Dalilnya adalah:
Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya? (QS. Al Maidah (5) : 32)
Tetapi kalangan Hanafiyah tetap melarang aborsi di atas 4 bulan walau pun ada udzur seperti itu. Imam Ibnu ‘Abidin Rahimahullah, salah satu tokoh madzhab Hanafi, mengatakan:
وَلَوْ كَانَ حَيًّا لَا يَجُوزُ تَقْطِيعُهُ لِأَنَّ مَوْتَ الْأُمِّ بِهِ مَوْهُومٌ ، فَلَا يَجُوزُ قَتْلُ آدَمِيٍّ حَيٍّ لِأَمْرٍ مَوْهُومٍ
“Seandainya janin itu hidup, tidak boleh menggugurkannya, sebab kematian si ibu karenanya masih wahm (belum jelas/ samar), maka tidak boleh membunuh manusia hidup karena alasan yang masih samar.” (Raddul Muhtar, 6/384)
b. Aborsi Usia Kandungan Kurang Dari 4 Bulan
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, bahkan dalam satu madzhab pun juga memiliki pandangan yang beragam. Dan, yang menjadi pokok masalahnya adalah karena sebelum 4 bulan, belum ada nyawa (ruh), atau keadaan baru cikal bakal kehidupan. Nah, apakah menggugurkannya sama halnya dengan membunuh bayi bernyawa?
Berikut pandangan madzhab dalam Ahlus Sunnah:
- Hanafiyah
Mereka berpendapat boleh, karena selama usia kandungan belum 120 hari, maka belum bisa disebut manusia. Mereka memaknai penciptaan manusia adalah ketika mulai ditiupkannya ruh. (Lihat Imam Kamaluddin bin Al Hummam, Fathul Qadiir, 7/296. Mawqi’ Al Islam. Lihat juga Imam Ibnu ‘Abidin, Raddul Muhtar, 4/424. Mawqi’ Al Islam)
Disebutkan juga menurut sebagian kalangan Hanafiah: hukumnya makruh jika tanpa udzur, dan jika aborsi dilakukan tetap berdosa. Udzur tersebut adalah: terputusnya air susu ibu setelah melahirkan sedangkan ayahnya tidak mampu membayar wanita lain yang bisa menyusuinya, dan khawatir dia tertimpa malapetaka. (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/197)
- Malikiyah
Padangan yang mu’tamad (resmi/bisa dijadikan pegangan) dalam madzhab Malikiyah adalah Haram mengeluarkan mani yang sudah tertanam di rahim, walaupun sebelum 40 hari. Ada pun jika sudah ditiupkan ruh (4 bulan) maka haram secara ijma’. (Imam Abul Barakat Sayyidi Ahmad Ad Dardir, Asy Syarhul Kabir, 2/266-267. Ihya’ul Kutub Al ‘Arabiyah. Lihat juga Imam Muhammad bin ‘Arafah Ad Dasuqi, Hasyiah ‘ala Asy Syarhil Kabir, 8/78) Tapi, Imam Ad Dasuqi mengatakan bahwa dalam pandangan Malikiyah, ada pula yang memakruhkan saja. (Ibid)
- Syafi’iyah
Beragam pandangan dalam madzhab ini. Ada yang membolehkan dengan kebolehan yang dibenci (makruh tanzih), jika aborsi dilakukan pada masa-masa rentang waktu 40 hari, atau jeda antara 40 atau 42 atau 45., sejak awal kehamilan dengan syarat kerelaan suami dan isteri, dan tidak membawa dampak buruk bagi yang hamil. (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/198)
Sementara Imam Syihabuddin Ar Ramli mengatakan boleh jika sebelum ditiupkannya ruh (belum 4 bulan), tapi jika sudah ditiupkan ruh maka haram secara mutlak. (Imam Ar Ramli, Nihayatul Muhtaj, 8/443. 1404H-1984M. Darul Fikr) Pendapat beliau sama dengan kalangan Hanafiyah.
Imam Ad Dimyathi mengatakan, pendapat yang mu’tamad adalah tidak haram, mengeluarkan mani dan ‘alaqah (segumpal darah) yang sudah tertanam di rahim, (I’anatuth Thalibin, 3/256)
Sedangkan Imam Al Ghazali berpendapat haram, sebab itu merupakan tindakan kriminal terhadap sesuatu yang sudah ada. (Ihya ‘Ulumuddin, 2/47). Pendapat Imam Al Ghazali inilah yang diikuti oleh Syaikh Wahbah Az Zuhaili, katanya:
وإني بهذا الترجيح ميَّال مع رأي الغزالي الذي يعتبر الإجهاض ولو من أول يوم كالوأد جناية على موجود حاصل
“Sesungguhnya saya dengan tarjih ini, lebih cenderung pada pendapat Al Ghazali yang telah melakukan pengujian terhadap masalah aborsi, walaupun itu dilakukan sejak awal (kehamilan) sebagaimana penguburan bayi hidup-hidup, hal itu merupakan kejahatan atas sesuatu yang sudah wujud (ada).” (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/197)
- Hambaliyah (Hanabilah)
Pandangan mu’tamad mereka sama dengan Hanafiyah, yakni boleh. Selama dilakukan selama 4 bulan pertama atau 120 hari sejak awal kehamilan, karena belum ada ruh. Jika lebih dari itu dan sudah ada ruh maka haram secara qath’i (pasti). (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/198)
Nampaknya pendapat Malikiyah dan Imam Al Ghazali yaitu haram, merupakan pandangan lebih tepat dan hati-hati, apalagi di tengah pergaulan bebas seperti saat ini. Sehingga pendapat ini dapat dijadikan preventif (pencegahan) dan membendung angka aborsi yang dilakukan manusia tidak bertanggungjawab, ada pun jika menggunakan pendapat yang membolehkan, maka akan membawa dampak disalahgunakan oleh mereka. Sebab, jika suatu yang haram saja mereka langgar (yakni free sex) apalagi sesuatu yang mubah, mereka akan semakin menjadi-jadi.
Pembahasan di atas hanya berlaku untuk aborsi (keguguran yang disengaja), ada pun keguguran karena lemahnya kandungan, sakit, terjatuh, dan lainnya yang tidak diinginkan oleh orang tuanya, maka itu dimaafkan.
2. Nifaskah Wanita Yang Keguguran?
Kita lihat definisi nifas dahulu. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata tentang arti nifas:
تعريفه: هو الدم الخارج من قبل المرأة بسبب الولادة وإن كان المولود سقطا.
Definisinya: yaitu darah yang keluar dari kemaluan wanita dengan sebab melahirkan, walau pun keguguran. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/ 84. Dar Al Kitab Al ‘Arabi)
Dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah disebutkan definisi nifas, sebagai berikut:
النِّفَاسُ دَمٌ يَخْرُجُ عَقِبَ الْوِلاَدَةِ ، وَهَذَا الْقَدْرُ لاَ خِلاَفَ فِيهِ ، وَزَادَ الْمَالِكِيَّةُ فِي الأَْرْجَحِ : وَمَعَ الْوِلاَدَةِ ، وَزَادَ الْحَنَابِلَةُ : مَعَ وِلاَدَةٍ وَقَبْلَهَا بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ
“Nifas adalah darah yang keluar setelah kelahiran, dan bagian ini tidak ada perbedaan pendapat ulama. Malikiyah menambahkan dalam Al Arjah: darah yang keluar bersamaan dengan kelahiran. Hanabilah (Hambaliyah) menambahkan: darah yang keluar bersamaan dengan kelahiran dan sebelumnya baik dua atau tiga hari sebelumnya.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz. 3, Hal. 198. Maktabah Misykah)
Jadi, darah yang keluar disebabkan keguguran juga termasuk nifas maka berlakukah hukum-hukum nifas bagi wanita tersebut; tidak shalat, tidak puasa, dan tidak boleh jima’. Ada pun larangan membaca Al Quran –sebagaimana wanita haid- tidak ada dalil qaht’i yang menyebutkannya, sedangkan menyentuh Al Quran maka para ulama berselisih tentang itu.
Namun, Keguguran yang bagaimanakah ini? Yakni keguguran yang terjadi pada yang janin telah lengkap memiliki jasad dan ruh (4 bulan ke atas).
Ada pun keguguran yang janinnya belum sampai berbentuk jasad, baru tahapan nuthfah dan ‘alaqah, maka terjadi perselisihan para ulama. Sebagian menyebut itu bukanlah nifas, tetapi darah rusak (fasad) dan berpenyakit (isthadhah).
Dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah yang disusun oleh para ulama di Kuwait yang diterbitkan oleh Departemen Kementrian Waqaf (seperti Depag di Indonesia) disebutkan:
فإن رأت دماً بعد إلقاء نطفة أو علقة، فليس بنفاس
“Maka, jika seorang wanita melihat darah setelah tumpahnya nuthfah atau ‘alaqah (segumpal darah), maka itu bukan nifas.” (Al Mausu’ah, 1/546)
Ini juga menjadi pedapat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, dan lain-lain. Syaikh Utsaimin mengatakan janin telah berbentuk manusia adalah usia 80 hari. Menurut kelompok ini mudghah belumlah menjadi wujud manusia, baru segumpal daging sesuai firman Allah Ta’ala:
“Kemudian (nuthfah) air mani itu Kami jadikan ‘alaqah (segumpal darah), lalu segumpal darah itu Kami jadikan mudghah (segumpal daging), dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al Mu’minun (23): 14)
Maka, jelas sekali bahwa mudghah belumlah wujud manusia, masih segumpal daging yang masih ada tahapan selanjutnya, yaitu pemberian tulang belualang lalu dibungkus lagi dengan daging. Jika sudah wajud seperti itu lalu keguguran, maka itulah nifas.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:
إذا كان الجنين لم يُخلَّق فإن دمها هذا ليس دم نفاس، وعلى هذا فإنها تصوم وتصلي وصيامها صحيح، وإذا كان الجنين قد خُلّق فإن الدم دم نفاس لا يحل لها أن تصلي فيه، ولا أن تصوم، والقاعدة في هذه المسألة أو الضابط فيها أنه إذا كان الجنين قد خلق فالدم دم نفاس، وإذا لم يخلّق فليس الدم دم نفاس، وإذا كان الدم دم نفاس فإنه يحرم عليها ما يحرم على النفساء، وإذا كان غير دم النفاس فإنه لا يحرم عليها ذلك.
“Jika janin belum berbentuk (jasad) maka darahnya bukanlah darah nifas, maka dia tetap berpuasa dan shalat, dan puasanya itu sah. Jika janin telah berbentuk jasad, maka darahnya adalah darah nifas tidak halal dia shalat dan pula tidak puasa. Kaidah atau patokan dalam masalah ini adalah jika janin telah berbentuk jasad maka darahnya adalah darah nifas, dan jika belum berbentuk maka darahnya bukan darah nifas, dan jika darahnya adalah darah nifas maka diharamkan atasnya sebagaimana diharamkan atas orang yang nifas, dan jika bukan darah nifas maka tidaklah diharamkan atasnya sebagaimana tidak diharamkan atas orang tidak nifas.” (Su’al wa Jawab fi Ahkamil Haidh, Hal. 124. Darul Qimmah)
Syaikh Wahah Az Zuhaili Rahimahullah mengutip dari para ulama:
بخروج أكثر الولد، ولو متقطعاً عضواً عضواً، ولو سِقْطاً استبان فيه بعض خلقة الإنسان كأصبع أو ظفر
“(darah nifas) ditandai dengan keluarnya sebagian besar tubuh bayi, walau sepotong-sepotong dari anggota badannya, walau pun keguguran tetapi sudah jelas padanya sebagian bentuk manusia seperti jari dan kuku ..” (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/546. Maktabah Misykah)
Sementara ulama lain menyatakan bahwa walau pun belum berwujud sempurna, masih ‘alaqah (segumpal darah) dan mudghah (segumpal daging) misalnya, itu sudah termasuk nifas. Seorang ulama abad 9 hijriyah, Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al Hushaini Ad Dimasqi Asy Syafi’i Rahimahullah mengatakan:
وأما دم النفاس فهو الخارج عقيب ولادة ما تنقضي به العدة سواء وضعته حياً أو ميتاً كاملاً كان أو ناقصاً وكذا لو وضعت علقة أو مضغة جزم به في الروضة وسواء كان أحمر أو أصفر
“Ada pun nifas dia adalah darah yang keluar setelah melahirkan yang tidak ditentukan jumlahnya, sama saja apakah (janin) dalam keadaan hidup atau mati, sempurna atau kurang (cacat). Demikian pula seandainya yang dilahirkan itu berupa ‘alaqah atau mudghah yang telah tertanam kuat, sama saja apakah berwarna merah atau kuning .“ (Kifayatul Akhyar, Hal. 75. Syamilah)
Maka, menurut pandangan kelompok ini, walau pun usia kandungan baru 40 hari (sebab terjadinya ‘alaqah adalah setelah 40 hari kehamilan sebagaimana hadits yang kita bahas), keguguran yang terjadi tetaplah nifas, karena ‘alaqah merupakan janin juga tetapi yang belum sempurna.
3.Apakah Bayi Keguguran Mesti Dishalatkan?
Ada beberapa keadaan:
- Jika bayi tersebut belum berwujud, masih gumpalan darah atau daging, atau usia kehamilannya di bawah 4 bulan, maka dia langsung dikuburkan saja sebab dia tak ubahnya hanya seonggok daging. Tapi, kalau dia mau dikafankan dan dikubur sebagai penghormatan baginya juga tidak apa-apa.
- Jika bayi tersebut sudah berwujud, dan sudah ditiupkan ruh (4 bulan atau lebih), dan ada tanda kehidupan (gerak atau tangis), maka disikapi sebagaimana mayat biasa; dimandikan (kalau bisa dan tidak dikhawatirkan merusak jasadnya), dikafankan, dishalatkan, lalu di kubur. Inilah yang difatwakan para ulama Islam.
- Jika bayi itu sudah berwujud, sudah 4 bulan, tapi ketika keguuran tidak ada tanda kehidupan maka tidak dishalatkan.
Berikut uraian Khadimus Sunnah Asy Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
السقط إذا لم يأت عليه أربعة أشهر فإنه لا يغسل.
ولا يصلى عليه، ويلف في خرقة، ويدفن من غير خلاف بين جمهور الفقهاء.
فإن أتى عليه أربعة أشهر فصاعدا واستهل غسل وصلي عليه باتفاق.
فإذا لم يستهل فإنه لا يصلى عليه عند الاحناف ومالك والاوزاعي والحسن، لما رواه الترمذي، والنسائي، وابن ماجه والبيهقي عن جابر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: " إذا استهل السقط صلي عليه وورث " ففي الحديث اشتراط الاستهلال في الصلاة عليه.
وذهب أحمد وسعيد وابن سيرين وإسحاق إلى أنه يغسل ويصلى عليه للحديث المتقدم.
وفيه: " والسقط يصلى عليه " ولانه نسمة نفخ فيه الروح، فيصلى عليه كالمستهل.
فإن النبي صلى الله عليه وسلم أخبر أنه ينفخ فيه الروح لاربعة أشهر، وأجابوا عما استدل به الاولون بأن الحديث مضطرب.
وبأنه معارض بما هو أقوى منه، فلا يصلح للاحتجاج به.
“Keguguran jika belum sampai 4 bulan maka janinnya tidak dimandikan dan tidak pula dishalatkan, cukup dibungkus dengan kain lalu dikuburkan, ini tidak ada perbedaan pendapat di antara mayoritas fuqaha.
Jika telah sampai 4 bulan dan memiliki tanda-tanda kehidupan, maka dia dimandikan dan dishalatkan menurut kesepakatan ulama.
Jika tidak ada tanda kehidupan, maka dia tidak dimandikan menurut kalangan Hanafiyah, Malik, Al Auza’I, dan Al Hasan. Sebab diriwayatkan oleh At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah, dan Al Baihaqi dari Jabir bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika bayi keguguran ada tanda kehidupan maka dia dishalatkan dan mendapatkan waris.” Dalam hadits ini tanda-tanda kehidupan dijadikan sebagai syarat untuk dishalatkannya bayi tersebut.
Menurut Ahmad, Sa’id, Ibnu Sirin, dan Ishaq, bayi itu tetap dimandikan dan dishalatkan (walau tak ada tanda kehidupan) sesuai hadits terdahulu. Dalam hadits tersebut disebutkan: “Bayi keguguran dishalatkan.” Karena makhluk hidup (manusia) setalh ditiupkannya ruh, maka dia dishalatkan sebagaimana adanya ‘tanda kehidupan’.
Dan, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengabarkan bahwa ruh ditiupkan setelah 4 bulan. Kelompok menjawab bahwa apa-apa yang dijadikan dalil oleh kelompok pertama (yaitu hadits dari Jabir) adalah hadits mudhtharib (guncang – salah satu jenis hadits dhaif, pen), karena dia bertentangan dengan hadits yang lebih kuat darinya (yaitu hadits Ibnu Mas’ud yang kita bahas dalam syarah arbain ke-4), maka tidak sah berhujjah dengannya.” (Fiqhus Sunnah, 1/529. Darul Kitab Al ‘Arabi)
Catatan:
Hadits dari Jabir yang berbunyi:
إذا استهل الصبي صلي عليه وورث
“Jika bayi keguguran ada tanda kehidupan maka dia dishalatkan dan mendapatkan waris.”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 6032, juga Ibnu Majah dalam Sunannya No. 2750, dan didhaifkan oleh Syaikh Al Albani dalam Dhaiful Jami’ No. 363)
Ada juga yang mirip dengan hadits ini:
إذا استهل الصبي صارخا سمي وصلي عليه وتمت ديته وورث وإن لم يستهل صارخا وولد حيا لم يسم ولم تتم ديته ولم يصل عليه ولم يرث
“Jika bayi keguguran ada tanda kehidupan yang jelas maka dia diberikan nama, dishalatkan, ditunaikan diyatnya dan diwariskan. Jika tidak ada tanda kehidupan yang jelas maka tidak diberikan nama, tidak ditunaikan diyatnya, tidak dishalatkan, dan tidak diwariskan.”
Ini pun dinyatakan dhaif. (Irwa’ul Ghalil, 6/147)
Jadi ada tiga masalah dalam hal ini:
1. Keguguran sebelum 4 bulan, janin tersebut tidak dimandikan dan tidak dishalatkan, hanya dibungkus dan kubur saja. Ini tak ada perbedaan pendapat.
2. Keguguran sudah 4 bulan atau lebih dan ada tanda kehidupan, maka dimandikan, dikafankan dan dishalatkan.
3. Keguguran sudah 4 bulan atau lebih tapi tidak ada tanda kehidupan, maka tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. Ini pandangan Hanafiyah, Malik, Al Auza’I, dan Al Hasan berdasarkan hadits Jabir. Sedangkan menurut Ahmad, Said, Ibnu Sirin, dan Ishaq tetap dimandikan dan dishalatkan.
Pandangan yang lebih kuat adalah apa yang menjadi pandangan Imam Ahmad, Said bin Al Musayyib, Ibnu Sirrin, dan Ishaq bin Rahawaih, bahwa bayi keguguran yang usia kandungannya 4 bulan lebih, tetaplah dimandikan, dikafankan, dan dishalatkan, walau tidak ada tanda kehidupan, berdasarkan dalil yang lebih kuat pula (hadits Ibnu mas’ud) bahwa dia telah ditiupkan ruh, dan kelemahan hadits yang dijadikan dalil oleh kelompok pertama. Wallahu A’lam
Selanjutnya:
وَيَؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ
“dia diperintahkan mencatat empat kata yang telah ditentukan: rezekinya, ajalnya, amalnya, kesulitan atau kebahagiannya.”
Yu’maru (dia diperintahkan), siapa yang diperintahkan? yakni malak (satu malaikat) yang meniupkan ruh kepada manusia di perut ibunya tadi.
Berkata Imam Badruddin Al ‘Aini Rahimahullah:
ويقال له أي للملك المرسل أكتب عمله ورزقه وأجله وشقي أو سعيد وكل ذلك بما اقتضت حكمته وسبقت كلمته
“Dikatakan kepadanya yaitu kepada malaikat yang diutus: tulislah amalnya, rezekinya, ajalnya, susah atau bahagianya. Semua itu ditetapkan dengan hikmahNya dan hikmahNya itu telah mendahului kata-kataNya. (‘Umdatul Qari, 22/461)
Selanjutnya:
فَوَالله الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ
“Demi Allah yang Tiada Ilah kecuali Dia.”
Ini merupakan diantara kalimat sumpah yang pernah diucapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kadang beliau menggunakan Walladzi Nafsiy biyadih (demi zat yang jiwaku ada di tanganNya), kadang Walladzi Nafsu Muhammad biyadih (demi zat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya), dan lainnya. Kadang orang menggunakan Wallahi, Tallahi, Billahi, yang maknanya serupa, Demi Allah!
Ini merupakan salah satu adab dalam bersumpah yakni wajib dengan nama Allah ‘Azza wa Jalla. Bahkan bersumpah dengan selain nama Allah ‘Azza wa Jalla adalah salah satu kesyirikan (yakni syirik ashghar – syirik kecil). Banyak hadits yang menyebutkan hal itu, saya sebutkan satu saja.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, dia mendengar seorang bersumpah: “Tidak, demi Ka’bah.” lalu dia mengatakan: “Jangan kamu bersumpah dengan selain nama Allah, sebab aku mendengar Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من حلف بغير الله فقد كفر أو أشرك
“Barangsiapa yang bersumpah dengan selain nama Allah maka dia telah kufur atauberbuat syirk.” (HR. At Tirmdzi No. 1535, katanya: hasan. Abu Daud No.3251, dan lain-lain. Hadits ini shahih. Lihat Ghayatul Maram No. 259, lihat juga Shahih At Targhb wat Tarhib No. 2952, dan lainnya)
Imam An Nawawi mengatakan:
وفسَّر بعْضُ الْعلماءِ قوْلهُ:"كَفر أَوْ أشركَ"علَى التَّغلِيظِ كما رُوِي أَنَّ النبيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قَالَ:"الرِّيَاءُ شِرْكٌ".
Sebagian ulama menafsirkan makna kufur atau syirik sebagai penegasan/penguatan sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “riya’ termasuk syirik.” (Lihat Riyadhush Shalihin Hal. 477. Cet. 3. 1998M-1419H. Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arna’uth. Muasasah Ar Risalah, Beirut- Libanon)
Lalu, bagaimana dengan ucapan sebagian sahabat nabi, seperti: bi abiy wa bi ummiy (Demi ayah dan demi ibuku!)”. Apakah ini termasuk sumpah dengan selain nama Allah?
Kalimat di atas bukanlah sumpah, tetapi kalimat kebiasaan mereka untuk menunjukkan dalamnya rasa cinta dan hormat mereka kepada lawan bicara. Imam Ibnu Manzhur menyebutkan dalam Lisanul ‘Arab, bahwa kalimat ini aslinya adalah:
فَدَيْتُك بأَبي وأُمِّي
“Saya jadikan ayah dan ibu saya sebagai tebusan untukmu.” (Lisanul ‘Arab, 15/417. Syamilah)
Kemudian kalimat ini diringkas menjadi: bi abiy wa bi ummiy (demi ayah dan ibuku).
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
مَعْنَاهُ أَنْتَ مُفَدًّى أَوْ أَفْدِيك بِأَبِي وَأُمِّي
“Maknanya adalah engkau mendapatkan tebusan atau saya akan menebusmu dengan ayah dan ibuku.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/108. Mawqi’ Ruh A Islam)
Beliau juga mengatakan:
وَفِيهِ جَوَاز قَوْل الرَّجُل لِلْآخَرِ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي . قَالَ الْقَاضِي عِيَاض رَحِمَهُ اللَّه : وَقَدْ كَرِهَهُ بَعْض السَّلَف . وَقَالَ : لَا يُفْدَى بِمُسْلِمٍ . وَالْأَحَادِيث الصَّحِيحَة تَدُلّ عَلَى جَوَازه سَوَاء كَانَ الْمُفَدَّى بِهِ مُسْلِمًا أَوْ كَافِرًا حَيًّا كَانَ أَوْ مَيِّتًا .
“Dalam hadits ini juga menunjukkan bolehnya seseorang berkata kepada orang lain: demi ayahku dan ibuku. Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah mengatakan; sebagian salaf memakruhkannya. Dan, dia berkata: tidaklah ditebus dengan seorang muslim. Hadits shahih ini menunjukkan kebolehannya, sama saja apakah tebusannya itu dengan seorang muslim atau kafir, hidup atau mati.” (Ibid)
Selanjutnya:
إِنََّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ
“Sesungguhnya setiap kalian ada yang melaksanakan perbuatan ahli surga …”
Pada bagian-bagian ini, penjelasan dari Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah cukup memadai bagi kita. Beliau mengatakan:
إلى آخره ظاهر الحديث أن هذا العامل كان عمله صحيحاً وأنه قرب من الجنة بسبب عمله حتى بقي له على دخولها ذراع وإنما منعه من ذلك سابق القدر الذي يظهر عند الخاتمة فإذاً الأعمال بالسوابق لكن لما كانت السابقة مستورة عنا والخاتمة ظاهرة جاء في الحديث: "إنما الأعمال بالخواتيم" يعني عندنا بالنسبة إلى اطلاعنا في معنى الأشخاص وفي بعض الأحوال، وأما الحديث الذي ذكره مسلم في صحيحه في كتاب الإيمان: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "إن الرجل ليعمل بعمل أهل الجنة فيما يبدو للناس وهو من أهل النار" فإنه لم يكن عمله صحيحاً في نفسه وإنما كان رياء وسمعة فيستفاد من ذلك الحديث ترك الالتفات إلى الأعمال والركون إليها والتعويل على كرم الله تعالى ورحمته.
Secara zhahir, hadits ini menunjukkan bahwa orang tersebut melakukan perbuatan yang benar dan amal itu mendekatkan pelakunya ke surga sehingga dia hampir dapat masuk ke surga hampir satu hasta. Ia ternyata terhalang untuk memasukinya karena taqdir yang telah ditetapkan bagi dirinya di akhir masa hayatnya dengan melakukan perbuatan ahli neraka. Dengan demikian, perhitungan semua amal baik itu tergantung pada apa yang telah dilakukannya. Akan tetapi, bila ternyata pada akhirnya tertutup dengan amal buruk, maka seperti yang dikatakan pada sebuah hadits: “Segala perbuatan itu nilainya tergantung pada amal terakhirnya.” Maksudnya, menurut kami hanya terjadi pada orang-orang dan keadaan tertentu saja. Adapun hadits yang disebut oleh Imam Muslim dalam Kitabul Iman dalam kitab Shahihnya bahwa Rasulullah bersabda : ”Seseorang melakukan amalan ahli surga dalam pandangan manusia, tetapi sebenarnya dia adalah ahli neraka.” Ini menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukannya tidak benar dan dilakukan karena riya serta sum’ah . Faidah dari hadits ini adalah memandang dari sisi niat pelakunya bukan perbuatan lahiriyahnya, ada orang yang selamat dari riya’ itu semata-mata karena karunia dan rahmat Allah Ta’ala. (Imam Ibnu daqiq Al ‘Id, Syarah Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 38)
Selanjutnya:
حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلاذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَايَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
sehingga jarak antara dirinya dan surga hanyalah sehasta, namun dia telah didahului oleh al kitab (ketetapan/takdir), maka dia mengerjakan perbuatan ahli neraka, lalu dia masuk ke dalamnya. Di antara kalian ada yang mengerjakan perbuatan ahlin naar (penduduk neraka), sehingga jarak antara dirinya dan neraka cuma sehasta, namun dia telah didahului oleh taqdirnya, lalu dia mengerjakan perbuatannya ahli surga, lalu dia memasukinya. ”
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id mengatakan:
المراد: أن هذا قد يقع في نادر من الناس لا أنه غالب فيهم وذلك من لطف الله سبحانه وسعة رحمته فإن انقلاب الناس من الشر إلى الخير كثير، وأما انقلابهم من الخير إلى الشر ففي غاية الندور ولله الحمد والمنة على ذلك، وهو تجوز، وقوله: "إن رحمتي سبقت غضبي" وفي رواية "تغلب غضبي".
وفي هذا الحديث إثبات القدر كما هو مذهب أهل السنة وأن جميع الواقعات بقضاء الله تعالى وقدره خيرها وشرها نفعها وضرها قال الله تعالى: {لا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ} . ولا اعتراض عليه في ملكه يفعل في ملكه ما يشاء. قال الإمام السمعاني: سبيل معرفة هذا الباب: التوفيق من الكتابة والسنة دون محض القياس ومجرد العقول فمن عدل عن التوفيق منه ضل وتاه في مجال الحيرة ولم يبلغ شفاء النفس ولا يصل إلى ما يطمئن به القلب لأن القدر سر من أسرار الله تعالى ضربت دونه الأستار واختص سبحانه به وحجبه عن عقول الخلق ومعارفهم، وقد حجب الله تعالى علم القدر عن العالم فلا يعلمه ملك ولا نبي مرسل، وقيل إن سر القدر ينكشف لهم إذا دخلوا الجنة ولا ينكشف قبل ذلك.
وقد ثبتت الأحاديث بالنهي عن ترك العمل اتكالاً على ما سبق من القدر بل تجب الأعمال والتكاليف التي ورد بها الشرع وكل ميسر لما خلق له لا يقدر على غيره فمن كان من أهل السعادة يسره الله لعمل أهل السعادة ومن كان من أهل الشقاوة يسره الله لعمل أهل الشقاوة كما في الحديث وقال الله تعالى: {فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى ... فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى} .
قال العلماء: وكتاب الله تعالى ولوحه وقلمه كل ذلك مما يجب الإيمان به، وأما كيفية ذلك وصفته فعلمه إلى الله تعالى لا يحيطون بشيء من علمه إلا بما شاء. والله أعلم
Maksudnya bahwa, hal semacam ini bisa saja terjadi namun sangat jarang dan bukan merupakan hal yang biasa. Karena kemurahan, keluasan dan rahmat Allah kepada manusia. Yang banyak terjadi adalah manusia yang tidak baik berubah menjadi baik dan jarang orang baik menjadi tidak baik.
Firman Allah Ta’ala, “RahmatKu mendahului kemarahanKu” menunjukkan adanya kepastian taqdir sebagaimana keyakinan Ahlus Sunnah bahwa semua kejadian ada dengan ketetapan Allah dan taqdirNya, baik dalam hal keburukan dan kebaikan, juga dalam hal membawa manfaat dan bahaya. Firman Allah: “Dan Dia tidak dimintai tanggung jawab (tidak ditanya) atas segala tindakan-Nya tetapi mereka akan dimintai tanggung jawab.” (QS. Al Anbiya’ : 23) menyatakan bahwa kekuasaan Allah tidak tertandingi dan Dia melakukan apa saja yang dikehendaki dengan kekuasaanNya itu.
Imam Sam’ani mengatakan: “Cara untuk memahami masalah ini adalah dengan mengkompromikan (taufiq) apa yang tersebut dalam Al Qur’an dan Sunnah, bukan semata-mata dengan qiyas dan akal. Barang siapa yang keluar dari cara ini dalam memahami pengertian di atas, maka dia akan sesat dan berada dalam kebingungan, dia tidak akan memperoleh obat bagi jiwa dan ketentraman hati. Hal ini karena taqdir merupakan salah satu rahasia Allah yang terhalang untuk diketahui oleh manusia dengan akal ataupun pengetahuannya. Allah Ta’ala telah menutup pengetahuan tentang taqdir dari seorang ulama, malaikat dan para nabi sekalipun tidak ada yang mengetahuinya”.
Ada yang mengatakan : “Rahasia taqdir akan diketahui oleh makhluk ketika mereka menjadi penghuni surga, tetapi sebelumnya tidak dapat diketahui”.
Beberapa hadits telah menetapkan larangan kepada manusia yang tidak mau melakukan perbuatan dengan alasan telah ditetapkan taqdirnya. Bahkan, semua amal dan perintah yang tersebut dalam syari’at harus dikerjakan. Setiap orang akan diberi jalan yang mudah menuju kepada taqdir yang telah ditetapkan untuk dirinya. Orang yang ditaqdirkan masuk golongan yang beruntung maka ia akan mudah melakukan perbuatan-perbuatan golongan yang beruntung sebaliknya orang-orang yang ditaqdirkan masuk golongan yang celaka maka ia akan mudah melakukan perbuatan-perbuatan golongan celaka sebagaimana tersebut dalam Firman Allah : “Maka Kami akan mudahkan dia untuk memperoleh keberuntungan”. (QS. Al Lail :7) …. “Kemudian Kami akan mudahkan dia untuk memperoleh kesusahan”. (QS.Al Lail :10)
Para ulama berkata : “Al Qur’an, lembaran, dan penaNya, semuanya wajib diimani begitu saja, ada pun tentang bagaimana hal itu dan sifat-sifatnya, maka pengetetahuannya kembalikan kepada Allah Ta’ala”.
Allah Ta’ala berfirman : “Manusia tidak sedikit pun mengetahui ilmu Allah, kecuali yang Allah kehendaki”.(QS. Al Baqarah (2) : 255) (Ibid, Hal. 39-40)
Wallahu A’lam
Oleh: Farid Nu’man Hasan
http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/188
عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ المَصْدُوْقُ: إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمَاً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ،ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ،ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ المَلَكُ فَيَنفُخُ فِيْهِ الرٌّوْحَ،وَيَؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ. فَوَالله الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنََّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلاذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَايَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: telah berkata kepada kami Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan dia adalah orang yang jujur lagi dipercaya:
“Sesungguhnya tiap kalian dikumpulkan ciptaannya dalam rahim ibunya, selama 40 hari berupa nutfah (air mani yang kental), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama itu juga, lalu menjadi mudghah (segumpal daging) selama itu, kemudian diutus kepadanya malaikat untuk meniupkannya ruh, dan dia diperintahkan mencatat empat kata yang telah ditentukan: rezekinya, ajalnya, amalnya, kesulitan atau kebahagiannya.
Demi zat yang tiada Ilah kecuali Dia, sesungguhnya setiap kalian ada yang melaksanakan perbuatan ahli surga sehingga jarak antara dirinya dan surga hanyalah sehasta, namun dia telah didahului oleh al kitab (ketetapan/takdir), maka dia mengerjakan perbuatan ahli neraka, lalu dia masuk ke dalamnya. Di antara kalian ada yang mengerjakan perbuatan ahlin naar (penduduk neraka), sehingga jarak antara dirinya dan neraka cuma sehasta, namun dia telah didahului oleh taqdirnya, lalu dia mengerjakan perbuatannya ahli surga, lalu dia memasukinya. ”
Takhrij Hadits:
- Imam Bukhari dalam Shahihnya No. 3036, 3151, 6221, 7016
- Imam Muslim dalam Shahihnya No. 2643
- Imam At Tirmidzi dalam As Sunannya No. 2220
- Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 15198, 21069
- Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 3624
Makna Hadits Secara Global:
Pertama. Hadits ini menegaskan kembali tentang posisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di mata para sahabatnya yang mulia, dan seharusnya itu juga menjadi sikap kita kepadanya. Penyebutan Ash Shaadiqul Mashduuq (yang jujur lagi dipercaya) kepadanya merupakan tingkat tsiqah (percaya) yang sangat tinggi kepadanya; bahwa seluruh apa-apa yang datang darinya secara shahih adalah kebenaran, risalah yang dibawanya adalah benar, janjinya adalah benar, ancamannya adalah benar, berita darinya adalah benar, dan berguraunya adalah benar bukan dusta.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى (4)
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu berasal dari hawa nafsunya, Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm (53): 3-4)
Al Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:
إنما يقول ما أمر به، يبلغه إلى الناس كاملا موفَّرًا من غير زيادة ولا نقصان، كما رواه الإمام أحمد.
“Sesungguhnya dia hanyalah mengatakan apa-apa yang diperintahkan, menyampaikannya kepada manusia secara sempurna dan lengkap, tanpa ditambah dan dikurangi, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 7/443. Daar Ath Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’)
Abdullah bin Amr Radhiallahu ‘Anhuma, berkata:
كنت أكتب كل شيء أسمعه من رسول الله صلى الله عليه وسلم أريد حفظه، فنهتني قريش فقالوا: إنك تكتب كل شيء تسمعه من رسول الله، ورسول الله صلى الله عليه وسلم بشر، يتكلم في الغضب. فأمسكتُ عن الكتاب، فذكرت ذلك لرسول الله صلى الله عليه وسلم، فقال: "اكتب، فوالذي نفسي بيده، ما خرج مني إلا حق".
“Dahulu saya menulis semua hal yang saya dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saya hendak menghafalnya, lalu orang Quraisy melarang saya. Mereka mengatakan: “Engkau menulis semua yang kau dengar dari Rasulullah padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah manusia, dia bisa bicara dalam keadaan marah.” Maka saya pun menahan diri untuk menulisnya, lalu saya ceritakan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia berkata: “Tulislah! Demi yang jiwaku ada ditanganNya, tidaklah keluar dariku melainkan kebenaran.” (HR. Ahmad No. 6510, Syaikh Syu’aib Al Arna’uth mengatakan; sanadnya shahih, perawinya adalah tsiqat (kredibel), termasuk perawi shaikhan (Bukhari-Muslim), kecuali Al Walid bin Abdullah, dia adalah Ibnu Abi Mughits Al ‘Abdari, dia adalah perawi yang digunakan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, dan dia tsiqah. Lihat Musnad Ahmad dengan tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh ‘Adil Mursyid, dll. Cet. 1. 1421H-2001M. Muasasah Ar Risalah)
Kedua. Hadits ini menceritakan tahapan penciptaan manusia dalam rahim ibunya dan telah dibenarkan oleh ilmu pengetahuan modern, bahwa demikianlah kejadiannya. Hal ini juga difirmankan dalam Al Quran:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ (12) ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ (13) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ (14)
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al Mu’minun (23): 12-14)
Ketiga. Hadits ini menyebutkan bahwa ditiupnya ruh ke janin yang berada dalam kandungan seorang wanita adalah pada hari ke 120 (kandungan 4 bulan). Hal ini berimplikasi kepada berbagai permasalahan fiqih seperti hukum aborsi; apakah boleh aborsi ketika kandungan sebelum 4 bulan, karena ruh belum ada, atau kah memang aborsi adalah haram secara mutlak disemua usia kandungan? Lalu, keguguran sebelum 4 bulan apakah darah yang keluar sudah termasuk nifas? Lalu bagaimana menyikapi bayi yang keguguran sebelum usia kandungan 4 bulan, apakah juga disikapi sebagaimana bayi yang telah memiliki ruh; seperti dimandikan, dikafankan, dan dishalatkan? Dan sebagainya. (Insya Allah akan dibahas pada bagiannya nanti)
Keempat. Pada hadits ini disebutkan adanya malaikat yang bertugas meniupkan ruh, sebagaimana telah masyhur pula adanya malaikat yang bertugas mencabut ruh itu kembali. Keduanya hanya bisa melakukannya dengan izin Allah Ta’ala. Hanya saja memang nama kedua malaikat tersebut tidak disebutkan, baik dalam Al Quran dan As Sunnah. Malaikat pencabut nyawa dalam Islam biasa disebut malaikat maut, sedangkan istilah malaikat Izrail tidaklah kita dapatkan dalam Al Quran dan As Sunnah Ash Shahihah, melainkan itu istilah Israiliyat (berasal dari Bani Israel) yang menyusup ke dalam Islam.
Dalam hadits cukup panjang (saya kutip bagian depan saja), dari Abu Hurairah secara mauquf, katanya:
أُرْسِلَ مَلَكُ الْمَوْتِ إِلَى مُوسَى، فَلَمَّا جَاءَهُ، صَكَّهُ فَفَقَأَ عَيْنَهُ، فَرَجَعَ إِلَى رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَقَالَ: أَرْسَلْتَنِي إِلَى عَبْدٍ لَا يُرِيدُ الْمَوْتَ قَالَ: فَرَدَّ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِ عَيْنَه ُ…
“Malaikat maut diutus kepada Nabi Musa, ketika malaikat itu mendatanginya, Nabi Musa memukul dan mencungkil mata malaikat maut tersebut, maka kembalilah dia kepada Rabbnya ‘Azza wa Jalla, dia berkata; “Engkau utus aku kepada seorang hamba yang tidak menghendaki kematian.” Dia (Abu Hurairah) berkata: “Maka Allah ‘Azza wa Jalla kembalikan mata malaikat tersebut. …. dst” (HR. Bukhari No. 1339, 3407. Muslim No. 157, 2372. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah No. 599, Al Baihaqi dalam Al Asma wash Shifat, hal. 492. Ahmad No. 7646)
Kelima. Hadits ini juga menyebutkan takdir Allah Ta’ala bagi setiap hamba-hambanya berupa rezeki, ajal, amal, dan bahagia serta kesulitannya. Setiap manusia tidak dapat mengelak rencana Allah Ta’ala terhadap mereka. Allah Ta’ala berfirman;
قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal." (QS. At Taubah 99): 51)
Hendaknya seorang muslim mengimaninya, baik takdir yang buruk atau yang baik, semuanya merupakan ketentuan Allah Ta’ala, yang hikmahnya selalu baik bagi hamba-hambaNya. Dengan mengimani hal ini secara baik dan benar, maka seorang muslim tidak akan pernah gundah, lemah, khawatir, dan takut terhadap kematian dan kemiskinan di dunia, sebab semuanya telah ada alamat dan waktunya masing-masing yang tidak bisa dipercepat atau ditunda jika memang sudah waktunya, dan tidak bisa dielak jika memang itu bagian dari kehidupan kita. Di sinilah iman dan sabar kita diuji.
Keenam. Hadis ini juga menyebutkan salah satu contoh takdir Allah ‘Azza wa Jalla kepada hambaNya; yaitu takdir Allah Ta’ala atas amal manusia. Telah banyak contoh yang membuktikan kebenaran hadits ini, bahwa banyak manusia yang berubah pada akhir hayatnya, berupa yang baik menjadi buruk, atau yang buruk yang menjadi baik, namun kebanyakan yang terjadi adalah perubahan dari amal-amal yang buruk kepada amal-amal yang baik di akhir hidupnya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Dan, Allah yang menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu lakukan.” (QS. Ash Shafat (37): 96)
Mungkin ada pertanyaan yang menggelitik kita, jika Allah Ta’ala telah menentukan akhir hidup manusia seperti apa, sehat sakitnya, susah senangnya, dan lainnya, lalu buat apa manusia diperintahkan untuk beribadah dan bekerja?
Pertanyaan ini telah dijawab oleh Al ‘Allamah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah sebagai berikut:
أن أهل السنة والجماعة قرروا هذا وجعلوا عقيدتهم ومذهبهم أن الإنسان يفعل باختياره وانه يقول كما يريد ولكن أرادته واختياره تابعان لإرادة الله تبارك وتعالى ومشيئته ثم يؤمن أهل السنة والجماعة بان مشيئة الله تعالى تابعة لحكمته وانه سبحانه و تعالى ليس مشيئته مطلقة مجردة ولكنها مشيئة تابعة لحكمته لان من أسماء الله تعالى الحكيم والحكيم هو الحاكم المحكم الذي يحكم الأشياء كوناً وشرعاً ويحكمها عملاً صنعاً والله تعالى بحكمته يقدر الهداية لمن أرادها لمن يعلم سبحانه وتعالى انه يريد الحق وان قلبه على الاستقامة ويقدر الضلالة لمن لم يكن كذلك لمن إذا عرض عليه الإسلام يضيف صدره كأنما يصعد في السماء فان حكمة الله تبارك وتعالى تأبى أن يكون هذا من المهتدين آلا أن يجدد الله له عزماً ويقلب أرادته إلى إرادة أخرى والله تعالى على كل شي قدير ولكن حكمة الله تأبى إلا أن تكون الأسباب مربوطة بها مسبباتها .
“Bahwasanya Ahlus Sunnah wal Jama’ah menegaskan ini dan menjadikan aqidah dan madzhab mereka bahwa manusia berbuat karena pilihannya, dia berkata sebagaimana yang diinginkan, tetapi kehendak dan pilihannya itu mengikuti (dibawah cakupan, pen) kehendak Allah Tabaraka wa Ta’ala dan masyi’ah(kemauan)Nya. Kemudian, Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwa kehendak Allah Ta’ala mengikuti hikmahNya, dan sesungguhnya kehendakNya Subhanahu wa Ta’ala bukanlah kehendak semata-mata, melainkan kehendak yang disebabkan oleh hikmahNya, karena di antara nama-nama Allah Ta’ala adalah Al Hakiim (Maha Bijaksana). Dialah Raja yang memberikan keputusan segala sesuatu baik alam dan syariat, dan memutuskan pula baginya amal dan perbuatan. Dan, Allah Ta’ala dengan hikmahNya menentukan hidayah bagi siapa yang menghendaki hidayah itu dan bagi siapa yang mengetahui Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan bahwa dia menghendaki kebenaran dan hatinya pun tetap istiqamah. Dia juga menetapkan kesesatan bagi siapa yang tidak berbuat demikian, bagi siapa yang berpaling dari Islam Dia menyempitkan dadanya seakan dia naik ke langit. Maka, sesungguhnya hikmah Allah Ta’ala tidak hendaki hal ini terjadi bagi orang-orang yang mendapat petunjuk. Ketahuilah, baginya Allah akan memperbarui tekadnya dan merubah kehendaknya dari yang satu kepada kehendak lainnya. Allah Ta’ala Maha berkuasa atas segala sesuatu, tetapi hikmah dari Allah tidak menghendaki kecuali telah terjadi sebab-sebab terkait yang mendatangkan akibatnya.” (Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Risalah Fil Qadha wal Qadr, Hal. 20-21. 1423H. Darul Wathan)
Ketujuh. Hadits ini juga menunjukkan bahwa penghujung hidup seseorang sangat menentukan kehidupan akhiratnya. Oleh karena itu sangat baik bagi seorang muslim berdoa kepada Allah Ta’ala untuk wafat dalam keadaan husnul khatimah (akhir yang baik), agar Dia menghapus keburukan yang akan menimpa kita, dan menetapkan kebaikan bagi kita, sehingga masa depan akhirat kita juga baik.
Allah Ta’ala berfirman:
يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh). (QS. Ar Ra’du (13) : 39)
Manshur berkata:
سألت مجاهدًا فقلت: أرأيت دعاءَ أحدنا يقول:"اللهم إن كان اسمي في السعداء فأثبته فيهم، وإن كان في الأشقياء فامحه واجعله في السعداء"، فقال: حَسنٌ .
Aku bertanya kepada Mujahid: “Apa pendapat anda tentang doa dari salah seorang kami yang berkata: “Ya Allah jika namaku ada pada deretan orang-orang bahagia maka tetapkanlah bersama mereka, dan jika berada pada deretan orang-orang sulit maka hapuslah dan jadikanlah bersama orang-orang bahagia.” Mujahid menjawab: “Bagus.” (Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ Al Bayan fi Ta’wilil Quran, Juz. 16, Hal. 480. Cet. 1. 1420H-2000M. Tahqiq: Syaikh Ahmad Syakir. Muasasah Ar Risalah)
Kaum salaf –seperti Syaqiq dan Abu Wa-il- juga berdoa:
اللهم إن كنت كتبتنا أشقياء، فامحنَا واكتبنا سعداء، وإن كنت كتبتنا سعداء فأثبتنا، فإنك تمحو ما تشاءُ وتثبت وعندَك أمّ الكتاب
“Ya Allah, jika Engkau menetapkan kami bersama orang-orang yang sengsara, maka hapuskanlah kami, dan tulislah kami bersama orang-orang yang bahagia. Jika Engkau tetapkan kami bersama orang-orang yang bahagia, maka tetapkanlah, sesungguhnya Engkau menghapus apa-apa yang Kau kehendaki, dan menetapkannya, dan pada sisiMu terdapat Ummul Kitab.” (Ibid)
Diriwayatkan dari Abu Utsman Al Hindi, bahwa Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu berdoa –dan dia sedang thawaf di baitullah sambil menangis:
اللهم إن كنت كتبت علي شِقْوة أو ذنبًا فامحه، فإنك تمحو ما تشاء وتثبت . وعندك أم الكتاب، فاجعله سعادةً ومغفرةً
“Ya Allah, jika Engkau menetakan atasku kesulitan atau dosa maka hapuslah, sesungguhnya Engkau menghapuskan apa-apa yang Engkau kehendaki dan menetakannya. Dan pada sisiMu ada Ummul Kitab, maka jadikanlah dia menjadi bahagia dan ampunan.” (Ibid)
Sementara Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu berdoa:
اللهم إن كنت كتبتني في [أهل] الشقاء فامحني وأثبتني في أهل السعادة
“Ya Allah, jika Engkau tetapkan aku pada kelompok orang yang malang, maka hapuskanlah aku, dan tetapkanlah aku pada golongan orang yang bahagia.” (Ibid, Juz. 16, Hal. 483)
Apa yang dilakukan para salaf, bukanlah tanpa dalil, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri menegaskan:
لَا يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلَّا الدُّعَاءُ وَلَا يَزِيدُ فِي الْعُمْرِ إِلَّا الْبِرُّ
“Tidaklah ketetapan Allah dapat ditolak kecuali dengan doa, dan tidaklah menambahkan usia kecuali kebaikan.” (HR. At Tirmidzi no. 2139, katanya: hasan gharib. Syaikh Al Albani mengatakan hasan, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2139. Lihat Juga Shahihul Jami’ No. 7687. Lihat juga Shahih At Targhib wat Tarhib No.1639, 2489. Lihat juga As Silsilah Ash Shahihah No. 154)
Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun mengajarkan doa sebagai berikut: Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمْ الْمَوْتَ مِنْ ضُرٍّ أَصَابَهُ فَإِنْ كَانَ لَا بُدَّ فَاعِلًا فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتْ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتْ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي
“Janganlah kalian mengharapkan kematian lantaran buruknya musibah yang menimpa, sekali pun ingin melakukannya, maka berdoalah: “Allahumma Ahyini Maa Kaanat Al Hayatu Khairan Liy, wa Tawaffani Idza Kaanat Al Wafaatu Khairan Liy (Ya Allah, hidupkanlah aku selama kehidupan itu adalah baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika memang wafat itu baik bagiku).” (HR. Bukhari No. 5990, Muslim No. 2680, At Tirmidzi No. 970, Ibnu Hibban No. 968, Abu Ya’ala No. 3799, 3891, Ahmad No. 13579 )
Ya, Ahlus Sunnah meyakini bahwa doa dapat merubah ketetapan Allah Ta’ala pada hambaNya.
Makna Kalimat Dalam Hadits:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:
Siapakah dia?
Dia adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghaafil bin Hubaib bin Syamakh bin Faar bin Makhzum bin Shahilah bin Kaahil bin Al Harits bin Tamim bin Sa’ad bin Hudzail bin Mudrikah bin ilyas bin Mudhar bin Nazar.
Dia seorang Imam yang ilmunya luas (Al Imam Al Hibr), ahli fiqihnya umat ini (Faqihul Ummah), Abu Abdirrahman Al Hudzali Al Makki Al Muhajiri Al Badri, sekutu Bani Zahrah.
Dia termasuk As Sabiqunal Awalin (yang pertama-tama masuk Islam), termasuk ulama yang paling mulia, mengikuti perang Badar, ikut hijrah dua kali, termasuk yang mendapatkan an nafl dalam perang Yarmuk, berbudi sangat baik, dan banyak meriwayatkan ilmu.
Banyak yang meriwayatkan hadits darinya; Abu Musa, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, ‘Imran bin Hushain, Anas, Jabir, Abu Umamah, sekelompok sahabat, dan Al Qamah, Al Aswad, Masruq, ‘Ubaidah, Abu Wailah, Qais bin Abi Hazim, Zar bin Hubais, Ar Rabi’ bin Khatsaim, Thariq bin Syihab, Zaid bin Wahab, kedua anaknya Abu Ubaidah dan Abdurrahman, Abul Ahwash ‘Auf bin Malik, Abu ‘Amru Asy Syaibani, dan banyak yang lainnya. Sedangkan yang meriwayatkan darinya tentang bacaan Al Quran adalah Abdurrahman As Sulami dan ‘Ubaidah bin Nadhilah, dan sekelompok ulama.
Qais bin Hazim menceritakan bahwa Abdullah Mas’ud seseorang yang tipis dagingnya (kurus). Dari Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah bahwa Abdullah bin Mas’ud adalah seorang yang kurus dan pendek , kulitnya sawo matang yang gelap, dan dia tidak merubah ubannya (tidak mewarnainya).
Beliau meninggal di Madinah, dikubur di Baqi’ pada tahun 32H. (Selengkapnya lihat Siyar A’lamin Nubala, 1/461-500. 1413H - 1993M. Cet. 9. Muasasah Ar Risalah)
Ada pun tentang keluasannya dalam ilmu tafsir, dapat tergambar dari riwayat berikut. Diriwayatkan dari Masruq, bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata: “Demi Allah, tidaklah satu ayat diturunkan melainkan akulah yang paling tahu, tentang siapa ayat tersebut? di mana ayat tersebut turun? Seandainya aku tahu ada orang lain yang lebih tahu dariku, maka aku akan datangi dia.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/7-8. Darul Thayibah lin Nasyr wat Tauzi’. Lihat juga As Siyar, 1/470-471. Juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya No. 5002)
Selanjutnya:
حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ المَصْدُوْقُ
Bercerita kepada kami Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan dia adalah Ash Shaadiqul Mashduuq
Ash Shaadiq artinya: المخبر بالحق – pembawa berita yang benar.
Al Mashduuq artinya: الذي صدقه الله وعده – orang yang janjinya telah dibenarkan oleh Allah. (Syakh Muhammad Ismail Al Anshari, At Tuhfah Ar Rabbaniyah, No. 4)
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah memberikan penjelasan:
قوله: "وهو الصادق المصدوق" أي الصادق في قوله المصدوق فيما يأتيه من الوحي الكريم.
“Sabdanya: dan dia adalah Ash Shaadiqul Mashduuq artinya Ash Shaadiq (yang benar) dalam ucapannya, dan Al Mashduuq (yang dibenarkan) pada apa-apa yang datang kepadanya berupa wahyu yang mulia. “ (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 37. Maktabah Al Misykah. Lihat juga Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/489. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri Rahimahullah mengomentari dalam Tuhfah Al Ahwadzi:
ومعناه الصادق في جميع أفعاله حتى قبل النبوة لما كان مشهوراً فيما بينهم بمحمد الأمين، المصدوق في جميع ما أتاه من الوحي الكريم
“Maknanya adalah, dia adalah Ash Shaadiq (yang benar) pada semua perilakunya sampai-sampai sebelum kenabiannya, hal ini telah masyhur di antara mereka ketika beliau diberikan pujian dengan sebutan Al Amin. Sedangkan dia Al Mashduuq (yang dibenarkan) pada semua apa-apa yang dibawanya berupa wahyu yang mulia (Al Quran).” (Syaikh Abul ‘Ala Muhammad bin Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi Bisyarhi Sunan At Tirmidzi, Juz. 6, Hal. 341. Cet. 2, 1963M – 1383H. Tahqiq: Abdul Wahhab bin Abdul Lathif. Al Maktabah As Salafiyah, Madinah )
Kebenaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah diisyaratkan dalam berfirmanNya:
وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الأحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا
“Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata : "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita." Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (QS. Al Ahzab (33): 22)
Selanjutnya:
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمَاً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ
“Sesungguhnya tiap kalian dikumpulkan ciptaannya dalam rahim ibunya, selama 40 hari berupa nutfah (air mani yang kental), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama itu juga”
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah mengutip dari sebagian ulama tentang makna kalimat tersebut:
أن المني يقع في الرحم متفرقا فيجمعه الله تعالى في محل الولادة من الرحم في هذه المدة، وقد جاء عن ابن مسعود في تفسير ذلك "إن النطفة إذا وقعت في الرحم فأراد الله تعالى أن يخلق منها بشراً طارت في بشر المرأة تحت كل ظفر وشعر ثم تمكث أربعين ليلة ثم تصير دماً في الرحم فذلك جمعها وهو وقت كونها علقة"
“Maksudnya yaitu Air mani yang memancar kedalam rahim, lalu Allah pertemukan dalam rahim tersebut selama rentang waktu tersebut (40 hari). Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa dia menafsirkan kalimat diatas dengan menyatakan, “Nutfah yang memancar kedalam rahim bila Allah menghendaki untuk dijadikan seorang manusia, maka nutfah tersebut mengalir pada seluruh pembuluh darah perempuan sampai kepada kuku dan rambut kepalanya, kemudian tinggal selama 40 hari, lalu berubah menjadi darah yang tinggal di dalam rahim. Itulah yang dimaksud dengan “Allah mengumpulkannya” Setelah 40 hari Nutfah menjadi ‘Alaqah (segumpal darah).” (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 38. Maktabah Al Misykah)
Selanjutnya:
ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ
“Kemudian menjadi Mudhghah (segumpal daging) selama itu juga.”
Mudghah adalah قطعة لحم- sepotong daging. Mitsla Dzalik adalah waktunya yakni 40 hari juga. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 4)
Selanjutnya::
ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ المَلَكُ
“ … kemudian diutus kepadanya malaikat ..”
Berkata Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah:
يعني الملك الموكل بالرحم.
“yaitu malaikat yang mungurus rahim.” (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Arbain An Nawawiyah, Hal. 38. Maktabah Al Miykat)
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
ظَاهِره أَنَّ إِرْسَاله يَكُون بَعْد مِائَة وَعِشْرِينَ يَوْمًا
“Menurut zhahirnya, bahwa diutusnya malaikat terjadi setelah 120 hari.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/489)
Selanjutnya:
فَيَنفُخُ فِيْهِ الرٌّوْحَ
“ … untuk meniupkannya ruh ..”
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
…لِأَنَّ نَفْخ الرُّوح لَا يَكُون إِلَّا بَعْد تَمَام صُورَته . وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّ نَفْخ الرُّوح لَا يَكُون إِلَّا بَعْد أَرْبَعَة أَشْهُر
“ .. karena sesungguhnya tidaklah ruh ditiup melainkan setelah sempurnanya bentuk. Para ulama telah sepakat bahwa ditiupnya ruh tidaklah terjadi kecuali setelah empat bulan.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/489. Mawqi’ Ruh Al Islam. Lihat juga Imam As Suyuthi, Ad Dibaj ‘Ala Shahih Muslim, 6/6. Cet. 1. 1996M-1416H. Dar Ibnu ‘Affan Lin Nasyr wat Tauzi’. Lihat juga Imam Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 5/455. Maktabah Al Misykah)
Al Imam Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah menceritakan dalam kitab Ikmal Al Mu’allim:
Dalam hadits Ibnu Mas’ud pada riwayat yang lain, beliau bersabda: “jika nuthfah sudah berada selama 43 hari –dalam riwayat lain 42 hari – maka Allah utus malaikat untuk menentukan bentuknya.” Hingga sabdanya: “Wahai Rabb, laki-laki atau perempuan?” Beliau juga bersabda dalam hadits Hudzaifah bin Usaid: “Malaikat datang kepada nuthfah setelah dia tinggal di rahim selama 40 hari atau 45 hari, lalu malaikat berkata: “Wahai Rabb, sengsara atau bahagia?” Dalam riwayat lain: “Bahwa nuthfah berada dalam rahim selama 40 malam, lalau malaikat mendekatinya dan berkata: Wahai Rabb, laki-laki atau perempuan?” dalam riwayat lain: “40 hari lebih sedikit.” Dalam hadits Anas: “Sesungguhnya Allah telah mengutus malaikat yang mengurus rahim, lalu dia berkata: “Wahai Rabb-nya Nuthfah, wahai Rabbnya ‘alaqah, wahai Rabbnya mudghah!” maka ketika dia hendak menyelesaikannya, dia berkata; “Wahai Rabb, laki-laki atau perempuan? Sengsara atau bahagia? Bagaimana rezekinya? Bagaimana ajalnya?” (Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmal Al Mu’allim Syarh Shahih Muslim, 8/58. Maktabah Al Misykah)
Beliau melanjutkan: “Di berbagai sumber hadits ini berbeda-beda lafaznya, dan tak ada perbedaan bahwa ditiupkannya ruh adalah setelah 120 hari, demikian itu setelah sempurnanya empat bulan, dan memasuki bulan kelima, adanya hal ini dapat diketahui dengan dilihat/kesaksian.” (Ibid. Ucapan ini Juga dikutip oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 11/485. Darul Fikr)
Yaitu bisa diketahui dengan gerakan janin yang dapat dirasakan si ibu dan diketahui oleh mata yang melihat gerakan gelombang pada perut. Berkata Imam Al ‘Aini Rahimahullah:
وقال الراغب وذكر الأطباء أن الولد إذا كان ذكرا يتحرك بعد ثلاثة أشهر وإذا كان أنثى بعد أربعة أشهر
Berkata Ar Raghib: para dokter menyebutkan bahwa bayi, jika laki-laki maka bergerak setelah tiga bulan, dan jika dia perempuan bergerak setelah empat bulan.” (‘Umdatul Qari, 5/455)
Persoalan Fiqih Yang Terkait Usia Kehamilan 4 Bulan
1. Aborsi (menggugurkan kandungan secara sengaja)
Ini pun terbagi atas dua bagian:
a. Aborsi Usia Kandungan 4 bulan lebih dan seterusnya.
Seluruh fuqaha sepakat, bahwa jika aborsi dilakukan pada usia kandungan 4 bulan secara sempurna, atau di atas usia 4 bulan, maka haram. Hal ini sama saja dia telah menghilangkan makhluk bernyawa (yakni manusia) lainnya (baca: pembunuhan). Sebab, usia kandungan 4 bulan sudah menjadi makhluk bernyawa, bukan sekedar lagi gumpalan darah atau daging sebagaimana penjelasan di atas. Dalilnya adalah;
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu? (QS. Al An’am (6): 151).
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu? (QS. Al Isra` (17): 31).
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan (alasan) yang benar (menurut syara’)? (QS. Al Isra` (17): 33).
Dan bila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh? (QS. At Takwir (81): 8-9)
Berkata Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah:
اتفق العلماء على تحريم الإجهاض دون عذر بعد الشهر الرابع أي بعد 120 يوماً من بدء الحمل،ويعد ذلك جريمة موجبة للغُرَّة ، لأنه إزهاق نفس وقتل إنسان.
“Ulama sepakat atas haramnya aborsi tanpa ‘udzur setelah kandungan 4 bulan yaitu 120 hari sejak awal kehamilan, dan mengancam hal itu sebagai kejahatan pembunuhan terhadap permulaan kehidupan, karena dia sudah berbentuk jiwa dan termasuk membunuh manusia.” (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/196. Maktabah Al Misykah)
Tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Quwaitiyah:
وَلاَ يُعْلَمُ خِلاَفٌ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي تَحْرِيمِ الإِْجْهَاضِ بَعْدَ نَفْخِ الرُّوحِ . فَقَدْ نَصُّوا عَلَى أَنَّهُ إِذَا نُفِخَتْ فِي الْجَنِينِ الرُّوحُ حُرِّمَ الإِْجْهَاضُ إِجْمَاعًا . وَقَالُوا إِنَّهُ قَتْلٌ لَهُ ، بِلاَ خِلاَفٍ
“Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat diantara para fuqaha tentang haramnya aborsi setelah ditiupkan ruh. Dasar mereka adalah jika telah ditiupkan ruh terhadap janin maka ijma’ telah mengharamkan aborsi tersebut. Mereka mengatakan hal itu adalah pembunuhan terhadapnya, tak ada perbedaan pendapat.” (Al Mausu’ah, 2/57)
Tetapi jika jika kandungan tersebut –setelah dianalisa dokter terpercaya- membawa bahaya yang jelas bagi si ibu dan mengancam kehidupannya, atau jika dipaksakan maka membawa kematian bagi ibu dan bayi sekaligus, maka para ulama membolehkan menggugurkan bayi tersebut, baik sebelum atau sesudah 4 bulan. Hal ini sesuai kaidah: Al Irtikab Akhafu Dharurain (memilih/menjalankan mudharat yang paling ringan di antara dua mudharat). Maka, nyawa si ibu lebih layak diselamatkan dibanding janin. Dalilnya adalah:
Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya? (QS. Al Maidah (5) : 32)
Tetapi kalangan Hanafiyah tetap melarang aborsi di atas 4 bulan walau pun ada udzur seperti itu. Imam Ibnu ‘Abidin Rahimahullah, salah satu tokoh madzhab Hanafi, mengatakan:
وَلَوْ كَانَ حَيًّا لَا يَجُوزُ تَقْطِيعُهُ لِأَنَّ مَوْتَ الْأُمِّ بِهِ مَوْهُومٌ ، فَلَا يَجُوزُ قَتْلُ آدَمِيٍّ حَيٍّ لِأَمْرٍ مَوْهُومٍ
“Seandainya janin itu hidup, tidak boleh menggugurkannya, sebab kematian si ibu karenanya masih wahm (belum jelas/ samar), maka tidak boleh membunuh manusia hidup karena alasan yang masih samar.” (Raddul Muhtar, 6/384)
b. Aborsi Usia Kandungan Kurang Dari 4 Bulan
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, bahkan dalam satu madzhab pun juga memiliki pandangan yang beragam. Dan, yang menjadi pokok masalahnya adalah karena sebelum 4 bulan, belum ada nyawa (ruh), atau keadaan baru cikal bakal kehidupan. Nah, apakah menggugurkannya sama halnya dengan membunuh bayi bernyawa?
Berikut pandangan madzhab dalam Ahlus Sunnah:
- Hanafiyah
Mereka berpendapat boleh, karena selama usia kandungan belum 120 hari, maka belum bisa disebut manusia. Mereka memaknai penciptaan manusia adalah ketika mulai ditiupkannya ruh. (Lihat Imam Kamaluddin bin Al Hummam, Fathul Qadiir, 7/296. Mawqi’ Al Islam. Lihat juga Imam Ibnu ‘Abidin, Raddul Muhtar, 4/424. Mawqi’ Al Islam)
Disebutkan juga menurut sebagian kalangan Hanafiah: hukumnya makruh jika tanpa udzur, dan jika aborsi dilakukan tetap berdosa. Udzur tersebut adalah: terputusnya air susu ibu setelah melahirkan sedangkan ayahnya tidak mampu membayar wanita lain yang bisa menyusuinya, dan khawatir dia tertimpa malapetaka. (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/197)
- Malikiyah
Padangan yang mu’tamad (resmi/bisa dijadikan pegangan) dalam madzhab Malikiyah adalah Haram mengeluarkan mani yang sudah tertanam di rahim, walaupun sebelum 40 hari. Ada pun jika sudah ditiupkan ruh (4 bulan) maka haram secara ijma’. (Imam Abul Barakat Sayyidi Ahmad Ad Dardir, Asy Syarhul Kabir, 2/266-267. Ihya’ul Kutub Al ‘Arabiyah. Lihat juga Imam Muhammad bin ‘Arafah Ad Dasuqi, Hasyiah ‘ala Asy Syarhil Kabir, 8/78) Tapi, Imam Ad Dasuqi mengatakan bahwa dalam pandangan Malikiyah, ada pula yang memakruhkan saja. (Ibid)
- Syafi’iyah
Beragam pandangan dalam madzhab ini. Ada yang membolehkan dengan kebolehan yang dibenci (makruh tanzih), jika aborsi dilakukan pada masa-masa rentang waktu 40 hari, atau jeda antara 40 atau 42 atau 45., sejak awal kehamilan dengan syarat kerelaan suami dan isteri, dan tidak membawa dampak buruk bagi yang hamil. (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/198)
Sementara Imam Syihabuddin Ar Ramli mengatakan boleh jika sebelum ditiupkannya ruh (belum 4 bulan), tapi jika sudah ditiupkan ruh maka haram secara mutlak. (Imam Ar Ramli, Nihayatul Muhtaj, 8/443. 1404H-1984M. Darul Fikr) Pendapat beliau sama dengan kalangan Hanafiyah.
Imam Ad Dimyathi mengatakan, pendapat yang mu’tamad adalah tidak haram, mengeluarkan mani dan ‘alaqah (segumpal darah) yang sudah tertanam di rahim, (I’anatuth Thalibin, 3/256)
Sedangkan Imam Al Ghazali berpendapat haram, sebab itu merupakan tindakan kriminal terhadap sesuatu yang sudah ada. (Ihya ‘Ulumuddin, 2/47). Pendapat Imam Al Ghazali inilah yang diikuti oleh Syaikh Wahbah Az Zuhaili, katanya:
وإني بهذا الترجيح ميَّال مع رأي الغزالي الذي يعتبر الإجهاض ولو من أول يوم كالوأد جناية على موجود حاصل
“Sesungguhnya saya dengan tarjih ini, lebih cenderung pada pendapat Al Ghazali yang telah melakukan pengujian terhadap masalah aborsi, walaupun itu dilakukan sejak awal (kehamilan) sebagaimana penguburan bayi hidup-hidup, hal itu merupakan kejahatan atas sesuatu yang sudah wujud (ada).” (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/197)
- Hambaliyah (Hanabilah)
Pandangan mu’tamad mereka sama dengan Hanafiyah, yakni boleh. Selama dilakukan selama 4 bulan pertama atau 120 hari sejak awal kehamilan, karena belum ada ruh. Jika lebih dari itu dan sudah ada ruh maka haram secara qath’i (pasti). (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/198)
Nampaknya pendapat Malikiyah dan Imam Al Ghazali yaitu haram, merupakan pandangan lebih tepat dan hati-hati, apalagi di tengah pergaulan bebas seperti saat ini. Sehingga pendapat ini dapat dijadikan preventif (pencegahan) dan membendung angka aborsi yang dilakukan manusia tidak bertanggungjawab, ada pun jika menggunakan pendapat yang membolehkan, maka akan membawa dampak disalahgunakan oleh mereka. Sebab, jika suatu yang haram saja mereka langgar (yakni free sex) apalagi sesuatu yang mubah, mereka akan semakin menjadi-jadi.
Pembahasan di atas hanya berlaku untuk aborsi (keguguran yang disengaja), ada pun keguguran karena lemahnya kandungan, sakit, terjatuh, dan lainnya yang tidak diinginkan oleh orang tuanya, maka itu dimaafkan.
2. Nifaskah Wanita Yang Keguguran?
Kita lihat definisi nifas dahulu. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata tentang arti nifas:
تعريفه: هو الدم الخارج من قبل المرأة بسبب الولادة وإن كان المولود سقطا.
Definisinya: yaitu darah yang keluar dari kemaluan wanita dengan sebab melahirkan, walau pun keguguran. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/ 84. Dar Al Kitab Al ‘Arabi)
Dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah disebutkan definisi nifas, sebagai berikut:
النِّفَاسُ دَمٌ يَخْرُجُ عَقِبَ الْوِلاَدَةِ ، وَهَذَا الْقَدْرُ لاَ خِلاَفَ فِيهِ ، وَزَادَ الْمَالِكِيَّةُ فِي الأَْرْجَحِ : وَمَعَ الْوِلاَدَةِ ، وَزَادَ الْحَنَابِلَةُ : مَعَ وِلاَدَةٍ وَقَبْلَهَا بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ
“Nifas adalah darah yang keluar setelah kelahiran, dan bagian ini tidak ada perbedaan pendapat ulama. Malikiyah menambahkan dalam Al Arjah: darah yang keluar bersamaan dengan kelahiran. Hanabilah (Hambaliyah) menambahkan: darah yang keluar bersamaan dengan kelahiran dan sebelumnya baik dua atau tiga hari sebelumnya.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz. 3, Hal. 198. Maktabah Misykah)
Jadi, darah yang keluar disebabkan keguguran juga termasuk nifas maka berlakukah hukum-hukum nifas bagi wanita tersebut; tidak shalat, tidak puasa, dan tidak boleh jima’. Ada pun larangan membaca Al Quran –sebagaimana wanita haid- tidak ada dalil qaht’i yang menyebutkannya, sedangkan menyentuh Al Quran maka para ulama berselisih tentang itu.
Namun, Keguguran yang bagaimanakah ini? Yakni keguguran yang terjadi pada yang janin telah lengkap memiliki jasad dan ruh (4 bulan ke atas).
Ada pun keguguran yang janinnya belum sampai berbentuk jasad, baru tahapan nuthfah dan ‘alaqah, maka terjadi perselisihan para ulama. Sebagian menyebut itu bukanlah nifas, tetapi darah rusak (fasad) dan berpenyakit (isthadhah).
Dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah yang disusun oleh para ulama di Kuwait yang diterbitkan oleh Departemen Kementrian Waqaf (seperti Depag di Indonesia) disebutkan:
فإن رأت دماً بعد إلقاء نطفة أو علقة، فليس بنفاس
“Maka, jika seorang wanita melihat darah setelah tumpahnya nuthfah atau ‘alaqah (segumpal darah), maka itu bukan nifas.” (Al Mausu’ah, 1/546)
Ini juga menjadi pedapat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, dan lain-lain. Syaikh Utsaimin mengatakan janin telah berbentuk manusia adalah usia 80 hari. Menurut kelompok ini mudghah belumlah menjadi wujud manusia, baru segumpal daging sesuai firman Allah Ta’ala:
“Kemudian (nuthfah) air mani itu Kami jadikan ‘alaqah (segumpal darah), lalu segumpal darah itu Kami jadikan mudghah (segumpal daging), dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al Mu’minun (23): 14)
Maka, jelas sekali bahwa mudghah belumlah wujud manusia, masih segumpal daging yang masih ada tahapan selanjutnya, yaitu pemberian tulang belualang lalu dibungkus lagi dengan daging. Jika sudah wajud seperti itu lalu keguguran, maka itulah nifas.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:
إذا كان الجنين لم يُخلَّق فإن دمها هذا ليس دم نفاس، وعلى هذا فإنها تصوم وتصلي وصيامها صحيح، وإذا كان الجنين قد خُلّق فإن الدم دم نفاس لا يحل لها أن تصلي فيه، ولا أن تصوم، والقاعدة في هذه المسألة أو الضابط فيها أنه إذا كان الجنين قد خلق فالدم دم نفاس، وإذا لم يخلّق فليس الدم دم نفاس، وإذا كان الدم دم نفاس فإنه يحرم عليها ما يحرم على النفساء، وإذا كان غير دم النفاس فإنه لا يحرم عليها ذلك.
“Jika janin belum berbentuk (jasad) maka darahnya bukanlah darah nifas, maka dia tetap berpuasa dan shalat, dan puasanya itu sah. Jika janin telah berbentuk jasad, maka darahnya adalah darah nifas tidak halal dia shalat dan pula tidak puasa. Kaidah atau patokan dalam masalah ini adalah jika janin telah berbentuk jasad maka darahnya adalah darah nifas, dan jika belum berbentuk maka darahnya bukan darah nifas, dan jika darahnya adalah darah nifas maka diharamkan atasnya sebagaimana diharamkan atas orang yang nifas, dan jika bukan darah nifas maka tidaklah diharamkan atasnya sebagaimana tidak diharamkan atas orang tidak nifas.” (Su’al wa Jawab fi Ahkamil Haidh, Hal. 124. Darul Qimmah)
Syaikh Wahah Az Zuhaili Rahimahullah mengutip dari para ulama:
بخروج أكثر الولد، ولو متقطعاً عضواً عضواً، ولو سِقْطاً استبان فيه بعض خلقة الإنسان كأصبع أو ظفر
“(darah nifas) ditandai dengan keluarnya sebagian besar tubuh bayi, walau sepotong-sepotong dari anggota badannya, walau pun keguguran tetapi sudah jelas padanya sebagian bentuk manusia seperti jari dan kuku ..” (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/546. Maktabah Misykah)
Sementara ulama lain menyatakan bahwa walau pun belum berwujud sempurna, masih ‘alaqah (segumpal darah) dan mudghah (segumpal daging) misalnya, itu sudah termasuk nifas. Seorang ulama abad 9 hijriyah, Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al Hushaini Ad Dimasqi Asy Syafi’i Rahimahullah mengatakan:
وأما دم النفاس فهو الخارج عقيب ولادة ما تنقضي به العدة سواء وضعته حياً أو ميتاً كاملاً كان أو ناقصاً وكذا لو وضعت علقة أو مضغة جزم به في الروضة وسواء كان أحمر أو أصفر
“Ada pun nifas dia adalah darah yang keluar setelah melahirkan yang tidak ditentukan jumlahnya, sama saja apakah (janin) dalam keadaan hidup atau mati, sempurna atau kurang (cacat). Demikian pula seandainya yang dilahirkan itu berupa ‘alaqah atau mudghah yang telah tertanam kuat, sama saja apakah berwarna merah atau kuning .“ (Kifayatul Akhyar, Hal. 75. Syamilah)
Maka, menurut pandangan kelompok ini, walau pun usia kandungan baru 40 hari (sebab terjadinya ‘alaqah adalah setelah 40 hari kehamilan sebagaimana hadits yang kita bahas), keguguran yang terjadi tetaplah nifas, karena ‘alaqah merupakan janin juga tetapi yang belum sempurna.
3.Apakah Bayi Keguguran Mesti Dishalatkan?
Ada beberapa keadaan:
- Jika bayi tersebut belum berwujud, masih gumpalan darah atau daging, atau usia kehamilannya di bawah 4 bulan, maka dia langsung dikuburkan saja sebab dia tak ubahnya hanya seonggok daging. Tapi, kalau dia mau dikafankan dan dikubur sebagai penghormatan baginya juga tidak apa-apa.
- Jika bayi tersebut sudah berwujud, dan sudah ditiupkan ruh (4 bulan atau lebih), dan ada tanda kehidupan (gerak atau tangis), maka disikapi sebagaimana mayat biasa; dimandikan (kalau bisa dan tidak dikhawatirkan merusak jasadnya), dikafankan, dishalatkan, lalu di kubur. Inilah yang difatwakan para ulama Islam.
- Jika bayi itu sudah berwujud, sudah 4 bulan, tapi ketika keguuran tidak ada tanda kehidupan maka tidak dishalatkan.
Berikut uraian Khadimus Sunnah Asy Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
السقط إذا لم يأت عليه أربعة أشهر فإنه لا يغسل.
ولا يصلى عليه، ويلف في خرقة، ويدفن من غير خلاف بين جمهور الفقهاء.
فإن أتى عليه أربعة أشهر فصاعدا واستهل غسل وصلي عليه باتفاق.
فإذا لم يستهل فإنه لا يصلى عليه عند الاحناف ومالك والاوزاعي والحسن، لما رواه الترمذي، والنسائي، وابن ماجه والبيهقي عن جابر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: " إذا استهل السقط صلي عليه وورث " ففي الحديث اشتراط الاستهلال في الصلاة عليه.
وذهب أحمد وسعيد وابن سيرين وإسحاق إلى أنه يغسل ويصلى عليه للحديث المتقدم.
وفيه: " والسقط يصلى عليه " ولانه نسمة نفخ فيه الروح، فيصلى عليه كالمستهل.
فإن النبي صلى الله عليه وسلم أخبر أنه ينفخ فيه الروح لاربعة أشهر، وأجابوا عما استدل به الاولون بأن الحديث مضطرب.
وبأنه معارض بما هو أقوى منه، فلا يصلح للاحتجاج به.
“Keguguran jika belum sampai 4 bulan maka janinnya tidak dimandikan dan tidak pula dishalatkan, cukup dibungkus dengan kain lalu dikuburkan, ini tidak ada perbedaan pendapat di antara mayoritas fuqaha.
Jika telah sampai 4 bulan dan memiliki tanda-tanda kehidupan, maka dia dimandikan dan dishalatkan menurut kesepakatan ulama.
Jika tidak ada tanda kehidupan, maka dia tidak dimandikan menurut kalangan Hanafiyah, Malik, Al Auza’I, dan Al Hasan. Sebab diriwayatkan oleh At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah, dan Al Baihaqi dari Jabir bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika bayi keguguran ada tanda kehidupan maka dia dishalatkan dan mendapatkan waris.” Dalam hadits ini tanda-tanda kehidupan dijadikan sebagai syarat untuk dishalatkannya bayi tersebut.
Menurut Ahmad, Sa’id, Ibnu Sirin, dan Ishaq, bayi itu tetap dimandikan dan dishalatkan (walau tak ada tanda kehidupan) sesuai hadits terdahulu. Dalam hadits tersebut disebutkan: “Bayi keguguran dishalatkan.” Karena makhluk hidup (manusia) setalh ditiupkannya ruh, maka dia dishalatkan sebagaimana adanya ‘tanda kehidupan’.
Dan, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengabarkan bahwa ruh ditiupkan setelah 4 bulan. Kelompok menjawab bahwa apa-apa yang dijadikan dalil oleh kelompok pertama (yaitu hadits dari Jabir) adalah hadits mudhtharib (guncang – salah satu jenis hadits dhaif, pen), karena dia bertentangan dengan hadits yang lebih kuat darinya (yaitu hadits Ibnu Mas’ud yang kita bahas dalam syarah arbain ke-4), maka tidak sah berhujjah dengannya.” (Fiqhus Sunnah, 1/529. Darul Kitab Al ‘Arabi)
Catatan:
Hadits dari Jabir yang berbunyi:
إذا استهل الصبي صلي عليه وورث
“Jika bayi keguguran ada tanda kehidupan maka dia dishalatkan dan mendapatkan waris.”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 6032, juga Ibnu Majah dalam Sunannya No. 2750, dan didhaifkan oleh Syaikh Al Albani dalam Dhaiful Jami’ No. 363)
Ada juga yang mirip dengan hadits ini:
إذا استهل الصبي صارخا سمي وصلي عليه وتمت ديته وورث وإن لم يستهل صارخا وولد حيا لم يسم ولم تتم ديته ولم يصل عليه ولم يرث
“Jika bayi keguguran ada tanda kehidupan yang jelas maka dia diberikan nama, dishalatkan, ditunaikan diyatnya dan diwariskan. Jika tidak ada tanda kehidupan yang jelas maka tidak diberikan nama, tidak ditunaikan diyatnya, tidak dishalatkan, dan tidak diwariskan.”
Ini pun dinyatakan dhaif. (Irwa’ul Ghalil, 6/147)
Jadi ada tiga masalah dalam hal ini:
1. Keguguran sebelum 4 bulan, janin tersebut tidak dimandikan dan tidak dishalatkan, hanya dibungkus dan kubur saja. Ini tak ada perbedaan pendapat.
2. Keguguran sudah 4 bulan atau lebih dan ada tanda kehidupan, maka dimandikan, dikafankan dan dishalatkan.
3. Keguguran sudah 4 bulan atau lebih tapi tidak ada tanda kehidupan, maka tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. Ini pandangan Hanafiyah, Malik, Al Auza’I, dan Al Hasan berdasarkan hadits Jabir. Sedangkan menurut Ahmad, Said, Ibnu Sirin, dan Ishaq tetap dimandikan dan dishalatkan.
Pandangan yang lebih kuat adalah apa yang menjadi pandangan Imam Ahmad, Said bin Al Musayyib, Ibnu Sirrin, dan Ishaq bin Rahawaih, bahwa bayi keguguran yang usia kandungannya 4 bulan lebih, tetaplah dimandikan, dikafankan, dan dishalatkan, walau tidak ada tanda kehidupan, berdasarkan dalil yang lebih kuat pula (hadits Ibnu mas’ud) bahwa dia telah ditiupkan ruh, dan kelemahan hadits yang dijadikan dalil oleh kelompok pertama. Wallahu A’lam
Selanjutnya:
وَيَؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ
“dia diperintahkan mencatat empat kata yang telah ditentukan: rezekinya, ajalnya, amalnya, kesulitan atau kebahagiannya.”
Yu’maru (dia diperintahkan), siapa yang diperintahkan? yakni malak (satu malaikat) yang meniupkan ruh kepada manusia di perut ibunya tadi.
Berkata Imam Badruddin Al ‘Aini Rahimahullah:
ويقال له أي للملك المرسل أكتب عمله ورزقه وأجله وشقي أو سعيد وكل ذلك بما اقتضت حكمته وسبقت كلمته
“Dikatakan kepadanya yaitu kepada malaikat yang diutus: tulislah amalnya, rezekinya, ajalnya, susah atau bahagianya. Semua itu ditetapkan dengan hikmahNya dan hikmahNya itu telah mendahului kata-kataNya. (‘Umdatul Qari, 22/461)
Selanjutnya:
فَوَالله الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ
“Demi Allah yang Tiada Ilah kecuali Dia.”
Ini merupakan diantara kalimat sumpah yang pernah diucapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kadang beliau menggunakan Walladzi Nafsiy biyadih (demi zat yang jiwaku ada di tanganNya), kadang Walladzi Nafsu Muhammad biyadih (demi zat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya), dan lainnya. Kadang orang menggunakan Wallahi, Tallahi, Billahi, yang maknanya serupa, Demi Allah!
Ini merupakan salah satu adab dalam bersumpah yakni wajib dengan nama Allah ‘Azza wa Jalla. Bahkan bersumpah dengan selain nama Allah ‘Azza wa Jalla adalah salah satu kesyirikan (yakni syirik ashghar – syirik kecil). Banyak hadits yang menyebutkan hal itu, saya sebutkan satu saja.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, dia mendengar seorang bersumpah: “Tidak, demi Ka’bah.” lalu dia mengatakan: “Jangan kamu bersumpah dengan selain nama Allah, sebab aku mendengar Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من حلف بغير الله فقد كفر أو أشرك
“Barangsiapa yang bersumpah dengan selain nama Allah maka dia telah kufur atauberbuat syirk.” (HR. At Tirmdzi No. 1535, katanya: hasan. Abu Daud No.3251, dan lain-lain. Hadits ini shahih. Lihat Ghayatul Maram No. 259, lihat juga Shahih At Targhb wat Tarhib No. 2952, dan lainnya)
Imam An Nawawi mengatakan:
وفسَّر بعْضُ الْعلماءِ قوْلهُ:"كَفر أَوْ أشركَ"علَى التَّغلِيظِ كما رُوِي أَنَّ النبيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قَالَ:"الرِّيَاءُ شِرْكٌ".
Sebagian ulama menafsirkan makna kufur atau syirik sebagai penegasan/penguatan sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “riya’ termasuk syirik.” (Lihat Riyadhush Shalihin Hal. 477. Cet. 3. 1998M-1419H. Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arna’uth. Muasasah Ar Risalah, Beirut- Libanon)
Lalu, bagaimana dengan ucapan sebagian sahabat nabi, seperti: bi abiy wa bi ummiy (Demi ayah dan demi ibuku!)”. Apakah ini termasuk sumpah dengan selain nama Allah?
Kalimat di atas bukanlah sumpah, tetapi kalimat kebiasaan mereka untuk menunjukkan dalamnya rasa cinta dan hormat mereka kepada lawan bicara. Imam Ibnu Manzhur menyebutkan dalam Lisanul ‘Arab, bahwa kalimat ini aslinya adalah:
فَدَيْتُك بأَبي وأُمِّي
“Saya jadikan ayah dan ibu saya sebagai tebusan untukmu.” (Lisanul ‘Arab, 15/417. Syamilah)
Kemudian kalimat ini diringkas menjadi: bi abiy wa bi ummiy (demi ayah dan ibuku).
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
مَعْنَاهُ أَنْتَ مُفَدًّى أَوْ أَفْدِيك بِأَبِي وَأُمِّي
“Maknanya adalah engkau mendapatkan tebusan atau saya akan menebusmu dengan ayah dan ibuku.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/108. Mawqi’ Ruh A Islam)
Beliau juga mengatakan:
وَفِيهِ جَوَاز قَوْل الرَّجُل لِلْآخَرِ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي . قَالَ الْقَاضِي عِيَاض رَحِمَهُ اللَّه : وَقَدْ كَرِهَهُ بَعْض السَّلَف . وَقَالَ : لَا يُفْدَى بِمُسْلِمٍ . وَالْأَحَادِيث الصَّحِيحَة تَدُلّ عَلَى جَوَازه سَوَاء كَانَ الْمُفَدَّى بِهِ مُسْلِمًا أَوْ كَافِرًا حَيًّا كَانَ أَوْ مَيِّتًا .
“Dalam hadits ini juga menunjukkan bolehnya seseorang berkata kepada orang lain: demi ayahku dan ibuku. Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah mengatakan; sebagian salaf memakruhkannya. Dan, dia berkata: tidaklah ditebus dengan seorang muslim. Hadits shahih ini menunjukkan kebolehannya, sama saja apakah tebusannya itu dengan seorang muslim atau kafir, hidup atau mati.” (Ibid)
Selanjutnya:
إِنََّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ
“Sesungguhnya setiap kalian ada yang melaksanakan perbuatan ahli surga …”
Pada bagian-bagian ini, penjelasan dari Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah cukup memadai bagi kita. Beliau mengatakan:
إلى آخره ظاهر الحديث أن هذا العامل كان عمله صحيحاً وأنه قرب من الجنة بسبب عمله حتى بقي له على دخولها ذراع وإنما منعه من ذلك سابق القدر الذي يظهر عند الخاتمة فإذاً الأعمال بالسوابق لكن لما كانت السابقة مستورة عنا والخاتمة ظاهرة جاء في الحديث: "إنما الأعمال بالخواتيم" يعني عندنا بالنسبة إلى اطلاعنا في معنى الأشخاص وفي بعض الأحوال، وأما الحديث الذي ذكره مسلم في صحيحه في كتاب الإيمان: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "إن الرجل ليعمل بعمل أهل الجنة فيما يبدو للناس وهو من أهل النار" فإنه لم يكن عمله صحيحاً في نفسه وإنما كان رياء وسمعة فيستفاد من ذلك الحديث ترك الالتفات إلى الأعمال والركون إليها والتعويل على كرم الله تعالى ورحمته.
Secara zhahir, hadits ini menunjukkan bahwa orang tersebut melakukan perbuatan yang benar dan amal itu mendekatkan pelakunya ke surga sehingga dia hampir dapat masuk ke surga hampir satu hasta. Ia ternyata terhalang untuk memasukinya karena taqdir yang telah ditetapkan bagi dirinya di akhir masa hayatnya dengan melakukan perbuatan ahli neraka. Dengan demikian, perhitungan semua amal baik itu tergantung pada apa yang telah dilakukannya. Akan tetapi, bila ternyata pada akhirnya tertutup dengan amal buruk, maka seperti yang dikatakan pada sebuah hadits: “Segala perbuatan itu nilainya tergantung pada amal terakhirnya.” Maksudnya, menurut kami hanya terjadi pada orang-orang dan keadaan tertentu saja. Adapun hadits yang disebut oleh Imam Muslim dalam Kitabul Iman dalam kitab Shahihnya bahwa Rasulullah bersabda : ”Seseorang melakukan amalan ahli surga dalam pandangan manusia, tetapi sebenarnya dia adalah ahli neraka.” Ini menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukannya tidak benar dan dilakukan karena riya serta sum’ah . Faidah dari hadits ini adalah memandang dari sisi niat pelakunya bukan perbuatan lahiriyahnya, ada orang yang selamat dari riya’ itu semata-mata karena karunia dan rahmat Allah Ta’ala. (Imam Ibnu daqiq Al ‘Id, Syarah Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 38)
Selanjutnya:
حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلاذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَايَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إلا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
sehingga jarak antara dirinya dan surga hanyalah sehasta, namun dia telah didahului oleh al kitab (ketetapan/takdir), maka dia mengerjakan perbuatan ahli neraka, lalu dia masuk ke dalamnya. Di antara kalian ada yang mengerjakan perbuatan ahlin naar (penduduk neraka), sehingga jarak antara dirinya dan neraka cuma sehasta, namun dia telah didahului oleh taqdirnya, lalu dia mengerjakan perbuatannya ahli surga, lalu dia memasukinya. ”
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id mengatakan:
المراد: أن هذا قد يقع في نادر من الناس لا أنه غالب فيهم وذلك من لطف الله سبحانه وسعة رحمته فإن انقلاب الناس من الشر إلى الخير كثير، وأما انقلابهم من الخير إلى الشر ففي غاية الندور ولله الحمد والمنة على ذلك، وهو تجوز، وقوله: "إن رحمتي سبقت غضبي" وفي رواية "تغلب غضبي".
وفي هذا الحديث إثبات القدر كما هو مذهب أهل السنة وأن جميع الواقعات بقضاء الله تعالى وقدره خيرها وشرها نفعها وضرها قال الله تعالى: {لا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ} . ولا اعتراض عليه في ملكه يفعل في ملكه ما يشاء. قال الإمام السمعاني: سبيل معرفة هذا الباب: التوفيق من الكتابة والسنة دون محض القياس ومجرد العقول فمن عدل عن التوفيق منه ضل وتاه في مجال الحيرة ولم يبلغ شفاء النفس ولا يصل إلى ما يطمئن به القلب لأن القدر سر من أسرار الله تعالى ضربت دونه الأستار واختص سبحانه به وحجبه عن عقول الخلق ومعارفهم، وقد حجب الله تعالى علم القدر عن العالم فلا يعلمه ملك ولا نبي مرسل، وقيل إن سر القدر ينكشف لهم إذا دخلوا الجنة ولا ينكشف قبل ذلك.
وقد ثبتت الأحاديث بالنهي عن ترك العمل اتكالاً على ما سبق من القدر بل تجب الأعمال والتكاليف التي ورد بها الشرع وكل ميسر لما خلق له لا يقدر على غيره فمن كان من أهل السعادة يسره الله لعمل أهل السعادة ومن كان من أهل الشقاوة يسره الله لعمل أهل الشقاوة كما في الحديث وقال الله تعالى: {فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى ... فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى} .
قال العلماء: وكتاب الله تعالى ولوحه وقلمه كل ذلك مما يجب الإيمان به، وأما كيفية ذلك وصفته فعلمه إلى الله تعالى لا يحيطون بشيء من علمه إلا بما شاء. والله أعلم
Maksudnya bahwa, hal semacam ini bisa saja terjadi namun sangat jarang dan bukan merupakan hal yang biasa. Karena kemurahan, keluasan dan rahmat Allah kepada manusia. Yang banyak terjadi adalah manusia yang tidak baik berubah menjadi baik dan jarang orang baik menjadi tidak baik.
Firman Allah Ta’ala, “RahmatKu mendahului kemarahanKu” menunjukkan adanya kepastian taqdir sebagaimana keyakinan Ahlus Sunnah bahwa semua kejadian ada dengan ketetapan Allah dan taqdirNya, baik dalam hal keburukan dan kebaikan, juga dalam hal membawa manfaat dan bahaya. Firman Allah: “Dan Dia tidak dimintai tanggung jawab (tidak ditanya) atas segala tindakan-Nya tetapi mereka akan dimintai tanggung jawab.” (QS. Al Anbiya’ : 23) menyatakan bahwa kekuasaan Allah tidak tertandingi dan Dia melakukan apa saja yang dikehendaki dengan kekuasaanNya itu.
Imam Sam’ani mengatakan: “Cara untuk memahami masalah ini adalah dengan mengkompromikan (taufiq) apa yang tersebut dalam Al Qur’an dan Sunnah, bukan semata-mata dengan qiyas dan akal. Barang siapa yang keluar dari cara ini dalam memahami pengertian di atas, maka dia akan sesat dan berada dalam kebingungan, dia tidak akan memperoleh obat bagi jiwa dan ketentraman hati. Hal ini karena taqdir merupakan salah satu rahasia Allah yang terhalang untuk diketahui oleh manusia dengan akal ataupun pengetahuannya. Allah Ta’ala telah menutup pengetahuan tentang taqdir dari seorang ulama, malaikat dan para nabi sekalipun tidak ada yang mengetahuinya”.
Ada yang mengatakan : “Rahasia taqdir akan diketahui oleh makhluk ketika mereka menjadi penghuni surga, tetapi sebelumnya tidak dapat diketahui”.
Beberapa hadits telah menetapkan larangan kepada manusia yang tidak mau melakukan perbuatan dengan alasan telah ditetapkan taqdirnya. Bahkan, semua amal dan perintah yang tersebut dalam syari’at harus dikerjakan. Setiap orang akan diberi jalan yang mudah menuju kepada taqdir yang telah ditetapkan untuk dirinya. Orang yang ditaqdirkan masuk golongan yang beruntung maka ia akan mudah melakukan perbuatan-perbuatan golongan yang beruntung sebaliknya orang-orang yang ditaqdirkan masuk golongan yang celaka maka ia akan mudah melakukan perbuatan-perbuatan golongan celaka sebagaimana tersebut dalam Firman Allah : “Maka Kami akan mudahkan dia untuk memperoleh keberuntungan”. (QS. Al Lail :7) …. “Kemudian Kami akan mudahkan dia untuk memperoleh kesusahan”. (QS.Al Lail :10)
Para ulama berkata : “Al Qur’an, lembaran, dan penaNya, semuanya wajib diimani begitu saja, ada pun tentang bagaimana hal itu dan sifat-sifatnya, maka pengetetahuannya kembalikan kepada Allah Ta’ala”.
Allah Ta’ala berfirman : “Manusia tidak sedikit pun mengetahui ilmu Allah, kecuali yang Allah kehendaki”.(QS. Al Baqarah (2) : 255) (Ibid, Hal. 39-40)
Wallahu A’lam
Oleh: Farid Nu’man Hasan
http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/188
Fadhilah Surat Al Ikhlas
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam dan satu-satunya yang berhak diibadahi. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Pada kesempatan sebelumnya kami pernah mengutarakan mengenai tafsir surat Al Ikhlas ke tengah-tengah pembaca sekalian. Untuk saat ini kami akan melanjutkan pembahasan tersebut. Kami akan ketengahkan mengenai keutamaan surat Al Ikhlas yang sangat berharga. Semoga hal ini semakin mendorong kita untuk merenungkan saran ini. Selamat membaca.
Keutamaan Pertama: Surat Al Ikhlas Setara dengan Tsulutsul Qur’an (Sepertiga Al Qur’an)
Hal ini berdasarkan hadits,
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ أَنَّ رَجُلاً سَمِعَ رَجُلاً يَقْرَأُ ( قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ) يُرَدِّدُهَا ، فَلَمَّا أَصْبَحَ جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ ، وَكَأَنَّ الرَّجُلَ يَتَقَالُّهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ إِنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ »
Dari Abu Sa’id (Al Khudri) bahwa seorang laki-laki mendengar seseorang membaca dengan berulang-ulang ’Qul huwallahu ahad’. Tatkala pagi hari, orang yang mendengar tadi mendatangi Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian tersebut dengan nada seakan-akan merendahkan surat al Ikhlas. Kemudian Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya surat ini sebanding dengan sepertiga Al Qur’an”. (HR. Bukhari no. 6643) [Ada yang mengatakan bahwa yang mendengar tadi adalah Abu Sa’id Al Khudri, sedangkan membaca surat tersebut adalah saudaranya Qotadah bin Nu’man.]
Begitu juga dalam hadits:
عَنْ أَبِى الدَّرْدَاءِ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ فِى لَيْلَةٍ ثُلُثَ الْقُرْآنِ ». قَالُوا وَكَيْفَ يَقْرَأُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ قَالَ « (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ) يَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ ».
Dari Abu Darda’ dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Apakah seorang di antara kalian tidak mampu untuk membaca sepertiga Al Qur’an dalam semalam?” Mereka mengatakan, ”Bagaimana kami bisa membaca seperti Al Qur’an?” Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Qul huwallahu ahad itu sebanding dengan sepertiga Al Qur’an.” (HR. Muslim no. 1922)
An Nawawi mengatakan, dalam riwayat yang lainnya dikatakan, ”Sesungguhnya Allah membagi Al Qur’an menjadi tiga bagian. Lalu Allah menjadikan surat Qul huwallahu ahad (surat Al Ikhlash) menjadi satu bagian dari 3 bagian tadi.” Lalu Al Qodhi mengatakan bahwa Al Maziri berkata, ”Dikatakan bahwa maknanya adalah Al Qur’an itu ada tiga bagian yaitu membicarakan (1) kisah-kisah, (2) hukum, dan (3) sifat-sifat Allah. Sedangkan surat Qul huwallahu ahad (surat Al Ikhlash) ini berisi pembahasan mengenai sifat-sifat Allah. Oleh karena itu, surat ini disebut sepertiga Al Qur’an dari bagian yang ada. (Syarh Shohih Muslim, 6/94)
Apakah Surat Al Ikhlas bisa menggantikan sepertiga Al Qur’an?
Maksudnya adalah apakah seseorang apabila membaca Al Ikhlas sebanyak tiga kali sudah sama dengan membaca satu Al Qur’an 30 juz? [Ada sebagian orang yang meyakini hadits di atas seperti ini.]
Jawabannya: tidak. Karena ada suatu kaedah: “Sesuatu yang bernilai sama, belum tentu bisa menggantikan.”
Jawabannya: tidak. Karena ada suatu kaedah: “Sesuatu yang bernilai sama, belum tentu bisa menggantikan.”
Itulah surat Al Ikhlas. Surat ini sama dengan sepertiga Al Qur’an, namun tidak bisa menggantikan Al Qur’an. Salah satu buktinya adalah apabila seseorang mengulangi surat ini sebanyak tiga kali dalam shalat, tidak mungkin bisa menggantikan surat Al Fatihah (karena membaca surat Al Fatihah adalah rukun shalat, pen). Surat Al Ikhlas tidak mencukupi atau tidak bisa menggantikan sepertiga Al Qur’an, namun dia hanya bernilai sama dengan sepertiganya.
Bukti lainnya adalah seperti hadits :
مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ عَشْرَ مِرَارٍ كَانَ كَمَنْ أَعْتَقَ أَرْبَعَةَ أَنْفُسٍ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ
”Barangsiapa mengucapkan (لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ) sebanyak sepuluh kali, maka dia seperti memerdekakan emat budak keturunan Isma’il.” (HR. Muslim no. 7020)
Pertanyaannya : Apakah jika seseorang memiliki kewajiban kafaroh, dia cukup membaca dzikir ini?
Jawabannya : Tidak cukup dia membaca dzikir ini. Karena sesuatu yang bernilai sama belum tentu bisa menggantikan. (Diringkas dari Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah 97-98, Tafsir Juz ‘Amma 293)
Mudah-mudahan kita memahami hal ini.
Jawabannya : Tidak cukup dia membaca dzikir ini. Karena sesuatu yang bernilai sama belum tentu bisa menggantikan. (Diringkas dari Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah 97-98, Tafsir Juz ‘Amma 293)
Mudah-mudahan kita memahami hal ini.
Keutamaan Kedua: Membaca surat Al Ikhlash sebab mendapatkan kecintaan Allah
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdurrahman bin Wahb telah menceritakan kepada kami pamanku yaitu Abdullah bin Wahb, telah menceritakan kepada kami Amru bin Harits dari Sa'id bin Abu Hilal bahwa Abu Rijal Muhammad bin Abdurrahman, telah menceritakan kepadanya dari ibunya Amrah binti Abdurrahman, saat itu ia berada di rumah Aisyah, isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengutus seorang lelaki dalam suatu sariyyah (pasukan khusus yang ditugaskan untuk operasi tertentu). Laki-laki tersebut ketika menjadi imam shalat bagi para sahabatnya selalu mengakhiri bacaan suratnya dengan "QUL HUWALLAHU AHAD." Ketika mereka pulang, disampaikan berita tersebut kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau bersabda:
سَلُوهُ لِأَيِّ شَيْءٍ يَصْنَعُ ذَلِكَ
"Tanyakanlah kepadanya kenapa ia melakukan hal itu?" Lalu mereka pun menanyakan kepadanya. Ia menjawab,
لِأَنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَقْرَأَ بِهَا
"Karena didalamnya terdapat sifat Ar Rahman, dan aku senang untuk selalu membacanya." Mendengar itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
أَخْبِرُوهُ أَنَّ اللَّهَ يُحِبُّهُ
"Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah Ta'ala juga mencintainya." (HR. Bukhari no. 7375 dan Muslim no. 813)
Ibnu Daqiq Al ’Ied menjelaskan perkataan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ”Kabarkan padanya bahwa Allah mencintainya”. Beliau mengatakan, ”Maksudnya adalah bahwa sebab kecintaan Allah pada orang tersebut adalah karena kecintaan orang tadi pada surat Al Ikhlash ini. Boleh jadi dapat kitakan dari perkataan orang tadi, karena dia menyukai sifat Rabbnya, ini menunjukkan benarnya i’tiqodnya (keyakinannya terhadap Rabbnya).” (Fathul Bari, 20/443)
Faedah dari hadits di atas:
Ibnu Daqiq Al ’Ied menjelaskan, ”Orang tadi biasa membaca surat selain Al Ikhlash lalu setelah itu dia menutupnya dengan membaca surat Al Ikhlash (maksudnya: setelah baca Al Fatihah, dia membaca dua surat, surat yang terakhir adalah Al Ikhlash, pen). Inilah yang dia lakukan di setiap raka’at. Kemungkinan pertama inilah yang nampak (makna zhohir) dari hadits di atas. Kemungkinan kedua, boleh jadi orang tadi menutup akhir bacaannya dengan surat Al Ikhlash, maksudnya adalah surat Al Ikhlas khusus dibaca di raka’at terakhir. Kalau kita melihat dari kemungkinan pertama tadi, ini menunjukkan bolehnya membaca dua surat (setelah membaca Al Fatihah) dalam satu raka’at.” Demikian perkataan Ibnu Daqiq. (Fathul Bari, 20/443)
Lantas apakah perbuatan orang tersebut perlu dicontoh? Jawabannya, para ulama (semacam Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin) memberi penjelasan bahwa perbuatan semacam ini tidak perlu dicontoh karena beliau hanya menyetujuinya saja, namun bukan bermaksud orang lain untuk mengikutinya dengan membaca Al Ikhlas di akhir bacaan.
Inilah di antara fadhilah (keutamaan surat Al Ikhlash). Semoga bermanfaat. Ya Allah, berikanlah kami ilmu yang bermanfaat.
Tulisan di masa silam, dilanjutkan penyempurnaannya pagi hari di wisma MTI, Pogung Kidul, 8 Jumadill Ula 1431 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
Subscribe to:
Posts (Atom)