Tenteramkan Jiwa dengan Berdzikir kepada Allah SWT

Allah SWT berfirman:


ألا بذكر الله تطمئن القلوب

Ketahuilah dengan berdzikir kepada Allah jiwa (hati) menjadi damai (tenteram)

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ

“Tidaklah kalian ketahui bahwa hati hamba-hamba Allah SWT yang beriman itu dibahagiakan oleh Allah dengan banyak berdzikir kepada-Nya” (QS. Al-Hadid:16)

Bulan suci Ramadhan merupakan salah satu cara Allah memberikan kebahagiaan kepada hamba-hamba-Nya; terutama kebahagiaan batin, yaitu melalui peningkatan kualitas iman dan taqwa. Sementara itu di antara sarana untuk meningkatkan mutu dan kualitas keimanan dan ketaqwaan adalah berdzikir kepada Allah. Karena itulah, pada bulan suci ini umat Islam sangat dianjurkan untuk memperbanyak ibadah di antaranya adalah dzikir.

Standar dzikir yang diharapkan adalah tidak hanya sekadar gerakan lisan namun memiliki bekas dan pengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Dengan dzikir yang banyak diharapkan mampu menghadirkan nur (cahaya) Allah SWT, begitu pula memberikan ketenangan dan ketenteraman jiwa. Karena itu, semakin kuat iman seseorang maka akan semakin banyak pula dzikirnya kepada Allah SWT.

Dzikir kepada Allah juga menjadi alat hamba yang beriman untuk menghapus dosa-dosanya sebagaimana janji Allah SWT dalam Al-Quran:

وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Allah mempersiapkan pengampunan dosa dan ganjaran yang mulia bagi kaum muslimin dan muslimat yang berdzikir.” (QS. Al-Ahzab:35)

Sebagaimana dzikir kepada Allah SWT merupakan sarana untuk menerangi pikiran dan mental guna mencapai taraf kesadaran ketuhanan yang Maha Tinggi. Lebih jauh lagi dzikir juga akan membawa ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan hidup sebagaimana firman-Nya:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan dzikrullah. Ingatlah hanya dengan berdzikir maka hati akan menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’ad: 28).

Pentingnya berdzikir juga diungkapkan dalam sebuah hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abu Darda Nabi saw bersabda:

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيكِكُمْ وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِعْطَاءِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ قَالُوا بَلَى قَالَ ذِكْرُ اللَّهِ تَعَالَى

“Maukah aku beritahukan sebaik-baik amal dan lebih tinggi derajatnya dan lebih bersih di sisi Raja (Allah) kalian, dan sebaik-baik pemberian daripada emas dan uang, dan sebaik-baik kalian dari bertemu musuh lalu kalian memenggal leher mereka atau kalian yang terpenggal, mereka berkata: mau, nabi bersabda: Dzikir kepada Allah SWT”. (Bukhari Muslim)

Begitu pun dengan berdzikir dapat membangkitkan selera ibadah serta menuju akhlaq yang mulia. Karena dzikir selain merupakan pekerjaan hati dengan selalu mengingat Allah SWT setiap saat dan dalam semua kondisi. Namun juga merupakan kerja lisani (ucapan), kerja aqli (menangkap bahasa Allah di balik setiap gerak alam), dan kerja jasadi(dengan melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya).

Idealnya dzikir itu berangkat dari kekuatan hati, ditangkap oleh akal, dan dibuktikan dengan ketaqwaan, amal nyata di dunia ini. Karena itu praktek dzikir tidak terbatas pada satu kondisi dan tempat tertentu; kapan dan dimana saja dapat dilakukan bahkan dalam kondisi hadats (tidak bersuci) juga boleh dilakukan; baik dalam keadaan berdiri, duduk, atau berbaring seperti firman Allah:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّار

“(yaitu) orang-orang yang selalu berdzikir (mengingat) kepada Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka”. (QS. Ali Imran: 191).

Baik dzikir yang dilakukan secara formal atau non formal, di Masjid, di Mushalla, di rumah, di kantor, atau di jalanan sekalipun; Allah berfirman:

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ

“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang” (QS. An-nur: 36),

dan bisa juga dilakukan sendiri-sendiri atau berjamaah (dalam majelis). Dengan berdzikir berarti mengundang rahmat Allah SWT, dan doa para malaikat. Dengan banyak berdzikir kepada-Nya, maka sesuai janji Allah, Dia akan menyelamatkan umat dari semua bentuk kezhaliman, kegelapan dan kemaksiatan. Dalam hadits Abu Hurairah dan Abu Said Al-Khudri dijelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

“Tidaklah duduk suatu kaum yang berdzikir menyebut nama Allah kecuali akan dinaungi para malaikat, dipenuhi mereka oleh rahmat Allah dan diberi ketenangan, karena Allah menyebut-nyebut nama mereka di hadapan malaikat yang ada di sisinya.” (Muslim, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dan dengan berdzikir kepada Allah SWT, maka Allah SWT juga akan selalu bersama orang yang berdzikir, dan dengan demikian pertolongan dan rahmat Allah SWT juga akan selalu tercurahkan kepadanya.

Sementara itu, Bulan suci Ramadhan ini merupakan kesempatan berharga bagi setiap muslim untuk meningkatkan volume dzikir kepada Allah SWT guna menggapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Itulah beberapa hal penting yang mungkin dapat kita jadikan landasan untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia ini dan juga sebagai bekal untuk menghadapi kehidupan akhirat nanti.
(hdn)
http://www.dakwatuna.com/2010/tenteramkan-jiwa-dengan-berdzikir-kepada-allah-swt/

Syarah Hadits Arbain Ke 13 : Mencintai Sesama Muslim

Matan Hadits:

عَنْ أَبِيْ حَمْزَة أَنَسِ بنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ خَادِمِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَن النبي صلى الله عليه وسلم قَالَ: (لاَ يُؤمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ) رواه البخاري ومسلم

                Dari Abu Hamzah Anas bin Malik Radhiallahu Ta’ala ‘Anhu, pelayan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda:

                “Tidak beriman salah seorang kalian sampai dia mencintai saudaranya, seperti dia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Takhrij Hadits:
-         
I     Bukhari dalam Shahihnya No. 13
-          Imam Muslim dalam Shahihnya No. 45
-          Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 2515
-          Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 66
-          Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 12801, 13874
-          Imam Abu Ya’la dalam Musnadnya No. 3182, 3257
-          Imam Ad Darimi dalam Sunannya No. 2740
-          Imam Abdullah bin Mubarak dalam Az Zuhd No.
-          Imam Al Qudha’I dalam Musnad Asy Syihab No. 889
-          Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 11125
-          Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Awsath No. 8288, 8854, juga dalam Musnad Asy Syamiyyin No. 2592
-          Imam Ibnu Mandah dalam Al Iman No. 296

Makna Hadits Secara Global:
1.        
      Hadits ini menunjukkan bahwa Al Mahabbah (rasa cinta) dan persaudaraan  kepada sesama muslim adalah syarat kesempurnaan Iman.

Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al Hujurat (49): 10)

Imam Al Qurthubi Rahimahullah mengatakan:

أي في الدين والحرمة لا في النسب، ولهذا قيل: أخوة الدين أثبت من أخوة النسب، فإن أخوة النسب تنقطع بمخالفة الدين،وأخوة الدين لا تنقطع بمخالفة النسب.
                
Yaitu persaudaraan dalam agama dan kehormatan bukan dalam nasab. Oleh karenanya dikatakan: persaudaraan karena agama lebih kuat dari pada persaudaraan  nasab, maka persaudaraan nasab akan terputus dengan berbedanya agama, sedangkan persaudaraan karena agama tidaklah terputus dengan berbedanya nasab.” (Al Jami’ Li Ahkamil Quran, 16/322-323. Darul ‘Alim Al Kutub, Riyadh. Tahqiq: Hisyam Samir Al Bukhari)

Dalam ayat lain:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ (55) وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ (56)

“Sesungguhnya  waliy kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). dan Barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, Maka Sesungguhnya pengikut (agama) Allah Itulah yang pasti menang.” (QS. Al Maaidah (5): 55-56)

Apakah waliy itu?

وَلِيُّ (Waliy) jamaknya adalah أَوْلِيَاء  (Auliyaa’) yang artinya –sebagaimana kata Imam Ibnu Jarir Ath Thabari- adalah para penolong (Anshar) dan kekasih (Akhilla). (Jami’ul Bayan, 9/319)

Bisa juga bermakna teman dekat, yang mengurus urusan, dan yang mengusai (pemimpin). (Ahmad Warson, Kamus Al Munawwir, Hal. 1582)

Dalam Lisanul ‘Arab disebutkan bahwa Al Waliy adalah An Naashir (penolong/pembantu). (Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, 15/405)

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdoa untuk Ali Radhilallahu ‘Anhu:

اللهم والِ مَنْ والاه

“Allahumma waali man waalaahu.” (HR. Ibnu Majah No. 116, Al Hakim No. 4576, Abu Ya’la No. 6423, 6951, Ibnu Hibban No. 6931, Ahmad No. 950, Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Tahqiq Musnad Ahmad mengatakan: shahih lighairih)

Syaikh Ibnu Manzhur mengatakan tentang makna terhadap doa ini:

أَي أَحْبِبْ مَنْ أَحَبَّه وانْصُرْ من نصره

“Yaitu cintailah orang yang mencintainya dan tolonglah orang yang menolongnya.” (Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, 15/405)

  1. Kadar mencintai saudara sesama muslim harus sama dengan mencintai diri sendiri. Bentuk aplikasi dari hal ini adalah adanya perasaan at takaaful (merasa senasib sepenanggungan) dengan saudaranya. Kita ikut sakit jika saudara kita disakiti, dan kita ikut berbahagia dengan kebahagiaan mereka.
Sebagian ulama menjelaskan bahwa secara zahir, hadits ini menuntut adanya kesetaraan antara mencintai diri sendiri dan saudara kita. Tetapi,  kenyataannya itu tidak terjadi, kebanyakan manusia lebih mementingkan dirinya dibanding orang lain.

Berikut penjelas Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah:

وَقَالَ أَبُو الزِّنَاد بْن سِرَاج : ظَاهِر هَذَا الْحَدِيث طَلَب الْمُسَاوَاة ، وَحَقِيقَته تَسْتَلْزِم التَّفْضِيل ؛ لِأَنَّ كُلّ أَحَد يُحِبّ أَنْ يَكُون أَفْضَل مِنْ غَيْره ، فَإِذَا أَحَبَّ لِأَخِيهِ مِثْله فَقَدْ دَخَلَ فِي جُمْلَة الْمَفْضُولِينَ . قُلْت : أَقَرَّ الْقَاضِي عِيَاض هَذَا ، وَفِيهِ نَظَر . إِذْ الْمُرَاد الزَّجْر عَنْ هَذِهِ الْإِرَادَة ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُود الْحَثّ عَلَى التَّوَاضُع . فَلَا يُحِبّ أَنْ يَكُون أَفْضَل مِنْ غَيْره ، فَهُوَ مُسْتَلْزِم لِلْمُسَاوَاةِ .

Berkata Abu Az Zinad bin Siraj: “Zahir hadits ini menuntut adanya kesetaraan, namun kenyataannya  dia lebih mementingkan dirinya, karena setiap  manusia  suka bila  dia lebih utama dibanding lainnya, maka jika dia mencintai saudaranya seperti dirinya, maka dia merasa dirinya termasuk kelompok yang dibawah (mafdhul).” Aku (Ibnu Hajar) berkata: “Al Qadhi ‘Iyadh menyetujui ini, dan ini perlu ditinjau lagi. Karena ini bermaksud sebagai  larangan terhadap keinginan tersebut; sebab maksudnya adalah anjuran untuk tawadhu’ (rendah hati). Maka  janganlah seseorang lebih mencintai  dirinya dibanding lainnya,   dia  mesti menyetarakannya.” (Fathul Bari, 1/58)

  1. Hadits ini secara tidak langsung mengajarkan kita untuk membersihkan hati kita dari berbagai macam penyakit hati terhadap saudara sesame muslim. Baik berupa iri, dengki, dan lainnya.
Al ‘Allamah Asy Syaikh Muhammad Ismail Al Anshari Rahimahullah mengatakan:

أن من خصال الإيمان أن يحب المرء لأخيه ما يحب لنفسه ، ويستلزم ذلك أن يبغض له ما يبغض لنفسه ، وبهذا تنتظم أحوال المعاش والمعاد ، ويجري الناس على مطابقة قوله تعالى :   واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا ، وعماد ذلك وأساسه : السلامة من الأمراض القلبية ، كالحسد وغيره

Bahwasanya diantara tabiat keimanan adalah seorang mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri, demikian itu mengharuskan seseorang untuk membenci bagi saudaranya apa-apa yang dia juga benci, dengan inilah tatanan konisi kehidupan dunia dan akhirat, dan manusia terus menjalankan firmanNya Ta’ala: berpeganglah kalian dengan tali (agama) Allah semuanya dan jangan berpecah belah. Dan, berpegang dengan  hal ini serta fondasinya: kebersihan hati dari penyakit-penyakit hati, seperti hasad, dan lainnya. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, pembahasan hadits No. 13)

Makna Kata dan Kalimat

 عَنْ أَبِيْ حَمْزَة أَنَسِ بنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ خَادِمِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم

Dari Abu Hamzah Anas bin Malik Radhiallahu Ta’ala ‘Anhu, pelayan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
           
      Imam Adz Dzahabi bercerita tentangnya. Nama aslinya adalah Anas bin Malik bin An Nadhr bin Dhamdham bin Zaid bin Haram bin Jundub bin ‘Aamir bin Ghanam bin ‘Adi bin An Najar. Dia seorang mufti, qari’, muhaddits, riwayatul Islam, Al Anshariy, Al Khazrajiy, An Najaariy,  Al Madiniy, pelayan Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam merupakan kerabat nabi, muridnya, pengikutnya, dan termasuk sahabat yang wafatnya terakhir.

Beliau mengambil ilmu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,  juga dari Abu Bakar, Umar, Utsman, Usaid bin Hudhair, Abu Thalhah, Ibunya Ummu Sulaim binti Milhan, bibinya Ummu Haram, dan suami Ummu Haram yaitu ‘Ubadah bin Ash Shaamit, Abu Dzar, Malik bin Sha’sha’ah, Abu Hurairah, Fathimah anak Nabi, dan banyak lagi.

Dia menghasilkan  tokoh-tokoh besar, di antaranya Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin, Asy Sya’bi, Abu Qilabah,  Mak-hul, Umar bin Abdul ‘Aziz, Tsabit Al Banani, Bakr bin Abdullah Al Muzani, Az Zuhri, Qatadah, Ibnu Al Munkadir, Ishaq bin Abdullah bin Abu Thalhah,   Abdul Aziz bin Shuhaib, Syu’aib bin Al Habhaab, ‘Amru bin ‘Aamir Al Kufiy, Sulaiman At Taimi, Hamid Ath Thawil, Yahya bin Sa’id Al Anshari, Katsir bin Salim, ‘Isa bin Thahman, dan ‘Isa bin Syaakir.

Pengarang At Tahdzib menyebutkan bahwa ada 200 orang yang meriwayatkan dari Anas.  Anas bin Malik menceritakan, ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai di Madinah,  beliau baru berusia sepuluh tahun, dan ketika  Nabi wafat  beliau berusia dua puluh tahun. Imam Adz Dzahabi menguatkan bahwa Anas bin Malik lahir sepuluh tahun sebelum hijrah.

Sejak Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai di Madinah hingga wafat, Anas selalu bersamanya dengan pertemanan yang begitu sempurna. Beliau ikut berjihad bersamanya, dan ikut pula berbai’at dI bawah pohon.

Al Anshari menceritakan bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar menuju Badr, Anas menjadi pelayannya saat masih kanak-kanak.

Manusia berbeda pendapat kapan tahun wafatnya.  Ma’mar, dari Humaid, mengataka bahwa Anas wafat tahun 91 Hijriyah. Demikian juga menurut catatan Qatadah, Al Haitsam bin ‘Adi, Al Haitsam bin ‘Adi, Sa’id bin ‘Ufair, dan Abu ‘Ubaid.

Ma’an bin ‘Isa meriwayatkan, dari anak Anas bin Malik, bahwa beliau wafat tahum 92 Hijriyah. Yang lain mengatakan 93 Hijriyah, dan inilah yang benar. (Lengkapnya Siyar A’lamin Nubala, 3/395-406)
 
Selanjutnya:

 عَن النبي صلى الله عليه وسلم قَالَ : Dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia bersabda
لاَ يُؤمِنُ أَحَدُكُمْ : Tidak beriman salah seorang kalian 
            
    Yaitu kurang sempurna iman kalian. Kalimat ini bukan bermakna sama sekali tidak ada iman, tetapi menunjukkan kurang sempurnannya iman. Makna ini sama dengan kalimat-kalimat serupa, seperti: 

 لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ، وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ

                “Tidak beriman orang yang tidak menjaga amanah, dan tidak beragama orang yang tidak menepati janjinya.” (HR. Ahmad No. 12383, Syaikh Syu’aib Al Arnauth menghasankannya. Abu Ya’la No. 2863, Abdu bin Humaid No. 1198, Al Marwazi dalam Ta’zhim Qadr Ash Shalah No. 493, Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 2627, Ad Daulabi dalam  Al Kuna wal Asma’ , 2/154. Al Kharaithi dalam Makarimul Akhlaq, hal. 27. Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil, 6/2221. Al Baghawi No. 38, beliau menghasankannya. Al Qudha’i dalam Musnad Asy Syihab No. 849,850. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 4354, Syaikh Al Albani menshahihkannya. Lihat Shahihul Jami’ No. 7179)
 
                Al Hafizh Al Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Rahimahullah menjelaskan:

وَالْمُرَاد بِالنَّفْيِ كَمَال الْإِيمَان ، وَنَفْي اِسْم الشَّيْء - عَلَى مَعْنَى نَفْي الْكَمَال عَنْهُ - مُسْتَفِيض فِي كَلَامهمْ كَقَوْلِهِمْ : فُلَان لَيْسَ بِإِنْسَانٍ
  
Maksudnya adalah  pengingkaran  terhadap kesempurnan iman, pengingkaran terhadap nama sesuatu –hakikatnya adalah mengingkari kesempurnannya-  sebagaimana tersebar ucapan mereka: si fulan bukanlah manusia. (Fathul Bari, 1/57)

Al Imam An Nawawi Rahimahullah juga mengatakan:

مَعْنَاهُ لَا يُؤْمِن الْإِيمَان التَّامّ ، وَإِلَّا فَأَصْلُ الْإِيمَان يَحْصُل لِمَنْ لَمْ يَكُنْ بِهَذِهِ الصِّفَة
               
 Makna “tidak beriman” yang dimaksudkan ialah imannya tidak sempurna karena bila tidak dimaksudkan demikian, maka berarti seseorang tidak memiliki iman sama sekali bila tidak mempunyai sifat seperti itu. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/126)

                Selanjutnya:

حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ : sampai dia mencintai saudaranya
                Yaitu sampai dia juga mencintai saudara seaqidahnya, bukan semata-mata saudara senasab, semarga, sesuku, dan sebangsanya. Persaudaraan di sini adalah persaudaraan yang diikat oleh kalimat Laa Ilaha Illallah Muhammadarrasulullah. Bukan pula persaudaraan karena  ikatan kerja, almamater, dan semua selain ikatan tali agama Allah Ta’ala.
                Ringkasnya adalah adanya iman adalah sebab lahirnya Al Mahabbah (cinta), tidak ada iman dalam diri mereka maka tidak ada cinta kepada mereka.
                Al Hafizh mengatakan:
إِذْ عَدَم الْإِيمَان لَيْسَ سَبَبًا لِلْمَحَبَّةِ .
                Karena ketiadaan iman bukanlah sebab untuk mencintai.” (Fathul Bari, 1/57)
                Al Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah menjelaskan secara detil:

والمراد: يحب لأخيه من الطاعات والأشياء المباحات ويدل عليه ما جاء في رواية النسائي: "حتى يحب لأخيه من الخير ما يحب لنفسه". قال الشيخ أبو عمرو بن الصلاح، وهذا قد يعد من الصعب الممتنع وليس كذلك إذ معناه: لا يكمل إيمان أحدكم حتى يحب لأخيه في الإسلام ما يحب لنفسه، والقيام بذلك يحصل بأن يحب له حصول مثل ذلك من جهة لا يزاحمه فيها بحيث لا ينقص عليه شيء من النعمة، وذلك سهل قريب على القلب السليم، وإنما يعسر على القلب الدغل  عافانا الله تعالى وإخواننا أجمعين.
Maksud kalimat “mencintai saudaranya” adalah mencintai hal-hal yang baik atau hal yang mubah. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat Imam An Nasa’i yang berbunyi : “Sampai dia mencintai kebaikan untuk saudaranya seperti mencintainya untuk dirinya sendiri”.

Abu ‘Amr bin Shalah berkata : “ Perbuatan semacam ini terkadang dianggap sulit sehingga tidak mungkin dilakukan seseorang.  Sesungguhnya tidak demikian, karena yang dimaksudkan adalah bahwa  iman seseorang tidak sempurna sampai ia mencintai kebaikan untuk saudaranya sesama muslim seperti mencintai kebaikan untuk dirinya sendiri. Hal tersebut dapat dilaksanakan dengan melakukan sesuatu hal yang baik bagi diriya, misalnya tidak berdesak-desakkan di tempat ramai atau tidak mau mengurangi kenikmatan yang menjadi milik orang lain. Hal-hal seperti itu sebenarnya  mudah dilakukan oleh orang berhati bersih,  tetapi sulit dilakukan orang yang berhati jahat”. Semoga Allah memaafkan kami dan semua saudara kami. (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 63. Maktabah Misykah)
                Selanjutnya:

مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ : seperti dia mencintai dirinya sendiri

                Yaitu seperti  cintanya dia  jika kebaikan juga dia peroleh. Maka, jika kita bahagia karena sesuatu hal, maka bahagiakanlah dia dengan hal itu. Jika kita tidak menyukai satu hal, maka jauhilah dia dari hal itu. Kita tidak suka dihina, dibohongi, difitnah, dan digunjing, maka saudara kita juga demikian, maka jangan menghina, membohongi, memfitnah, dan menggunjing mereka. Kita suka jika manusia tersenyum, sopan, ramah, menyapa, dermawan terhadap diri kita, maka demikian pula mereka juga menyukai hal-hal ini.
Dari An Nu’man bin Basyir Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan orang-orang beriman dalam cinta, kasih sayang, simpati mereka bagaikan satu jasad, jika salah satu anggota tubuhnya ada yang mengeluh, maka bagian yang lain juga mengikutinya dengan rasa tidak bisa  tidur dan demam.” (HR. Muslim No. 2586, Ahmad No. 18373)

Al Imam Ibnu daqiq Al ‘Id Rahimahullah menjelaskan:

وقال بعض العلماء: في هذا الحديث من الفقه أن المؤمن مع المؤمن كالنفس الواحدة فينبغي أن يحب له ما يحب لنفسه من حيث إنهما نفس واحدة
            
 Sebagian ulama berpendapat : “Hadits ini mengandung pemahaman bahwa seorang mukmin dengan mukmin lainnya laksana satu tubuh. Oleh karena itu, hendaknya ia mencintai saudaranya sendiri seperti dia mencintai apa yang ada pada dirinya, sebagai tanda bahwa  keduanya adalah jiwa yang menyatu”. (Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah Hal. 64)

                  Wallahu A’lam
                Wa akhiru da’wana anil hamdulillahi rabbil ‘aalamin …

Oleh: Farid Nu’man Hasan 

Menggapai Ketenangan Hati dengan Mengingat Allah

بسم الله الرحمن الرحيم

Seiring dengan makin jauhnya zaman dari masa kenabian shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka semakin banyak pula kesesatan dan bid’ah yang tersebar di tengah kaum muslimin[1], sehingga indahnya sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kebenaran makin asing dalam pandangan mereka. Bahkan lebih dari itu, mereka menganggap perbuatan-perbuatan bid’ah yang telah tersebar sebagai kebenaran yang tidak boleh ditinggalkan, dan sebaliknya jika ada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dihidupkan dan diamalkan kembali, mereka akan mengingkarinya dan memandangnya sebagai perbuatan buruk.

Sahabat yang mulia, Hudzaifah bin al-Yaman radhiallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh perbuatan-perbuatan bid’ah akan bermunculan (di akhir jaman) sehingga kebenaran (sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak lagi terlihat kecuali (sangat sedikit) seperti cahaya yang (tampak) dari celah kedua batu (yang sempit) ini. Demi Allah, sungguh perbuatan-perbuatan bid’ah akan tersebar (di tengah kaum muslimin), sampai-sampai jika sebagian dari perbuatan bid’ah tersebut ditinggalkan, orang-orang akan mengatakan: sunnah (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah ditinggalkan.”[2]

Keadaan ini semakin diperparah kerusakannya dengan keberadaan para tokoh penyeru bid’ah dan kesesatan, yang untuk mempromosikan dagangan bid’ah, mereka tidak segan-segan memberikan iming-iming janji keutamaan dan pahala besar bagi orang-orang yang mengamalkan ajaran bid’ah tersebut.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau pada saat ini tidak sedikit kaum muslimin yang terpengaruh dengan propaganda tersebut, sehingga banyak di antara mereka yang lebih giat dan semangat mengamalkan berbagai bentuk zikir, wirid maupun shalawat bid’ah yang diajarkan para tokoh tersebut daripada mempelajari dan mengerjakan amalan yang bersumber dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiallahu ‘anhum.

Tentu saja ini termasuk tipu daya setan untuk memalingkan manusia dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lurus. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari kalangan) manusia dan (dari kalangan) jin, yang mereka satu sama lain saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia)” (Qs. al-An’am: 112).

Bahkan, setan berusaha menghiasi perbuatan-perbuatan bid’ah dan sesat tersebut sehingga terlihat indah dan baik di mata manusia, dengan mengesankan bahwa dengan mengerjakan amalan bid’ah tersebut hati menjadi tenang dan semua kesusahan yang dihadapi akan teratasi (??!!). Pernyataan-pernyataan seperti ini sangat sering terdengar dari para pengikut ajaran-ajaran bid’ah tersebut, sebagai bukti kuatnya cengkraman tipu daya setan dalam diri mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu ia menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (Qs. Faathir:8).

Sumber ketenangan dan penghilang kesusahan yang hakiki


Setiap orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala wajib meyakini, bahwa sumber ketenangan jiwa dan ketentraman hati yang hakiki adalah dengan berzikir kepada kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, membaca al-Qur’an, berdoa kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang maha Indah, dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (Qs. ar-Ra’du: 28).

Artinya dengan berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala segala kegalauan dan kegundahan dalam hati mereka akan hilang dan berganti dengan kegembiraan dan kesenangan[3].

Bahkan, tidak ada sesuatupun yang lebih besar mendatangkan ketentraman dan kebahagiaan bagi hati manusia melebihi berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala [4].

Salah seorang ulama salaf berkata, “Sungguh kasihan orang-orang yang cinta dunia, mereka (pada akhirnya) akan meninggalkan dunia ini, padahal mereka belum merasakan kenikmatan yang paling besar di dunia ini.” maka ada yang bertanya, “Apakah kenikmatan yang paling besar di dunia ini?” Ulama ini menjawab, “Cinta kepada Allah, merasa tenang ketika mendekatkan diri kepada-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, serta merasa bahagia ketika berzikir dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya.”[5]

Inilah makna ucapan yang masyhur dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah U merahmatinya –, “Sesungguhnya di dunia ini ada jannnah (surga), barangsiapa yang belum masuk ke dalam surga di dunia ini maka dia tidak akan masuk ke dalam surga di akhirat nanti.”[6]

Makna “surga di dunia” dalam ucapan beliau ini adalah kecintaan (yang utuh) dan ma’rifah (pengetahuan yang sempurna) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (dengan memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya dengan cara baik dan benar) serta selalu berzikir kepada-Nya, yang dibarengi dengan perasaan tenang dan damai (ketika mendekatkan diri) kepada-Nya, serta selalu mentauhidkan (mengesakan)-Nya dalam kecintaan, rasa takut, berharap, bertawakkal (berserah diri) dan bermuamalah, dengan menjadikan (kecintaan dan keridhaan) Allah Subhanahu wa Ta’ala satu-satunya yang mengisi dan menguasai pikiran, tekad dan kehendak seorang hamba. Inilah kenikmatan di dunia yang tiada bandingannya yang sekaligus merupakan qurratul ‘ain (penyejuk dan penyenang hati) bagi orang-orang yang mencintai dan mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala [7].

Demikian pula jalan keluar dan penyelesaian terbaik dari semua masalah yang di hadapi seorang manusia adalah dengan bertakwa kepada Allah U, sebagaimana dalam firman-Nya,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. ath-Thalaaq: 2-3).

Ketakwaan yang sempurna kepada Allah tidak mungkin dicapai kecuali dengan menegakkan semua amal ibadah, serta menjauhi semua perbuatan yang diharamkan dan dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.[8]

Dalam ayat berikutnya Allah berfirman,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya.” (Qs. ath-Thalaaq: 4).

Artinya: Allah akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta menjadikan baginya jalan keluar dan solusi yang segera (menyelesaikan masalah yang dihadapinya).[9]

Adapun semua bentuk zikir, wirid maupun shalawat yang tidak bersumber dari petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun banyak tersebar di masyarakat muslim, maka semua itu adalah amalan buruk dan tidak mungkin akan mendatangkan ketenangan yang hakiki bagi hati dan jiwa manusia, apalagi menjadi sumber penghilang kesusahan mereka. Karena, semua perbuatan tersebut termasuk bid’ah[10] yang jelas-jelas telah diperingatkan keburukannya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya semua perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat, dan semua yang sesat (tempatnya) dalam neraka.”[11]

Hanya amalan ibadah yang bersumber dari petunjuk al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bisa membersihkan hati dan mensucikan jiwa manusia dari noda dosa dan maksiat yang mengotorinya, yang dengan itulah hati dan jiwa manusia akan merasakan ketenangan dan ketentraman.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ
“Sungguh, Allah telah memberi karunia (yang besar) kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur-an) dan al-Hikmah (as-Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Rasul) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Qs. Ali ‘Imraan: 164).

Makna firman-Nya “menyucikan (jiwa) mereka” adalah membersihkan mereka dari keburukan akhlak, kotoran jiwa dan perbuatan-perbuatan jahiliyyah, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya (hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala).[12]

Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu (al-Qur’an) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Yuunus: 57).

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan perumpaan petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang beliau bawa seperti hujan baik yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan dari langit, karena hujan yang turun akan menghidupkan dan menyegarkan tanah yang kering, sebagaimana petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghidupkan dan menentramkan hati manusia. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perumpaan bagi petunjuk dan ilmu yang Allah wahyukan kepadaku adalah seperti air hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke bumi…“[13]

-bersambung insya Allah-

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A

Artikel www.manisnyaiman.com

[1] Lihat ucapan imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “I’laamul muwaqqi’iin” (4/118).
[2] Dinukil oleh Imam asy-Syaathibi dalam kitab “al-I’tishaam” (1/106 – Tahqiiq Syaikh Salim al-Hilali).

[3] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 417).

[4] Ibid.

[5] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfaan” (1/72).

[6] Dinukil oleh murid beliau Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Waabilush shayyib” (hal 69).

[7] Lihat kitab “al-Waabilush shayyib” (hal. 69).

[8] Lihat penjelasan Ibnu Rajab al-Hambali dalam “Jaami’ul uluumi wal hikam” (hal. 197).

[9] Tafsir Ibnu Katsir (4/489).

[10] Semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[11] HSR. Muslim (no. 867), an-Nasa-i (no. 1578) dan Ibnu Majah (no. 45).

[12] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (1/267).

[13] HSR. al-Bukhari (no. 79) dan Muslim (no. 2282).


Ketenangan batin yang palsu
Kalau ada yang berkata, “Realitanya di lapangan banyak kita dapati orang-orang yang mengaku merasakan ketenangan dan ketentraman batin (?) setelah mengamalkan zikir-zikir, wirid-wirid dan shalawat-shalawat bid’ah lainnya.”
Jawabannya: Kenyataan tersebut di atas tidak semua bisa diingkari, meskipun tidak semua juga bisa dibenarkan, karena tidak sedikit kebohongan yang dilakukan oleh para penggemar zikir-zikir/wirid-wirid bid’ah tersebut untuk melariskan dagangan bid’ah mereka.
Kalaupun pada kenyataannya ada yang benar-benar merasakan hal tersebut di atas, maka dapat dipastikan bahwa itu adalah ketenangan batin yang palsu dan semu, karena berasal dari tipu daya setan dan tidak bersumber dari petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan, ini termasuk perangkap setan dengan menghiasi amalan buruk agar telihat indah di mata manusia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu ia menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Qs. Faathir: 8).
Artinya: setan menghiasi perbuatan mereka yang buruk dan rusak, serta mengesankannya baik dalam pandangan mata mereka.[1]
Dalam ayat lain Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari kalangan) manusia dan (dari kalangan) jin, yang mereka satu sama lain saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia).” (Qs. al-An’aam: 112).
Artinya: para setan menghiasi amalan-amalan buruk bagi manusia untuk menipu dan memperdaya mereka.[2]
Demikianlah gambaran ketenangan batin palsu yang dirasakan oleh orang-orang yang mengamalkan zikir-zikir/wirid-wirid bid’ah, yang pada hakikatnya bukan ketenangan batin, tapi merupakan tipu daya setan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan mengesankan pada mereka bahwa perbuatan-perbuatan tersebut baik dan mendatangkan ketentraman batin.
Bahkan, sebagian mereka mengaku merasakan kekhusyuan hati yang mendalam ketika membaca zikir-zikir/wirid-wirid bid’ah tersebut melebihi apa yang mereka rasakan ketika membaca dan mengamalkan zikir-zikir/wirid-wirid yang bersumber dari wahyu AllahSubhanahu wa Ta’ala.
Padahal, semua ini justru merupakan bukti nyata kuatnya kedudukan dan tipu daya setan bersarang dalam diri mereka. Karena, bagaimana mungkin setan akan membiarkan manusia merasakan ketenangan iman dan tidak membisikkan was-was dalam hatinya?
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah membuat perumpaan hal ini[3] dengan seorang pencuri yang ingin mengambil harta orang. Manakah yang akan selalu diintai dan didatangi oleh pencuri tersebut: rumah yang berisi harta dan perhiasan yang melimpah atau rumah yang kosong melompong bahkan telah rusak?
Jawabnya: jelas rumah pertama yang akan ditujunya, karena rumah itulah yang bisa dicuri harta bendanya. Adapun rumah yang pertama, maka akan “aman” dari gangguannya karena tidak ada hartanya, bahkan mungkin rumah tersebut merupakan lokasi yang strategis untuk dijadikan tempat tinggal dan sarangnya.
Demikinlah keadaan hati manusia, hati yang dipenuhi tauhid dan keimanan yang kokoh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena selalu mengamalkan petunjuk-Nya, akan selalu diintai dan digoda setan untuk dicuri keimanannya, sebagaiamana rumah yang berisi harta akan selalu diintai dan didatangi pencuri.
Oleh karena itu, dalam sebuah hadits shahih, ketika salah seorang sahabat radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku membisikkan (dalam) diriku dengan sesuatu (yang buruk dari godaan setan), yang sungguh jika aku jatuh dari langit (ke bumi) lebih aku sukai dari pada mengucapkan/melakukan keburukan tersebut.” Maka beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, segala puji bagi Allah yang telah menolak tipu daya setan menjadi was-was (bisikan dalam jiwa).[4]
Dalam riwayat lain yang semakna, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah (tanda) kemurnian iman.”[5]
Dalam memahami hadits yang mulia ini ada dua pendapat dari para ulama:
-          Penolakan dan kebencian orang tersebut terhadap keburukan yang dibisikkan oleh setan itulah tanda kemurnian iman dalam hatinya.
-          Adanya godaan dan bisikkan setan dalam jiwa manusia itulah tanda kemurnian iman, karena setan ingin merusak iman orang tersebut dengan godaannya.[6]
Adapun hati yang rusak dan kosong dari keimanan karena jauh dari petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka hati yang gelap ini terkesan “tenang” dan “aman” dari godaan setan, karena hati ini telah dikuasai oleh setan, dan tidak mungkin “pencuri akan mengganggu dan merampok di sarangnya sendiri”.
Inilah makna ucapan sahabat yang mulia, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, ketika ada yang mengatakan kepada beliau, “Sesungguhnya, orang-orang Yahudi menyangka bahwa mereka tidak diganggu bisikan-bisikan (setan) dalam shalat mereka.” Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma menjawab, “Apa yang dapat dikerjakan oleh setan pada hati yang telah hancur berantakan?”[7]
Nasehat dan penutup
Tulisan ringkas ini semoga menjadi motivasi bagi kaum muslimin untuk meyakini indahnya memahami dan mengamalkan petunjuk Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang hanya dengan itulah seorang hamba bisa meraih kebahagiaan dan ketenangan jiwa yang hakiki dalam kehidupannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan)[8] hidup bagimu.” (Qs. al-Anfaal: 24).
Imam Ibnul Qayyim – semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya – berkata, “(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat (indah) hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya, maka dia tidak akan merasakan kehidupan (yang bahagia dan indah)… Maka, kehidupan baik (bahagia) yang hakiki adalah kehidupan seorang yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun batin.”[9]
Sebagai penutup, akan kami kutip nasihat Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu yang berbunyi, “Wahai saudarakau sesama muslim, waspada dan hindarilah (semua) bentuk zikir dan wirid bid’ah yang akan menjerumuskanmu ke dalam jurang syirik (menyekutukan AllahSubhanahu wa Ta’ala). Berkomitmenlah dengan zikir (wirid) yang bersumber dari (petunjuk) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berbicara bukan dengan landasan hawa nafsu, (melainkan dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala). Dengan mengikuti (petunjuk) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, (kita akan meraih) hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan keselamatan (di dunia dan akhirat). (Sebaliknya) dengan menyelisihi (petunjuk) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjadikan amal perbuatan kita tertolak (tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan (dalam agama Islam) yang tidak sesuai dengan petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HSR. Muslim)[10].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 23 Syawwal 1431 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A

[1] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 685).
[2] Lihat kitab “Ma’aalimut Tanziil” (3/180).
[3] Dalam kitab beliau “Al-Waabilush Shayyib” (hal. 40-41).
[4] HR. Ahmad (1/235) dan Abu Dawud (no. 5112).
[5] HSR Muslim (no. 132).
[6] Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Al-Fawaa-id” (hal. 174).
[7] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “Al-Waabilush Shayyib” (hal. 41).
[8] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/34).
[9] Kitab “Al-Fawa-id” (hal. 121- cet. Muassasatu Ummil Qura’).
[10] Kitab “Fadha-ilush Shalaati Wassalaam” (hal. 49).