Tafsir Surat Yassin Ayat 12

Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang yang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS Yasin:12).

Ayat yang tertera di atas, masih ada hubungannya dengan ayat sebelumnya yang berbunyi: .

Sesungguhnya kamu hanyalah memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Rabb Yang Maha Pemurah walaupun dia tidak melihatNya. Maka berilah dia kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia. (QS Yasin : 11).

1 Ada Dua Hal Yang Menyatukan Kedua Ayat Tersebut
Pertama. Setelah Allah menceritakan kondisi orang yang mampu mengambil manfaat dari peringatan Rasulullah (ayat 11) dan juga keadaan orang yang menutup telinga darinya (dalam ayat sebelumnya), maka dalam ayat ini, Allah menyatakan bahwa mereka semua akan dihidupkan kembali setelah kematiannya, dan akan mendapat balasan sesuai dengan amalannya. Oleh karena itu, hubungan antara keduanya sangat jelas. Sebab ayat ini mengandung kabar gembira bagi orang mukmin yang menerima dakwah dan juga sekaligus berisi peringatan serta ancaman bagi orang- orang menentang.
Kedua. Setelah Allah menceritakan tentang orang-orang yang mendustakan (ayat-ayatNya), sebenarnya penolakan itu ibarat kematian. Jika Allah mampu menghidupkan jasad kasar orang- orang yang telah meninggal secara hakiki, tentu Dia juga mampu menghidupkan mereka yang meninggal secara maknawi (dalam kekufuran, Maksudnya memberikan hidayah).

2 Tafsir Ayat

(Inna Nahnu Nuhyil Mawta), “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang yang mati…
(Inna) yang berarti Kami, adalah dhamir jamak (kata ganti jamak tunggal) yang mewakili lafzhul jalalah (Allah) yang satu. Berarti bentuk ini, pasti ditujukan sebagai ta'zhim (pengagungan kepada Allah).
(Al Mawtaa) artinya, semua yang sudah mati, mencakup anak Adam dan lain sebagainya. Namun firman Allah selanjutnya mengarah kepada orang-orang yang mukallaf (orang terkena beban syari'at) secara khusus. Para ulama berselisih pa.ndangan mengenai bentuk takhsis seperti di atas.
Syaikh 'Utsaimin berpendapat :

"Bisa disebutkan bahwa yang dimaksudkan adalah orang-orang yang telah meninggal, yang bekas-bekasnya dituliskan''.
Ini dengan dasar firrnanNya
(Wa Naktubu Maa Qaddamuu Wa Aa Tsaa Rahum) Mungkin ada orang yang berkata, perhitungkanlah keumuman dalam lafazh (Al Mawtaa), yaitu setiap yang telah mati (Wa Naktubu) dan Kami akan menuliskan apa yang ditinggalkan sebagian mereka, yaitu hanya orang-orang yang mukallaf sa]a.
Timbul pertanyaan, dalam firman Allah Wa Naktubu Maa Qaddamuu Wa Aa Tsaa Rahum yang berarti: Dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan; Apakah yang menuliskannya itu Allah atau para malaikat dengan titahNya?
Jawabannya, yang menuliskannya ialah para malaikat yang bergerak atas perintah Allah. Allah berfirman:

Bukan hanya durhaka saja, bahkan kamu mendustakan hari Pembalasan. Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (perbuatanmu). Yang mulia (disisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu). Mereka mengetahui apa yang kamu yang kerjakan. (QS Al Infithar : 9-12).
Penisbatan penulisan kepada subyek yang memerintahkan, banyak ditemukan dalam sastra Arab.
(Maa Qaddamuu) segala yang mereka tinggalkan. maksudnya segala amalan shalih yang mereka kerjakan di dunia. Karena, orang muslim yang melakukan amalan shalih di dunia, berarti ia telah menyuguhkan amalan tersebut. Bagaikan orang yang bertransaksi dalam bentuk As Salm. Dalam transaksi salm, sang pembeli rnembayar dimuka (barang atau jasanya). Maka, engkau (yang sedang beramal shalih) sekarang ini sedang membayar tarif di muka. Adapun balasannya, akan diterima di hari Kiamat kelak. Balasannya, juga bisa terjadi di dunia dan di hari Kiamat sekaligus. Jika Anda mengarnalkan amal shalih sekarang ini, sejatinya Anda telah mendahulukan harga membayar sesuatu buat diri Anda sendiri yang akan dinikmati balasannya di hari Kiamat. Yakinlah, Allah tidak menyia-nyiakan amalan orang yang berbuat baik. (Wa Naktubu Maa Qaddamuu Wa Aa Tsaa Rahum)
Menurut Irnam As Suyuthi, yang dimaksud adalah Kami (Allah) menulis segala yang mereka kerjakan di Lauh Mahfuzh. Tafsiran ini tidak sesuai dengan ayat di atas secara tekstual. Sebab, bentuknya fi'il mudhari' (continous tense/ kata kerja untuk yang sedang terjadi). Kata kerja seperti itu, tidak boleh diarahkan kepada masa lampau, kecuali dengan adanya suatu dasar. Sementara di sini, tidak ada dasarnya. Sebab penulisan dalam Lauh Mahfuzh telah tuntas. Allah berfirman:

Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang shalih. (QS Al Anbiya: 105).
Proses penulisan dalam Lauh Mahfuzh sudah paripurna. Oleh karena itu, tidak bisa dibenarkan kata (Naktubu) digunakan untuk sesuatu yang telah usai. Maka, maksudnya adalah kami mencatat dalam lembaran-lembaran amalan semua perbuatan baik atau buruk yang dikerjakan manusia agar mendapatkan balasan. Pekerjaan (penulisan) ini dikerjakan oleh para malaikat atas perintah Allah. Manusia akan mendapatkan balasannya. Tetapi kebaikan akan terjamin keberadaannya. Sedangkan amalan yang buruk tidak dijamin keberadaannya. Kebaikan, meskipun sedikit, ia tidak mungkin terabaikan. Sedangkan kejelekan, kadang akan diampuni oleh Allah, asalkan bukan kesyirikan. Disebutkan dalam firman Allah , yang artinya:

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selainnya bagi yang dikehendaki. (QS An-Nisa' 116)
Ini baik sekali bagi manusia sebab kejelekan tidak dijamin keberadaannya.
(Wa Aa Tsaa Rahum) Bentuk tunggal atsar, artinya, semua yang mengiringi. Misalnya, bekas telapak kaki setelah berjalan. Maka, bekas telapak kaki ini mengiringinya. Apakah yang dimaksud dengan bekas-bekas (yang mereka tinggalkan)? Imam As Suyuthi menafsirkannya dengan segala sesuatu yang diikuti orang lain sepeninggalnya. Namun penafsiran ini hanya sekedar contoh saja, bukan sebagai pembatasan makna, Sebab obyek yang ditulis lebih banyak dari sekedar yang diikuti orang setelah meninggalnya. Ini berdasarkan sabda Nabi :
Bila ada anak Adam meninggal, maka telah terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara. (Yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang berdoa untuknya.2
Sebagai contoh, sedekah jariyah termasuk atsar-atsar (bekas-bekas peninggalannya). Jika ada seseorang yang mewakafkan ladang atau kebunnya untuk para orang miskin dan mereka dapat mengambil manfaat darinya setelah meninggal, maka tak pelak lagi, demikian ini terhitung sebagai bagian dari atsarnya. Kendatipun penyerahannya waktu ia masih hidup, tapi pemanfaatannya setelah wafatnya. Ilmu yang bermanfaat juga termasuk atsar. Setiap ilmu yang dapat dimanfaatkan setelah kcmatian, maka termasuk atsamya. Demikian juga anak shalih termasuk atsar, lantaran ia merupakan usaha orang tuanya. Jika anak shalih mendoakan ayah atau ibunya, maka itu termasuk atsar. Disamping itu, rintisan amal shalih atau akhlak luhur yang diikuti orang lain, juga merupakan atsar. jadi atsar sifatnya terjadi setelah kematian seseorang.

Wa Kulla Syayin A hshaynaahuu fii I Maamimmubiin (Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).)
Kata (I Maami) dipakai untuk beberapa makna yang maksudnya sebagai rujukan. Sebagai permisalan, imam shalat. Disebut imam, karena ia menjadi sumber rujukan para rnakmun dalam shalat. Lauh Mahfuzh disebut sebagai imam lantaran menjadi sumber. Allah berfirman:

Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari Kiamat scbuah kitab yang ia jumpai dalam keadaan terbuka. "Bacalah kitabmu, cukuplah dinmu sendiri pada waktu itu sebagai penghisab terhadapmu". (QS Al Isra': 13-14).
Kesimpulannya, kata imam di sini bermakna kitab.
mmubiin (yang nyata), yang terlihat jelas. Mubin, artinya menjelaskan dan menerangkan segala perkara. Namun juga berarti bayyin (yang jelas).


Catatan Kaki

2
HR. Muslim Kitab Al Washiyyah, Bab Ma Yalhaqu Al Insana Min Ats Tsawab Ba'da Wafatihi (Kitab Wasiat, Bab pahala yang akan menyusul manusia setelah kematiannya), no. 1631. 
http://blog.vbaitullah.or.id/2006/10/05/795-tafsir-surat-yassin-ayat-12-12/

Dari bagian pertama kita mengetahui secara ringkas kandungan tafsir surat Yasin ayat 12. Maka lanjutan dari pembahasan ini adalah poin-poin penting yang dapat kita ambil pelajaran dari ayat tersebut. Beberapa hikmah dan informasi yang sangat berharga untuk selalu kita ingat, agar dapat membantu kita dalam menjalani kehidupan ini. Apa saja?


3 Beberapa Pelajaran Dari Ayat Di Atas

  1. Adanya penjelasan tentang kekuasaan Allah dalam menghidupkan manusia yang telah mati. Allah membuktikannya dengan beberapa dalil aqli dan hissi (bisa ditangkap panca indera). Diantara dalil aqli yang termaktub dalam ayat:
    Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (rnenghidupkan)nya kembali dan menghidupkannya kembali lebih mudah. bagiNya. (QS Ar Rum : 27).
    Ini sebuah petunjuk mengenai mungkinnya menghidupkan kembali orang yang telah mati. Sebab, proses pengulangan lebih mudah daripada memulai. Dzat yang mampu memulai penciptaan, maka Dia sudah pasti lebih mudah untuk mengulanginya kembali. Persis seperti kandungan ayat:

    Sebagairnana Kami telah memulai penciptaan pertama kali. begitulah Kami akan mengulanginya. (QS Al Anbiya': 104).
    Berkaitan dengan petunjuk yang dapat dicerna panca indera, contoh ayatnya sangat banyak. Misalnya Firman Allah :
    Dan sebagian dari tanda kekuasaanNya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya (Dzat) Yang Menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS Fushshilat:39).
    Allah menegaskan kekuasaanNya dalam menghidupkan orang-orang yang telah mati dengan berbagai petunjuk aqli (pandangan logis) dan hissi. Dalil aqli kita pergunakan dalam menghadapi orang rasionalis. Sedangkan dalil hissi, diarahkan kepada orang yang berpikir dangkal.

  2. Ayat di atas memberitakan sebuah isyarat (sinyal) dari Allah, bahwa orang yang hatinya tidak merasa takut kepadaNya, tidak sudi mengikuti Adz Dzkr (Al Quran), Allah tetap berkuasa untuk menghidupkan hatinya, sehingga takut kepadaNya. Setelah Allah menyebutkan klasifikasi manusia yang terbagi menjadi golongan yang takut kepadaNya dan mengikuti Adz Dzikr, dan golongan yang tidak demikian, maka ini mengisyaratkan bahwa Allah dapat mengembalikan mereka menuju kepada pangkuan al haq (kebenaran).
  3. Segala sesuatu yang muncul dari manusia telah tertulis, baik yang akan menolongnya atau perkara yang akan menjadi bebannya di akhirat berdasarkan firmanNya:
    Wa Naktubu Maa Qaddamuu Wa Aa Tsaa Rahum

  4. Allah mencatat segala sesuatu, baik yang sedikit ataupun banyak berdasarkan firmanNya:
    Maa Qaddamuw
  5. Amal perbuatan tidak terhenti dengan kematian dengan dasar firmanNya:
    Wa Aa Tsaa Rahum
    dan kata atsar mencakup ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah, anak shalih yang mendoakan orang tua dan amalan Sunnah yang dihidupkan dan diikuti orang-orang.

  6. Penjelasan tentang hikmah Allah dalam mengendalikan perkara-perkara dengan ketelitian dan kejelianNya. Tidak ada satu pun yang terlewatkan. Pelajaran ini dapat dipetik dari firmanNya:
    Wa Kulla Syayin Ahshaynaahuu Fii Imaamimmubiin
  7. Segala sesuatu yang dituliskan atas manusia benar lagi jelas, tidak ada seorang pun yang meragukannya. Ini terpetik dari kata mmubiin, sesuatuyang menerangkan dengan gamblang. Kerena itu Allah berflrman, yang artinya:
    Dan Kami keluarkan baginya pada hari Kiarnat sebuah kitab yang ia jumpai dalam keadaan terbuka. "Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu itu sebagai penghisab terhadapmu". (QS Al Isra' : 13-14)..
Washallallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shahbihi ajma'in.
http://blog.vbaitullah.or.id/2006/10/05/796-tafsir-surat-yassin-ayat-12-22/