Tafsir Surat An-Naba’

Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? Tentang berita yang besar, yang mereka perselisihkan tentang ini. Sekali-kali tidak; kelak mereka akan mengetahui, Kemudian sekali-kali tidak; kelak mereka mengetahui. Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? Dan gunung-gunung sebagai pasak? Dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan, Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian. Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan, Dan Kami bina di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh, Dan Kami jadikan pelita yang amat terang (matahari), Dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah, Supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, Dan kebun-kebun yang lebat? Sesungguhnya hari keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan, Yaitu hari ( yang pada waktu itu) ditiup sangkakala lalu kamu datang berkelompok-kelompok, Dan dibukalah langit, maka terdapatlah beberapa pintu, Dan dijalankanlah gunung-gunung maka menjadi fatamorganalah ia. Sesungguhnya neraka Jahannam itu (padanya) ada tempat pengintai, Lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas, Mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya, Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, Selain air yang mendidih dan nanah, Sebagai pambalasan yang setimpal. Sesungguhnya mereka tidak berharap (takut) kepada hisab, Dan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dengan sesungguh- sungguhnya. Dan segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu kitab. Karena itu rasakanlah dan kami sekali-kali tidak akan menambah kepada kamu selain daripada azab. Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan, (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, Dan gadis-gadis remaja yang sebaya, Dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula) perkataan dusta. Sebagai pembalasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak, Tuhan yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya; yang Maha Pemurah. Mereka tidak dapat berbicara dengan Dia. Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf- shaf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar. Itulah hari yang pasti terjadi. Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya. Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata:”Alangkah baiknya sekiranya dahulu adalah tanah”.

Pengantar

Juz ini seluruhnya termasuk surat ini memiliki karakter yang umum surat Makkiyah, kecuali dua surat yaitu surat Al-Bayyinah dan An-Nashr. Semua­nya merupakan surat-surat pendek yang berbeda ­beda satu lama lain. Dan yang terpenting dalam hal ini adalah karakter khususnya yang menjadikannya sebagai satu kesatuan saling berdekatan tema dan arahnya, kesannya, gambarannya, ba yang -ba yang ­nya, dan uslub nya ‘metodenya’ secara umum.

Juz ini merupakan ketukan-ketukan beruntun yang keras, kuat, dan tinggi nadanya terhadap pe­rasaan. Juga teriakan terhadap orang-orang yang tidur lelap atau orang-orang yang mabuk ke­payang . Atau, terhadap orang-orang yang bermain-main sambil begadang dan menari-nari dengan hiruk-pikuk, bersiul-siul, dan bertepuk tangan. hati dan perasaan mereka terus-menerus diketuk dengan ketukan-ketukan dan teriakan-teriakan dari surat-surat dalam juz ini, yang semuanya dengan nada dan peringatan tunggal, “Ingatlah! Sadarilah! Lihatlah! Perhatikanlah! Pikirkanlah! Renungkanlah bahwa di sana ada Tuhan, di sana ada pengaturan, di sana ada takdir, di sana ada ketentuan, di sana ada ujian, di sana ada tanggung jawab, di sana ada per­hitungan, di sana ada pembalasan, dan di sana ada azab yang pedih dan nikmat yang besar. Ingatlah, sadarilah, lihatlah, perhatikanlah, pikirkanlah, renungkanlah. Demikianlah pada kali lain, pada kali ketiga, keempat, kelima, dan kesepuluh.

Di samping ketukan-ketukan, seruan- seruan, dan teriakan-teriakan itu, ada tangan kuat yang mengguncang orang-orang yang tidur, mabuk, dan terlena, dengan guncangan yang keras. Seakan-akan mereka sedang membuka matanya dan melihat dengan ter bingung-bingung, lalu kembali kepada keadaannya semula. Maka, kembalilah tangan kuat itu mengguncang mereka dengan guncangan yang keras, teriakan keras terdengar kembali, dan ketukan-ketukan keras pun mengenai pendengaran dan hati mereka lagi. Kadang-kadang orang-orang yang tidur tadi terbangun sedikit dan berkata dalam kebandelan dan kekerasan hatinya, ‘Tidak…!” Kemudian me­lempari orang yang berseru dan memberi peringat­an itu dengan batu dan caci maki, lalu mereka kem­bali kepada keadaan semula lagi. Kemudian mereka diguncang dengan guncangan baru lagi.

Demikianlah yang dirasakan ketika membaca surat Ath-Thaariq ayat 5, Al-Ghaasyiyah ayat 17-20, An-Naazi’aat ayat 27-33, An-Naba’ ayat 6-16, ‘Abasa ayat 24-32, Al-Infithaar ayat 6-8, Al A’1aa ayat 1-5, At-Tiin ayat 4-8, At-Takwiir ayat 1-14, Al-Infithaar ayat 1-5, Al­-Insyiqaaq ayat 1-5, dan Al-Zalzalah ayat 1-5. Juga ketika membaca isyarat-isyarat Ialam pada permulaan dan pertengahan 1-8, dan Adh-Dhuhaa ayat 1-2.

Juz ini secara keseluruhan menekankan pem­bicaraan tentang kejadian pertama manusia dan makhluk-makhluk hidup lainnya di muka bumi seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang. Juga mene­kankan pembicaraan tentang pemandangan-pemandangan alam; ayat-ayat Allah yang terbuka; pemandangan-pemandangan hari kiamat yang keras, me­ngerikan, mengagetkan, menggemparkan, dan me­nakutkan; dan pemandangan-pemandangan yang berupa hisab dan pembalasan dengan kenikmatan dan azab dalam gambaran-gambaran yang mengetuk hati, membingungkan, dan mengguncangkan, se­perti pemandangan kiamat nya semesta raya yang amat besar dan menakutkan.

Semua itu menjadi bukti adanya penciptaan, peng­aturan, dan penciptaan ulang dengan timbangan-timbangan dan ukuran-ukurannya yang pasti, di samping untuk mengetuk, menakut-nakuti, dan memperingatkan hati manusia. Kadang-kadang paparan-paparan ini diiringi dengan menampilkan kisah-kisah dan pemandangan-pemandangan orang dahulu yang mendustakan ayat-ayat Allah dengan segala akibatnya. Seperti itulah kandungan juz ini seluruhnya, tetapi kami hanya ingin menunjuk beberapa contoh saja di dalam pengantar ini.

Surat An-Naba’ secara keseluruhan merupakan contoh yang sempurna bagi penekanan pembicara­an terhadap hakikat-hakikat dan pemandangan-pemandangan ini. Surat semacam surat An-Naazi’aat dan surat ‘Abasa, bagian permulaannya mengan­dung isyarat mengenai suatu peristiwa tertentu di antara peristiwa-peristiwa dakwah. Sedangkan, sisa­nya secara keseluruhan merupakan pembahasan tentang kehidupan manusia dan tumbuh-tumbuhan. Setelah itu, diceritakan tentang datangnya suara yang memekakkan telinga (yaitu ditiup nya sangkakala kedua),

Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, ibu dan bapaknya, istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya. Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa dengan gembira ria. Banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu, dan ditutup lagi oleh kegelapan.” (‘Abasa: 34-41)

Surat At-Takwiir menggambarkan pemandangan tentang ter bolak-baliknya alam semesta secara dahsyat dan menakutkan pada hari itu, disertai de­ngan menampilkan pemandangan-pemandangan alam dalam bentuk-bentuk sumpah yang menunjukkan hakikat wahyu dan kebenaran Rasul. Demikian juga surat Al-Infithaar yang menampilkan pemandangan tentang ter bolak-baliknya alam beserta pemandangan tentang nikmat dan azab, dan meng­guncang hati manusia di depan semua itu,

Hai manusia, apakah yang memperdayakan kamu (ber­buat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemu­rah ?” (Al Infithaar: 6)

Pemandangan alam dan pemandangan-pemandangan hari itu dengan menunjuk penyiksaan yang dilakukan orang-orang kafir terhadap segolong­an kaum mukminin di dunia dengan api, dan bagaimana Allah akan menyiksa mereka (orang-orang kafir) itu di akhirat dengan api neraka yang lebih dahsyat dan lebih menyakitkan.

Surat Ath-Thaariq memaparkan pemandangan-pemandangan alam di samping tentang penciptaan manusia dan tumbuh-tumbuhan dengan mengguna­kan sumpah bagi semuanya, “Sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang hak dan yang batil, dan sekali-kali bukanlah dia senda gurau. “(Ath Thaariq:13-14)

Surat Al-A’laa membicarakan penciptaan, pe­nyempurnaan ciptaan, takdir, hidayah, dan penum­buhan tumbuh-tumbuhan dan perkembangannya sebagai pengantar bagi pembicaraan tentang pe­ringatan, akhirat, hisab, dan pembalasan. Surat Al-Ghaasyiyah menggambarkan pemandangan-pemandangan tentang kenikmatan dan azab, kemudian mengarah kepada penciptaan unta, langit bumi, dan gunung-gunung. Hingga akhir juz gambaran pemandangan-pemandangan seperti itu diberikan.

Namun, ada beberapa surat yang membicarakan hakikat aqidah dan manhaj iman, seperti surat Al­-Ikhlash, surat Al-Kaafiruun, surat Al-Maa’uun, surat Al-’Ashr, surat Al-Qadr, dan surat An-Nashr. Atau, beberapa surat yang menggembirakan hati Rasu­lullah saw, menenangkannya, dan mengarahkannya untuk memohon perlindungan kepada Tuhannya dari semua kejelekan dan kejahatan, seperti surat Adh-Dhuhaa, Al-Insyirah (Alam Nasyrah), Al-Kautsar, Al-Falaq, dan surat An-Naas, yang merupakan surat-surat pendek.

Di sana terdapat fenomena lain di dalam menyam­paikan ungkapan-ungkapan dan kalimat-kalimatnya dalam juz ini. Ada keelokan yang jelas di dalam pengungkapan nya yang disertai dengan sentuhan-sentuhan yang dituju di tempat-tempat yang indah di alam dan di dalam jiwa. Juga ada kemasan bahasa yang indah di dalam lukisan-lukisannya, bayang-­ba yangnya, kesan-kesan musikalnya, rima (persamaan bunyi) dan iramanya, dan pembagian segmen nya yang sangat selaras dengan karakternya di dalam berbicara kepada orang-orang yang lengah, tidur, dan tidak ambil peduli. Tujuannya untuk menyadar­kan mereka dan menarik perasaan dan indra mereka dengan bermacam-macam warna, kesan, dan pengaruh.

Semua ini tampak jelas dalam gambaran yang terang benderang seperti dalam pengungkapan nya yang halus tentang bintang-bintang yang beredar dan bersembunyi (tenggelam) seperti kijang yang bersembunyi dalam persembunyiannya lalu muncul keluar. Juga tentang malam yang seakan-akan ia itu makhluk hidup yang meronda dalam kegelapan, dan waktu fajar yang seakan-akan makhluk hidup yang bernafas dengan cahaya,

sungguh, Aku bersumpah dengan bintang-bintang yang beredar dan terbenam, demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya, dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing.”(At Takwiir: 15-18)

Di dalam menampilkan pemandangan saat ter­benamnya matahari, malam, dan rembulan, dilukis­kan,

Maka Sesungguhnya Aku bersumpah dengan cahaya merah di waktu senja, Dan dengan malam dan apa yang diselubunginya, Dan dengan bulan apabila jadi purnama, (Al Insyiqaaq: 16-18)

Atau, pemandangan-pemandangan tentang fajar dan malam hari yang terus berjalan dan berlalu,

‘Demi fajar, malam yang sepuluh, yang genap dan yang ganjil, dan malam bila berlalu. ” (Al Fajr: 1-4)

Demi waktu Dhuha, dan malam bila gelap gulita. ” (Adh Dhuhaa: 1-2)

Di dalam firman Nya yang diarahkan kepada hati manusia, dikatakan,

Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemu­rah. yang telah menciptakan kamu lalu menyempurna­kan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang “(Al Infithaar: 6-7)

Kemudian dalam menyifati surga, Dia berfirman,

Banyak muka pada hari itu berseri-seri, merasa senang karena usahanya, dalam surga yang tinggi. Tidak kamu dengar di dalamnya perkataan yang tidak berguna. “(Al­ Ghaasyiyah: 8-11)

Dalam menyifati neraka, Dia berfirman,

‘Adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaik­an)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka hamiyah. Tahukah kamu apakah neraka hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas. (Al Qaari’ah: 8-11)

Keindahan ungkapannya begitu jelas, sejelas maksud sentuhannya yang indah terhadap pemandangan-pemandangan alam dan relung-relung jiwa. Kadang-kadang tidak dipergunakan perkataan yang lugas, tetapi dipergunakannya kata konotasi, kata kiasan. Kadang-kadang tidak dipergunakan kata-kata yang dekat dengan objek pembicaraan, melainkan digunakan bentukan kata yang jauh. Tujuannya untuk mewujudkan nada-nada instrumental yang dimaksud dan menegaskan peralihan di celah-celah juz ini dengan mendekatkan satu sama lain.

Surat An-Naba’ adalah sebuah contoh bagi arah juz ini dengan tema-tema nya, hakikat-hakikatnya, kesan-kesannya, lukisan-lukisannya, bayang -bayang ­nya, nuansa musikalnya, sentuhan-sentuhannya pada alam dan jiwa serta dunia dan akhirat, dan pilihan kata dan kalimat-kalimatnya untuk menguatkan kesan dan pengaruhnya di dalam perasaan dan hati.

Surat ini dimulai dengan pertanyaan yang meng­isyaratkan dan mengesankan besar dan agungnya hakikat yang mereka perselisihkan. Yaitu, persoalan besar yang tidak ada keraguan padanya dan tidak ada syubhat. Pertanyaan ini diakhiri dengan me­ngemukakan ancaman kepada mereka terhadap hari yang kelak akan mereka ketahui hakikatnya,

Tentang apakah mereka saling bertanya? Tentang berita yang besar, yang mereka perselisihkan tentang ini. Sekali-kali tidal kelak mereka akan mengetahui. Kemu­dian sekali-kali tidal kelak mereka akan mengetahui. ” (An Naba’: 1-5)

Dari sana kemudian segmen berikutnya beralih dari makna pembicaraan itu, dari berita ini, dan dibiarkannya ia hingga waktunya kemudian dibawanya mereka beralih kepada sesuatu yang terjadi di hadapan mereka dan di sekitar mereka, mengenai diri mereka sendiri dan alam semesta yang padanya terdapat persoalan yang besar juga. Alam itu me­nunjukkan sesuatu yang ada di baliknya dan mengisyaratkan kepada apa yang akan dibacanya,

Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan, gunung-gunung sebagai pasak, Kami jadikan kamu berpasang-pasangan, Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, Kami jadikan malam sebagai pakaian, Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan, Kami bangun atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh, Kami jadikan pelita yang amat terang (matahari), dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah, supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, dan kebun-kebun yang lebat?” (An Naba’: 6-16)

Dari kumpulan hakikat-hakikat, pemandangan-pemandangan, lukisan-lukisan, dan kesan-kesan ini mereka dibawa kembali kepada berita besar yang mereka perselisihkan dan yang diancamkan kepada mereka pada hari mereka mengetahuinya, untuk dikatakan kepada mereka apakah ia dan bagaimana terjadi.

Sesungguhnya hari keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan, yaitu hari ( yang pada waktu itu) ditiup sangkakala lalu kamu datang berkelompok-kelompok. Dibukakan langit, maka terdapatlah beberapa pintu; dan Dijalankanlah gunung-gunung maka menjadi fatamor­ganalah ia.” (An Naba’: 17-20)

Kemudian dibentangkan lah pemandangan azab dengan segala kekuatan dan kekerasan nya,

Sesungguhnya neraka, jahanam itu (padanya) ada tempat pengintai, lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas. Mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya. Mereka tidak merasa­kan kesejukan di dalamnya dan (tidak pula) mendapat minuman selain air yang mendidih dan nanah, sebagai pembalasan yang setimpal. Sesungguhnya mereka tidak takut kepada hisab, dan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dengan sesungguh-sungguhnya. Segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu kitab. Karena itu, rasakanlah. Kami sekali-kali tidak akan menambah kepada kamu selain dari azab.”(An Naba’: 21-30)

Kemudian ditunjukkan pula pemandangan nikmat yang memancar demikian derasnya,

“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan, (yaitu) kebun-kebun, buah anggur, gadis-­gadis remaja yang sebaya, dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan) dusta. Sebagai balasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak.
” (An Naba’: 31-36)

Kemudian surat ini ditutup dengan memberikan kesan yang luhur mengenai hakikat hari itu di dalam pemandangan yang ditampakkan padanya. Juga dengan memberikan peringatan kepada manusia sebelum datangnya hari yang padanya terdapat pemandangan yang agung ini,

Tuhan yang Memelihara langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya, yang Maha Pemurah. Mereka tidak dapat berbicara dengan Dia. Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf, mereka tidak berkata-kata kecuali siapa yang telah diberi izin kepada­nya oleh Tuhan yang Maha Pemurah, dan ia mengucap­kan kata yang benar. Itulah hari yang pasti terjadi. Karena itu, barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya. Sesungguh­nya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) dengan siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya, dan orang kafir berkata, Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah. “‘ (An Naba’: 37-40)

Itulah berita besar yang mereka pertanyakan. Itulah berita besar yang kelak akan mereka ketahui.

Berita Besar

Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? Tentang berita yang besar, yang mereka perselisihkan tentang ini. Sekali-kali tidal kelak mereka akan mengetahui. Kemu­dian sekali-kali tidak, kelak mereka akan mengetahui. ” (An Naba’: 1-5)

Inilah bagian permulaan yang mengandung per­tanyaan bernada ingkar terhadap persoalan yang mereka pertanyakan dan mengandung keheranan mengapa persoalan seperti itu mereka pertanyakan. Mereka mempertanyakan hari kebangkitan dan berita tentang kiamat. Inilah persoalan yang mereka perdebatkan dengan sengit, dan hampir-hampir mereka tidak pernah membayangkan terjadinya, padahal inilah yang paling utama mereka lakukan.

Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya ? ” (An Naba’: 1)

Persoalan apakah yang mereka perbincangkan? Kemudian dijawab. Pertanyaan itu tidak dimaksudkan untuk me­ngetahui jawabannya dari mereka, tetapi hanya untuk menunjukkan keheranan terhadap keadaan mereka dan untuk mengarahkan perhatian terhadap keganjilan pertanyaan mereka. Diungkaplah per­soalan yang mereka pertanyakan dan dijelaskanlah hakikat dan tabiatnya,

Tentang berita yang besar, yang mereka perselisihkan tentang ini.” (An Naba’: 2-3)

Tidak disebutkan batas tentang sesuatu yang mereka pertanyakan itu dengan menyebutkan wujudnya, melainkan hanya disebutkan sifatnya saja. Penyebutan sifatnya ini untuk menyampaikan berita yang besar dengan menunjukkan ketakjuban. Juga untuk mengagungkan dan menunjukkan perbedaan sikap terhadap hari itu antara orang-orang yang mengimaninya dan orang-orang yang tidak memper­cayai terjadinya. Adapun yang mempertanyakannya hanyalah mereka saja. Kemudian tidak diberikan jawaban tentang apa yang mereka pertanyakan itu. Tidak dipaparkan pula hakikat sesuatu yang mereka pertanyakan itu, me­lainkan dibiarkan dengan sifatnya saja yang besar. Kemudian pembicaraan beralih kepada ancaman yang ditujukan kepada mereka. Hal ini lebih mengena daripada jawaban secara langsung, dan lebih men­dalam ketakutan yang ditimbulkannya,

Sekali-kali tidak, kelak mereka akan mengetahui. Kemudian, sekali-kali tidal kelak mereka akan mengeta­hui. ” (An Naba’: 4-5)

Lafal “kallaa” sekali-kali tidak!’ diucapkan untuk membentak dan menghardik. Karena itu, lafal ini sangat tepat dipakai di sini sesuai dengan bayangan yang perlu disampaikan. Diulangnya lafal ini beserta kalimatnya adalah untuk mengancam.

Fenomena Alam yang Perlu Diperhatikan


Kemudian, di luar tema berita besar yang mereka perselisihkan itu, di bawalah mereka untuk melaku­kan perjalanan yang dekat di alam semesta yang terlihat ini bersama sejumlah benda-benda yang berwujud, fenomena-fenomena, hakikat-hakikat, dan pemandangan-pemandangan yang menggetarkan hati yang mau merenungkannya,

Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan, gunung-gunung sebagai pasak, Kami jadikan kamu berpasang-pasangan, Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, Kami jadikan malam sebagai pakaian, Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan, Kami bangun atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh, Kami jadikan pelita yang amat terang (matahari), dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah, supaya Kami tum­buhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, dan kebun-kebun yang lebat?” (An Naba’: 6-16)

Perjalanan di hamparan alam semesta yang luas dengan lukisan-lukisan dan pemandangan-pemandangan nya yang besar, dikemas dengan kata-kata dan kalimat kalimat singkat sehingga, memberikan kesan yang tajam, berat, dan mengena. Ia seakan akan alat pengetuk yang mengetuk bertalu-talu dengan nada berhenti dan nada putusnya.

Kalimat tanya yang diarahkan kepada lawan bicara, yang menurut ilmu bahasa menunjukkan penetapan, memang merupakan bentuk kalimat yang sengaja dibuat demikian. Seakan-akan ia merupakan tangan kuat yang mengguncangkan orang-orang lalai. Yakni, orang-orang yang mengarahkan pandangan dan hali mereka kepada himpunan makhluk dan fenomena­fenomena yang mengisyaratkan adanya pengaturan dan penentuan di belakangnya. Juga mengisyaratkan adanya kekuasaan yang mampu menciptakan dan mengulang penciptaan itu kembali, dan mengisyaratkan adanya hikmah yang tidak membiarkan makh­luk (manusia) tanpa pertanggungjawaban, tanpa dihisab, dan tanpa diberi pembalasan. Di sini, ber­temulah ia dengan berita besar yang mereka per­selisihkan itu.

Sentuhan pertama dalam perjalanan ini adalah tentang bumi dan gunung-gunung,

Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan .dan gunung-gunung sebagai pasak?” (An­ Naba’: 6-7)

‘Al-mihaad’ berarti dihamparkan untuk tempat berjalan di atasnya, dan hamparan yang lunak bagai­kan buaian. Kedua makna ini saling berdekatan. Ini adalah hakikat yang dapat dirasakan manusia apa pun tingkat kebudayaan dan pengetahuannya. Sehingga, tidak memerlukan pengetahuan yang banyak untuk memahaminya dalam bentuknya yang nyata.

Keberadaan gunung-gunung sebagai pasak bumi ini merupakan sebuah fenomena yang dapat dilihat oleh mata orang pedalaman sekalipun. Baik yang ini bumi dengan hamparannya maupun yang itu gunung yang menjadi pasak bumi) memiliki kesan tersendiri di dalam perasaan apabila jiwa manusia ter arahkan ke sana untuk merenungkannya. Akan tetapi, hakikat ini lebih besar dan lebih luas ,jangkauannya daripada apa yang diperkirakan oleh manusia badui (pedalaman) ketika ia semata-mata menerima dengan indra nya. Setiap kali meningkat dan bertambah pengetahuan manusia tentang tabiat dan perkembangannya, maka semakin besarlah kesannya terhadap ini di dalam jiwanya. Lalu, mengerti lah ia bahwa di balik itu terdapat kekuasaan Ilahi yang agung dan rencana-Nya yang halus penuh hikmah. Demikian juga dengan adanya kesesuaian antara anggota-anggota alam semesta ini dan kebutuhan-kebutuhannya, beserta disiapkan nya bumi ini untuk menerima kehidupan manusia dan mengaturnya. Juga disiapkan nya manusia untuk menyelesaikan diri dengan lingkungannya dan untuk saling mengerti.

Dihamparkan nya bumi bagi kehidupan, dan bagi kehidupan manusia secara khusus, menjadi saksi tak terbantahkan yang memberikan kesaksian akan adanya akal yang mengatur di balik alam wujud yang nyata ini. Karena itu, rusaknya salah satu kerelevan­an penciptaan bumi dengan semua kondisinya, atau rusaknya salah satu kerelevanan penciptaan kehidupan untuk hidup di bumi, maka kerusakan di sini ataupun di sana tidak akan menjadikan bumi sebagai hamparan. Juga tidak akan ada lagi hakikat yang diisyaratkan oleh Al Qur’ an secara global, untuk di­mengerti oleh setiap manusia sesuai dengan tingkat ilmu dan pengetahuannya.

Dijadikannya gunung sebagai pasak bagi bumi, dapat dimengerti oleh manusia dari segi bentuknya dengan pandangannya semata-mata, karena ia lebih mirip dengan pasak-pasak kemah yang diikatkan padanya. Adapun hakikatnya kita terima dari infor­masi Al Qur’an. Darinya kita mengetahui bahwa gunung-gunung itu memantapkan bumi dan menjaga keseimbangannya. Mungkin karena gunung­-gunung itu menyeimbangkan antara kerendahan lautan dan ketinggian gunung-gunung; menyeim­bangkan antara pengerutan rongga bumi dan pe­ngerutan atapnya; dan menekan bumi pada titik tertentu hingga ia tidak lenyap dengan adanya gempa bumi, gunung meletus, dan guncangan-guncangan dalam perutnya. Atau, mungkin karena ada alasan lain yang belum terungkap hingga kini. Karena, banyak sekali aturan dan hakikat-hakikat yang tidak
diketahui manusia yang diisyaratkan oleh Al­-Qur’an-Al-Karim, kemudian diketahui sebagiannya oleh manusia setelah beratus-ratus tahun berikutnya!

Sentuhan kedua adalah mengenai jiwa manusia, dalam beberapa segi dan hakikat yang berbeda-beda, “… Kami jadikan kamu berpasang pasangan…. ” (An ­Naba’: 8)

Ini juga merupakan satu fenomena yang perlu diperhatikan, yang dapat diketahui oleh setiap ma­nusia dengan mudah dan sederhana. Allah telah menjadikan manusia terdiri dari laki-laki dan wanita, dan menjadikan kehidupan dan pelestarian nya de­ngan adanya perbedaan jenis kelamin yang ber­pasangan dan pertemuan antara kedua jenis kelamin yang berbeda itu. Setiap orang mengetahui fenomena ini dan me­rasakan adanya kegembiraan, kenikmatan, kesenangan, dan kebaruan suasana tanpa memerlukan ilmu yang banyak. Karena itu, Al Qur’an membicarakan hal ini kepada manusia di lingkungan manapun ia berada. Sehingga, ia mengetahuinya dan terkesan olehnya apabila ia mengarahkan pikirannya ke sana, dan merasakan adanya tujuan, kesesuaian, dan pengaturan padanya.

Di belakang perasaan-perasaan yang bersifat global terhadap nilai hakikat ini dan kedalamannya, terdapat -pemikiran lain ketika manusia itu meningkat pengetahuan dan perasaannya. Di sana terdapat pemikiran tentang kekuasaan yang men­jadikan nutfah (mani) itu anak laki-laki dan nutfah ini anak wanita. Padahal, tidak ada sesuatu yang mem­bedakan secara jelas di dalam nutfah ini atau itu, yang menjadikannya menempuh jalannya untuk menjadi anak laki-laki atau anak wanita.

Ya Allah, ini tidak lain kecuali karena adanya iradah kodrat yang menciptakan dengan rencana yang halus, dan pengarahan yang lembut. Juga pem­berian ciri-ciri khusus yang dikehendaki-Nya pada nutfah ini dan itu, untuk menciptakan dari keduanya dua insan berpasangan, guna mengembangkan dan melestarikan kehidupan.

…Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, Kami jadikan malam sebagai pakaian, Kami jadikan siang untuk men­cari penghidupan….”(An Naba’: 9-11)

Di antara pengaturan Allah terhadap manusia ialah menjadikan tidur sebagai istirahat dan meng­hentikan mereka dari berpikir dan beraktivitas. Dia menjadikan mereka dalam keadaan yang tidak mati dan tidak pula hidup, untuk mengistirahatkan fisik dan syaraf-syarafnya. Juga untuk memulihkan tenaga yang dikeluarkannya pada saat jaga, bekerja, dan sibuk dengan urusan kehidupan. Semua ini terjadi dengan cara menakjubkan yang manusia tidak mengerti caranya. Tidak ada andil sedikit pun iradah manusia di dalam hal ini, dan tidak mungkin ia mengetahui bagaimana hal ini berjalan dengan sempurna sedemikian rupa. Ketika dalam keadaan jaga pun, ia tidak mengetahui bagaimana cars kerjanya pada scat tidur. Apalagi dalam keadaan tertidur. Sudah tentu ia tidak mengetahui keadaan ini dan tidak dapat memperhatikannya.

Ini adalah salah satu rahasia bangunan makhluk hidup yang tidak diketahui kecuali oleh yang men­ciptakannya dan meletakkan rahasia itu padanya, serta menjadikan kehidupannya bergantung atas­nya. Maka, tidak ada seorang pun yang mampu hidup tanpa tidur kecuali dalam waktu yang sangat terbatas. Kalau ia memaksakan diri dengan meng­gunakan sarana luar agar terus berjaga (tidak tidur), maka sudah tentu ia akan binasa. Di dalam tidur pun terdapat rahasia yang tidak berkaitan dengan kebutuhan fisik dan saraf yaitu, berhenti nya ruh dari melakukan pergulatan hidup yang keras. Ketenangan mengunjunginya se­hingga ia meletakkan senjata dan meninggalkan kebunnya, senang ataupun tidak senang. Ia menyerah kepada saat kedamaian yang penuh keamanan, yang dibutuhkan setiap orang sebagaimana kebutuhannya terhadap makanan dan minuman.

Terjadilah sesuatu yang mirip mukjizat pada saat saat tertentu ketika rasa kantuk menimpa kelopak mata, ruh merasa berat, saraf-saraf telah letih, jiwa gelisah, dan hati merasa takut. Kantuk ini yang kadang-kadang hanya beberapa saat saja seakan akan membuat pembalikan (perubahan) total bagi keberadaan manusia dan memperbarui bukan hanya kekuatannya melainkan dirinya, sehingga ia seakan-akan sebagai wujud baru setelah bangun. Kemukjizatan (keluarbiasaan) ini pernah terjadi dalam bentuk yang jelas bagi kaum muslimin yang kelelahan dalam Perang Badar dan Perang Uhud. Allah memberi kenikmatan dan ketenteraman ke­pada mereka dengan kantuk ini sebagaimana yang terjadi pada banyak orang dalam keadaan keadaan yang mirip. Firman Nya,

(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman dari-Nya. “(Al Anfaal: 11)

Kemudian setelah kamu berduka cita Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari kamu.”(Ali Imran: 154)

Maka, istirahat yakni menghentikan berpikir dan beraktivitas dengan tidur ini merupakan suatu ke­harusan dari keharusan bangunan ke­hidupan. Ia merupakan satu rahasia dari rahasia-­rahasia kekuasaan yang mencipta dan salah satu nikmat dari nikmat-nikmat Allah yang tidak ada seorang pun yang mampu memberikannya selain Dia. Adapun mengarahkan perhatian kepadanya sebagaimana yang dicontohkan Al Qur’an ini, meng­ingatkan dan menyadarkan hati kepada kekhususan­-kekhususan Dzat-Nya. Juga kepada tangan yang me­wujudkan eksistensinya dan menyentuh hati ter­sebut dengan sentuhan yang membangkitkannya untuk memikirkan dan merenungkan serta meng­ambil kesan darinya.

Di antara pengaturan Allah juga ialah Dia men­jadikan gerakan alam ini selaras dengan gerakan makhluk-makhluk hidup. Sebagaimana Dia meletak­kan pada manusia rahasia tidur dan istirahat sesudah bekerja dan melakukan aktivitas, maka Dia meletakkan pada alam ini fenomena malam sebagai pakaian penutup yang menjadikan istirahat dan pengenduran saraf itu berjalan dengan sempurna. Juga meletak­kan fenomena siang untuk mencari penghidupan, yang dalam waktu siang inilah gerak dan aktivitas dapat berjalan dengan sempurna.

Dengan demikian, selaras dan serasi lah ciptaan Allah, dan alam ini pun sangat cocok bagi makhluk hidup dengan segala kekhususan nya. Makhluk­-makhluk hidup itu dibekali dengan susunan yang cocok dengan gerak dan kebutuhan-kebutuhannya, sesuai dengan kekhususan dan kesesuaian yang diletakkan pada alam semesta. Semua ini keluar dari tangan kekuasaan yang mencipta dan mengatur dengan serapi-rapi nya.

Sentuhan ketiga adalah tentang penciptaan langit yang sangat serasi dan sesuai dengan bumi dan makhluk hidup,

Kami bangun di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh, Kami jadikan pelita yang amat terang (matahari), dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah, supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, dan kebun-kebun yang lebat?”(An ­Naba’: 12-16)

Tujuh buah langit yang kokoh yang dibangun Allah di atas bumi itu adalah langit yang tujuh, yaitu tujuh petala langit sebagaimana disebutkan di tempat lain. Dan, yang dimaksud dengannya dengan pembatas­an ini hanya Allah yang mengetahuinya. Mungkin yang dimaksudkan adalah tujuh gugusan bintang, yang setiap satu gugusan nya bisa mencapai ratusan bintang. Ketujuh gugusan inilah yang mem­punyai hubungan dengan bumi dan tata surya kita. Mungkin yang dimaksudkan bukan ini dan bukan itu. Allah Maha Mengetahui apa yang ada dalam susunan alam semesta ini, sedangkan yang diketahui oleh manusia hanya sedikit.

Sesungguhnya ayat ini hanya mengisyaratkan bahwa tujuh buah langit yang kokoh itu sangat kokoh dan kuat bangunannya, yang tidak mungkin retak dan berantakan. Inilah yang kita lihat dan kita ketahui dari tabiat tata surya dan benda-benda ang­kasa yang biasa kita sebut dengan langit, yang dapat diketahui oleh setiap orang. Di samping itu, ayat ini juga mengisyaratkan bahwa bangunan wajah langit yang kokoh itu serasi dengan planet bumi dan manusia. Karena itulah, ia disebutkan di dalam mem­bicarakan pengaturan Allah dan penentuan Nya ter­hadap kehidupan bumi dan manusia, yang ditunjuki oleh ayat sesudahnya, ‘Kami jadikan pelita yang amat terang.”(An Naba’:13), yaitu, matahari yang bersinar terang benderang yang menimbulkan rasa panas untuk hidupnya bumi dan makhluk-makhluk hidup di atasnya. Juga me­nimbulkan pengaruh bagi terbentuknya awan yang membawa uap air dari lautan yang luas di bumi dan menyalaminya ke lapisan lapisan udara yang sangat tinggi. Itulah Al mu’shirat ‘awan’ sebagaimana disebutkan dalam ayat,

… dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah.”(An Naba’: 14)

Ketika ia diperas, lalu turun dan berjatuhan yang berupa air. Siapakah yang memerasnya? Mungkin angin atau kehampaan aliran listrik pada beberapa tingkatan udara. Di balik semua itu terdapat tangan kekuasaan yang menimbulkan pengaruh-pengaruh pada alam semesta. Pada pelita terdapat penyalaan, panas dan cahaya, yang semuanya terdapat pada matahari. Karena itu, dipilihnya kata “siraj” ‘pelita’ di sini merupakan pilihan yang sangat cermat dan jeli. Dari pelita yang amat terang dengan segala cahaya terang dan panasnya, dan dari awan dengan air yang diperas darinya hingga banyak tercurah, tumbuhlah biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan untuk dimakan, kebun-kebun yang lebat, serta pohon-pohon yang rimbun dan bercabang-cabang.

Keserasian dan keselarasan di alam ini tidak mungkin terjadi kecuali di baliknya ada tangan yang mengaturnya, ada kebijaksanaan yang menentukan­nya, dan ada iradah yang menatanya. Hal ini dapat diketahui oleh setiap insan dengan hati dan perasaan­nya ketika perasaannya diarahkan ke sana. Apabila ilmu dan pengetahuannya meningkat, maka akan terkuak lah keserasian dan kerapian ini sedemikian luas dengan tingkatan-tingkatannya yang menjadikan akal dan pikiran kebingungan dan terkagum-­kagum. Juga menjadikan pendapat yang mengata­kannya sebagai kebetulan adalah pendapat yang tidak berbobot dan tidak perlu ditanggapi, sebagai­mana sikap orang yang tidak mau menghiraukan adanya tujuan dan pengaturan pada alam ini hanya­lah sikap keras kepala yang tidak perlu dihormati.

Alam ini ada penciptanya. Di belakang alam ini, terdapat penataan, penentuan, dan pengaturan. Hakikat-hakikat dan pemandangan-pemandangan ini disebutkan secara beruntun di dalam nash Al­ Qur’an dengan urutan seperti ini. Yaitu, dijadikannya bumi sebagai hamparan, gunung sebagai pasak bagi bumi, manusia berpasang-pasangan, tidur mereka sebagai istirahat (sesudah bergerak, berpikir, dan melakukan aktivitas), malam sebagai pakaian untuk menutup dan menyelimuti, dan siang untuk mencari penghidupan, berpikir, dan beraktivitas. Kemudian dibangunnya rajah langit yang kokoh, dijadikannya pelita yang amat terang (matahari), dan diturunkan­nya air yang tercurah dari awan untuk menumbuh­kan biji-bijian, tumbuh-tumbuhan, dan kebun-kebun.

Keberuntungan hakikat-hakikat dan pemandangan-pemandangan yang seperti ini mengesankan ada­nya pengaturan yang cermat, mengisyaratkan adanya pengaturan dan penentuan, dan mengesankan adanya Sang Maha Pencipta yang Maha Bijaksana lagi Maha Kuasa. Disentuhnya hali dengan sentuhan­-sentuhan yang mengesankan dan mengisyaratkan adanya maksud dan tujuan di belakang kehidupan ini. Dari sini, bertemulah konteks ini dengan berita besar yang mereka perselisihkan itu!

Hari Perhitungan dan Pembalasan

Semua itu adalah agar manusia bisa berbuat dan bersenang-senang, dan di belakangnya terdapat perhitungan dan pembalasan. Hari keputusan itu sudah ditentukan waktunya,

Sesungguhnya hari keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan, yaitu hari ( yang pada waktu itu) ditiup sangkakala lalu kamu datang berkelompok-kelompok. Dibukalah langit, maka terdapatlah beberapa pintu; dan dijalankanlah gunung-gunung maka menjadi fatamor­ganalah ia.” (An Naba’: 17-20)

Sesungguhnya manusia tidak diciptakan dengan sia-sia dan tidak dibiarkan tanpa pertanggung­jawaban. Dzat yang telah menentukan kehidupan mereka dengan ketentuan sebagaimana telah di­sebutkan di muka dan menyerasikan kehidupan mereka dengan alam tempat hidup mereka, tidak mungkin membiarkan mereka hidup tiada guna dan mati dengan sia-sia, membiarkan mereka berbuat kebaikan atau kerusakan di bumi, lantas mereka pergi ke dalam tanah dengan sia-sia begitu saja. Tidak mungkin Dia membiarkan mereka mengikuti pe­tunjuk jalan yang lurus dalam kehidupan atau mengikuti jalan yang sesat, lantas semuanya dipertemukan dalam satu tempat kembali. Tidak mungkin mereka berbuat adil dan berbuat zhalim, lantas keadilan atau kezhaliman itu berlalu begitu saja tanpa mendapatkan pembalasan.

Sungguh di sana akan ada suatu hari untuk mem­berikan ketetapan, membedakan (antara yang benar dan yang salah, yang adil dan yang zhalim, yang baik dan yang buruk), dan memberi keputusan terhadap segala sesuatu. Yaitu, hari yang sudah ditentukan dan ditetapkan waktunya oleh Allah,

Sesungguhnya hari keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan. ” (An Naba’: 17)

Yaitu, hari yang ketika itu tatanan alam semesta sudah terbalik, ikatan-ikatan peraturannya sudah berantakan dan tidak berlaku lagi.

Yaitu, hari ( yang pada waktu itu) ditiup sangkakala lalu kamu datang berkelompok-kelompok. ” (An Naba’: 18)

Ash-shuur artinya ’sangkakala’. Kita tidak mengetahui nama lain selain itu. Kita tidak mengetahui kecuali akan ditiup. Kita tidak perlu menyibukkan diri untuk memikirkan bagaimana caranya. Karena, memikirkan cara peniupan nya itu tidak akan me­nambah keimanan kita dan tidak ada pengaruhnya terhadap peristiwa itu. Allah telah memelihara potensi kita agar tidak kita gunakan secara sewenang-wenang untuk membicarakan apa yang ada di balik perkara gaib yang tersembunyi ini. Dia telah memberikan kepada kita ukuran tertentu yang bermanfaat bagi kita, sehingga kita tidak menambah-nambahnya. Kita hanya membayangkan tiupan sangkakala yang membangkitkan dan mengumpulkan manusia untuk datang berkelompok-kelompok. Kita bayang­kan pemandangan ini dan manusia-manusia yang telah hilang jati diri dan sosoknya dari generasi demi generasi, dan meninggalkan permukaan bumi untuk ditempati oleh orang-orang yang datang sesudahnya agar tidak menjadi sempit bagi mereka permukaan bumi yang terbatas ini.

Kita bayangkan pemandangan yang berupa manusia secara keseluruhan (sejak manusia pertama hingga manusia terakhir) bangun dan berdiri, lalu datang berbondong-bondong dari setiap lembah menuju ke tempat mereka dikumpulkan. Kita bayangkan kubur-kubur yang berserakan dan manusia-­manusia yang bangun darinya. Kita bayangkan se­muanya berkumpul menjadi satu dan ketika itu yang pertama tidak mengenal yang belakangan. Kita bayangkan ketakutan yang ditimbulkan oleh berkumpulnya manusia sedemikian rupa yang tidak pernah terjadi semua manusia berkumpul dalam satu waktu seperti yang terjadi pada hari ini. Di mana? Kita tidak tahu. Karena, di alam yang kita ketahui pernah terjadi berbagai peristiwa dan hal-hal me­nakutkan yang bersifat fisik itu, telah terjadi perubah­an luar biasa,

Dibukalah langit, maka terdapatlah beberapa pintu; dan dijalankanlah gunung-gunung maka menjadi fata­morganalah ia.” (An Naba’: 19-20)

Langit yang dibangun dengan kokoh, dibuka lalu terdapat beberapa pintu. Ia pecah terbelah, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat dan surat lain. Langit berubah keadaannya dengan keadaan yang belum pernah kita alami selama ini. Sedangkan, gunung-gunung yang menjadi pasak bumi dijalankan sehingga menjadi fatamorgana. Ia dihancur-lebur kan, berantakan, dan berhamburan ke udara, digerakkan oleh angin, sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat dan surat-surat lain. Karena itu, ia tidak ada wujud­nya lagi bagaikan fatamorgana, atau ia yang telah menjadi debu itu diterpa cahaya sehingga menjadi seperti fatamorgana. Sungguh menakutkan dan mengerikan terjadinya ke-amburadul-an alam yang dapat dipandang mata itu, sebagaimana menakutkan nya ketika manusia di­kumpulkan setelah ditiup nya sangkakala. Inilah hari keputusan yang sudah ditentukan bakal terjadinya itu, dengan hikmah dan rencana Allah.

Neraka Jahannam dan Penghuninya


Ayat-ayat berikutnya melanjutkan perjalanan ke belakang peniupan sangkakala dan pengumpulan manusia di padang mahsyar. Maka, dilukiskan lah tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas dan orang-orang yang bertaqwa. Pembahasan dimulai dengan membicarakan kelompok pertama yang mendustakan dan mempertanyakan berita yang besar itu,

Sesungguhnya neraka jahannam itu (padanya) ada tempat pengintai, lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas. Mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya. Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang mendidih dan nanah, sebagai pembalasan yang setimpal. Sesungguhnya mereka tidak takut kepada hisab, dan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dengan sesungguh-sungguhnya. Segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu kitab. Karena itu, rasakanlah. Kami sekali-kali tidak akan menambah kepadamu selain azab. “( An Naba’: 21-30)

Sesungguhnya neraka Jahannam itu sudah dicipta­kan, sudah ada, dan padanya ada tempat pengintai bagi orang-orang yang melampaui batas. Ia me­nunggu dan menantikan mereka yang akan sampai juga ke sana, karena ia memang disediakan dan disiapkan untuk menyambut mereka. Seakan-akan mereka melakukan perjalanan (tour) di bumi, kemu­dian mereka kembali ke tempat asalnya. Mereka datang ke tempat kembalinya ini untuk menetap di sini dalam masa yang amat panjang, berabad-abad, ‘Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman.”(An Naba’: 24)

Kemudian dikecualikan, tetapi pengecualian ini lebih pahit dan lebih pedih,

… selain air yang mendidih dan nanah. ” (An Naba’: 25)

Kecuali air yang panas mendidih, yang memang­gang kerongkongan dan perut. Nah, inilah ke­sejukan itu. Juga kecuali nanah yang meleleh dan mengalir dari tubuh orang-orang yang dibakar itu. Maka, inilah minumannya!

‘:..sebagai pembalasan yang setimpal. ” (An Naba’: 26)

Setimpal dengan tindakan dan kelakuan mereka pada masa lalu sewaktu di dunia dulu.

Sesungguhnya mereka tidak takut kepada hisab. ” (An ­Naba’: 27)

Mereka tidak takut pada tempat kembalinya nanti.


.. dan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dengan sesungguh-sungguhnya….” (An Naba’: 28)

Tekanan keras pada lafal ini mengisyaratkan sangat kerasnya pendustaan dan kebandelan mereka. Allah menghitung atas mereka setiap sesuatunya dengan hitungan yang amat cermat dan tidak satu pun yang terluput,

Segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu kitab. ” (An Naba’: 29)

Di sini datanglah ledekan yang memutuskannya dari segala harapan untuk mendapat perubahan atau keringanan,

Karena itu, rasakanlah. Kami sekali-kali tidak akan menambah kepadamu selain dari azab!” (An Naba’: 30)

Keadaan Orang-rang yang Bertaqwa


Sesudah dibentangkan pemandangan orang-­orang yang melampaui batas di dalam air yang men­didih, dibeberkan lah pemandangan sebaliknya. Yakni, pemandangan orang-orang bertaqwa yang ada di dalam surga,

Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan, (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, gadis-gadis remaja yang sebaya, dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). Di dalamnya mereka tidak mendengarkan perkataan yang sia-sia dan tidak (pula perkataan) dusta. Sebagai balasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak. ” (An Naba’: 31-36)

Apabila Jahannam itu menjadi pengintai dan tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas, yang mereka tidak dapat lepas dan melintas darinya, maka orang-orang yang bertaqwa akan berkesudah­an di tempat keberuntungan dan keselamatan yang berupa “kebun-kebun dan buah anggur”. Disebutkan nya buah anggur secara khusus dan tertentu di sini adalah karena anggur itulah yang populer di kalang­an orang-orang yang mendengar firman ini. Juga gadis-gadis remaja yang sebaya “umur dan kecantikannya. ‘Dan, gelas gelas yang penuh” berisi minuman.

Ini adalah kenikmatan-kenikmatan yang lahirnya bersifat inderawi, untuk mendekatkannya kepada apa yang dibayangkan manusia. Adapun hakikat rasa dan kenikmatannya belum pernah dirasakan oleh penduduk dunia karena mereka terikat dengan batas-batas dan gambaran-gambaran duniawi. Di samping kenikmatan lahiriah yang demikian, mereka juga mengalami keadaan yang dirasakan oleh hati dan perasaan,

Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula perkataan) dusta. ” (An Naba’: 35)

Kehidupan surgawi adalah kehidupan yang ter­pelihara dari kesia-siaan dan kebohongan yang biasanya diiringi dengan bantahan dan sanggahan. Maka, hakikat (keadaan yang sebenarnya) di sini diungkap­kan, tidak ada peluang untuk membantah dan men­dustakan, sebagaimana tidak ada peluang untuk berkata sia-sia yang tidak ada kebaikan padanya. Inilah suatu keadaan dari keluhuran dan kesenangan yang cocok dengan negeri akhirat yang kekal.

“Sebagai balasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak.”(An Naba’: 36)

Di sini kita menjumpai fenomena keindahan dalam ungkapannya dan kesamaan bunyi pada kata dan sebagaimana kita rasakan juga irama­nya pada akhir setiap kalimatnya dengan bunyi yang hampir sama. Ini merupakan fenomena yang jelas di dalam juz ini seluruhnya secara global.

Malaikat pun Merasa Takut


Untuk melengkapi pemandangan-pemandangan hari yang padanya sempurna segala urusan itu, dan yang dipertanyakan oleh orang-orang yang memper­tanyakan, serta diperselisihkan oleh orang-orang yang memperselisihkan, maka datanglah pemandangan terakhir dalam surat ini. Yakni, ketika malaikat Jibril dan malaikat-malaikat lainnya berdiri berbaris dengan khusyu di hadapan Allah yang Rahman, tanpa berkata sepatah kata pun kecuali yang diizinkan oleh yang Rahman di tempat yang menakutkan dan agung itu,

‘Tuhan yang Memelihara langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya, yang Maha Pemurah. Mereka tidak dapat berbicara dengan Dia. Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf, mereka tidak ber­kata-kata kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar.” (An Naba’: 37-38)

Pembalasan yang dijelaskan pada segmen di atas adalah pembalasan bagi orang-orang yang melam­paui batas dan orang-orang yang bertaqwa. Pem­balasan ini adalah “dari Tuhanmu, Tuhan yang meme­lihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara kedua­nya, yang Maha Pemurah”.

Kalimat ini serasi benar dengan sentuhan dan hakikat yang besar ini. Hakikat rububiyah ‘peme­liharaan Tuhan’ yang Esa, meliputi seluruh manusia sebagaimana ia meliputi langit dan bumi serta dunia dan akhirat, dan memberikan balasan kepada per­buatan melampaui batas dan perbuatan takwa, serta berujung padanyalah urusan akhirat dan dunia Ke­mudian, Dia adalah ‘Maha Pemurah, Pemilik dan Pem­beri rahmat”.

Karena rahmat-Nya inilah, maka diberikan balas­an kepada mereka ini dan mereka itu. Sehingga, pemberian hukuman kepada orang-orang yang me­lampaui batas itu bersumber dari rahmat Tuhan yang Rahman ini. Karena rahmat ini pula, maka ke­burukan mendapatkan balasan yang tidak sama de­ngan balasan bagi kebaikan di tempat kembali nanti.

Di samping rahmat dan keagungan ini, “mereka tidak dapat berbicara dengan Dia” pada hari yang menakutkan ketika malaikat Jibril as dan malaikat-malaikat lain berdiri “bershaf–shaf tanpa berbicara sepatah kata pun’ kecuali dengan adanya izin dari yang Maha Pemurah untuk mengucapkan perkataan yang benar. Maka, tidak ada yang diizinkan oleh Ar-Rahman ke­cuali yang sudah diketahui bahwa ia benar.

Hari yang Pasti Terjadi

Sikap orang-orang yang didekatkan kepada Allah, yang bersih dari dosa-dosa dan kemaksiatan ini ada­lah diam tanpa berkata-kata sedikit pun kecuali de­ngan adanya izin dari Allah dan dengan perhitungan. Suasananya dipenuhi dengan ketakutan, kesedihan, keagungan, dan ketundukan. Di bawah bayang-­bayang pemandangan ini terdengarlah seruan yang berisi peringatan dan mengguncang orang-orang yang tertidur dan mabuk kepalang ,

“Itulah hari yang pasti terjadi. Maka, barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya. Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) dengan siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya, dan orang kafir berkata, Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah. ” (An ­Naba’: 39-40)

Inilah guncangan keras terhadap mereka yang hatinya dipenuhi keraguan dan selalu mempertanyakan “hari yang Pasti terjadi” itu. Maka, tidak ada pe­luang untuk mempertanyakan dan memperselisih­kannya. Selagi masih ada kesempatan, “maka barang­siapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada, Tuhannya “sebelum neraka Jahannam mengintai nya dan menjadi tempat kembalinya.

Inilah peringatan untuk menyadarkan orang­-orang yang mabuk kepalang, “Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kamu siksa yang dekat”. Maka, Jahannam itu senantiasa menantikan dan mengintaimu seperti yang kamu ketahui. Dunia ini secara keseluruhan adalah perjalanan yang pendek dan usia yang singkat!

Inilah azab yang mengerikan dan menakutkan, sehingga orang kafir lebih memilih hilang eksistensinya daripada masih berwujud,

Pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya, dan orang kafir berkata, Alang­kah baiknya sekiranya aku dahulu hanyalah tanah. ” (An ­Naba’: 40)

Tidaklah orang berkata seperti ini kecuali dia ber­ada dalam kesempitan dan kesedihan yang sangat. Ini adalah kalimat yang memberikan bayang-­bayang ketakutan dan penyesalan. Sehingga, ia be­rangan-angan untuk tidak pernah menjadi manusia, dan menjadi unsur yang diabaikan dan disia-siakan (tak diperhitungkan). la melihat bahwa yang demi kian itu lebih ringan daripada menghadapi keadaan yang menakutkan dan mengerikan. Ini suatu sikap yang bertolak belakang dengan keadaan ketika mereka mempertanyakan dan meragukan berita besar tersebut!!! Allahu a’lam

http://www.dakwatuna.com/2009/tafsir-surat-an-naba/

“Hanya Sebatas Ilmu Dunia, Lalai Akan Ilmu Agama”

Khutbah Pertama :

Sesungguhnya Alloh tidaklah menciptakan manusia sia-sia. Namun, Alloh ciptakan [manusia] karena akan adanya tujuan yang agung, [yaitu] dalamrangka beribadah kepada Alloh rabbul ‘alamin. Alloh berfirman :

أَيَحْسَبُ الْإِنسَانُ أَن يُتْرَكَ سُدًى

Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)? (Al-Qiyamah : 36) Tidak diperintah dan tidak diberikan larangan? Tidak Mungkin.

Maka dari itu Alloh mewajibkan hamba-hambaNya untuk mengetahui dan berilmu tentang Alloh, berilmu tentang kehidupan akhirat. Dan Alloh memberikan ganjaran yag besar bagi mereka yang senantiasa berusaha lebih mengetahui kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia. Dan Alloh mengecam orang-orang yang menjadikan ilmunya [hanya] sebatas dunia, Alloh berfirman ketika mensifati orang-orang yang dikecam oleh Alloh, orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Alloh. Alloh berfirman :

يَعْلَمُونَ ظَاهِراً مِّنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai. (Ar-Ruum : 7)

Mereka [kata Alloh] يَعْلَمُونَ ظَاهِراً مِّنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا [ilmunya hanya sebatas lahiriah kehidupan dunia. Mereka hanya berilmu, mereka hanya mengetahui tentang kehidupan dunia] وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ [sementara mereka lalai dari kehidupan akhirat]

Oleh karena itu, Rosululloh ketika menyebutkan 5 (lima) orang yang dibenci oleh Alloh, dalam hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud, Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi dengan sanad yang hasan, dari hadits Abu Hurairoh –radhiyallohu ‘anhu-, Rosululloh bersabda :

Sesunggunya Alloh murka, marah kepada setiap orang yang (1)yang keras, kasar lagi sombong (2) yang serakah lagi tamak (3) yang suka berteriak2 dan bertengkar (4) bagaikan bangkai dimalam hari (5) berilmu tentang dunia, tapi bodoh tentang akhirat.

Sifat yang terakhir ini, Rosululloh sebutkan sebagai sifat yang dibenci oleh Alloh, yaitu berilmu tentang dunia tapi bodoh tentang kehidupan akhirat.

Makanya Rosulululloh berdo’a kepada Alloh : [artinya] “Janganlah Engkau jadikan dunia sebagai cita-cita kami yang paling tinggi..”. Dan Rosululloh memohon kepada Alloh perlindungan dari ilmu yang tidak bermanfaat.

Maka wahai saudarku, janganlah kita [menjadi seperti orang] yang disebutkan Alloh tadi, يَعْلَمُونَ ظَاهِراً مِّنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا, [Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia] وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ [sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai]

Jangan pula kita [menjadi] seperti yang disebutkan oleh Rosululloh, bahwa Alloh murka kepada orang yang berilmu tentang dunia, tapi jahil [bodoh] tentang kehidupan akhirat.

Orang yang ada di dalam hatinya Iman, orang yang ada di dalam hatinya Islam, tidak ridho dirinya dimurkai oleh Alloh, tidak ingin bila ia dimurkai oleh Alloh.

Banyak [diantara] kaum muslimin, mereka rajin mencari ilmu dunia namun mereka tidak peduli dengan kehidupan akhirtanya. Dia tidak mau peduli tentang ilmu-ilmu agama. Padahal -ayyuhal ikhwah- kebahagiaan seorang hamba terletak pada pengetahuannya tentang agamanya, [pengetahuannya] tentang akhiratnya, [pengetahuannya] tentang tujuan hidupnya, [pengetahuannya] tentang siapa rabbnya, siapa yang akan ia sembah.

Karena memang tujuan hidup kita sebagaimana Alloh firmankan,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Adz Dzariyat : 56)

Bagaimana kita akan beribadah kepada Alloh, sementara kita tidak tahu ilmu tentang ibadah itu sendiri? Bagaimana kita akan merealisasikan hakikat ubudiyah, sementara kita tidak pernah berilmu bagaimana tatacara beribadaha kepada Alloh yang shahih?

Maka -ummatal Islam- kewajiban kita tentu, berusaha untuk berilmu tentang kehidupan akhirat. Alloh -subhanahu wa ta’ala- menyuruh kita untuk mencari kehidupan akhirat namun jangan melupakan kehidupan dunia.

Alloh berfirman

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni’matan) duniawi
(Al-Qoshosh : 77)

Jangan kamu lupakan bagianmu dari kehidupan dunia, artinya akhirat adalah tujuan kita -yaa akhi- adapun dunia adalah wasilah yang kita jadikan alat menuju kehidupan akhirat.

Antum mencari naskah, tiada lain dalam rangka mencari keridhoan Alloh -subhanahu wa ta’ala-, pahala yang besar. Tentunya, ketika antum mencari nafkah, antum harus faham dan berilmu tentang perdagangan, perbisnisan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan mata pencahariannya tersebut.

Dizaman Umar –radhiyallohu ‘anhu-, pedagang yang tidak faham tentang fiqih perdagangan tidak boleh berdagang. [Tapi], dizaman ini siapa saja berdagang. Terkadang kita lihat, [mereka] tidak peduli halal ataupun haram, bahkan riba pun dia makan. Bahkan -na ‘udzu billah- dia mengatakan, katanya, ‘sesuatu yang haram saja sulit untuk didapatkan bagaimana yang halal.?’

‘Ajaban!! sungguh sangat aneh orang seperti ini!!, Sehingga akhirnya pengetahuan dia hanya sebatas dunia. Tidak pernah pengetahuan dunianya diikat dengan pengetahuan akhirat.

Seorang ahli ekonomi yang ternyata jahil [bodoh], tidak faham tentang kehidupan akhirat dan hukum-hukum agama pastilah akan mencetuskan kaidah-kaidah ekonomi yang sangat bertabrakan dengan syari’at islam.

Ikhwatal Islam a ‘azzaniyalloh wa iyyakum, maka Rosululloh menegaskan kepada kita bahwasanya sifat yang dibenci oleh Alloh, orang yang dibenci oleh Alloh,

Orang yang berilmu tentang dunia tapi dia bodoh terhadap kehidupan akhirat

Tentu setiap kita [harus] instrospeksi diri yaa akhi.. Sudahkah kita berilmu tentang kehidupan akhirat ? sudahkah kita berilmu tentang agama kita lebih daripada pengetahuan kita tentang kehidupan dunia ? Sudahkan kita mempelajari tentang sholat kita, tentang tauhidulloh, tentang sunnah-sunnah Rosululloh?

Ini adalah bahan pemikiran, ini adalah tempat kita untuk senantiasa berlomba-lomba
وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ

dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba. (Al Muthaffifin : 26)

Khutbah kedua

Ummatal Islam, maka berbahagia orang yang dijadikan oleh Alloh faqih dalam agamanya. Rosul kita yang mulia ‘alaihis sholatu was salam bersabda ;

[artinya] barangsiapa yang dihendaki oleh Alloh kebaikan untuk dirinya, dia akan difaqihkan tentang agama.

Kebalikannya, barang siapa yang Alloh tidak inginkan kebaikan untuknya, tidak akan difaqihkan dalam agama. Dia tidak akan lagi peduli terhadap agamanya, sehingga pada waktu itu dia lebih mengikuti hawa nafsunya daripada mengikuti ayat-ayat Rabbnya..

Padahal Alloh -subhanahu wa ta’ala- ayyuhal ikhwah mempermisalkan orang-orang seperti itu bagaikan keledai yang membawa kitab-kitab besar

مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَاراً

Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal
(Al Jumu’ah : 5)

Maka sudah saatnya kita untuk duduk di majlis-majlis ilmu, karena [majlis ilmu] itu adalah merupakan taman dari taman-taman surga. Sebagiamana dikatakan oleh Abdulloh ibn Mas’ud –radhiyallohu ‘anhu-

‘Apabila kalian melewati taman dari taman-taman surga maka singgahlah!’. Lalu beliau ditanya, “Wahai abu Abdirrahman, apa yang dimaksud dengan taman surga itu”. Kata beliau, ‘Halaqoh-halaqoh Ilmu’

Rosululloh bersabda, “Aku duduk bersama kaum yang mereka bedzikir kepada Alloh setelah selesai sholat fajar sampai matahari terbit, itu lebih aku sukai daripada matahari yang terbit pada hari itu

Lalu Anas –radhiyallohu ‘anhu- berkata, ‘tahukah kalian apa yang dimaksud dengan majlis dzikir yang disebutkan oleh Rosululloh tadi?’ Bukanlah majlis dzikir disini seperti yang kalian fahami. Akan tetapi -kata Anas-, ‘Ia adalah majlis-majlis ilmu

[Majlis ilmu adalah majlis] yang dibahas padanya ilmu tentang Alloh, yang dibahas padanya ilmu tentang Rosuulloh. Yang dibahas padanya ilmu tentang hak-hak Alloh, tentang sunnah Rosululloh, tentang tauhidulloh, qola Alloh wa qola Rosul [Firman Alloh dan Sabda RosulNya]..

Sebagaimana Adz Dzhahabi berkata, ‘Ilmu itu adalah firman Alloh, sabda Rosululloh, dan apa yang difahami oleh Shahabat Rosululloh, bukan apa yang diada-adakan. Ilmu itu bukan engkau menegakkan pertentangan anatara pendapat ulama dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits.

Maka -ikhwatal islam- jadilah kita termasuk abna ul akhiroh (Anak-anak akhirat) dan jangan kita menjadi abna ud dunya (Anak-anak dunia). Rosululloh mencela anak-anak dunia beliau bersabda,

Celaka hambanya dinar, celaka hambanya dirham, celaka hambanya pakaian

Rosululloh mendo’akan kecelakaan buat anak-anak dunia, maka kita berusaha menjadi anak-anak akhirat. Yang berusaha menjadikan akhirat tujuan kita tanpa melupakan kehidupan dunia.

Sumber : Khutbah Jum’at Radio RODJA 756 AM, 5 Juni 2009 disampaikan oleh Ust. Badrusalam

http://moslemsunnah.wordpress.com/2009/06/23/download-audio-hanya-sebatas-ilmu-dunia-lalai-akan-ilmu-agama-ustadz-badrusalamlc/

Mengenali Kesalahan dan Kelemahan Diri


Allah SWT berfirman:

فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

……maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci, Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (An-Najm:32).

Mengetahui dan menyadari kesalahan adalah awal kebaikan. Sementara merasa benar terus adalah awal dari kehancuran. Kesalahan memang merupakan tabiat manusia, namun tidaklah bijaksana bila kita terus menerus melanggengkan kesalahan apalagi mewariskannya kepada binaan-binaan atau anak-anak kita.

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar”. (An-Nisa:9)

Ayat diatas mengingatkan kita adanya keterkaitan yang erat antara kuat atau lemahnya generasi penerus dengan ketakwaan dan kebenaran ucapan orang tua atau pembina. Oleh karena itu sepantasnyalah kita selalu mawas diri jangan sampai kita mewariskan keburukan kepada penerus-penerus kita.

Hendaklah kita menjadi pribadi yang malu bila berbuat salah. Malu kepada Allah dan malu kepada orang-orang beriman. Tidak cukup sekadar mengetahui bahwa diri kita salah, tetapi kita begitu manja meminta permakluman dari Allah yang Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat. Yang harus kita lakukan bukan hanya menjauhi kesalahan-kesalahan yang besar dan fatal tetapi juga berusaha menghindarkan diri dari kekeliruan-kekeliruan kecil. Sebab apapun bentuknya bila kita sadar melakukan kesalahan tetap saja itu merupakan dosa.

Siapa pun kita pasti pernah terjatuh pada kesalahan. Tugas kita adalah memohon ampun dan bertaubat kepada Allah. Untuk kesalahan pada sesama manusia tentu saja kita harus meminta maaf lebih dulu kepada mereka. Jangan gengsi untuk mengakui kesalahan. Jangan sampai kita berbohong untuk membela kesalahan kita. Apalagi kita berargumen untuk membela kesalahan tersebut dan meminta orang lain menganggap bahwa kesalahan kita adalah kebenaran, na’udzubillahi min dzalik.

Allah paling mengetahui tentang diri kita dan melebihi pengetahuan kita. Maka janganlah kita merasa diri kita bersih dan merasa diri paling benar. Kalaupun kita benar dan orang lain salah kita tidak boleh melecehkan kesalahannya. Kalau kita tidak ingin aib kita dibuka orang lain maka jangan buka aib orang lain. Meluruskan diri sendiri dan orang lain tidak perlu dengan cara membuka aib. Cukuplah kita meminta ampun kepada Allah dan melakukan langkah-langkah perbaikan yang lebih menjaga kehormatan diri dan orang lain. Terkadang ada orang yang karena kesalahannya terlanjur dibeberkan menjadi malu dan bersikap antipati, bukan hanya kepada yang membeberkan tetapi juga kepada wadah di mana si pembeber aib bernaung.

Janganlah karena engkau orang jadi benci terhadap Islam” (Al Hadits).

Kebenaran harus diperjuangkan dengan cara yang benar pula,

الغاية لا تبرر الوسيلة

(tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara).

Jadi masalahnya bukan tidak boleh mengungkap kesalahan orang lain, tapi bagaimana caranya agar pengungkapan itu tidak membawa dampak negative bagi yang bersangkutan: menghalanginya dari jalan Allah. Teruslah memperjuangkan kebenaran. Jantanlah mengakui kesalahan dan bijaksanalah dalam meluruskan kesalahan orang lain. Keberhasilan berawal dari kesadaran akan kesalahan, sehingga setiap pribadi senantiasa terus memperbaiki diri menuju kepada kesempurnaan.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (Al-Baqarah:208)

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ. الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ. وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui”. (Ali Imran:133-135)

Ikhwan dan akhwat fillah…

Dalam sirah mencatat akan pengakuan seorang wanita Al Ghamidiyah yang telah terjatuh kepada perzinahan. Bukan hanya sekadar mengaku tetapi wanita tersebut ingin bertaubat dan minta dirajam. Saat itu Rasulullah menyuruh wanita tersebut melahirkan dan menyusui dulu anak dari hasil perzinahan tersebut. Setelah si anak sudah disapih barulah dilaksanakan hukum rajam. Dalam peristiwa itu terucap dari lisan Rasul bahwa wanita tersebut dijamin masuk surga.

Hikmah yang bisa kita petik dari kisah di atas adalah betapa dengan pemahaman yang seadanya saja seseorang berani mengakui kesalahannya. Maka sepantasnyalah mereka yang memiliki pemahaman yang dalam lebih bersikap kesatria mengakui kesalahannya. Tidak cukup sekadar mengakui kesalahan tetapi harus dilanjutkan dengan taubat, kembali kepada kebenaran. Bila mengakui kesalahan tetapi tetap berkubang di kemaksiatan bagaikan kuda nil yang berkubang di lumpur kotor dan bau.

Bertaubat berarti mau membersihkan diri, bersedia dihukum dan siap melakukan hal-hal yang dapat menghapus kesalahannya. Rajam adalah salah satu bentuk hukuman sekaligus penyucian. Dan tentu saja harapan utama yang ingin dicapai adalah keridhaan Allah dan surganya. Bagi yang berwenang untuk melaksanakan hukuman tentu harus bijaksana sebagaimana Rasul. Jangan jijik dan sinis mengetahui kesalahan orang lain. Hantarkan kesalahan orang menuju kepada taubatnya. Mengantarkan si salah untuk meraih surga. Bukan membuat dia putus asa, mengurung diri atau, na’udzubillahi min dzalik, bunuh diri.

Kalau kita ingin orang lain memaklumi kesalahan kita dan memberi kesempatan kita untuk berbenah diri maka kita juga harus mau memaklumi kesalahan orang lain dan memberinya kesempatan bertaubat.

Berkenaan dengan sosialisasi penjatuhan sanksi seyogyanya ikhwan dan akhwat fillah memandangnya sebagai sarana bersuci. Inilah kesempatan untuk lebih menyelami arti haasibuu anfusakum qabla antuhaasabuu.

Kita bahkan harus merasa dibantu oleh saudara-saudara kita lewat program tersebut. Tentunya program ini berlaku bagi semua. Tidak ada yang kebal hukum. Fatimah pun kalau mencuri pasti dipotong tangannya oleh Rasul. Maka di manapun posisi kita dalam kehidupan bermasyarakat, kita harus berani mengakui kesalahan, dan tentu saja juga siap dikenakan sanksi. Namun jangan kaget bila ada orang yang kita hormati atau kita kagumi suatu ketika juga terkena sanksi. Itu manusiawi. Bahkan itu menunjukkan kematangan tokoh kita tersebut (mau mengakui kesalahannya). Semua benda yang tidak steril (bukan nabi) pasti berdebu, pasti punya salah dan dosa. Maka jangan kita biarkan debu itu melekat, mari sama-sama bersihkan dengan semangat bersuci diri.

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا . وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya dan merugilah orang yang mengotorinya”(As-Syams: 9-10)


Betapa kita menyadari seringkali kita gagal untuk terus bertahan dalam kebaikan. Mungkin itu disebabkan karena kita terlalu menganggap remeh kesalahan atau terlalu memanjakan diri dengan sifat Allah yang Maha Pengampun. Dengan penjatuhan sanksi kita terbiasa untuk lebih waspada terhadap kesalahan. Hukuman manusia masih begitu ringan. Terkadang masih terbalut dengan rasa kasihan dan permakluman. Semoga dengan terbiasa menjaga diri agar terhindar dari penjatuhan sanksi insya Allah akan mengantarkan kita untuk terbiasa menghindari dosa agar selamat dari azab Allah nanti di yaumil akhir.

فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ

Maka barang siapa yang dijauhkan dari siksa neraka dan dimasukkan ke dalam surga sungguh sangat beruntunglah ia” (Ali Imran:185).


http://www.al-ikhwan.net/mengenali-kesalahan-dan-kelemahan-diri-3326/

Islam dan Korupsi



مَنْ ظَلَمَ قِيْدَ شِبْرٍ مِنَ اْلأ َرْضِ طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَاضِيْنَ

Barangsiapa yang mengambil hak orang lain walaupun hanya sejengkal tanah, maka akan dikalungkan di lehernya (pada hari Kiamat nanti) seberat 7 lapis bumi.

Takhrij Hadits

Hadits ini dikeluarkan oleh :

1. Bukhari, juz-V/76.
2. Muslim, hadits no.1612.

Kandungan Hadits

Hukum dapat dibedakan dari norma sosial yang lain sebagai sebuah mekanisme kontrol sosial, sebab ia menggantikan kontrol sosial yang tidak legal (extra legal), dan hukum digunakan untuk mengontrol berbagai perilaku yang secara mendasar tidak terkontrol[i]. Hukum juga merupakan salah satu unsur dan produk dari sejarah, aspek yang memberikan daya bagi sebuah masyarakat yang terorganisasi untuk mengatur individu-individu dan kelompok-kelompok dalam hubungannya untuk menjaga, menata kembali atau memberikan sanksi atas penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma sosial yang telah disepakati[ii]. Hukum telah ditemukan pada tiga tingkatan masyarakat; sejak mulainya hukum pada masyarakat pra baca yang disebut sebagai hukum primitif, pada masyarakat peralihan yang didefinisikan sebagai hukum kuno (archaic law), serta hukum yang dijalankan pada masa peradaban pembangunan yang dikenal sebagai hukum modern sekarang ini[iii].

Mengambil hak orang lain tanpa sepengetahuan ataupun dengan sepengetahuan namun tanpa perkenan, dalam hukum manapun di dunia ini adalah terlarang, setiap sistem kemasyarakatan di dunia dari yang paling primitif hingga yang paling modern memberikan pelbagai sanksi atas perbuatan tersebut. Sanksi yang dijatuhkan dapat berupa sanksi moral (teguran sampai pengucilan atau pengusiran) sampai dengan sanksi material dan fisik (pukulan sampai penjara). Semua sistem kemanusiaan memiliki cara sendiri dalam memberikan sanksi kepada perampas hak milik maupun kehormatan orang lain.

Sebagai sistem yang diturunkan oleh Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, Islam telah menggariskan sebuah sistem sanksi sendiri terhadap para pelaku kezhaliman, namun uniknya sanksi yang ditetapkan Islam memiliki kelebihan dibandingkan dengan sistem buatan manusia, yaitu bahwa sanksi tersebut memiliki 2 dimensi, dimensi fisik yaitu dipotong tangannya dan dimensi metafisik (ukhrawi) yaitu kemurkaan ALLAH SWT dan balasan di akhirat kelak.

Salah satu contoh sanksi non fisik tersebut adalah dalam hadits di atas, nabi SAW menyebutkan kepada para penganutnya yang telah percaya (mukmin) bahwa barangsiapa di antara mereka yang melakukan kezhaliman merampas sejengkal tanah orang lain maka ia akan dibebani sejengkal tanah tersebut namun dengan seluruh bobotnya ke bawah sampai menembus 7 lapis bumi… Inna liLLAH wa inna ‘ilaihi raji’un… Alangkah beratnya dan alangkah ngerinya balasan tersebut, maka bagaimanakah dengan orang-orang yang mengambil tanah orang lain lebih banyak lagi dari itu…?!

Contoh dimensi fisik yang lain yang dijelaskan oleh Islam adalah sanksi terhadap perbuatan kezhaliman suap-menyuap dan korupsi, sebagaimana kesempurnaannya, Islam membasmi kejahatan ini sampai ke tingkat yang sekecil-kecilnya, simaklah perkataan rasul SAW berikut ini terhadap salah seorang petugas pemungut zakatnya:

Sesungguhnya aku telah mengutus seorang di antara kalian tugas yang diberikan ALLAH kepadaku, lalu ia datang dan berkata: Ini untukmu, sedangkan yang ini hadiah mereka untukku. Andaikata ia memang benar, maka mengapa ia tidak duduk saja di rumahnya, hingga hadiah itu diberikan padanya. Demi ALLAH siapa saja di antara kalian yang mengambil sesuatu yang bukan haknya, niscaya nanti di hari Kiamat ia akan menghadap ALLAH sambil memikul apa yang diambilnya di dunia. Demi ALLAH aku tidak ingin melihat salah seorang di antara kalian yang menghadap ALLAH dengan memikul unta, lembu atau kambing yang mengembek. Lalu nabi SAW mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putih kedua ketiaknya sambil bersabda: Ya ALLAH bukankah aku telah menyampaikannya?”[iv]

Bukankah aku katakan kepadamu Islam telah memberantas suap dan korupsi pada tingkat yang sekecil-kecilnya? Lihatlah bagaimana nabi SAW telah mengharamkan hadiah-hadiah yang diberikan kepada seorang karena jabatan yang dipikulnya, karena hadiah tersebut diberikan dikaitkan dengan jabatan orang tersebut? Perhatikanlah dengan teliti sabda beliau SAW di atas: “Maka mengapa ia tidak diam saja di rumahnya (tidak menjabat apa-apa) hingga hadiah itu datang padanya?” Artinya jika benar itu hadiah, maka tidak akan diberikan ketika sahabat tersebut menjabat, karena ketika ia tidak menjabat hadiah tersebut tidak ada yang memberi. Maka jelaslah bahwa hadiah tersebut ada maunya, alias termasuk suap-menyuap…

Hal lain yang berkaitan dengan pemberantasan perilaku zhalim ini secara fundamental dalam Islam adalah di antaranya memberantas bentuk-bentuk pengakuan terhadap hak orang lain melalui sumpah atau di bawah sumpah, walaupun betapapun kecilnya apalagi jika sumpah tersebut bersifat besar seperti sumpah jabatan, lalu kemudian digunakan untuk berbuat zhalim, simaklah hadits berikut ini:

Siapa saja yang merampas hak seorang muslim dg sumpahnya, maka ALLAH benar-benar mewajibkan neraka baginya dan diharamkan Jannah untuknya. Lalu seorang sahabat bertanya: Walaupun yang dirampas itu sesuatu yang amat sedikit ya RasuluLLAH? Maka jawab nabi SAW: Walaupun sekecil batang kayu arak (kayu untuk bersiwak).”[v]

Hal lain berkenaan dengan perbuatan kezhaliman yang ditumpas oleh Islam ini adalah dalam bentuk kezhaliman dan kejahatan yang dilakukan seseorang di lembaga peradilan, yaitu perbuatan mengadukan suatu perkara dengan tujuan mengambil sesuatu yang bukan miliknya dengan memperkarakannya di lembaga peradilan. Sabda nabi SAW:

Sesungguhnya aku adalah manusia biasa, sedangkan kalian mengadukan persoalan kepadaku. Mungkin salah seorang di antara kalian lebih pandai berbicara daripada yang lain, lalu aku putuskan baginya sesuai dengan yang aku dengar. Maka barangsiapa yang telah aku menangkan perkaranya dengan mengalahkan yang benar, maka sama saja dengan aku telah memberinya sepotong bara api neraka.” [vi]

Lalu bagaimana jika terlanjur melakukan yang demikian itu? Segeralah minta maaf jika kezhaliman tersebut berkaitan dengan diri atau kehormatan seseorang atau kembalikan harta haram tersebut jika berbentuk uang atau materi, sebagaimana sabda nabi SAW:

Barangsiapa yang pernah menganiaya saudaranya baik kehormatannya maupun sesuatu yang lain hendaklah ia minta maaf sekarang juga sebelum saatnya dinar dan dirham tidak berguna. Jika tidak, apabila ia memiliki amal shalih maka amalnya akan diambil sesuai dengan kadar penganiayaan yang dilakukannya. Apabila tidak memiliki amal baik lagi, maka kejahatan orang yang dianiaya itu diambil dan dibebankan kepadanya.” [vii]

RABBanaghfirlana wa israfana fi amrina…


Oleh: Aba AbduLLAAH

Catatan Kaki:

[i] Social Control, Jack P. Gibbs, p. 83, Sage Publ., Beverly Hills.
[ii] Simpson, SP., dan Ruth Field dalam Hoebel, E. Adamson, The Law of Primitive Man, p. 4, Harvard University Press, Cambridge, Massachussets.
[iii] Ibid, p. 5.
[iv] HR Bukhari, V/162; Muslim (1832); Ahmad, V/423.
[v] HR Muslim (137)
[vi] HR Bukhari, XII/299-300; Muslim (1713); Ahmad VI/203, 290, 307.
[vii] HR Bukhari, V/73

http://www.al-ikhwan.net/islam-dan-korupsi-3345/

Kisah Mukjizat Nabi Musa AS

Nabi Musa diutuskan oleh Allah bagi memimpin Kaum Israel ke jalan benar. Beliau merupakan anak kepada Imran dan Yukabad binti Qahat, (Musa bin Imran bin Kohath bin Lewi bin Yakqub bin Ishaq bin Ibrahim), bersaudara (adik-beradik mengikut sesetengah periwayatan) dengan Nabi Harun, dilahirkan di Mesir pada pemerintahan Firaun.

Firaun Dengan Mimpi


Waktu kelahirannya cukup cemas kerana Firaun menguatkuasakan undang-undang supaya setiap bayi lelaki yang dilahirkan terus dibunuh. Tindakan itu diambil kerana dia sudah terpengaruh dengan ahli nujum yang menafsirkan mimpinya. Firaun bermimpi Mesir terbakar dan penduduknya mati, melainkan kalangan Kaum Israel, sedangkan ahli nujum mengatakan kuasa negara itu akan jatuh ke tangan lelaki Kaum Israel. Disebabkan khuatir, dia memerintahkan setiap rumah digeledah dan jika mendapati bayi lelaki perlu dibunuh.

Ibu Nabi Musa, Yukabad melahirkan seorang bayi lelaki (Musa) dan kelahiran itu dirahsiakan. Kerana merasa bimbang dengan keselamatan Musa, apabila musa mencecah umur tiga bulan Musa dihanyutkan ke Sungai Nil. Musa yang terapung di sungai itu ditemui isteri Firaun , Asiah sendiri ketika sedang mandi dan tanpa berlengah dibawanya ke istana. Melihat isterinya membawa seorang bayi, Firaun dengan tidak teragak-agak menghunuskan pedang untuk membunuh Musa. Asiah berkata: “Janganlah dibunuh anak ini kerana aku menyayanginya. Baik kita menjadikannya seperti anak sendiri kerana aku tidak mempunyai anak.” Dengan kata-kata dari Asiah tersebut, Firaun tidak sampai hati untuk membunuh Musa.

Nabi Musa Bertemu ibunya

Kemudian Asiah mendapatkan pengasuh tetapi tidak seorang pun yang dapat mendodoikan Musa dengan baik, malah dia asyik menangis dan tidak mahu disusui. Selepas itu, ibunya sendiri tampil untuk mengasuh dan membesarkannya di istana Firaun.Al-Quran menghuraikan peristiwa itu: “Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya supaya senang hatinya dan tidak berdukacita dan supaya dia mengetahui janji Allah itu benar, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.

Pada satu hari, Firaun mendukung Musa yang masih kanak-kanak, tetapi dengan tiba-tiba janggutnya ditarik hingga dia kesakitan, lalu berkata: “Wahai isteriku, mungkin kanak-kanak ini yang akan menjatuhkan kekuasaanku.” Isterinya berkata: “Sabarlah, dia masih kanak-kanak, belum berakal dan mengetahui apa pun.” Sejak berusia tiga bulan hingga dewasa Musa tinggal di istana itu sehingga orang memanggilnya Musa bin Firaun. Nama Musa sendiri diberi keluarga Firaun. “Mu” bermakna air dan “sa” bermaksud pokok sempena tempat penemuannya di tepi Sungai Nil oleh Asiah.

Mukjizat Nabi Musa hadapi Firaun


Kisah pertembungan di antara mukjizat Nabi Musa dengan sihir dari tukang sihir firaun dikata bermula disebab satu peristiwa di mana pada satu ketika semasa Musa mengambil meninjau di sekitar kota dan kemudian beliau terserempak dua lelaki sedang berkelahi, masing-masing di kalangan Bani Israel bernama Samiri dan bangsa Firaun, Fatun. Melihatkan pergaduhan itu Musa mahu mententeramkan mereka, tetapi ditepis Fatun. Tanpa berlengah Musa terus menghayunkan satu penumbuk ke atas Fatun, lalu tersungkur dan meninggal dunia.

Apabila mendapati lelaki itu meninggal dunia kerana tindakannya, Musa memohon ampun kepada Allah seperti dinyatakan dalam al-Quran: “Musa berdoa: Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiayai diriku sendiri kerana itu ampunilah aku. Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Tetapi, tidak lama kemudian orang ramai mengetahui kematian Fatun disebabkan Musa dan berita itu turut disampaikan kepada pemimpin kanan Firaun. Akhirnya mereka mahu menangkap Musa. Disebabkan terdesak, Musa mengambil keputusan keluar dari Mesir. Beliau berjalan tanpa arah dan tujuan, tetapi selepas lapan hari, beliau sampai di kota Madyan, iaitu kota Nabi Syu’aib di timur Semenanjung Sinai dan Teluk Aqabah di selatan Palestin.

Musa tinggal di rumah Nabi Syu’aib(Jethro) beberapa lama sehingga berkahwin dengan anak gadisnya bernama Shafura(Zipporah). Selepas menjalani kehidupan suami isteri di Madyan, Musa meminta izin Syu’aib untuk pulang ke Mesir.Dalam perjalanan itu, akhirnya beliau dan isterinya tiba di Bukit Sina. Dari jauh, beliau ternampak api, lalu terfikir mahu mendapatkannya untuk dijadikan penyuluh jalan. Beliau meninggalkan isterinya sebentar untuk mendapatkan api itu. Apabila sampai di tempat api menyala itu, beliau mendapati api menyala pada sebatang pokok, tetapi tidak membakar pokok berkenaan. Ini menghairankannya dan ketika itu beliau terdengar suara wahyu daripada Tuhan.

Selepas itu Allah berfirman kepadanya, bermaksud: “....Wahai Musa sesungguhnya Aku Allah, iaitu Tuhan semesta alam.

Firman-Nya lagi, bermaksud: “Dan lemparkan tongkatmu, apabila tongkat itu menjadi ular Musa melihatnya bergerak seperti seekor ular, dia berundur tanpa menoleh. Wahai Musa datanglah kepada-Ku, janganlah kamu takut, sungguh kamu termasuk orang yang aman.”

Selepas itu Allah berfirman lagi kepada Musa, maksudnya: “Masukkan tanganmu ke leher bajumu, pasti keluar putih bersinar dan dakapkan kedua tanganmu ke dada kerana ketakutan....

Tongkat menjadi ular dan tangan putih berseri-seri itu adalah dua mukjizat yang dikurniakan Allah kepada Musa, ketika beliau dalam perjalanan pulang dari Madyan ke Mesir, bagi menghadapi Firaun dan pengikutnya yang fasik. Firaun cukup marah mengetahui kepulangan Musa yang mahu membawa ajaran lain daripada yang diamalkan selama ini sehingga memanggil semua ahli sihir untuk mengalahkan dua mukjizat berkenaan. Ahli sihir Firaun masing-masing mengeluarkan keajaiban, ada antara mereka melempar tali terus menjadi ular. Namun, semua ular yang dibawa ahli sihir itu ditelan ular besar yang berasal daripada tongkat Musa.

Firman Allah bermaksud: “Dan lemparkanlah apa yang ada di tangan kananmu, pasti ia akan menelan apa yang mereka buat. Sesungguhnya apa yang mereka buat itu hanya tipu daya tukang sihir dan tidak akan menang tukang sihir itu dari mana saja ia datang.

Semua keajaiban ahli sihir itu ditewaskan Musa menggunakan dua mukjizat berkenaan, menyebabkan sebahagian daripada kalangan pengikut Firaun, termasuk isterinya mengikuti ajaran yang dibawa Musa. Melihatkan ahli sihir dan sebahagian pengikutnya beriman dengan ajaran Nabi Musa, Firaun marah, lalu menghukum golongan berkenaan. Manakala isterinya sendiri diseksa hingga meninggal dunia.

Nabi Musa bersama orang beriman terpaksa melarikan diri sehingga mereka sampai di Laut Merah. Namun, Firaun dan tenteranya yang sudah mengamuk mengejar mereka dari belakang, tetapi semua mereka mati ditenggelamkan laut.

Al-Quran menceritakan: “Dan ingatlah ketika Kami belah laut untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan Firaun dan pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan.
Nabi Musa bermunajat di Bukit Sina

SELEPAS keluar dari Mesir, Nabi Musa bersama sebahagian pengikutnya dari kalangan Bani Israel menuju ke Bukit Sina untuk mendapatkan kitab panduan daripada Allah. Namun, sebelum itu Musa disyaratkan berpuasa selama 30 hari pada Zulkaedah. Ketika mahu bermunajat, beliau beranggapan bau mulutnya kurang menyenangkan. Beliau menggosok gigi dan mengunyah daun kayu, lalu perbuatannya ditegur malaikat dan beliau diwajibkan berpuasa 10 hari lagi.Dengan itu puasa Musa genap 40 hari.

Sewaktu bermunajat, Musa berkata: “Ya Tuhanku, nampakkanlah zatMu kepadaku supaya aku dapat melihatMu.” Allah berfirman: “Engkau tidak akan sanggup melihatKu, tetapi cuba lihat bukit itu. Jika ia tetap berdiri tegak di tempatnya seperti sediakala, maka nescaya engkau dapat melihatku.” Musa terus memandang ke arah bukit yang dimaksudkan itu dan dengan tiba-tiba bukit itu hancur hingga masuk ke perut bumi, tanpa meninggalkan bekasnya.Musa terperanjat dan gementar seluruh tubuh lalu pengsan.
Bertasbih

Apabila sedar, Musa terus bertasbih dan memuji Allah, sambil berkata: “Maha besarlah Engkau ya Tuhan, ampuni aku dan terimalah taubatku dan aku akan menjadi orang pertama beriman kepadaMu.” Sewaktu bermunajat, Allah menurunkan kepadanya kitab Taurat. Menurut ahli tafsir, ketika itu kitab berkenaan berbentuk kepingan batu atau kayu, namun padanya terperinci segala panduan ke jalan diredhai Allah.

Sebelum Musa pergi ke bukit itu, beliau berjanji kepada kaumnya tidak akan meninggalkan mereka lebih 30 hari. Tetapi Nabi Musa tertunda 10 hari, kerana terpaksa mencukupkan 40 hari puasa. Bani Israel kecewa dengan kelewatan Musa kembali kepada mereka. Ketiadaan Musa membuatkan mereka seolah-olah dalam kegelapan dan ada antara mereka berfikir keterlaluan dengan menyangka beliau tidak akan kembali lagi. Dalam keadaan tidak menentu itu, seorang ahli sihir dari kalangan mereka bernama Samiri mengambil kesempatan menyebarkan perbuatan syirik. Dia juga mengatakan Musa tersesat dalam mencari tuhan dan tidak akan kembali. Ketika itu juga, Samiri membuat sapi betina daripada emas. Dia memasukkan segumpal tanah, bekas dilalui tapak kaki kuda Jibril ketika mengetuai Musa dan pengikutnya menyeberangi Laut Merah. Patung itu dijadikan Samiri bersuara.(Menurut cerita, ketika Musa dengan kudanya mahu menyeberangi Laut Merah bersama kaumnya, Jibril ada di depan terlebih dulu dengan menaiki kuda betina, kemudian diikuti kuda jantan yang dinaiki Musa dan pengikutnya. Kemudian Samiri menyeru kepada orang ramai: “Wahai kawan-kawanku, rupanya Musa sudah tidak ada lagi dan tidak ada gunanya kita menyembah Tuhan Musa itu. Sekarang, mari kita sembah anak sapi yang diperbuatkan daripada emas ini. Ia dapat bersuara dan inilah tuhan kita yang patut disembah.

Selepas itu, Musa kembali dan melihat kaumnya menyembah patung anak sapi. Beliau marah dengan tindakan Samiri.


Firman Allah: “Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. Berkata Musa; wahai kaumku, bukankah Tuhanmu menjanjikan kepada kamu suatu janji yang baik? Apakah sudah lama masa berlalu itu bagimu atau kamu menghendaki supaya kemurkaan Tuhanmu menimpamu, kerana itu kamu melanggar perjanjianmu dengan aku.

Musa bertanya Samiri, seperti diceritakan dalam al-Quran: “Berkata Musa; apakah yang mendorongmu berbuat demikian Samiri? Samiri menjawab: Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, maka aku ambil segenggam tanah (bekas tapak Jibril) lalu aku masukkan dalam patung anak sapi itu. Demikianlah aku menuruti dorongan nafsuku.

Kemudian Musa berkata: “Pergilah kamu dan pengikutmu daripadaku, patung anak sapi itu akan aku bakar dan lemparkannya ke laut, sesungguhnya engkau akan mendapat seksa.”Umat Nabi Musa bersifat keras kepala, hati mereka tertutup oleh kekufuran, malah gemar melakukan perkara terlarang, sehingga sanggup menyatakan keinginan melihat Allah, baru mahu beriman.

Firman Allah: “Dan ingatlah ketika kamu berkata: Wahai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, kerana itu kamu disambar halilintar, sedangkan kamu menyaksikannya. Selepas itu Kami bangkitkan kamu selepas mati, supaya kamu bersyukur.

Kezaliman Firaun

Allah memberikan banyak nikmat kepada Bani Israel, antaranya dibebaskan daripada kezaliman Firaun, menjalani kehidupan di kawasan subur, mempunyai Taurat dan rasul di kalangan mereka, tetapi mereka tidak bersyukur, malah memberikan pelbagai alasan. Mereka juga membelakangi wahyu Allah kepada Musa supaya berpindah ke Palestin. Alasan diberikan kerana mereka takut menghadapi suku Kan’an. Telatah Bani Israel yang pengecut itu menyedihkan hati Musa, lalu beliau berdoa: “Ya Tuhanku, aku tidak menguasai selain diriku dan diri saudaraku Harun, maka pisahkanlah kami dari orang fasik mengingkari nikmat dan kurniaMu.”

Hukuman Bani Israel yang menolak perintah itu ialah Allah mengharamkan mereka memasuki Palestin selama 40 tahun dan selama itu mereka berkeliaran di atas muka bumi tanpa tempat tetap.Mereka hidup dalam kebingungan sehingga semuanya musnah. Palestin kemudian dihuni oleh generasi baru.

Bani Israel juga memperlekehkan rasul mereka, yang dapat dilihat melalui kisah sapi seperti dalam surah al-Baqarah: “Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya, sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih sapi betina. Mereka berkata; apakah kamu hendak menjadikan kami bahan ejekan...”

Musa meninggal dunia ketika berusia 120 tahun, tetapi ada pendapat menyatakan usianya 150 tahun di Bukit Nabu’, tempat diperintahkan Allah untuk melihat tempat suci yang dijanjikan, iaitu Palestin. Tetapi beliau tidak sempat memasukinya.

Masih Ingat Dengan kisah Mukjizat Nabi Musa ?

Jika salah satu diantara anda menganggap kisah tersebut hanya merupakan dongeng belaka, sekarang mari kita simak tulisan dibawah ini.

Seorang Arkeolog bernama Ron Wyatt pada ahir tahun 1988 silam mengklaim bahwa dirinya telah menemukan beberapa bangkai roda kereta tempur kuno didasar laut merah.

Menurutnya, mungkin ini merupakan bangkai kereta tempur Firaun yang tenggelam dilautan tsb saat digunakan untuk mengejar Musa bersama para pengikutnya.

Menurut pengakuannya,selain menemukan beberapa bangkai roda kereta tempur berkuda, Wyatt bersama para krunya juga menemukan beberapa tulang manusia dan tulang kuda ditempat yang sama.

Temuan ini tentunya semakin memperkuat dugaan bahwa sisa-sisa tulang belulang itu merupakan bagian dari kerangka para bala tentara Fir'aun yang tenggelam di laut Merah.

Apalagi dari hasil pengujian yang dilakukan di Stockhlom University terhadap beberapa sisa tulang belulang yang berhasil ditemukan,memang benar adanya bahwa struktur dan kandungan beberapa tulang telah berusia sekitar 3500 tahun silam,dimana menurut sejarah, kejadian pengejaran itu juga terjadi dalam kurun waktu yang sama.

Selain itu,ada suatu benda menarik yang juga berhasil ditemukan,yaitu poros roda dari salah satu kereta kuda yang kini keseluruhannya telah tertutup oleh batu karang,sehingga untuk saat ini bentuk aslinya sangat sulit untuk dilihat secara jelas.

Mungkin Allah sengaja melindungi benda ini untuk menunjukkan kepada kita semua bahwa mukjizat yang diturunkan kepada Nabi-nabiNya merupakan suatu hal yang nyata dan bukan merupakan cerita karangan belaka.

Diantara beberapa bangkai kereta tadi,ditemukan pula sebuah roda dengan 4 buah jeruji yang terbuat dari emas.Sepertinya, inilah sisa dari

Sekarang mari kita perhatikan gambar diatas,

Pada bagian peta yang dilingkari (lingkaran merah),menurut para ahli kira-kira disitulah lokasi dimana Nabi Musa bersama para kaumnya menyebrangi laut Merah. Lokasi penyeberangan diperkirakan berada di Teluk Aqaba di Nuweiba.

Kedalaman maksimum perairan di sekitar lokasi penyeberangan adalah 800 meter di sisi ke arah Mesir dan 900 meter di sisi ke arah Arab.
Sementara itu di sisi utara dan selatan lintasan penyeberangan (garis merah) kedalamannya mencapai 1500 meter.
Kemiringan laut dari Nuweiba ke arah Teluk Aqaba sekitar 1/14 atau 4 derajat, sementara itu dari Teluk Nuweiba ke arah daratan Arab sekitar 1/10 atau 6 derajat.

Diperkirakan jarak antara Nuweiba ke Arab sekitar 1800 meter.Lebar lintasan Laut Merah yang terbelah diperkirakan 900 meter.

Dapatkah kita membayangkan berapa gaya yang diperlukan untuk dapat membelah air laut hingga memiliki lebar lintasan 900 meter dengan jarak 1800 meter pada kedalaman perairan yang rata2 mencapai ratusan meter untuk waktu yang cukup lama, mengingat pengikut Nabi Musa yang menurut sejarah berjumlah ribuan? (menurut tulisan lain diperkirakan jaraknya mencapai 7 km, dengan jumlah pengikut Nabi Musa sekitar 600.000 orang dan waktu yang ditempuh untuk menyeberang sekitar 4 jam).

Menurut sebuah perhitungan, diperkirakan diperlukan tekanan (gaya per satuan luas) sebesar 2.800.000 Newton/m2 atau setara dengan tekanan yang kita terima jika menyelam di laut hingga kedalaman 280 meter. Jika kita kaitkan dengan kecepatan angin,menurut beberapa perhitungan,setidaknya diperlukan hembusan angin dengan kecepatan konstan 30 meter/detik (108 km/jam) sepanjang malam untuk dapat membelah dan mempertahankan belahan air laut tersebut dalam jangka waktu 4 jam!!!sungguh luar biasa!! (ala wkpd) www.suaramedia.com

http://www.suaramedia.com/sejarah/sejarah-islam/15045-kisah-mukjizat-nabi-musa-as.html