Syarah Hadits Arbain An Nawawiyah (hadits ke. 3)

Bunyi Hadits:

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْن الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ النبي صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: (بُنِيَ الإِسْلامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ البِيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ)

Dari Abu Abdurrahman -Abdullah bin Umar bin Al Khathab Radhiallahu 'Anhuma, dia berkata: "Aku mendengar Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: Islam dibangun atas lima hal; 1. Kesaksian bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, 2. menegakkan shalat, 3. menunaikan zakat, 4. haji, dan 5. puasa Ramadhan."

Takhrij Hadits:

- Imam Bukhari dalam Shahihnya No. 8, 4243.
- Imam Muslim dalam Shahihnya No. 16, tetapi dalam riwayat Imam Muslim disebutkan bahwa haji adalah rukun Islam yang terakhir. Berikut ini teksnya:

فقال رجل: الحج وصيام رمضان؟ قال: لا. صيام رمضان والحج. هكذا سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم.
Seorang laki-laki bertanya: "ont-style:italic;">Haji dan puasa Ramadhan?" Abdullah bin Umar menjawab: "Tidak, puasa Ramadhan dan Haji. Seperti itulah yang saya dengar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. "

- Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 158, 1446
- Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubranya No. 1561, 7680
- Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya No. 308 (juga mendahulukan puasa, lalu haji)
- Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 6015, 6301, 19220, 19226

Makna hadits Secara Global:


Pertama. Mengenalkan rukun-rukun Islam sebagaimana telah lalu pada hadits kedua. Berkata Imam Ibnu Daqiq Al 'Id:

وهذا الحديث أصل عظيم في معرفة الدين وعليه اعتماده فإنه قد جمع أركانه.

"Hadits ini merupakan dasar yang agung dalam mengetahui agama, dan di atasnyalah ia disandarkan, karena hadits ini telah mengumpulkan rukun-rukun agama." (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 36. Al Maktabah Al Misykah)

Kedua. Menunjukkan betapa pentingnya kelima hal ini dan merupakan kewajiban setiap muslim. Bukan kewajiban kifayah. Berkata Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari Rahimahullah:

أن هذه الفروض الخمسة من فروض الأعيان ، لا تسقط بإقامة البعض عن الباقين .

"Sesungguhnya lima kewajiban ini termasuk fardhu 'ain (kewajiban per kepala), yang tidaklah gugur kewajiban itu walau telah dikerjakan oleh sebagian lainnya." (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, pembahasan hadits no. 3. Al Maktabah Al Misykah)

Para ulama sepakat (ijma') bahwa orang yang mengingkari salah satu kewajiban di atas, apalagi semuanya, maka dia kafir dan murtad. Namun mereka tidak sepakat dalam hal orang yang meninggalkannya, namun masih mengakui kewajibannya; kafir atau tidak? sebagian ada yang mengkafirkan, sebagian lain menganggapnya sebagai pelaku dosa besar, dan dihukumi fasiq, dan ada juga yang menghukumi kufrun duna kufrin (kekafiran di bawah kekafiran).

Imam Ibnu Rajab Al Hambali Rahimahullah mengatakan:

الإمام أحمد وكثير من علماء أهل الحديث يرى تكفير تارك الصلاة .
وحكاه إسحاق بن راهويه إجماعا منهم حتى إنه جعل قول من قال : لا يكفر بترك هذه الأركان مع الإقرار بها من أقوال المرجئة . وكذلك قال سفيان بن عيينه : المرجئة سموا ترك الفرائض ذنبا بمنزلة ركوب المحارم ، وليسا سواء ، لأن ركوب المحارم متعمدا من غير استحلال : معصية ، وترك الفرائض من غير جهل ولا عذر : هو كفر . وبيان ذلك في أمر آدم وإبليس وعلماء اليهود الذين أقروا ببعث النبي صلي الله عليه وسلم ولم يعملوا بشرائعه . وروي عن عطاء ونافع مولى ابن عمر أنهما سئلا عمن قال : الصلاة فريضة ولا أصلي ، فقالا : هو كافر . وكذا قال الإمام أحمد .

Imam Ahmad dan kebanyakan ulama ahli hadits berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Ishaq bin Rahawaih menceritakan adanya ijma' di antara mereka (ahli hadits), sampai-sampai dijadikan sebuah ungkapan barangsiapa yang mengatakan: tidak kafirnya orang yang meninggalkan rukun-rukun ini dan orang itu masih mengakui rukun-rukun tersebut, maka ini adalah termasuk perkataan murji'ah. Demikian juga perkataan Sufyan bin 'Uyainah: orang murji'ah menamakan meninggalkan kewajiban adalah sebagai dosa dengan posisi yang sama dengan orang yang menjalankan keharaman. Keduanya tidaklah sama, sebab menjalankan keharaman dengan tanpa sikap 'menghalalkan' merupakan maksiat, dan meninggalkan kewajiban-kewajiban bukan karena kebodohan dan tanpa 'udzur, maka dia kufur. Penjelasan hal ini adalah dalam perkara Adam dan Iblis, dan ulama Yahudi yang mengakui diutusnya Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan mereka tidak mengamalkan syariat-syariatnya. Diriwayatkan dari Atha' dan Nafi' pelayan ibnu Umar, bahwa mereka berdua ditanya tentang orang yang mengatakan: Shalat adalah wajib tetapi saya tidak shalat." Mereka berdua menjawab: Dia kafir. Ini juga pendapat Imam Ahmad." (Imam Ibnu Rajab, Fathul Bari, 1/9. Mawqi' Ruh Al Islam)

Ketiga. Pada hadits ini terdapat dalil bahwa dibolehkan menyebut bulan Ramadhan tanpa menyebut Syahr (bulan). Yakni langsung menyebut Ramadhan. Sebagian ulama ada yang melarang menyebut Ramadhan saja, menurut mereka harus disertakan pula Syahr (bulan) di depannya; menjadi Syahr Ramadhan (bulan Ramadhan). Tetapi, hadits ini - juga hadits no. 2- telah menyanggah dengan telak pendapat pendapat mereka.

Keempat. Di mana posisi jihad? Bukankah dia sangat penting dalam Islam? Kenapa tidak termasuk lima rukun Islam? Imam Abul 'Abbas Al Qurthubi memberikan jawaban yang bagus sebagai berikut:

يعني أن هذه الخمس أساس دين الإسلام وقواعده التي عليها بني وبها يقوم وإنما خص هذه بالذكر ولم يذكر معها الجهاد مع أنه يظهر الدين ويقمع عناد الكافرين لأن هذه الخمس فرض دائم والجهاد من فروض الكفايات وقد يسقط في بعض الأوقات.

"Yakni, sesungguhnya lima hal ini merupakan asas agama Islam, dan kaidah-kaidahnya dibangun di atasnya, dan dengannya pula ia ditegakkan. Sesungguhnya dikhususkannya penyebutan ini dan tanpa menyebutkan jihad -padahal jihadlah yang membuat agama menjadi menang dan sebagai penumpas pembangkangan orang kafir- lantaran lima hal ini merupakan kewajiban yang konstan (terus menerus), sedangkan jihad termasuk kewajiban kifayah yang bisa gugur kewajibannya pada waktu-waktu yang lain." (Imam Ibnu Daqiq Al 'Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 35)

Makna Kalimat:

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ : dari Abu Abdurrahman (ayahnya Abdurrahman). Itu adalah nama kun-yah dari Abdullah bin Umar bin Al khathab. Beliau juga sering disebut Ibnu Umar, anak Umar bin Al Khathab.

عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْن الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: : Abdullah bin Umar bin Al Khathab Radhiallahu 'Anhuma berkata:

Abdullah bin Umar termasuk kalangan shigharush shahabah (sahabat junior) dalam jajaran para sahabat nabi. Dikenal sebagai orang yang sangat ketat keteguhannya terhadap syariat. Imam Adz Dzahabi Rahimahullah menceritakan tentang beliau sebagai berikut:

"Dia masuk Islam saat masih kecil dan ikut hijrah bersama ayahnya saat belum baligh. Pada perang Uhud dia masih kecil, perang pertama yang diikutinya adalah perang Khandaq. Dia termasuk yang ikut berbai'at di bawah pohon, bersama ibunya, Ummul Mu'minin Hafshah, Zainab binti Mazh'un saudara wanita Utsman bin Mazh'un Al Jumahi.

Beliau banyak meriwayatkan ilmu yang bermanfaat dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Bilal, Shuhaib, Amir bin Rabi'ah, Zaid bin Tsabit, Zaid adalah pamannya, Sa'ad, Ibnu Mas'ud, Utsman bin Thalhah, Hafshah (saudara perempuannya), Asalam, 'Aisyah, dan yang lainnya. (Siyar A'lam An Nubala, 3/204. Cet. 9, 1413H -1993M. Muasasah Ar Risalah)

Disebutkan Radhiallahu 'Anhuma (semoga Allah meridhai keduanya), maksudnya adalah dirinya dan ayahnya (Umar bin Al Khathab). Selain beliau, sahabat nabi yang lainnya seperti Abdullah bin Abbas juga mendapat sebutan Radhiallahu 'Anhuma (semoga Allah meridhai keduanya) yakni dirinya dan ayahnya, Abbas bin Abdul Muthalib, juga An Nu'man bin Basyir, dan lainnya.

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin Rahimahullah:

قال العلماء: إذا كان الصحابي وأبوه مسلمين فقل: رضي الله عنهما، وإذا كان الصحابي مسلماً وأبوه كافراً فقل: رضي الله عنه .

"Para ulama mengatakan: jika seorang sahabat nabi dan ayahnya adalah muslim, maka katakana Radhiallahu 'Anhuma, dan jika seorang sahabat nabi sorang muslim sedangkan ayahnya kafir, maka katakan Radhiallahu 'Anhu. (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 84. Mawqi' Ruh Al Islam)

سَمِعْتُ النبي صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : Aku mendengar Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

Ucapannya 'Aku mendengar' menunjukkan bahwa dia mendengar langsung hadits ini dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, tanpa ada perantara.
بُنِيَ الإِسْلامُ عَلَى خَمْسٍ : Islam dibangun atas lima hal

بُنِيَ - Buniya bermakna أُسِّسَ - ussisa (didasarkan/dipondasikan).

Allah Ta'ala berfirman:

لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ

"Sesungguhnya masjid yang dibangun atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya." (QS. At Taubah (9): 108)

Siapakah yang membangun? Yaitu Allah 'Azza wa Jalla. Hanya saja Fa'il (pelaku/subjek)-nya disamarkan dengan bentuk kata buniya (dibangun), sehingga menjadi kalimat pasif. Hal ini sama dengan ayat:

وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفاً

"Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah." (QS. An Nisa 94): 28)

Ayat ini menghilangkan subjeknya, yakni Allah Ta'ala, sebagai pencipta manusia.
Sedangkan, الإِسْلامُ - Al Islam di sini adalah Dinul Islam (agama Islam) yang dibangun oleh Allah Ta'ala dan dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Bukan Al Islam dalam artian bahasa saja, seperti tunduk, patuh, pasrah, dan damai. Sebab, ada sebagian cendikiawan nyeleneh menyelewengkan makna Al Islam . Menurutnya Al Islam, bukanlah agama Islam, tetapi bermakna: kepasrahan kepada Tuhan. Sehingga, -menurutnya- siapa saja yang pasrah kepada Tuhan, maka dia Islam, walau aslinya dia Nasrani, Yahudi, Majusi, Hindu, Budha, dan lainnya. Mereka Islam karena mereka sudah pasrah kepada Tuhan yang mereka yakini masing-masing!

Allah Ta'ala berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ

"Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam." (QS. Ali Imran (3): 19)

Ayat ini dipertegas lagi oleh ayat lainnya:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi." (QS. Ali Imran (3): 85)

Tentang ayat ini, Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

أي: من سلك طريقًا سوى ما شَرَعَه الله فلن يُقْبل منه

"Yaitu: barangsiapa yang menempuh jalan selain apa yang Allah Ta'ala syariatkan (Yakni Islam) maka selamanya tidak akan diterima." (Tafsir Al Quran Al 'Azhim, 2/70. Dar Nasyr wat Tauzi')

Islam adalah agama seluruh para nabi dan rasul. Ajakan dan ajaran pokok (aqidah) mereka sama, yang berbeda hanyalah rincian syariatnya. Allah Ta'ala berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu." (QS. An Nahl (16): 36)

Ayat lainnya:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku." (QS. Al Anbiya (21): 25)

Dalam hadits pun juga disebutkan demikian. Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

والأنبياء أخوة لعلات، أمهاتهم شتى ودينهم واحد

"Para Nabi adalah bersaudara, dari satu bapak, ibu-ibu mereka berbeda, dan agama mereka sama." (HR. Bukhari No. 3259, Muslim No. 2365, Ibnu Hibban No. 6194)

عَلَى خَمْسٍ - 'Ala Khamsin artinya atas lima hal. Sebagian riwayat menuliskan 'ala khamsatin. Imam Ibnu Daqiq Al 'Id mengatakan keduanya benar. (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 36. Maktabah Al Misykah)

شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُوْلُ اللهِ : kesaksian bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah

Dua kalimat syahadat adalah fondasi keislaman dan keimanan. Imam Bukhari dalam Shahihnya memasukkan hadits ini dalam Kitabul Iman. Ini menunjukkan bahwa menurutnya Islam dan Iman adalah sama. (Lihat Imam Ibnu Rajab, Fathul Bari, 1/9)

Sedangkan umumnya Ahlus Sunnah mengatakan bahwa Islam dan Iman adalah dua keadaan yang berbeda, dan iman lebih tinggi kedudukannya dibanding Islam. Hal ini berdasarkan firmanNya:

قَالَتِ الأعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الإيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

"Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman." Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah Islam (tunduk)', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al Hujurat (49): 14)

Dan, inilah pandangan yang lebih benar bahwa Islam dan Iman adalah dua keadaan yang berbeda, di mana Islam lebih umum di banding Iman, dan Iman lebih umum di banding Ihsan. Dalilnya adalah ayat di atas (QS. Al Hujurat (49): 14) dan hadits Jibril 'Alaihissalam yang menjelaskan Islam, Iman, dan Ihsan secara berlainan.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan:

وقد استفيد من هذه الآية الكريمة: أن الإيمان أخص من الإسلام كما هو مذهب أهل السنة والجماعة، ويدل عليه حديث جبريل، عليه السلام، حين سأل عن الإسلام، ثم عن الإيمان، ثم عن الإحسان، فترقى من الأعم إلى الأخص، ثم للأخص منه.

"Dari ayat yang mulia ini telah diambil faidah: bahwa Iman lebih khusus dibanding Islam sebagaimana pandangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah, yang menunjukkan hal itu adalah hadits Jibril 'Alaihissalam ketika dia bertanya tentang Islam, kemudian Iman, kemudian Ihsan. Maka, terjadi peningkatan dari yang umum ke yang lebih khusus, kemudian yang lebih khusus darinya." (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al 'Azhim, 7/389. Dar Nasyr wat Tauzi')

شَهَادَة - Syahadah bermakna kesaksian. Juga bermakna ِ الإِقْرَار - Ikrar, juga اليَمِيْن - sumpah.

Syahadah -dalam berbagai konteks yang berbeda- juga bermakna, mati syahid, ijazah, bukti, kalimat syahadat, dan surat keterangan. Namun dalam konteks ini, syahadah adalah kesaksian, ikrar, dan sumpah bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusanNya.

Dua kalimat Syahadat memiliki posisi sangat penting, di antaranya:

Dua Kalimat Syahadat Merupakan Pintu Gerbang Keislaman

Dua kalimat syahadat merupakan madkhalun ilal Islam (pintu gerbang masuk ke Islam). siapa pun yang ingin memeluk Islam, maka dia wajib mengucapkannya, tanpa keraguan, tanpa dipaksa atau terpaksa, jika demikian maka dia sah disebut muslim, tanpa harus ada saksi sebagaimana keislaman raja Najasyi.

Ada pun tentang status orang yang sudah bersyahadat, maka Imam Muhyiddn An Nawawi (w. 676H) mengatakan ketika mengomentari hadits, "Aku diutus untuk memerangi manusia ...":

وَفِيهِ دَلَالَة ظَاهِرَة لِمَذْهَبِ الْمُحَقِّقِينَ وَالْجَمَاهِير مِنْ السَّلَف وَالْخَلَف أَنَّ الْإِنْسَان إِذَا اِعْتَقَدَ دِين الْإِسْلَام اِعْتِقَادًا جَازِمًا لَا تَرَدُّد فِيهِ كَفَاهُ ذَلِكَ وَهُوَ مُؤْمِن مِنْ الْمُوَحِّدِينَ وَلَا يَجِب عَلَيْهِ تَعَلُّم أَدِلَّة الْمُتَكَلِّمِينَ وَمَعْرِفَة اللَّه تَعَالَى بِهَا ، خِلَافًا لِمَنْ أَوْجَبَ ذَلِكَ وَجَعَلَهُ شَرْطًا فِي كَوْنه مِنْ أَهْل الْقِبْلَة ، وَزَعَمَ أَنَّهُ لَا يَكُون لَهُ حُكْم الْمُسْلِمِينَ إِلَّا بِهِ . وَهَذَا الْمَذْهَب هُوَ قَوْل كَثِير مِنْ الْمُعْتَزِلَة وَبَعْض أَصْحَابنَا الْمُتَكَلِّمِينَ . وَهُوَ خَطَأ ظَاهِر فَإِنَّ الْمُرَاد التَّصْدِيق الْجَازِم ، وَقَدْ حَصَلَ ، وَلِأَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِكْتَفَى بِالتَّصْدِيقِ بِمَا جَاءَ بِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَشْتَرِط الْمَعْرِفَة بِالدَّلِيلِ ؛ فَقَدْ تَظَاهَرَتْ بِهَذَا أَحَادِيث فِي الصَّحِيحَيْنِ يَحْصُل بِمَجْمُوعِهَا التَّوَاتُر بِأَصْلِهَا وَالْعِلْم الْقَطْعِيّ .

"Dalam hadits ini terdapat petunjuk yang jelas menurut madzhab para muhaqqiq (peneliti) dan jumhur (mayoritas) salaf dan khalaf, bahwa manusia jika dia meyakini agama Islam dengan keyakinan yang pasti tanpa keraguan di dalamnya, maka itu telah cukup baginya, dan dia adalah seorang mu'min dari kalangan muwahhidin (orang-orang yang bertauhid). Dia tidak diharuskan mengetahui dalil-dalil para ahli kalam dan dalil-dalil ma'rifatullah. Telah terjadi perselisihan bagi orang yang mewajibkan hal itu (pengetahuan terhadap dalil, pen) dan menjadikannya sebagai syarat bagi seseorang untuk termasuk sebagai ahli kiblat, mereka menyangka bahwa tidak bisa dihukumi sebagai muslim kecuali dia harus mengetahui dalil-dalilnya. Ini adalah pendapat kebanyakan kaum mu'tazilah dan sebagian kawan-kawan kami (madzhab syafi'i, pen) dari kelompok ahli kalam (teolog). Ini jelas pendapat yang salah. Sebab, sesungguhnya yang dimaksud adalah keyakinan yang pasti dan itu telah cukup. Sebab Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah mencukupkan dengan keyakinan terhadap apa-apa yang dia bawa, dan tidak mensyaratkan harus mengetahui dalil-dalilnya. Hadits-hadits tentang masalah ini sangat jelas tertera dalam shahihain (Bukhari-Muslim) yang mencapai derajat mutawatir dan membawa ilmu yang meyakinkan." (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/93. Mawqi' Ruh Al Islam)

Jadi, keislaman seseorang sudah diakui, selama dia meyakininya secara pasti, tanpa harus mereka mengetahui dalil-dalil keimanan itu ada di ayat mana, hadits riwayat siapa, dan seterusnya. Sebab, dahulu orang-orang pedalaman ketika masuk Islam pun oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tetap diakui keislamannya, walau mereka tidak mengetahui dalil-dalilnya. Namun, alangkah lebih baiknya bagi seseorang yang sudah berislam dia berupaya mengetahui dalil-dalil keimanannya.

Konsekuensi dua kalimat syahadat bagi pengucapnya adalah maka dia hendaknya tidak sekedar bersyahadat tetapi menyempurnakannya dengan rukun Islam lainnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu 'Anhu.

Imam Ibnu Rajab (w. 795) dalam kitab yang berjudul sama dengan Al Hafizh Ibnu Hajar, yakni Fathul Bari, mengatakan bahwa sekelompok sahabat ada yang memahami bahwa kalimat syahadat menjadi pelindung darah seseorang seihngga dia tidak boleh diperangi, kecuali mereka menolak mengeluarkan zakat. Sampai akhirnya, Abu Bakar Ash Siddiq Radhiallahu 'Anhu menjelaskan kepada mereka tentang hadits ini, akhirnya para sahabat lain pun mengikuti beliau:

الكلمتان بحقوقهما ولوازمهما، وهو الإتيان ببقية مباني الإسلام.

"(yakni) dua kalimat beserta hak-haknya dan hal-hal yang menyertainya, yaitu dengan mendatangkan juga hal-hal lain dari rukun-rukun Islam." (Lihat Fathul Bari-nya Ibnu Rajab, 4/ 20)

Seseorang dimaafkan ketika masih awal muallaf belum mengetahui bahkan belum mengerjakan hal-hal urgen dalam Islam yang wajib dilakukan oleh semua orang Islam. Namun, dia tidak boleh berlama-lama dalam ketidaktahuannya, harus terus belajar dan mengamalkan Islam secara bertahap.

Selanjutnya, dua kalimat syahadat merupakan pintu masuk ke dalam Islam, namun bagi manusia yang lahir dari keluarga muslim, sehingga sejak kecil dia adalah muslim dan sampai dewasa tetap muslim, maka tidak ada istilah syahadat ulang bagi mereka dan itu tidak dibenarkan, sebagaimana yang dilakukan kelompok-kelompok sempalan dalam Islam yang meminta anggotanya untuk melakukan syahadat ulang jika ingin bergabung dengan mereka, jika tidak melakukannya maka kafir menurut mereka.

Sesungguhnya setiap anak manusia yang lahir maka dia sudah muslim, sesuai ayat:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ

"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi (bersyahadat)". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (QS. Al A'raf (7): 172)

Ayat ini menjelaskan bahwa ketika manusia masih di alam ruh, sebelum mereka ada di rahim ibunya, mereka telah mengambil janji dan mengakui bahwa Allah 'Azza wa Jalla sebagai Tuhan mereka. Oleh karena itu, setiap bayi yang lahir maka dia dalam keadaan fitrah (muslim). Apalagi jika dia dilahirkan dari keluarga yang muslim dan dibesarkan dengan cara islam, maka tidak perlu lagi syahadat ulang, kecuali jika dia dibesarkan oleh orang tuanya dengan cara kafir, sehingga dia pun ikut menjadi kafir, maka jika dia ingin masuk Islam (tepatnya adalah kembali kepada Islam), wajiblah baginya mengucapkan dua kalimat syahadat. Lantaran dia telah 'menanggalkan' kesaksiannya itu ketika dibesarkan secara kafir oleh kedua orang tuanya di dunia.

Hal ini diperkuat lagi oleh riwayat dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasululah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

"Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka bapaknyalah yang mebuatnya menjadi Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi." (HR. Bukhari No. 1319. Muslim No. 2658)

Telah banyak tafsir tentang makna 'fitrah' dalam hadits ini, namun yang masyhur dan benar adalah Islam. Hal ini ditegaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah (w. 852H):

وَأَشْهَرُ الْأَقْوَال أَنَّ الْمُرَاد بِالْفِطْرَةِ الْإِسْلَام ، قَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ : وَهُوَ الْمَعْرُوف عِنْد عَامَّة السَّلَف . وَأَجْمَعَ أَهْل الْعِلْم بِالتَّأْوِيلِ عَلَى أَنَّ الْمُرَاد بِقَوْلِهِ تَعَالَى ( فِطْرَة اللَّه الَّتِي فَطَرَ النَّاس عَلَيْهَا ) الْإِسْلَام

"Pendapat yang paling masyhur adalah bahwa maksud dari fitrah adalah Islam. Berkata Ibnu Abdil Bar: 'Itu sudah dikenal oleh umumnya kaum salaf.' Para ulama telah ijma' (sepakat) dengan ta'wil maksud ayat: "(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah," adalah Islam." (Fathul Bari, 3/248. Darul Fikr)

Sehingga, dengan berdalil pada hadits ini, maka jika ada seorang bayi yang wafat dan dia lahir dari orang tua yang kafir maka dia tetaplah Islam menurut sebagian ulama dan dishalatkan, sebagaimana pendapat Az Zuhri. Atau jika yang wafat adalah kedua orang tuanya, maka dia pun dihukumi sebagai muslim. Berkata Imam Ahmad:

مَنْ مَاتَ أَبَوَاهُ وَهُمَا كَافِرَانِ حُكِمَ بِإِسْلَامِهِ

"Barangsiapa yang kedua orangtuanya wafat, dan mereka berdua kafir, maka bayi itu dihukumi sebagai Islam." (Ibid) selesai.

Dua Kalimat Syahadat Merupakan Pelindung

Sedangkan konsekuensi bagi saudara muslim lainnya, maka hendaknya melindungi muallaf baru ini baik darah, harta, dan kehormatannya, dan disikapi seperti muslim lainnya. Dia sudah berhak mendapatkan waris atau mewariskan dengan sesama umat islam lainnya yang senasab dengannya atau karena faktor pernikahan. Dia sudah berhak diberikan dan dijawab salamnya secara wajar, dan sikap-sikap lainnya yang diajarkan syariat terhadap sesama muslim.

Dari Ibnu Umar Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله، ويقيموا الصلاة، ويؤتوا الزكاة، فإذا فعلوا ذلك عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحق الإسلام، وحسابهم على الله

"Aku diutus untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi (bersyahadat), bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan jika mereka telah melakukan ini maka mereka terjaga dariku darah dan harta mereka, kecuali dengan hak Islam, dan atas Allah-lah perhitungan mereka." (HR. Bukhari No. 25 dan Muslim No. 36)

Hadits yang mulia ini telah menegaskan pula kepada kita bahwa tujuan Beliau diutus adalah agar manusia mengucapkan dua kalimat syahadat, shalat, dan zakat. Tentunya tidak melupakan kewajiban-kewajiban lain kebagaimana disebutkan dalam riwayat yang masyhur, bahwa Islam dibangun dengan lima rukun.

Al Hafizh Ibnu Hajar (w. 852H) mengomentari hadits ini:

جُعِلَتْ غَايَة الْمُقَاتَلَة وُجُود مَا ذُكِرَ ، فَمُقْتَضَاهُ أَنَّ مَنْ شَهِدَ وَأَقَامَ وَآتَى عُصِمَ دَمه وَلَوْ جَحَدَ بَاقِيَ الْأَحْكَام ، وَالْجَوَاب أَنَّ الشَّهَادَة بِالرِّسَالَةِ تَتَضَمَّن التَّصْدِيق بِمَا جَاءَ بِهِ

"Dijadikannya tujuan peperangan adalah demi eksistensi apa-apa yang telah disebutkan (syahadat, shalat, dan zakat, pen), maka konsekuensinya bahwa siapa saja yang telah bersaksi, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat, maka telah dijaga darahnya walau dia masih berpaling pada hukum-hukum lainnya. Dan jawabannya adalah bahwa sesungguhnya kesaksian terhadap risalah (Islam) membawa konsekuensi meyakini apa pun yang datang bersamanya." (Fathul Bari, 1/76. Darul Fikr)

Dua kalimat Syahadat Merupakan Intisari Ajaran Kandungan Islam

Jika kita perhatikan semua kandungan ajaran Islam yang tertera dalam Al Quran dan As Sunah, baik cakupan individu, keluarga, atau komunitas, negara atau antara negara, ekonomi, budaya, politik, pendidikan, militer, dakwah, jihad, silaturrahim, menutup aurat, puasa, shalat, berkata baik dan benar, dan semua jenis perbuatan baik, maka semua ini memiliki satu tema yang sama yakni ibadah dan pengabdian kepada Allah 'Azza wa Jalla. Berada di mana pun dan profesi positif apa pun, semuanya bisa bernilai ibadah di sisi Allah 'Azza wa Jalla. Inilah tujuan dari penciptaan jin dan manusia.

Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah (w. 728H) memberikan definisi ibadah yang sangat komprehensif sebagai berikut:

" الْعِبَادَةُ " هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ وَيَرْضَاهُ : مِنْ الْأَقْوَالِ ، وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ ؛ فَالصَّلَاةُ ، وَالزَّكَاةُ ، وَالصِّيَامُ ، وَالْحَجُّ ، وَصِدْقُ الْحَدِيثِ ، وَأَدَاءُ الْأَمَانَةِ ، وَبِرُّ الْوَالِدَيْنِ ، وَصِلَةُ الْأَرْحَامِ ، وَالْوَفَاءُ بِالْعُهُودِ ، وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ ، وَالْجِهَادُ لِلْكُفَّارِ وَالْمُنَافِقِينَ ، وَالْإِحْسَانُ إلَى الْجَارِ ، وَالْيَتِيمِ ، وَالْمِسْكِينِ ، وَابْنِ السَّبِيلِ ، وَالْمَمْلُوكِ مِنْ الْآدَمِيِّينَ وَالْبَهَائِمِ ، وَالدُّعَاءُ ، وَالذِّكْرُ ، وَالْقِرَاءَةُ ، وَأَمْثَالُ ذَلِكَ مِنْ الْعِبَادَةِ . وَكَذَلِكَ حُبُّ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَخَشْيَةُ اللَّهِ وَالْإِنَابَةُ إلَيْهِ ، وَإِخْلَاصُ الدِّينِ لَهُ ، وَالصَّبْرُ لِحُكْمِهِ ، وَالشُّكْرُ لِنِعَمِهِ ، وَالرِّضَا بِقَضَائِهِ ، وَالتَّوَكُّلُ عَلَيْهِ ، وَالرَّجَاءُ لِرَحْمَتِهِ ، وَالْخَوْفُ لِعَذَابِهِ ، وَأَمْثَالُ ذَلِكَ هِيَ مِنْ الْعِبَادَةِ لِلَّهِ .

"Ibadah adalah nama yang mencakup untuk segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, berupa ucapan, amal batin dan lahir. Maka, shalat, zakat, puasa, haji, jujur dalam berkata, memenuhi amanah, berbakti kepada dua orang tua, silaturrahim, menepati janji, amar ma'ruf, nahi munkar, jihad melawan orang kafir dan munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, budak, hewan, doa, dzikir, membaca, dan yang sepertinya, itu semua termasuk ibadah. Demikian juga mencintai Allah dan RasulNya, takut kepada Allah dan kembali kepadaNya, ikhlas dalam beragama untukNya, sabar atas hukumNya, syukur atas nikmatNya, ridha atas ketetapanNya, tawakal kepadaNya, mengharap rahmatNya, takut atas adzabNya, dan yang semisal itu, juga termasuk ibadah kepada Allah Ta'ala." (Al Fatawa Al Kubra, 7/257)

Beliau juga berkata:

أَنَّ الْعِبَادَةَ تَتَضَمَّنُ كَمَالَ الْحُبِّ الْمُتَضَمِّنِ مَعْنَى الْحَمْدِ ، وَتَتَضَمَّنُ كَمَالَ الذُّلِّ الْمُتَضَمِّنِ مَعْنَى التَّعْظِيمِ ، فَفِي الْعِبَادَةِ حُبُّهُ وَحَمْدُهُ عَلَى الْمَحَاسِنِ ، وَفِيهَا الذُّلُّ النَّاشِئُ عَنْ عَظَمَتِهِ وَكِبْرِيَائِهِ .

"Bahwa Ibadah adalah mencakup di dalamnya totalitas rasa cinta, mencakup di dalamnya makna pujian, mencakup totalitas merendahkan diri, mencakup makna pengagungan, maka dalam ibadah terdapat cinta kepadaNya dan pujian kepadaNya atas segala bentuk kebaikan, dan dalam ibadah ada kerendahan pada malam hari terhadap keagunganNya dan kebesaranNya." (Al Fatawa Al Kubra, 7/348)

Sedangkan Imam Ibnu Katsir Rahimahullah (w. 774H), mendefinisikan makna ibadah secara syara' adalah:

وفي الشرع: عبارة عما يجمع كمال المحبة والخضوع والخوف.

"Secara syariat, (makna ibadah) adalah semua makna ('ibarah) tentang apa-apa yang mencakup kesempurnaan cinta, ketundukan, dan rasa takut." (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, 1/134. Dar ath Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi')

Demikianlah intisari dua kalimat syahadat, Laa Ilaha Illallah Muhammadarrasulullah.

Implikasi kalimat Laa Ilaha Illallah adalah ibadah itu hendaknya ditujukan untuk Allah 'Azza wa Jalla semata (Al 'Ibadat Lillah). Tidak memperuntukkan peribadatan semata-mata demi kepuasan, kekhusyu'an, ketenangan, apalagi pujian manusia. Bukan itu. Tetapi menjadikan peribadatan semua untuk Allah Ta'ala, ikhlas dan murni untukNya semata. Sebagai bukti kecintaan, khauf (takut), dan raja' (harap) kepadaNya. Baik ibadah infiradi (pribadi) atau jama'i (bersama-sama).

Allah 'Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus .." (QS. Al Bayyinah (98): 5)

Ayat lainnya:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

"Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam." (QS. Al An'am (6): 162)

Ayat lainnya:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

"(Dialah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya..." (QS. Al Mulk (67): 2)

Siapakah yang paling baik amalnya? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah (w. 728H) mengutip dari Imam Al Fudhail bin 'Iyadh (w. 187H) sebagai berikut:

قَالَ : أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ فَقِيلَ : يَا أَبَا عَلِيٍّ مَا أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ ؟ فَقَالَ : إنَّ الْعَمَلَ إذَا كَانَ صَوَابًا وَلَمْ يَكُنْ خَالِصًا لَمْ يُقْبَلْ . وَإِذَا كَانَ خَالِصًا وَلَمْ يَكُنْ صَوَابًا لَمْ يُقْبَلْ حَتَّى يَكُونَ خَالِصًا صَوَابًا . وَالْخَالِصُ : أَنْ يَكُونَ لِلَّهِ وَالصَّوَابُ أَنْ يَكُونَ عَلَى السُّنَّةِ . وَقَدْ رَوَى ابْنُ شَاهِينَ واللالكائي عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ : لَا يُقْبَلُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ إلَّا بِنِيَّةِ وَلَا يُقْبَلُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ وَنِيَّةٌ إلَّا بِمُوَافَقَةِ السُّنَّة

(Yaitu) "yang paling ikhlas dan paling benar." Ada orang bertanya: "Wahai Abu Ali, apakah yang paling ikhlas dan paling benar itu?" Dia menjawab: "Sesungguhnya amal itu, jika benar tetapi tidak ikhlas, tidak akan diterima. Dan jika ikhlas tetapi tidak benar, juga tidak diterima. Sampai amal itu ikhlas dan benar. Ikhlas adalah menjadikan ibadah hanya untuk Allah, dan benar adalah sesuai dengan sunah. Ibnu Syahin dan Al Lalika'i meriwayatkan dari Said bin Jubeir, dia berkata: "Tidak akan diterima ucapan dan amal perbuatan, kecuali dengan niat, dan tidak akan diterima ucapan, perbuatan dan niat, kecuali bersesuaian dengan sunah." (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa, 6/345)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

"Sesungguhnya Allah tidaklah melihat pada penampilan kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat pada hati dan perbuatan kalian." (HR. Muslim No. 2564. Ahmad No. 7493. Al Baihaqi, Syu'abul Iman, No. 10088. Ibnu Hibban No. 394)

Ibadah merupakan upaya kita untuk menuju diriNya dan itu merupakan manhaj Allah (manhajullah) yang sudah Dia tetapkan bagi hamba-hambaNya. Jika ingin mendekatkan diri kepadaNya, ingin menjadi 'ibadurrahman sejati, ingin menjadi keluargaNya, ingin menjadikan Allah 'Azza wa Jalla sebagai penglihatannya ketika dia melihat, sebagai pendengarannya ketika dia mendengar, sebagai kakinya ketika dia melangkah, maka mengabdikan diri kepadaNya, merendah, tunduk, patuh, cinta, takut, dan harap kepadaNya merupakan manhaj yang harus ditempuh bagi siapa saja yang ingin bertemu denganNya di akhirat dalam keadaan puas, ridha dan diridhai.

Allah 'Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ (27) ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً (28) فَادْخُلِي فِي عِبَادِي (29) وَادْخُلِي جَنَّتِي (30)

"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku." (QS. Al Fajr (89): 27-30)

Namun demikian, manhaj ini tidak bisa ditempuh dengan tata cara yang keliru, keluar dari koridor baik mengurangi atau menambahkan (baca: bid'ah) dengan hal-hal yang tidak dicontohkan dan diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Walau pun dipandang baik oleh manusia dan hawa nafsu, namun tidak sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam maka menjadi sia-sia. Inilah implikasi dari Muhammadarrasulullah, yakni menjadikan Beliau sebagai satu-satunya teladan yang baik (qudwah hasanah) dalam beribadah kepada Allah 'Azza wa Jalla dengan pengertian ibadah yang sangat luas, tidak menyelisihinya, apalagi menentangnya.

Allah 'Azza wa Jalla berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah." (QS. Al Ahzab (33): 21)

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran (3): 31)

Jumhur (mayoritas) para ulama salaf mengatakan ayat ini turun karena pada zaman nabi ada kaum yang mengklaim, "Kami mencintai Allah." Lalu turunlah ayat ini, bahwa jika ingin membuktikan cinta kepada Allah 'Azza wa Jalla adalah dengan menjadikan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sebagai panutan, dan itu merupakan tanda dari mencintaiNya. Sedangkan yang lain mengatakan, ayat ini turun merupakan perintah Allah 'Azza wa Jalla kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam agar kaum Nasrani Bani Najran menepati janjinya bahwa mereka mengatakan mencintai Allah dan mengagungkanNya, maka untuk itu mereka harus mengikuti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. (Imam Abu Ja'far bin Jarir Ath Thabari, Jami' Al Bayan, 6/322-323. Mu'asasah Ar Risalah)

Ayat lainnya:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ

"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (QS. An Nuur (24): 63)

Dari 'Aisyah Radhiallahu 'Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini (Islam), dengan apa-apa yang tidak ada padanya maka itu tertolak." (HR. Bukhari No. 2550. Muslim No. 1718. Abu Daud No. 4606. Ibnu Majah No. 14. Ahmad No. 24840. Lafaz ini milik Bukhari)

Dari 'Aisyah Radhiallahu 'Anha pula, dengan lafaz agak berbeda, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

"Barang siapa yang beramal dengan sebuah perbuatan yang tidak ada contohnya dalam agama kami, maka itu tertolak." (HR. Muslim No. 1718. Ahmad No. 24298)

Imam An Nawawi (w. 676H) Rahimahullah mengatakan:
وَهَذَا الْحَدِيث قَاعِدَة عَظِيمَة مِنْ قَوَاعِد الْإِسْلَام ، وَهُوَ مِنْ جَوَامِع كَلِمه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهُ صَرِيح فِي رَدّ كُلّ الْبِدَع وَالْمُخْتَرَعَات .

"Hadits ini merupakan kaidah agung diantara kaidah-kaidah Islam. Ini adalah kalimat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang bermakna luas. Ini begitu jelas dalam menolak bid'ah dan hal mengada-ada. " (Syarh Shahih Muslim, No. 3242. Mauqi' Ruh Al Islam)

Imam Abul Abbas Ahmad bin Abu Hafsh Al Anshari Al Qurhubi mengomentari hadits ini:
من اخترع في الشرع ما لا يشهد له أصل من أصوله فهو مفسوخ ، لا يعمل به ، ولا يلتفت إليه

"Barangsiapa yang menciptakan dalam syariat sesuatu yang tidak disaksikan oleh dasar dari dasar-dasar syariat, maka hal itu batal, tidak boleh beramal dengannya, dan tidak boleh mengikutinya." (Al Mufhim Lima Asykala min Talkhishi Kitabi Muslim, 16/85. Al Maktabah Al Misykat)

Maka hendaknya kaum muslimin menjadikan sunah nabi adalah sunah (jalan) bagi hidupnya, tidak yang lainnya. Inilah jalan yang ditempuh umat terbaik pada masa silam. Hanya jalan inilah kebaikan hidup dunia dan akhirat, serta kejayaannya. Demikianlah wasiat para imam kaum muslimin dari zaman ke zaman.

Berkata Ubai bin Ka'ab Radhiallahu 'Anhu:

عليكم بالسبيل والسنة فإنه ليس من عبد على سبيل وسنة ذكر الرحمن ففاضت عيناه من خشية الله فتمسه النار وإن اقتصادا في سبيل وسنة خير من اجتهاد في إخلاف

"Hendaknya kalian bersama jalan kebenaran dan As Sunnah, sesungguhnya tidak akan disentuh neraka, orang yang di atas kebenaran dan As Sunnah dalam rangka mengingat Allah lalu menetes air matanya karena takut kepada Allah Ta'ala. Sederhana mengikuti kebenaran dan As Sunnah adalah lebih baik, dibanding bersungguh-sungguh dalam perselisihan."

Dari Abul 'Aliyah, dia berkata:

عليكم بالأمر الأول الذي كانوا عليه قبل أن يفترقوا قال عاصم فحدثت به الحسن فقال قد نصحك والله وصدقك

"Hendaknya kalian mengikuti urusan orang-orang awal, yang dahulu ketika mereka belum terpecah belah." 'Ashim berkata: "Aku menceritakan ini kepada Al Hasan, maka dia berkata: 'Dia telah menasihatimu dan membenarkanmu.' "

Dari Al Auza'i, dia berkata:

اصبر نفسك على السنة وقف حيث وقف القوم وقل بما قالوا وكف عما كفوا عنه واسلك سبيل سلفك الصالح فانه يسعك ما وسعهم

"Sabarkanlah dirimu di atas As Sunnah, berhentilah ketika mereka berhenti, dan katakanlah apa yang mereka katakan, tahanlah apa-apa yang mereka tahan, dan tempuhlah jalan pendahulumu yang shalih, karena itu akan membuat jalanmu lapang seperti lapangnya jalan mereka."

Dari Yusuf bin Asbath, dia berkata:

قال سفيان يا يوسف إذا بلغك عن رجل بالمشرق أنه صاحب سنة فابعث إليه بالسلام وإذا بلغك عن آخر بالمغرب أنه صاحب سنة فابعث إليه بالسلام فقد قل أهل السنة والجماعة

"Berkata Sufyan: Wahai Yusuf, jika sampai kepadamu seseorang dari Timur bahwa dia seorang pengikut As Sunnah, maka kirimkan salamku untuknya. Jika datang kepadamu dari Barat bahwa dia seorang pengikut As Sunnah, maka kirimkan salamku untuknya, sungguh, Ahlus Sunnah wal Jama'ah itu sedikit."

Dari Ayyub, dia berkata:

إني لأخبر بموت الرجل من أهل السنة فكأني أفقد بعض أعضائ

"Sesungguhnya jika dikabarkan kepadaku tentang kematian seorang dari Ahlus Sunnah, maka seakan-akan telah copot anggota badanku."

Dan masih banyak lagi nasihat yang serupa. (Lihat semua ucapan salaf ini dalam Talbisu Iblis, hal. 10-11, karya Imam Abul Faraj bin Al Jauzi )

Dua Kalimat Syahadat Merupakan Pondasi Bagi Perubahan


Tentu kita pernah melihat gedung yang tinggi, kokoh, dan kuat. Apa gerangan yang menopangnya? Ya, itu adalah pondasinya yang menghujam. Dia tidak terlihat, tetapi sangat besar perannya bagi kekuatan bangunan. Semakin tingga dan besar bangunan, maka semakin dalam pula pondasi yang dibuat. Begitu pula dalam merancang peradaban Islam, menciptakan pribadi muslim, dan membentuk masyarakat muslim. Maka, kekuatan terhadap pemahaman dan keyakinan dua kalimat syahadat ini adalah hal yang paling utama dan penting. Dua kaimat inilah yang hendaknya pertama kali disampaikan, diajarkan, dan difahamkan kepada umat Islam oleh para da'i dan ulama. Agar tercipta peradaban berbasiskan tauhid, bukan materialisme dan derivasinya.

Masyarakat dan pribadi bertauhid. Inilah yang kita inginkan. Di tangan merekalah dahulu umat ini pernah jaya, dan di tangan merekalah musuh-musuh Islam terkapar tak berdaya. Namun, di manakah mereka gerangan hari ini? .. hari ini kalimat tauhid hanya diperlakukan sebagai dzikir kosong oleh umumnya umat Islam. Mereka melakukan tahlil sampai ratusan kali, tanpa mengerti apa yang mereka ucapkan itu. Tanpa mau tahu, konsekuensi yang harus mereka kerjakan dari dua kalimat syahadat.

Dalam tataran individu, kalimat ini mampu menjinakkan hati Umar bin Al Khathab Al Faruq, hingga umat Islam saat itu begitu berbahagia dengan keislamannya. Bahkan dia menjadi orang yang memiliki banyak keutamaan, paling keras dalam memegang agama, yang paling tahu pembeda antara haq dan batil, bahkan nabi memujinya sebagai manusia di umat ini yang mendapatkan ilham.

Dari 'Aisyah Radhiallahu 'Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

قَدْ كَانَ يَكُونُ فِي الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ مُحَدَّثُونَ فَإِنْ يَكُنْ فِي أُمَّتِي مِنْهُمْ أَحَدٌ فَإِنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ مِنْهُمْ

"Dahulu pada umat-umat sebelum kamu ada manusia yang menjadi muhaddatsun, jika ada satu di antara umatku yang seperti itu, maka Umarlah di antara mereka." (HR. Muslim No. 2398)

Berkata Abdullah bin Mas'ud Radhiallahu 'Anhu:

ما زلنا أعزة منذ أسلم عمر.

"Kami senantiasa memiliki 'izzah semenjak keislaman Umar." (HR. Bukhari No. 3481)

Dua kalimat syahadat ini bisa merubah seorang budak Bilal bin Rabbah, menjadi mulia bahkan dialah yang akhirnya berhasil membunuh Umayah bin Khalaf bekas majikannya yang kejam. Bahkan terompahnya mendahului dirinya di dalam surga, dan ini masyhur.

Dalam tataran masyarakat, kalimat ini mampu merubah jazirah Arab dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam, hanya butuh waktu 23 tahun kurang. Berbeda dengan bangunan peradaban lainnya yang membuktuhkan waktu berabad lamanya. Maka tepat dikatakan bahwa dua kalimat syahadat merupakan Asas Al Inqilab (dasar bagi perubahan).

Dua kalimat syahadat memiliki Keutamaan yang agung

Dua kalimat syahadat merupakan kalimat pembeda antara muslim dan kafir, inilah keutamaan yang paling besar di dunia. Ini sudah disinggung pada urgensi pertama. Dan dua kalimat syahadat memiliki keutamaan-keutamaan agung lainnya bagi para pengucapnya. Di antaranya:

1. Jaminan Surga Bagi Pengucapnya

Telah kita ketahui, bahwa ketika manusia mengucapkan dua kakimat syhadat dengan benar, tidak terpaksa dan dipaksa, maka dia sudah muslim dan memilih jalan yang benar. Tentunya tak ada balasan baginya kecuali surga. Sedangkan yang tidak bersyahadat (baca: kafir) maka mereka telah memilih jalan yang sesat dan menjadi orang yang merugi.

Allah Ta'ala berfirman:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

"Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi." (QS. Ali Imran (3): 85)

Imam Al Qurthubi mengatakan, bahwa Mujahid dan As Sudi menyebutkan, ayat ini turun berkenaan tentang Al Harits bin Suwaid, saudara Al Halas bin Suwaid, dia seorang dari kalangan Anshar dan dia murtad bersama dua belas orang lainnya dan menuju Mekkah dalam keadaan kafir. Lalu turunlah ayat ini, maka saudaranya menyampaikan ayat ini dan memintanya untuk bertaubat. Ibnu Abbas dan lainnya meriwayatkan bahwa setelah turun ayat ini dia masuk Islam lagi. (Jami' Li Ahkamil Quran, 4/128. Dar 'Alim Al kutub, Riyadh)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa'di mengatakan, barangsiapa yang tidak beragama dengan agama yang diridhai Allah untuk hambaNya, maka amal perbuatannya tertolak dan tidak diterima. Karena agama Islam mengandung makna penyerahan diri kepada Allah secara murni dan mengikuti RasulNya, barang siapa seorang hamba yang datang kepadaNya tidak beragama Islam, maka dia tidak memiliki alasan untuk selamat dari azab Allah, dan setiap agama selain Islam adalah batil. (Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa'di, Taisir Al Karim Ar Rahman fi Tafsir Kalam Al Manan, 1/137. Muasasah Ar Risalah)

Allah Ta'ala berfirman:

وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ

"Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil .." (QS. Al Baqarah (2): 42)

Berkata Qatadah:

ولا تلبسوا اليهودية والنصرانية بالإسلام؛ إن دين الله الإسلام، واليهودية والنصرانية بدعة ليست من الله

"Janganlah kalian mencampurkan Yahudi dan Nasrani dengan Islam, sebab agama di sisi Allah hanya Islam. Sedangkan Yahudi dan nasrani adalah bid'ah, bukan dari Allah." (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al 'Azhim, 1/245. Dar An Nasyr wat tauzi')

Diriwayatkan dari Hasan Al Bashri, bahwa beliau juga mengatakan demikian. (Ibid)

Ayat lainnya:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الأِسْلامُ

"Sesungguhnya agama yang diridhai Allah adalah Islam." (QS. Ali Imran (3): 19)

Ketika membahas ayat ini, Imam Al Qurthubi membawakan sebuah hadits, dari Ibnu Mas'ud Radhiallahu 'Anhu:

يجاء بصاحبها يوم القيامة فيقول الله تعالى عبدي عهد إلي وأنا أحق من وفى أدخلوا عبدي الجنة

"Didatangkan kepada para pembaca syahadat pada hari kiamat, maka Allah Ta'ala berfirman: HambaKu telah berjanji setia kepadaKu dan Aku lebih berhak untuk memenuhi janji, maka masukkanlah hambaKu ke surga." (Ibid, 4/41)

Ini menjadi keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah, bahwa jika seorang sudah bersyahadat dengan ikhlas, sadar, dan penuh keyakinan, dan dia setelah itu tidak melakukan kesyirikan, maka baginya surga, walau pun dia juga melakukan dosa-dosa selain syirik. Dengan dosanya itu, orang tersebut tahta masyi'atillah (di bawah kehendak) Allah 'Azza wa Jalla, apakah dia akan disiksa dahulu sesuai kadar dosanya lalu setelah itu dimasukkan ke dalam surga, ataukah dosanya itu akan diampunkan langsung oleh Allah 'Azza wa Jalla sesuai rahmat dan kasih sayangNya. Ketetapan ini berdasarkan pada ayat berikut:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا

"Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya." (QS. An Nisa' (4): 116)

Dan hadits, dari Abu Dzar Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

أنه من مات من أمتي لا يشرك بالله شيئا دخل الجنة . قلت: وإن زنى وإن سرق؟ قال: وإن زنى وإن سرق .

"Barangsiapa di antara umatku yang wafat, dia tidak menyekutukan Allah Ta'ala dengan sesuatu apapun, maka dia akan masuk surga." Aku (Abu Dzar) bertanya: "Walau dia berzina dan mencuri?" Rasulullah bersabda: "Walau dia berzina dan mencuri." (HR. Bukhari No. 1180, 5489, 7049)

Makna 'Umatku' di sini adalah umat Rasulullah, yakni orang yang sudah menyatakan keislamannya (bersyahadat).

Demikianlah syarah (penjelasan) anjang tentang Syahadah Laa Ilaha Illallah wa Anna Muhammadar rasulullah.

Selanjutnya:

وَإِقَامِ الصَّلاة : dan mendirikan shalat

Shalat Apa Yang Dimaksud?


Yaitu menjalankan shalat fardhu yang lima waktu; subuh, zhuhur, asar, maghrib, dan isya. Ada pun Imam Abu Hanifah menambahkan menjadi enam yakni witir. Tetapi, dia sendirian dalam pendapatnya ini. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

وما ذهب إليه أبو حنيفة من وجوب الوتر فمذهب ضعيف. قال ابن المنذر: لا أعلم أحدا وافق أبا حنيفة في هذا.

"Apa yang menjadi pendapat Abu Hanifah bahwa witir adalah wajib merupakan pendapat yang lemah. Berkata Imam Ibnul Mundzir: "Aku tidak mengetahui seorang pun yang setuju dengan Abu Hanifah dalam hal ini." (Fiqhus Sunnah, 1/192. Dar Al Kitab Al 'Arabi)

Makna Shalat

Secara bahasa (etimologis- lughah), shalat bermakna do'a. Allah Ta'ala berfirman:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ

"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka." (QS. At Taubah (9): 103)

Makna Shalli 'alaihim bukanlah shalatlah untuk mereka, melainkan mendoakan orang yang membayar zakat.

Secara istilah syariat (terminologis), shalat bermakna:

الصلاة عبادة تتضمن أقوالا وأفعالا مخصوصة، مفتتحة بتكبير الله تعالى، مختتمة بالتسليم.

"Shalat adalah ibadah yang mengandung di dalamnya ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan ditutup dengan salam." (Fiqhus Sunnah, 1/90)

Maka, dikatakan shalat jika seseorang memenuhi rukun dan syarat sahnya shalat.

Kapan Diwajibkan?


Para nabi dan rasul beserta umatnya, sebelum Rasulullah Shallalahu 'Alaihi wa Sallam juga disyariatkan shalat, hal ini diceritakan Al Quran dalam berbagai ayatnya. Begitu pula pada masa risalah Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam datang, shalat juga tetap disyariatkan. Bahkan sebenarnya, sebelum peistiwa Isra Mi'raj, Rasulullah dan para sahabat juga sudah melakukan shalat hanya saja tidak sama dengan shalat yang lima waktu.

Barulah pada peristiwa Isra Mi'raj, shalat lima waktu diwajibkan. Dari Anas bin Malik Radhiallahu 'Anhu, dia berkata:

فُرِضَتْ عَلَى النّبِيّ صلى الله عليه وسلم لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِهِ الصَلوَاتُ خَمْسِينَ، ثُمّ نُقِصَتْ حَتّى جُعِلَتْ خَمْساً، ثُمّ نُودِيَ: يا محمدُ: إِنّهُ لاَ يُبَدّلُ الْقَوْلُ لَدَيّ وَإِنّ لَكِ بِهَذِهِ الْخَمْسِ خَمْسينَ .

"Telah difardhukan kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam shalat pada malam beliau diisra`kan 50 shalat. Kemudian dikurangi hingga tinggal 5 shalat saja. Lalu diserukan, "Wahai Muhammad, perkataan itu tidak akan tergantikan. Dan dengan lima shalat ini sama bagi mu dengan 50 kali shalat." (HR. At Tirmidzi No. 213, katanya: hasan shahih gharib. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 213)

Maka, sudah ketahui secara pasti bahwa shalat lima waktu diwajibkan pada malam Isra Mi'raj. Tetapi kapankah Isra Mi'raj? Betulkah 27 Rajab tahun ke 5 sebelum hijriah? Jawab: Wallahu A'lam. Sebab, tidak ada kesepakatan para ulama hadits dan para sejarawan muslim tentang kapan peristiwa ini terjadi, ada yang menyebutnya Rajab, dikatakan Rabiul Akhir, dan dikatakan pula Ramadhan atau Syawal. (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 7/242-243)

Imam Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, bahwa banyak ulama yang melemahkan pendapat bahwa peristiwa Isra terjadi pada bulan Rajab, sedangkan Ibrahim Al Harbi dan lainnya mengatakan itu terjadi pada Rabi'ul Awal. (Ibid Hal. 95).

Beliau (Imam Ibnu Rajab) juga berkata:

و قد روي: أنه في شهر رجب حوادث عظيمة ولم يصح شيء من ذلك فروي: أن النبي صلى الله عليه وسلم ولد في أول ليلة منه وأنه بعث في السابع والعشرين منه وقيل: في الخامس والعشرين ولا يصح شيء من ذلك وروى بإسناد لا يصح عن القاسم بن محمد: أن الإسراء بالنبي صلى الله عليه وسلم كان في سابع وعشرين من رجب وانكر ذلك إبراهيم الحربي وغيره

"Telah diriwayatkan bahwa pada bulan Rajab banyak terjadi peristiwa agung dan itu tidak ada yang shahih satu pun. Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dilahirkan pada awal malam bulan itu, dan dia diutus pada malam 27-nya, ada juga yang mengatakan pada malam ke-25, ini pun tak ada yang shahih. Diriwayatkan pula dengan sanad yang tidak shahih dari Al Qasim bin Muhammad bahwa peristiwa Isra-nya Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam terjadi pada malam ke-27 Rajab, dan ini diingkari oleh Ibrahim Al Harbi dan lainnya." (Lathaif Al Ma'arif Hal. 121. Mawqi' Ruh Al Islam)

Sementara, Imam Ibnu Hajar mengutip dari Ibnu Dihyah, bahwa: "Hal itu adalah dusta." (Tabyinul 'Ajab hal. 6). Imam Ibnu Taimiyah juga menyatakan peristiwa Isra' Mi'raj tidak diketahui secara pasti, baik tanggal, bulan, dan semua riwayat tentang ini terputus dan berbeda-beda.

Bagaimanakah Kedudukannya Dalam Islam?


Shalat menduduki posisi tersendiri dalam Islam, dia diwajibkan ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berada di langit, sedangkan kewajiban lainnya ketika beliau di dunia. Shalat adalah tiangnya agama, maka dengan melaksanakannya maka agama seseorang menjadi tegak.

Dari Mu'adz bin Jabal Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

رأس الامر الاسلام، وعموده الصلاة، وذروة سنامه الجهاد في سبيل الله

"Pokoknya urusan adalah Islam dan tiang-tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah." (HR. At Tirmidzi No. 2616, katanya: hasan shahih. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2616)

Shalat juga ibadah yang pertama kali akan dihitung pada hari akhirat nanti. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

إن أول ما يحاسب به العبد يوم القيامة من عمله صلاته، فإن صلحت فقد أفلح وأنجح، وإن فسدت فقد خاب وخسر

"Sesungguhnya yang pertama kali akan dihitung dari amal seorang hamba pada hari kiamat nanti adalah shalatnya. Jika shalatnya baik maka dia telah beruntung dan selamat, dan jika buruk maka dia akan rugi dan malang." (HR. At Tirmidzi No. 411, katanya: hasan gharib, An Nasa'i No. 465. Syaikh Al Albani telah menshahihkan dalam berbagai kitabnya)

Kecaman Bagi Orang-Orang Yang Meninggalkan Shalat


Sungguh malang orang yang mengaku muslim tapi tidak shalat. Pengakuan kosong yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Berikut ini berbagai kecaman untuk mereka yang sengaja meninggalkan shalat.

- Kecaman Dalam Al Quran


Allah Ta'ala telah mengecam mereka dalam berbagai ayatNya:

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

"Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan." (QS. Maryam (19): 59)

Mereka akan dimasukkan ke dalam neraka Saqar. Allah Ta'ala berfirman:

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ (42) قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ (43)

"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" mereka menjawab: "Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat." (QS. Al Muddatsir (74):42-43)

Mereka mengalami kesulitan sakaratul maut. Allah Ta'ala berfirman:

كَلا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ (26) وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ (27) وَظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَاقُ (28) وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ (29) إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ (30) فَلا صَدَّقَ وَلا صَلَّى (31) وَلَكِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى (32) ثُمَّ ذَهَبَ إِلَى أَهْلِهِ يَتَمَطَّى (33) أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى (34) ثُمَّ أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى (35)

"Sekali-kali jangan. apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan, dan dikatakan (kepadanya): "Siapakah yang dapat menyembuhkan?", dan Dia yakin bahwa Sesungguhnya Itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan), kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau. dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al Quran) dan tidak mau mengerjakan shalat, tetapi ia mendustakan (Rasul) dam berpaling (dari kebenaran), kemudian ia pergi kepada ahlinya dengan berlagak (sombong). kecelakaanlah bagimu dan kecelakaanlah bagimu, kemudian kecelakaanlah bagimu dan kecelakaanlah bagimu." (QS. Al Qiyamah (75): 26-35)

Mereka juga diancam dengan neraka Wail (kecelakaan). Allah Ta'ala berfirman:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ (5)

"Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya." (QS. Al Ma'un (107): 4-5)

- Kecaman Dalam Al Hadits

Dalam berbagai hadits shahih, orang yang sengaja meninggalkan shalat disebut kafir. Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة

"Batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat." (HR. Muslim No. 82, At Tirmidzi No. 2752, Ibnu Majah No. 1078, Ad Darimi No. 1233, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf 7/222/43, Ibnu Hibban No. 1453, Musnad Ahmad No. 15183, tahqiq: Syu'aib Al Arna'uth, Adil Mursyid, dll)

Dari Buraidah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر

"Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, maka barang siapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir." (HR. At Tirmidzi No. 2621, katanya: hasan shahih gharib, An Nasa'i No. 463, Ibnu Majah No. 1079, Ibnu Hibban No. 1454, Sunan Ad Daruquthni, Bab At Tasydid fi Tarkish Shalah No. 2, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 6291, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 7/222/45, Al Hakim, Al Mustadrak 'Alash Shahihain No. 11, katanya: "isnadnya shahih dan kami tidak mengetahui adanya cacat pada jalur dari berbagai jalur. Semuanya telah berhujjah dengan Abdullah bin Buraidah dari ayahnya. Muslim telah berhujjah dengan Al Husein bin Waqid, Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya dengan lafaz ini. Hadits ini memiliki penguat yang shahih sesuai syarat mereka berdua." Ahmad No. 22937, Syaikh Syu'aib Al Arna'uth mengatakan: sanadnya qawwy (kuat). Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini dalam berbagai kitabnya)

Dari Abdullah bin Amr bin Al 'Ash Radhiallahu 'Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

من حافظ عليها كانت له نورا وبرهانا ونجاة من النار يوم القيامة ومن لم يحافظ عليها لم تكن له نورا ولا نجاة ولا برهانا وكان يوم القيامة مع قارون وفرعون وهامان وأبي بن خلف

"Barangsiapa yang menjaga shalatnya maka baginya cahaya, bukti, dan keselamatan dari neraka pada hari kiamat. Barangsiapa yang tidak menjaganya maka dia tidak memiliki cahaya dan tidak selamat (dari api neraka), dan tidak memiliki bukti, serta pada hari kiamat nanti dia akan hidup bersama Qarun, Fir'aun, Hamman, dan Ubai bin Khalaf." (HR. Ad Darimi No. 2721, Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Misykah Al Mashabih No. 578. Syaikh Sayyiq Sabiq mengatakan sanadnya jayyid (baik), Fiqhus Sunnah, 1/93. Dar Al Kitab Al 'Arabi. Ahmad No. 6576, kata pentahqiqnya: sanadnya hasan)

Imam Al Mundziri Rahimahullah mengatakan:

وقال ابن أبي شيبة قال النبي صلى الله عليه وسلم : من ترك الصلاة فقد كفر
وقال محمد بن نصر المروزي سمعت إسحاق يقول صح عن النبي صلى الله عليه وسلم أن تارك الصلاة كافر

Berkata Ibnu Abi Syaibah, Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa yang meninggalkan shalat maka dia telah kafir."

Berkata Muhammad bin Nashr Al Marwazi, aku mendengar Ishaq berkata: "Telah shahih dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bahwa orang yang meninggalkan shalat, maka dia telah kafir." (Syaikh Al Albani, Shahih At Targhib wat Tarhib, 1/575. Cet. 5, Maktabah Al Ma'arif. Riyadh)

Dari Buraidah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

من ترك صلاة العصر فقد حبط عمله

"Barangsiapa yang meninggalkan shalat ashar, maka telah terhapus amalnya." (HR. Bukhari No. 528, An Nasa'i No. 474, Ibnu Hibban No. 1470, Ahmad No. 22959, Ibnu Khuzaimah No. 336)

Sementara dalam hadits lain, bahwa orang yang meninggalkan shalat boleh dihukum mati (tentu setelah keputusan mahkamah syariah). Dari Ibnu Abbas Radhiallahu 'Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

عرى الاسلام، وقواعد الدين ثلاثة، عليهن أسس الاسلام، من ترك واحدة منهن، فهو بها كافر حلال الدم: شهادة أن لا إله إلا الله، والصلاة المكتوبة، وصوم رمضان

Tali Islam dan kaidah-kaidah agama ada tiga, di atasnyalah agama Islam difondasikan, dan barangsiapa yang meninggalkannya satu saja, maka dia kafir dan darahnya halal ( untuk dibunuh), (yakni): Syahadat Laa Ilaaha Illallah, shalat wajib, dan puasa Ramadhan." (HR. Abu Ya'ala dan Ad Dailami dishahihkan oleh Adz Dzahabi. Berkata Hammad bin Zaid: aku tidak mengetahui melainkan hadits ini telah dimarfu'kan kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Al Haitsami mengatakan sanadnya hasan, Majma' Az Zawaid, 1/48. Darul Kutub Al 'Ilmiyah. Tapi Syaikh Al Albani mendhaifkannya dalam Dhaiful Jami' No. 3696)

- Kecaman Dari Para Sahabat

Dari Abdullah bin Syaqiq Al 'Uqaili Radhiallahu 'Anhu, katanya:

كان أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم لا يرون شيئا من الأعمال تركه كفر غير الصلاة

Para sahabat nabi tidaklah memandang suatu perbuatan yang dapat kufur jika ditinggalkan melainkan meninggalkan shalat." (HR. At Tirmidzi No. 2757, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2622)

Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mencatat dalam Al Muhalla-nya:

وَقَدْ جَاءَ عَنْ عُمَرَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَغَيْرِهِمْ مِنْ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّ مَنْ تَرَكَ صَلاةَ فَرْضٍ وَاحِدَةٍ مُتَعَمِّدًا حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا فَهُوَ كَافِرٌ مُرْتَدٌّ.

"Telah datang dari Umar, Abdurrahman bin 'Auf, Mu'adz bin Jabal, Abu Hurairah, dan selain mereka dari kalangan sahabat Radhiallahu 'Anhum, bahwa barangsiapa yang meninggalkan shalat wajib sekali saja secara sengaja hingga keluar dari waktunya, maka dia kafir murtad." (Al Muhalla, 1/868. Mawqi' Ruh Al Islam)

Abdullah bin Amr bin Al Ash Radhiallahu 'Anhuma, mengatakan:

ومن ترك الصلاة فلا دين له.

"Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka tidak ada agama baginya." (Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 5/508. Darul Fikr)

Abu Darda Radhiallahu 'Anhu berkata:

لا إيمان لمن لا صلاة له ولا صلاة لمن لا وضوء له رواه ابن عبد البر وغيره موقوفا

"Tidak ada iman bagi yang tidak shalat, dan tidak ada shalat bagi yang tidak berwudhu." Diriwayatkan Ibnu Abdil Bar dan selainnya secara mawquf. (Atsar ini Shahih mawquf. Lihat Syaikh Al Albani, Shahih At Targhib wat Tarhib, 1/575. Maktabah Al Ma'arif)

Imam Al Mundziri Rahimahullah menyebutkan:

وكذلك كان رأي أهل العلم من لدن النبي صلى الله عليه وسلم أن تارك الصلاة عمدا من غير عذر حتى يذهب وقتها كافر

"Demikian pula, dahulu pendapat ulama dari orang yang dekat dengan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (yakni para sahabat), bahwa orang yang meninggalkan shalat secara sengaja tanpa 'udzur, sampai habis waktunya, maka dia kafir." (Ibid)

Wallahu A'lam

Selanjutnya:

وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ: dan menunaikan zakat ..

Perintah zakat termaktub dalam Al Quran, dan kewajibannya sering digandeng dengan shalat sebanyak di 82 ayat. (Fiqhus Sunnah, 1/327). Di antaranya:

Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. (QS. Al Baqarah (2): 110)

Sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik sesungguhnya Aku akan menutupi dosa-dosamu.
(QS. Al Maidah (5): 12) dan berbagai ayat lainnya.

Definisi Zakat

Az Zakah - الزَّكَاةِ secara bahasa berarti - الطهارة - Ath Thaharah (kesucian).

Allah Ta'ala berfirman:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka." (QS. A Taubah (9): 103)

Definisi zakat telah diuraikan oleh Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah sebagai berikut:

الزكاة اسم لما يخرجه الانسان من حق الله تعالى إلى الفقراء.
وسميت زكاة لما يكون فيها من رجاء البركة، وتزكية النفس وتنميتها بالخيرات. فإنها مأخوذة من الزكاة، وهو النماء والطهارة والبركة.

"Zakat adalah benda yang dikeluarkan manusia berupa hak Allah Ta'ala kepada para fuqara. Dinamakan zakat karena di dalamnya terdapat pengharapan terhadap berkah, mensucikan jiwa, dan mengembangkannya dengan kebaikan-kebaikan. Dia diambil dari Az Zakah yaitu tumbuh, suci, dan berkah.
" (Fiqhus Sunnah, 1/327. Dar Al Kitab Al 'Arabi)

Dalam Lisanul 'Arab disebutkan tentang definisi zakat:

وأَصل الزكاة في اللغة الطهارة والنَّماء والبَركةُ والمَدْح وكله قد استعمل في القرآن والحديث

"Asal dari zakat menurut bahasa adalah suci, tumbuh, berkah, dan terpuji. Semua ini telah digunakan dalam Al Quran dan Al Hadits.
" (Ibnu manzhur, Lisanul 'Arab, 14/358. Dar Shadir)

Dari definisinya ini, kita bisa memahami bahwa fungsi zakat bagi harta adalah agar menjadi berkah dan tumbuh. Sedangkan bagi muzakkinya sebagai pensuci dirinya dan mencapai pribadi nyang terpuji.

Kapan Zakat Diwajibkan?


Zakat sudah diwajibkan sejak sebelum masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Allah Ta'ala berfirman kepada kaum Bani Israel:

وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِين

"Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku' (QS. Al Baqarah (2): 43)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan, bahwa zakat diwajibkan pada masa awal Islam secara mutlak, yakni tidak ada batasan pada harta tertentu dan belum ada ukuran takaran yang mesti dikeluarkan. Lalu, pada tahun kedua hijriyah -menurut pendapat yang masyhur- zakat barulah tetapkan pada harta tertentu saja dan dengan takaran tertentu pula. (Fiqhus Sunnah, 1/328)

Untuk mengetahui rincian macam-macam harta dan rincian takarannya secara luas, silahkan merujuk kepada kitab-kitab fiqih yang membahasnya.

Hukumnya

Menurut Al Quran, As Sunah, dan ijma', zakat adalah kewajiban bagi setiap muslim yang merdeka dan berakal dan memiliki harta yang telah cukup nishabnya.

Ada pun tentang hukum orang yang menolak menunaikannya karena dia mengingkari kewajibannya, maka dia kafir dan murtad menurut ijma' (konsensus) ulama. Sedangkan menolak membayar zakat namun masih mengakui kewajibannya, maka Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu 'Anhu telah memeranginya. Beliau Radhiallahu 'Anhu mengatakan:

أنا لاقاتل من فرق بين الصلاة والزكاة ، والله لاقاتلن من فرق بينهما حتى أجمعهما

"Saya benar-benar akan memerangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat, demi Allah benar-benar akan saya perangi orang yang memisahkan keduanya sampai mereka kembali menyatukannya." (Imam Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 6/14. Darul Fikr)

Dari sinilah segenap ulama mengatakan bahwa penguasa boleh mengambil paksa orang kaya yang tidak mengeluarkan zakat, lantaran ia telah menahan hak fakir miskin yang telah Allah Ta'ala titipkan melalui dirinya.

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

أما من امتنع عن أدائها - مع اعتقاده وجوبها - فإنه يأثم بامتناعه دون أن يخرجه ذلك عن الاسلام، وعلى الحاكم أن يأخذها منه قهرا ويعزره، ولا يأخذ من ماله أزيد منها، إلا عند أحمد والشافعي في القديم، فإنه يأخذها منه، ونصف ماله، عقوبة له

"Ada pun orang yang tidak berzakat -dan dia masih mengakui kewajibannya- maka dia berdosa karena namun tidak sampai mengeluarkannya dari Islam, dan Hakim wajib mengambilnya secara paksa dan menta'zirnya, dan diambilnya sesuai kadarnya tidak boleh lebih, kecuali menurut Ahmad dan Asy Syafi'i dalam pendapatnya yang lama, bahwa mesti diambil lebihnya sebanyak setengah hartanya, sebagai hukuman baginya." (Fiqhus Sunnah, 1/333)

Ancaman Buat Orang Yang Tidak Mengeluarkan Zakat


Dalam Al Quran, Allah Ta'ala mengancam mereka dengan azab yang pedih. Hal ini disebabkan sifat kikir mereka dan pembangan atas kewajiban yang diembankan kepada mereka.

Allah Ta'ala berfirman:

والذين يكنزون الذهب والفضة ولا ينفقونها في سبيل الله فبشرهم بعذاب أليم، يوم يحمى عليها في نار جهنم فتكوى بها جباههم وجنوبهم وظهورهم هذا ما كنزتم لانفسكم فذوقوا ما كنتم تكنزون

" … dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." (QS. At Taubah (9):34-35)

Ayat lainnya:
لا يحسبن الذين يبخلون بما آتاهم الله من فضله هو خيرا لهم بل هو شر لهم سيطوقون ما بخلوا به يوم القيامة

"Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Ali Imran (3): 180)

Ada pun dari Al Hadits, dari Ibnu Umar Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله، ويقيموا الصلاة، ويؤتوا الزكاة، فإذا فعلوا ذلك عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحق الإسلام، وحسابهم على الله

"Aku diutus untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi (bersyahadat), bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan jika mereka telah melakukan ini maka mereka terjaga dariku darah dan harta mereka, kecuali dengan hak Islam, dan atas Allah-lah perhitungan mereka." (HR. Bukhari No. 25 dan Muslim No. 36)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ آتَاهُ اللهُ مَالًا، فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ، مُثِّلَ لَهُ مَالُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ ، لَهُ زَبِيبَتَانِ

"Barang siapa yang Allah berikan harta, dan dia tidak mengeluarkan zakatnya, maka dia akan dicincang pada hari kiamat nanti oleh ular berkepala botak yang memiliki dua bisa (racun)." (HR. Ahmad No. 8661. Hadits ini shahih. Lihat Musnad Ahmad dengan tahqiq Syaikh Syu'aib Al Arna'uth. Muasasah Ar Risalah)

Bahkan ada ancaman secara khusus bagi yang tidak mengeluarkan zakat perhiasan, dari Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, katanya:

أن امرأتين أتتا رسول الله صلى الله عليه وسلم وفي أيديهما سواران من ذهب، فقال لهما: أتؤديان زكاته؟ فقالتا: لا، فقال لهما رسول الله صلى الله عليه وسلم: أتحبان أن يسوركما الله بسوارين من نار؟ قالتا: لا، قال: فأديا زكاته .
"Datang dua wanita kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan di tangan mereka berdua terdapat gelang emas. Maka Beliau bersabda kepada keduanya: "Apakah kalian telah menunaikan zakatnya?" mereka berdua menjawab: "Tidak." Lalu Beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata kepada mereka: "apakah kalian mau Allah akan menggelangkan kalian dari gelang api neraka?" Mereka berdua menjawab: "tidak." Maka Nabi bersabda: "Tunaikanlah zakatnya!" (HR. At Tirmidzi No. 637, dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 637)

Hikmah Zakat

Ada beberapa hikmah yang bisa kita petik dari amal zakat ini.

1. Agar muzakki mampu mengontrol harta kekayaannya, sehingga dia tidak dilalaikan dengan hartanya tersebut.
2. Agar harta tidak berputar hanya pada orang kaya saja.
3. Meminimkan kesenjangan dan kecemburuan sosial sehingga mampu mendekatkan hubungan antara muzakki dan mustahiq, sehingga ukhuwah islamiyah dapat terwujud dengan harmonis. Bahkan jika dikelola dengan profesional, zakat bisa menjadi sarana pengentasan kemiskinan.
4. Melatih dan melahirkan sifat dermawan dan cinta kebaikan bagi muzakki.

Wallahu A'lam

Selanjutnya:

وَحَجِّ البِيْتِ - dan menunaikan haji ke baitullah ..

Definisi Haji

Secara fiqih makna haji adalah sebagai berikut, sebagaimana yang diterangka oleh Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
هو قصد مكة، لان عبادة الطواف، والسعي والوقوف بعرفة، وسائر المناسك، استجابة لامر الله، وابتغاء مرضاته.
وهو أحد أركان الخمسة، وفرض من الفرائض التي علمت من الدين بالضرورة.
فلو أنكر وجوبه منكر كفر وارتد عن الاسلام.

"Yaitu mengunjungi Mekkah untuk melaksanakan Ibadah, seperti thawaf, sa'i, wuquf di Arafah, dan seluruh manasik, sebagai pemenuhan kewajiban dari Allah, dan dalam rangka mencari ridha-Nya. Haji merupakan salah satu rukun Islam yang lima, kewajiban di antara kewajiban agama yang sudah diketahui secara pasti. Seandainya ada yang mengingkari kewajibannya, maka dia kafir dan telah murtad dari Islam." (Fiqhus Sunnah, 1/625)

Haji Adalah Kewajiban Dari Allah Ta'ala

Hal ini harus diingat, agar kita menyikapinya selayaknya seorang budak yang sedang mengabdi kepada tuannya. Haji bukanlah kewajiban dari departemen agama, MUI, KUA, atau karena ikut-ikutan. Tetapi dia merupakan salah satu wujud totalitas pengabdian seorang makhluq kepada sang Khaliq. Maka, janganlah bermain-main dengan niat dan tujuan ketika melaksanakan haji, dan jangan pula membengkokkan tujuan utama kita pergi haji yakni mardhatillah (keridhaan Allah).

Allah Ta'ala berfirman:
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ (96) فِيهِ آَيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آَمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ (97)

"Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (QS. Ali Imran n(3): 96-97)

Secara fiqih banyak manusia yang lulus melaksanakannya, karena mereka melaksanakan pelatihan manasik dan dibimbing ketika haji. Tetapi, masalah keikhlasan, benarnya tujuan, ketundukan hati, dan kekhusyu'an, semua ini adalah tanggungjawab pribadi kita, yang harus diupayakan masing-masing. Padahal inilah yang sangat penting. Buat apa jika haji sah secara fiqih saja, sah yang dilihat oleh kasat mata, tetapi Allah Ta'ala tidak menerimanya karena adanya penyimpangan niat dan tujuan. Ingat, ... haji adalah pengabdian, ketundukkan, kerendahhatian, dan keikhlasan. Tanpa ini semua, maka haji kita telah kehilangan ruhnya. Bagaikan jasad tanpa nyawa.

Kita lihat sendiri, ada jamaah haji ketika pulang ke tanah air, justru dia mengeluh, marah, tidak suka, bahkan mengaku jera untuk pergi haji. Dengan alasan di sana kesulitan makan, manusia berdesak-desakkan, jauh dari asrama, cuaca yang tidak bersahabat, semua diceritakan ketika setibanya di tanah air, seakan dia menyesali apa yang dialaminya. Maka, nilai haji apa yang diharapkan dari jamaah haji seperti ini? Dia berharap surga, tapi tidak mau berkurban, tidak mau susah, tidak mau berpeluh, ... apakah dikiranya haji adalah main-main dan pergi berwisata? Yang dipikirkan adalah makan yang enak, asrama yang sejuk, jarak yang dekat, tidur yang nyenyak, dan foto-foto ... ya, itulah haji wisata, bukan hajinya para mujahid. Sungguh, haji adalah jihad yang memerlukan mental-mental siap berkurban, siap lelah, dan mampu mengendalikan emosi ...

Agar kita bisa meresapi makna haji, mari sama-sama kita perhatikan beberapa hadts nabi yang menunjukkan keutamaannya. Ini penting juga kita ketahui untuk menyemangati dan merangsang jiwa kita agar bisa serius dan sungguh-sungguh menjalankannya.

Haji Merupakan Amal Yang Paling Utama

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ فَقَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ

"Bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ditanya: "Amal apakah yang paling utama?" Beliau menjawab: "Iman kepada Allah dan RasulNya." Ditanya lagi: "lalu apa?" Beliau menjawab: "Jihad fisabilillah." Ditanya lagi: "lalu apa?" Beliau menjawab: "Haji Mabrur." (HR. Bukhari No. 26, 1447. Muslim No. 83)

Haji Merupakan Jihad

Dari Al Hasan bin Ali Radhiallahu 'Anhuma, katanya:
أَنّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَبِي صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: إِنِي جَبَانٌ، وَإِنِي ضَعِيْفٌ، فَقَالَ: " هَلُمَّ إِلَى جِهَادٍ لَا شَوْكَةَ فِيْهِ: الحَجُّ " رواه عبد الرزاق، والطبراني، ورواته ثقات.

"Bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan berkata: "Sesungguhnya saya ini pengecut, dan lemah." Maka Nabi bersabda: "Ikutlah jihad yang tidak memakai senjata: yakni haji." (HR. Abdurrazzaq, Ath Thabarani, para periwayatnya terpercaya)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
جِهَادُ الْكَبِيرِ وَالصَّغِيرِ وَالضَّعِيفِ وَالْمَرْأَةِ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ

"Jihadnya orang tua, anak kecil, orang lemah, dan wanita adalah haji dan umrah." (HR. An Nasa'i No. 2626. Ahmad No. 9081, hadits ini hasan. Lihat Shahih Wa Dhaif Sunan An Nasa'i No. 2626)

Dari Aisyah Radhiallahu 'Anha, katanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ أَفَلَا نُجَاهِدُ قَالَ لَا لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ

"Ya Rasulullah, kami melihat jihad adalah amal yang paling utama, apakah kami juga boleh berjihad?" Nabi bersabda: "Tidak, tetapi sebaik-baiknya jihad adalah haji yang mabrur." (HR. Bukhari No. 1448, 1762, 2632, 2720, 2721)

Haji Merupakan Penghapus Dosa

Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ أَتَى هَذَا الْبَيْتَ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

"Barangsiapa yang mendatangi baitullah, lalu dia tidak berbuat rafats (menghamburkan syahwat), tidak berbuat fasik, maka ketika dia pulang bagaikan bayi yang baru dilahirkan ibunya." (HR. Muslim No.1350)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

"Barangsiapa yang berhaji, lalu dia tidak berbuat rafats (menghamburkan syahwat), tidak berbuat fasik, niscaya akan diampuni bagi dosa-dosanya yang lalu." (HR. At Tirmidzi No. 808, katanya: hasan shahih)

Haji Mabrur Tidak Ada Balasan Lain Kecuali Surga

Dari Abdullah bin Mas'ud Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُنُوْبَ كَمَا يَنْفِي الْكُيْرُ خُبُثَ الْحَدِيْدِ وَالذَهَبِ وَالفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُوْرَةِ ثَوَابٌ إِلَّا الْجَنَّةَ

"Iringilah haji dan umrah kalian, karena keduanya merpakan penghapus kefaqiran dan dosa, sebagaimana kipas menghapuskan kotoran besi, emas, dan perak. Dan, tiadalah ganjaran haji mabrur itu kecuali surga." (HR. At Tirmidzi No. 807, katanya: hasan shahih gharib)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ
"Dari umrah ke umrah selanjutnya bisa menghapuskan dosa di antara keduanya, dan haji mabrur tidak ada ganjarannya kecuali surga." (HR. Bukhari No. 1683. Muslim No. 1349)

Jamaah Haji Adalah Duta-Duta Allah Yang Doanya Dikabulkan

Dari Ibnu Umar Radhiallahu 'Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

الغَازِي فِي سَبِيْلِ اللهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمَرُ وَفْدُ اللهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ وَسَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ .

"Orang yang berperang dijalan Allah, haji, dan umrah, adalah duta-duta Allah, jika mereka berdoa Allah akan mengabulkannya, jika mereka meminta, Allah akan memberinya." (HR. Ibnu Majah No. 2893, hadits ini hasan. Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 2893)

Ongkos Haji Disamakan Dengan Biaya Perang Fi Sabilillah

Dari Buraidah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

النَّفَقَةُ فِي الْحَجِّ كَالنَّفَقَةِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِسَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ

"Biaya haji adalah seperti nafkah fi sabilillah, dilipatkan sebanyak tujuh ratus kali." (HR. Ahmad No. 23000. Ibnu Abi Syaibah 4/192. No. 23. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 4/322. Ath Thabarani, Al Mu'jam Al Awsath No. 5432. Syaikh Syu'aib Al Arna'uth mengatakan sanadnya hasan lighairihi. Musnad Ahmad, No. 23000. Cet. 1, 1421H-2001M. Muasasah Ar Risalah)

Demikianlah di antara keutamaan-keutaaan ibadah haji. Tentunya, bagi seorang hamba yang merindukan Tuhannya, dan menginginkan keridhaannya, akan semakin terpacu dan semangat menyambut panggilanNya ini, yang hanya diwajibkan sekali seumur hidup. nya, maka kita pun juga harus mengetahui bagaimanakah sifat haji yang mabrur itu. Itulah haji yang dijamin surga, haji sejati yang diinginkan oleh seluruh jamaah haji.

Secara bahasa mabrur artinya penuh dengan kebaikan. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menyebutkan tentang ciri haji mabrur, yakni ada beberapa hal:
1. Hajinya tidak dinodai oleh dosa
2. Ketika pulang semakin merindukan akhirat dan zuhud ( tidak terlalu butuh dengan dunia)
3. Ketika pulang semakin dermawan
4. Ucapannya semakin lemah lembut (Lihat kitab Fiqhus Sunnah, 1/626. Darul Kitab Al 'Arabi)

Ada pun orang yang proses keberangkatan hajinya sudah dicampur dengan dosa, suap menyuap, lalu sesampai di tanah suci bertengkar dengan jamaah lain, mencela dan mengutuk dalam hati, tidak sabar terhadap cuaca, atau sikap-sikap jelek lainnya, maka amat jauh dia dari haji yang mabrur.

Begitu pula sepulang haji, jiwanya sama sekali tidak ada kerinduan dengan akhirat, semakin cinta dunia, bahkan kebiasaan lama yang buruk masih diulangi, maksiat ketika sebelum haji masih saja dilakukan, maka hajinya hanya sekedar label saja, dan sia-sia. Menjelang pulang haji, yang dipikirkan adalah belanja dan mengumpulkan oleh-oleh, tak ada kesedihan sama sekali meninggalkan tanah suci. Sampai di tanah air pun tak ada kerinduan sama sekali. Dan, Allah Ta'ala tidak membutuhkan haji-haji seperti ini.

Ada pula sepulang haji tidak membuatnya dermawan. Perjuangan yang sifatnya mal (harta) ketika haji, ternyata tidak membuatnya terlatih untuk berkorban harta. Justru semakin kikir, bakhil, dan kedekut. Jika menyumbang selalu dihitung untung ruginya, itu pun dengan syarat namanya disebut-sebut atau diumumkan. Betapa merugi haji-haji seperti ini.

Ada juga haji yang tidak bisa menjaga lisannya, bicara selalu kasar dan tidak peduli perasaan manusia yang mendengarkannya. Baik kasar kepada isteri, anak, tetangga, lebih buruk lagi adalah kasar kepada faqir miskin dan anak-anak yatim. Ini semua merupakan tanda-tanda haji mardud (ditolak), bukan mabrur.

Perbekalan Haji

Pergi haji adalah perjuangan yang cukup panjang. Maka, dibutuhkan perbekalan yang mecukupi, khususnya perbekalan yang bisa memudahkan baginya mencapai derajat haji yang mabrur.

1. Bekal Taqwa
Allah Ta'ala berpesan kepada para jamaah haji:
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى

"Berbekal-lah, maka sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa." (QS. Al Baqarah (2): 197)

Ayat yag mulia ini memerintahkan adanya perbekalan yang harus dibawa oleh jamaah haji. Sebaik-baiknya perbekalan adalah taqwa. Apa yang dimaksud dengan taqwa?
Taqwa menurut para ulama adalah imtitsalul awamir wa ijtinabu an nawahi (menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Umar bin Khathab mengartikan Taqwa adalah kehati-hatian. Secara bahasa taqwa artinya adalah takut, yakni takut kepada Allah Ta'ala.
Maka renungkanlah ini. Ketika kita berada di tanah suci nanti, kita sedang memenuhi panggilanNya dengan mengatakan Labbaik Allahumma Labaik ..., kita sedang bertamu di rumahNya, tentu seorang tamu harus menjaga adab dan kesopanan agar dia dihormati dan disegani yang punya rumah. Banyak-banyaklah di sana melakukan aktifitas yang membuat tuan rumah senang, jangan membuatNya murka: perbanyaklah dzikir, shalat sunah, membaca Al Quran, dan senantiasa berbaik sangka kepada sesama jamaah haji. Hindari kata-kata kotor, tidak puas, malas ibadah, dan terlalu banyak tidur. Sebab, kesempatan berkunjung ke Baitullah belum tentu dua kali dalam seumur hidup kita.

2. Bekal Sabar
Allah Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung." (QS. Ali Imran 93): 200)

Kita mengetahui tiap tahunnya berjuta-juta jamaah haji datang dari penjuru dunia. Mereka berkumpul di tempat yang sama dan terbatas. Satu sama lain belum saling mengenal, hanya aqidahlah yang mengikat mereka. Mereka memiliki latar belakang hidup yang berbeda; ada pengusaha, militer, pegawai, pekerja kasar, rakyat biasa, orang terdidik, dan lainnya. Mereka juga memiliki watak dan perilaku yang tidak sama. Oleh karena itu, kemungkinan terjadi 'ketidakcocokan' sangat besar. Ada yang mebuat kita senang, tetapi ada juga yang membuat kita marah. Ada yang membuat kita tersenyum, ada juga yang membuat kita bermuka masam. Di sinilah letak pentingnya kesabaran dan melipatgandakan kesabaran. Sabar terhadap perilaku mereka, sabar terhadap keanehan-keanehan mereka. Tentunya, sabarlah dengan keterbatasan pelayanan petugas haji terhadap kita, sabar dalam beribadah, sabar dalam menunggu makanan, sabar dalam mengantri kamar mandi atau wudhu, dan bentuk kesabaran lainnya.

Allah Ta'ala berfirman tentang ciri orang bersabar:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِين

"(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS. Ali Imran (3): 134)

Dalam ayat lain Allah Ta'ala juga berfirman:
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ السَّيِّئَةَ نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَصِفُونَ

"Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan." (QS. Al Mu'minun (23): 96)

Hakikat sabar adalah pada reaksi pertama atas musibah atau peristiwa buruk yang menimpa kita. Jika kita marah, ngerepek, mengumpat, atau menangis dan menyesali kejadian, lalu kemudian kita beristighfar dan baru menyadari kesalahan, maka itu bukan manusia sabar sejati. Manusia sabar sejati adalah yang awal sikapnya terhadap segala macam keadaan dengan mengatakan: Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un! Bukan langsung dengan marah atau tangisan ...

Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersaba:
الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُولَى

"Sabar adalah pada hantaman yang pertama." (HR. Bukhari No. 1223)

Ada seorang wanita bernama Ummu Khansa. Dia memiliki empat orang anak, dan semuanya wafat mati syahid di medan tempur. Ada utusan yang mendatanginya dan menceritakan tentang wafatnya keempat anaknya. Ummu Khansa lalu menangis, tetapi dia menangis bukan karena sedih atau marah. Dia ditanya: "Kenapa kau menangis?" Beliau berkata: "Aku menangis bukan karena kematian anak-anakku, tetapi karena aku tidak ada lagi anak yang bisa dikirim ke medan jihad!"

Imam Ahmad bin Hambal nampak terlihat tidak sehat. Ada seorang muridnya bertanya: "Nampaknya kau tidak tidak sehat?" Beliau menjawab: "Alhamdulillah, saya baik-baik saja." Murid itu berkata lagi: "Kenapa kau sembunyikan keadaanmu?" Imam Ahmad menjawab: "Celaka kamu, apakah kau ingin aku mencela ketetapan Allah terhadap diriku ini?!"
Demikianlah dua contoh kesabaran manusia-manusa mulia. Semoga kita dapat meneladani mereka.

3. Bekal Ilmu
Dalam hal apa saja manusia membutuhkan ilmu. Bahkan orang berbuat jahat pun membekali diri dengan ilmu untuk menyokong kejahatannya. Maka ibadah haji, sebagai salah satu rukun Islam, lebih layak lagi untuk membekali diri dengan ilmu. Sebab, amal shalih tanpa didasari oleh ilmu maka kemungkinan terjadinya kesalahan sangat besar. Betapa banyak orang-orang yang bersemangat ibadah, namun tidak dibarengi oleh ilmu, akhirnya mereka jatuh pada sikap ekstrim dan melampaui batas.

Allah Ta'ala berfirman:
فَاعْلَمُوا أَنَّمَا أُنْزِلَ بِعِلْمِ اللَّهِ وَأَنْ لا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

"... Maka ketahuilah, Sesungguhnya Al Quran itu diturunkan dengan ilmu Allah, dan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, Maka maukah kamu berserah diri (kepada Allah)? (QS. Hud (11): 14)

Lihatlah ayat yang mulia ini! Allah Ta'ala memerintahkan kita untuk mengetahui ilmu tentangNya sebelum mengimaniNya.

Dalam hal haji, maka ilmu tentang manasik adalah wajib diketahui. Agar kita bisa melaksanakan haji sesuai dengan tuntunan petunjuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Mengerti rukun, wajib, dan sunahnya, dengan tidak mencampuradukkan semua. Kita lihat, ribuan manusia berdesak-desakkan ingin mencium Hajar Aswad hingga akhirnya melukai jamaah lain. Padahal mencum Hajar Aswad bukanlah rukun dan wajibnya haji, dia hanya sunah, bahkan sebagian ulama tidak menyunnahkannya.

Umar bin Al Khathab pernah berkata ketika mencium Hajar Aswad: " Sungguh aku menciummu karena lau pernah dicium Nabi, jika kau tidak pernah dicium oleh Nabi, niscaya aku pun tidak mau menciummu!" Ini semua demi menjaga kemurnian Tauhid. Kehadiran kita di sana untuk membesarkan dan memuliakan Allah, bukan untuk mengkultuskan Hajar Aswad. Naudzubillah! Kesalahan persepsi ini lantaran bekal ilmu yang kurang.

4. Bekal Finansial (Harta) Yang Halal
Di antara makna istitha'ah (mampu) bagi orang yang hendak pergi haji adalah mampu dalam hal harta; baik ongkos berangkat dan keperluan di sana, juga untuk keluarga yang ditinggal. Maka, tidak dibenarkan orang pergi haji, tetapi dia meninggalkan keluarga yang kelaparan dan melarat. Atau, tidak sedikit orang berhutang untuk pergi haji. Hingga dikemudian hari hal itu menjadi beban hidup baginya dan keluarganya. Tentu bukan ini akhir dari perjalanan haji yang kita harapkan.

Bagi yang belum ada kemampuan maka gugurlah kewajibannya. Sebab Allah Ta'ala tidak membebani apa-apa yang hambaNya tidak mampu. Maka, janganlah seorang hamba memaksakan diri yang Allah Ta'ala sendiri tidak mau memaksakan diri hambaNya.

Berhutang atau kredit untuk haji merupakan tanda ketidakmampuannya. Ini menunjukkan sebenarnya dia belum wajib haji. Oleh karena itu, dalam hadits riwayat Al Baihaqi, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam melarang orang pergi haji dengan cara berhutang.

Dari Abdullah bin Abi Aufa Radhiallahu 'Anhu, katanya:

سألته عن الرجل لم يحج ، أيستقرض للحج ؟ قال : " لا "

"Aku bertanya kepadanya, tentang seorang yang belum pergi haji, apakah dia berhutang saja untuk haji?" Beliau bersabda: "Tidak." (HR. Asy Syafi'i, Min Kitabil Manasik, Juz. 1, Hal. 472, No. 460. Al Baihaqi, Ma'rifatus Sunan wal Atsar, Juz. 7, Hal. 363, No. 2788. Syamilah)

Imam Asy Syafi'i berkata tentang hadits ini:
ومن لم يكن في ماله سعة يحج بها من غير أن يستقرض فهو لا يجد السبيل
"Barangsiapa yang tidak memiliki kelapangan harta untuk haji, selain dengan hutang, maka dia tidak wajib untuk menunaikannya." (Imam Asy Syafi'i, Al Umm, Juz. 1, Hal. 127. Syamilah)

Namun, demikian para ulama tetap menilai hajinya sah, sebab status tidak wajib haji karena dia belum istitha'ah, bukan berarti tidak boleh haji. Ada pun larangan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, karena Beliau tidak mau memberatkan umatnya yang tidak mampu, itu bukan menunjukkan larangannya. Yang penting, ketika dia berhutang atau kredit, dia harus dalam kondisi bahwa dia bisa melunasi hutang atau kredit tersebut pada masa selanjutnya.

Yang perlu diperhatikan pula adalah bekal finansial seperti apa yang harus dipersiapkan? Yakni yang halal dan berasal dari usaha yang baik-baik. Bukan dari usaha haram.
Haji adalah salah satu rukun Islam. Ibadah yang mulia dan syiar Islam yang agung. Sangat tidak pantas ibadah semulia ini dimodalkan dengan harta yang haram dan kotor, tidak sepatutnya upaya mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala dengan uang haram.. Apalagi orang tersebut mengetahui keharaman hartanya. Ini merupakan sikap talbisul haq bil bathil (mencampur antara yang haq dan batil), yang sangat Allah Ta'ala cela, dan merupakan salah satu sifat Bani Israel, sebagaimana yang Allah Ta'ala gambarkan dalam Al Quran.
Allah Ta'ala berfirman:

"Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui." (QS. Al Baqarah (2): 42)

Sedangkan, dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا

"Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak akan menerima kecuali yang baik-baik." (HR. Muslim No. 1015. At Tirmidzi No. 4074, katanya: hasan gharib. Al Baihaqi, Syu'abul Iman, No. 5497)

Secara fiqih, walau pun ada ulama yang berpendapat hajinya tetap sah selama manasiknya benar dan sempurna, namun mereka tetap mengatakan, haji dengan uang haram adalah berdosa. Maka, apa yang bisa diharapkan dari haji seperti ini? Berharap mendapatkan haji mabrur, ternyata menuai dosa. Namun, pendapat yang benar adalah hajinya tidak sah, sebagaimana yang dikatakan Imam Ahmad.

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
ويجزئ الحج وإن كان المال حراما ويأثم عند الاكثر من العلماء. وقال الامام أحمد: لايجزئ، وهو الاصح لما جاء في الحديث الصحيح: " إن الله طيب لا يقبل إلا طيبا ".

"Haji tetap sah walau dengan uang haram, namun pelakunya berdosa menurut mayoritas ulama. Imam Ahmad berkata: hajinya tidak sah. Dan inilah pendapat yang paling benar sesuai hadits shahih: Sesungguhnya Allah baik, tidaklah menerima kecuali yang baik." (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/640)

Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri Rahimahullah berkata:
ومعنى الحديث أنه تعالى منزه عن العيوب فلا يقبل ولا ينبغي أن يتقرب إليه إلا بما يناسبه في هذا المعنى. وهو خيار أموالكم الحلال كما قال تعالى: {لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ}

"Makna hadits ini adalah bahwa Allah Ta'ala suci dari segala aib, maka tidaklah diterima dan tidak sepatutnya mendekatkan diri kepadaNya kecuali dengan apa-apa yang sesuai dengan makna ini. Yakni dengan sebaik-baik hartamu yang halal, sebagaimana firmanNya: "Kamu selamanya belum mencapai kebaikan sampai kamu menginfakan apa-apa yang kamu cintai .." (Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri, Tuhfah Al Ahwadzi, Juz. 8, Hal. 333, No. 4074. Al Maktabah As Salafiyah)

Di tanah suci, di depan Ka'bah, atau di Raudhah dia berdoa, padahal dengan uang haramlah yang membuatnya berada si sana. Bagaimana mungkin doanya didengar?

Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu, dia berkata:
ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menyebutkan, seorang laki-laki yang panjang perjalanannya, berambut kusut, berdebu, dan menengadahkan tangannya ke langit: "Ya Rabb .. Ya Rabb .., tetapi suka makan yang haram, minum yang haram, pakaiannya juga haram, dan dikenyangkan dengan yang haram. Maka, bagaimana doanya bisa dikabulkan?" (HR. Muslim)

Imam Ibnu Daqiq Al 'Id mengatakan, yang dimaksud dengan, "panjang perjalanannya" adalah:
يطيل السفر في وجوه الطاعات: الحج وجهاد وغير ذلك من وجوه البر ومع هذا فلا يستجاب له لكون مطعمه ومشربه وملبسه حراماً

"Panjang perjalannya dalam rangka ketaatan, seperti haji, jihad, dan lainnya yang termasuk perjalanan kebaikan, namun demikian doanya tidak dikabulkan karena makanan, minuman, dan pakaiannya yang haram." (Imam Ibnu Daqiq Al 'Id, Syarh Al Arba'in An Nawawiyah, Hal. 60. Hadits No. 10. Muasasah Ar Rayyan)

Bagaimana Haji Yang Sukses ?

Haji yang sukses bukan hanya sah hajinya, orang yang sudah memenuhi syarat dan rukunnya. Tidak hanya itu. Tetapi kemampuan seseorang dalam menghayati nilai ibadah haji yang agung ini. Di sinilah kebanyakan manusia gagal dalam meraihnya. Mereka sudah merasa puas diri ketika pulang ke tanah air dengan gelar hajinya dan dengan pakaian kebesarannya. Tapi, secara perilaku, ilmu, akhlak, kekuatan spiritual, dan kesolehan sosial, sama sekali tidak ada perubahan.

Gelarnya haji tetapi korupsi dan mengambil harta yang bukan haknya. Gelarnya haji tetapi bakhilnya luar biasa dan tidak dekat dengan rakyat kecil, fuqara (orang fakir) dan masakin (orang miskin). Gelarnya haji tetapi masih doyan maksiat bahkan terang-terangan tidak ada rasa malu. Gelarnya haji tetapi jarang shalat berjamaah ke masjid. Gelarnya haji tetapi mudah sekali memusuhi saudara sesama muslim. Gelarnya haji tetapi jiwanya rapuh, jika ada masalah bukan mengadu kepada Allah Ta'ala tetapi kepada para dukun. Gelarnya haji tetapi tidak dekat dengan majelis ilmu bahkan menjauhi majelis ilmu, namun anehnya merasa sudah berilmu. Gelarnya haji tetapi tidak rendah hati bahkan cenderung sombong terhadap sesama umat Islam.

Ini semua bukan sifat haji yang sukses. Justru inilah tanda haji yang gagal, walau prosesi ritual ibadah hajinya adalah sah. Seluruh manasik dijalankan secara lengkap dan sempurna. Sungguh, sangat disayangkan dana yang dikorbankan, tenaga yang dikeluarkan, waktu yang diberikan, serta peluh yang mengucur, itu semua menjadi tiada makna lantaran sikapnya sendiri yang tidak mau berubah. Lebih menjadikan haji sebagai sarana unjuk gengsi dan prestise di masyarakat. Sehingga hatinya tetap keras bahkan telah mati, namun dia tidak menyadarinya.

Ada pun orang yang sukses hajinya. Mereka semakin tawadhu (rendah hati). Semakin takut kepada Allah Ta'ala, semakin khawatir apa yang dilakukannya belum diterima Tuhannya; karena dia tahu bahwa Allah Ta'ala hanya menerima amal orang-orang yang bertaqwa. Sedangkan dirinya merasa masih jauh dari taqwa. Selain itu, dia dekat dengan saudaranya yang kesulitan, fuqara dan masakin, baginya tidak penting manusia mengetahui apa yang dilakukannya atau tidak, yang terpenting adalah Allah mau menerima apa yang dilakukannya. Dia tidak mau dirinya disebut-disebut kebaikannya di depan umum, dia malu kepada Allah jika ada orang yang memujinya, sedangkan dia tahu bahwa dirinya masih banyak kekurangan yang tidak diketahui orang lain.

Penampilan pun sederhana, pandai menjaga perasaan saudaranya yang tidak seberuntung dia. Bahkan banyak manusia tidak mengetahui kalau dia sudah haji. Penampilan pun bersahaja dan sederhana, tak ada bedanya antara dirinya dengan orang-orang lain yang ada di sekitarnya. Tidak pernah membedakan pergaulan, kaya dan miskin, haji dan bukan haji, kecil dan besar, semua adalah sahabat dan saudaranya.

Dari sisi ibadah juga semakin baik. Masjid adalah rumahnya yang kedua. Jamaah masjid adalah perkumpulan yang amat dirindukannya. Adzan adalah suara yang paling dinantikannya. Kalimat takbir adalah ungkapan yang paling meluluhkan hatinya. Majelis taklim adalah majelis favoritnya untuk menempa diri dari noda hawa nafsu manusia, serta menggali ilmu-ilmu agama yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya.

Subhanallah ... tanpa disadarinya, bisa jadi, dialah salah satu wali Allah ... kekasih Allah .. walau bisa jadi ada manusia yang merendahkannya. Dianggap bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Melecehkan keshalihannya, dan mengejek kerendahhatiannya.

Kewajiban Haji Hanya Sekali

kewajiban haji hanyalah sekali seumur hidup, dan ini menjadi ketetapan seluruh ulama Ahlus Sunnah Al Jama'ah. Ada pun haji kedua dan seterusnya adalah tathawwu' (sunah), tetapi bagi yang bernadzar haji, maka wajib baginya untuk menunaikannya. Hal ini berdasarkan riwayat berikut:
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ الْحَجَّ فَحُجُّوا فَقَالَ رَجُلٌ أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلَاثًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ ثُمَّ قَالَ ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوهُ

"Wahai manusia! Allah telah mewajibkan atas kalian haji, maka berhajilah! Lalu ada seorang yang bertanya: "Apakah tiap tahun ya Rasulullah?" Beliau terdiam hingga tiga kali ditanya demikian. Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Seandainya saya bilang "Ya" maka itu menjadi wajib dan kalian tidak akan mampu." Kemudian beliau berkata: "Biarkanlah, jangan kamu usik apa yang tidak saya sebutkan, sesungguhnya binasanya orang terdahulu sebelum kalian karena banyaknya bertanya dan mereka berselisih dengan bai-nabi mereka. Jika saya perintahkan kalian dengan sesuatu maka jalankan semampu kalian, dan jika saya larang kalian dari sesuatu maka jauhkanlah." (HR. Muslim No. 1337)

Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan:
أجمع العلماء على أن الحج لا يتكرر، وأنه لا يجب في العمر إلا مرة واحدة - إلا أن ينذره فيجب الوفاء بالنذر - وما زاد فهو تطوع

"Ulama telah ijma' (sepakat) bahwa haji tidaklah dilakukan berulang-ulang, dia tidaklah wajib sepanjang umur melainkan hanya sekali -kecuali jika dia nazar maka wajib memenuhi nazarnya itu. Sedangkan lebih dari sekali hanyalah tathawwu' (sunah)." (Fiqhus Sunnah, 1/628)

Perhatikanlah ini wahai para haji ....! Tidak sedikit para haji yang tidak memahami fiqih aulawiyat (fiqih prioritas). Mereka melaksanakan haji yang sunah, yakni yang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya, padahal kewajibannya masih banyak yang belum dijalankan.
Kanan kiri rumahnya banyak orang kelaparan, banyak muallaf yang perlu dibina dan diberi bantuan, banyak pula anak yatim dan faqir miskin. Memperhatikan mereka, memenuhi kebutuhan hidup mereka adalah lebih utama dan lebih wajib dibanding menjalankan haji yang sunah. Sayangnya, ini tidak mau dipedulikan oleh sebagian para haji, mereka egois hanya demi kenikmatan ibadah dirinya sendiri padahal tetangganya hampir mati kelaparan. Tidak demikian seharusnya, justru berhaji membuat kita semakin dermawan bukan semakin tidak peduli dengan sesama.

Imam Abdullah bin Mubarak pernah memimpin sebuah rombongan haji. Dalam perjalanan mereka melihat seorang wanita yang sedang mengais tumpukan sampah. Lalu Abdullah bin Mubarak bertanya: "Apa yang kau lakukan?"

Wanita itu menjawab: "Aku mencari makanan, untuk anak-anakku."
Lalu Abdullah bin Mubarak bertanya lagi: "Apa yang kau dapatkan?"
Wanita itu menjawab: "Seekor bangkai ayam."
Mendengar ini, Abdullah bin Mubarak berkata kepada rombongan yang dibawanya: "Kumpulkan perbekalan kalian, berikan kepada si ibu ini, mari kita kembali ke rumah!"
Salah seorang dari mereka bertanya: "Wahai Syaikh, bukankah kita mau pergi haji?"
Abdullah bin Mubarak menjawab: "Ya, tapi kita sudah berkali-kali haji, dan ini hanya sunah, sedangkan membantu wanita ini adalah wajib dan lebih utama, mari kumpulkan perbekalan kita dan kita pulang saja." Akhirnya mereka mengurungkan niatnya untuk berangkat haji.
Inilah kedalaman ketajaman ilmu Abdullah bin Mubarak dan kelembutan hatinya. Semoga Allah merahmati Imam Abdullah bin Mubarak.

Apa lagi yang kita harapkan setelah haji ..? jika kita renungkan perjalanan haji dari awal hingga akhirnya, maka di sana ada pelajaran besar yang dapat kita ambil. Haji merupakan ibadah totalitas penghambaan kepada Allah Ta'ala. Kita berasal dariNya dan akan kembali kepadaNya.

Di sana, kita menanggalkan pakaian kebesaran dan pakaian keduniawian, hanya selembar kain ihram tanpa peci, minyak wangi, dan celak mata. Jutaan manusia seperti itu di tempat yang sama, di sana tidak ada kelebihan yang satu dibanding yang lain. Pangkat, kedudukan, dan jabatan tidak ada artinya dan manfaatnya. Begitulah kondisi semua manusia di akhirat nanti.

Orang kuat, lemah, pejabat, orang kecil, saudagar, pembantu, semua melepaskan status dunianya; semuanya hanyalah hamba Allah Ta'ala, yang membedakan hanya ketaqwaannya.
Haji yang benar, akan meluluhkan kesombongan, melunturkan kebakhilan, melenyapkan sikap ananiyah (egoisme), memandang semua muslim adalah saudara dan kawan. Memandang mereka dengan mata cinta dan keridhaan, bukan mata benci dan dendam.
Buat yang akan pergi haji, mari sama-sama meluruskan niat, kuatkan tekad, dan melipatkan kesabaran, agar menjadi tamu Allah yang dicintai oleh makhluk dan diridhai oleh sang Khaliq. Buat yang sudah haji, mari kita introspeksi dan evaluasi, apakah haji yang sudah kita lakukan sudah berhasil merubah diri kita ke arah yang lebih baik. Apakah sudah bisa merubah amal kita baik kualitas dan kuantitasnya? Semoga Allah Ta'ala memudahkan langkah kita semua untuk menjadi hambaNya yang pandai bersyukur dan bersabar.

Wallahu A'lam

Selanjutnya:

وَصَوْمِ رَمَضَانَ - dan puasa Ramadhan

Definisi Shaum

Secara bahasa, berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin Rahimahullah:

الصيام في اللغة مصدر صام يصوم، ومعناه أمسك، ومنه قوله تعالى: {فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَن صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا } [مريم] فقوله: {صَوْمًا} أي: إمساكاً عن الكلام، بدليل قوله: {فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا} أي: إذا رأيت أحداً فقولي: {إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَن صَوْمًا} يعني إمساكاً عن الكلام {فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا}.

"Shiyam secara bahasa merupakan mashdar dari shaama - yashuumu, artinya adalah menahan diri. Sebagaimana firmanNya: (Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini") (QS. Maryam (19):26). firmanNya: (shauman) yaitu menahan diri dari berbicara, dalilnya firmanNya: (jika kamu melihat seorang manusia), yaitu jika kau melihat seseorang, maka katakanlah: (Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah) yakni menahan dari untuk bicara. (Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini). (Syarhul Mumti', 6/296. Cet. 1, 1422H.Dar Ibnul Jauzi. Lihat juga Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/431. Lihat Imam Al Mawardi, Al Hawi Al Kabir, 3/850)

Secara syara', menurut Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah, makna shaum adalah:

الامساك عن المفطرات، من طلوع الفجر إلى غروب الشمس، مع النية

"Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan, dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, dan dibarengi dengan niat (berpuasa)." (Fiqhus Sunnah, 1/431)

Ada pun Syaikh Ibnul Utsaimin menambahkan:

وأما في الشرع فهو التعبد لله سبحانه وتعالى بالإمساك عن الأكل والشرب، وسائر المفطرات، من طلوع الفجر إلى غروب الشمس.
ويجب التفطن لإلحاق كلمة التعبد في التعريف؛ لأن كثيراً من الفقهاء لا يذكرونها بل يقولون: الإمساك عن المفطرات من كذا إلى كذا، وفي الصلاة يقولون هي: أقوال وأفعال معلومة، ولكن ينبغي أن نزيد كلمة التعبد، حتى لا تكون مجرد حركات، أو مجرد إمساك، بل تكون عبادة

"Ada pun menurut syariat, maknanya adalah ta'abbud (peribadatan) untuk Allah Ta'ala dengan cara menahan diri dari makan, minum, dan semua hal yang membatalkan, dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Wajib dalam memahami definisi ini, dengan mengaitkannya pada kata ta'abbud, lantaran banyak ahli fiqih yang tidak menyebutkannya, namun mengatakan: menahan dari dari ini dan itu sampai begini. Tentang shalat, mereka mengatakan: yaitu ucapan dan perbuatan yang telah diketahui. Sepatutnya kami menambahkan kata ta'abbud, sehingga shalat bukan semata-mata gerakan , atau semata-mata menahan diri, tetapi dia adalah ibadah." (Syarhul Mumti', 6/298. Cet.1, 1422H. Dar Ibnul Jauzi)

Dari definisinya ini ada beberapa point penting sebagai berikut:

1. Menahan diri dari perbuatan yang membatalkan
2. Harus dibarengi dengan niat
3. Bertujuan ibadah kepada Allah Ta'ala

Definisi Ramadhan

Ramadhan, jamaknya adalah Ramadhanaat, atau armidhah, atau ramadhanun. Dinamakan demikian karena mereka mengambil nama-nama bulan dari bahasa kuno (Al Qadimah), mereka menamakannya dengan waktu realita yang terjadi saat itu, yang melelahkan, panas, dan membakar (Ar ramadh). Atau juga diambil dari ramadha ash shaaimu: sangat panas rongga perutnya, atau karena hal itu membakar dosa-dosa. (Lihat Al Qamus Al Muhith, 2/190)

Imam Abul Hasan Al Mawardi Rahimahullah mengatakan:

وَكَانَ شَهْرُ رَمَضَانَ يُسَمَّى فِي الْجَاهِلِيَّةِ ناتِقٌ ، فَسُمِّيَ فِي الْإِسْلَامِ رَمَضَانَ مَأْخُوذٌ مِنَ الرَّمْضَاءِ ، وَهُوَ شِدَّةُ الْحَرِّ : لِأَنَّهُ حِينَ فُرِضَ وَافَقَ شِدَّةَ الْحَرِّ وَقَدْ رَوَى أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ {صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ} قَالَ : إِنَّمَا سُمِّيَ رَمَضَانُ : لِأَنَّهُ يَرْمِضُ الذُّنُوبَ أَيْ : يَحْرِقُهَا وَيَذْهَبُ بِهَا .

"Adalah bulan Ramadhan pada zaman jahiliyah dinamakan dengan 'kelelahan', lalu pada zaman Islam dinamakan dengan Ramadhan yang diambil dari kata Ar Ramdha' yaitu panas yang sangat. Karena ketika diwajibkan puasa bertepatan dengan keadaan yang sangat panas. Anas bin Malik telah meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: sesungguhnya dinamakan Ramadhan karena dia memanaskan dosa-dosa, yaitu membakarnya dan menghapskannya." (Al Hawi Al Kabir, 3/854. Darul Fikr)

Secara istilah (terminologis), Ramadhan adalah nama bulan (syahr) ke sembilan dalam bulan-bulan hijriyah, setelah Sya'ban dan sebelum Syawal.

Keutamaan-Keutamaannya

Sangat banyak keutamaan puasa. Di sini kami hanya paparkan sebagian kecil saja.
1. Berpuasa Ramadhan menghilangkan dosa-dosa yang lalu

Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
ومن صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

"Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan ihtisab, maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu." (HR. Bukhari No. 38, 1910, 1802. Al Baihaqi, Syu'abul Iman No. 3459)

Makna 'diampuninya dosa-dosa yang lalu' adalah dosa-dosa kecil, sebab dosa-dosa besar -seperti membunuh, berzina, mabuk, durhaka kepada orang tua, sumpah palsu, dan lainnya- hanya bias dihilangkan dengan tobat nasuha, yakni dengan menyesali perbuatan itu, membencinya, dan tidak mengulanginya sama sekali. Hal ini juga ditegaskan oleh hadits berikut ini.

2. Diampuni dosa di antara Ramadhan ke Ramadhan
Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
الصلوات الخمس. والجمعة إلى الجمعة. ورمضان إلى رمضان. مكفرات ما بينهن. إذا اجتنب الكبائر

"Shalat yang lima waktu, dari jumat ke jumat, dan ramadhan ke Ramadhan, merupakan penghapus dosa di antara mereka, jika dia menjauhi dosa-dosa besar." (HR. Muslim No. 233. Ahmad)

3. Dibuka Pintu Surga, Dibuka pintu Rahmat, Dibuka pintu langit, Ditutup Pintu Neraka, dan Syetan dibelenggu

Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا جَاءَ رَمَضَان فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتْ الشَّيَاطِين
"Jika datang Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka dan syetan dibelenggu." (HR. bukhari No. 1800. Muslim No. 1079. Malik No. 684. An Nasa'I No. 2097, 2098, 2099, 2100, 2101, 2102, 2104, 2105)

4. Buat Orang berpuasa akan dimasukkan ke dalam surga melalui pintu Ar Rayyan

Dari Sahl Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ

"Sesungguhnya di surga ada pintu yang disebut Ar Rayyan, darinyalah orang-orang puasa masuk surga pada hari kiamat, tak seorang pun selain mereka masuk lewat pintu itu. Akan ditanya: "Mana orang-orang yang berpuasa? Maka mereka berdiri, dan tidak akan ada yang memasukinya kecuali mereka. Jika mereka sudah masuk, maka pintu itu ditutup dan tak ada yang memasukinya seorang pun." (HR. Bukhari No. 1797, 3084. Muslim No. 1152. An Nasa'I No. 2273, Ibnu Hibban No. 3420. Ibnu Abi Syaibah 2/424)

Sejak Kapan Puasa Ramadhan Diwajibkan?

Telah diketahui secara pasti bahwa puasa Ramadhan adalah wajib berdasarkan Al Quran (QS. Al Baqarah (2): 183), Al Hadits, dan ijma'. Telah masyhur pula bahwa puasa Ramadhan diwajibkan sejak tahun kedua hijriyah, dan sepanjang hayat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam hanya menjalankan sembilan kali puasa Ramadhan. Dalam sejarah Islam, pewajiban puasa pun tidak langsung, melainkan diberikan anjuran puasa sebagai memberikan pengalaman dan pembiasaan.

Berkata Syaikh Ibnu Al 'Utsaimin Rahimahullah:

وحكمه: الوجوب بالنص والإجماع.
ومرتبته في الدين الإسلامي: أنه أحد أركانه، فهو ذو أهمية عظيمة في مرتبته في الدين الإسلامي.
وقد فرض الله الصيام في السنة الثانية إجماعاً، فصام النبي صلّى الله عليه وسلّم تسع رمضانات إجماعاً، وفرض أولاً على التخيير بين الصيام والإطعام؛ والحكمة من فرضه على التخيير التدرج في التشريع؛ ليكون أسهل في القبول؛ كما في تحريم الخمر، ثم

"Hukumnya adalah wajib berdasarkan nash (teks Al Quran dan Al Hadits) dan ijma'. Kedudukannya dalam agama Islam adalah dia sebagai salah satu rukun Islam yang memiliki urgensi yang agung dalam Islam. Telah ijma' bahwa Allah mewajibkan puasa pada tahun kedua, dan ijma' pula bahwa puasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam adalah sembilan kali Ramadhan. Pertama kali diwajibkan adalah sebagai takhbir (pemberian pengalaman) antara puasa dan makan, hikmah dari pewajiban dengan cara ini adalah sebagai pentahapan dalam pensyariatannya agar lebih mudah diterima, sebagaimana dalam pengharaman khamr." (Syarhul Mumti' , 6/298. Mawqi Ruh Al Islam)

Kepada Siapa Diwajibkan?

Puasa Ramadhan diwajibkan kepada setiap umat Islam, laki dan perempuan, baligh, berakal, dan sedang tanpa udzur (halangan). Udzur-udzur tersebut adalah:


1,2. Sakit dan Safar

Hal ini berdasarkan ayat:
ومن كان منكم مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر

"Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (QS. Al Baqarah (2): 184)

Sakit Yang Bagaimana?

Sebagian ulama mengatakan bahwa segala macam sakit -walau ringan- boleh untuk tidak puasa. Alasan mereka adalah karena ayat ini tidak merincinya. Jadi, karena kemutlakan ayat ini maka semua macam sakit boleh membuat seseorang tidak puasa dan wajib diganti di hari lain.

Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi Rahimahullah mengatakan dalam kitabnya Al Mughni:

وَحُكِيَ عَنْ بَعْضِ السَّلَفِ أَنَّهُ أَبَاحَ الْفِطْرَ بِكُلِّ مَرَضٍ ، حَتَّى مِنْ وَجَعِ الْإِصْبَعِ وَالضِّرْسِ ؛ لِعُمُومِ الْآيَةِ فِيهِ

"Diceritakan dari sebagian salaf bahwa dibolehkan berbuka bagi setiap jenis penyakit, sampai rasa sakit di jari-jari dan tergigit, lantaran keumuman ayat tentang hal ini." (Al Mughni, 6/149. Mawqi' Islam)

Ini juga pendapat Imam Bukhari, Imam 'Atha, dan ahluzh zhahir seperti Imam Daud dan Imam Ibnu Hazm Al Andalusi.

Namun, pendapat yang lebih aman dan selamat adalah bahwa penyakit yang boleh bagi penderitanya untuk meninggalkan puasa adalah penyakit yang membuatnya sulit dan berat berpuasa, dia tidak mampu, dan bisa membahayakan dirinya jika dia berpuasa. Dengan demikian, seseorang tidak bermain-main dengan syariat, hanya dengan alasan sakit yang sebenarnya tidak menyulitkannya.

Imam Ibnu Qudamah mengomentari ayat di atas, katanya;

وَالْمَرَضُ الْمُبِيحُ لِلْفِطْرِ هُوَ الشَّدِيدُ الَّذِي يَزِيدُ بِالصَّوْمِ أَوْ يُخْشَى تَبَاطُؤُ بُرْئِهِ .

"Sakit yang dibolehkan untuk berbuka adalah sakit keras yang bisa bertambah parah karena puasa atau dikhawatiri lama sembuhnya." (Ibid)

Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah pernah di tanya:

مَتَى يُفْطِرُ الْمَرِيضُ ؟ قَالَ : إذَا لَمْ يَسْتَطِعْ .
قِيلَ : مِثْلُ الْحُمَّى ؟ قَالَ : وَأَيُّ مَرَضٍ أَشَدُّ مِنْ الْحُمَّى

"Kapankah orang sakit boleh berbuka?" Dia menjawab: "jika dia tidak mampu (puasa)." Ditanyakan lagi: "semacam demam?" Beliau menjawab: "Sakit apa pun yang lebih berat dari demam." (Ibid)

Dialog ini menunjukkan bahwa beliau hanya mengkhususkan sakit tertenu saja yakni yang memberatkan bagi si penderitanya.

Berkata Syaikh Sayid Sabiq Rahimahullah:

والصحيح الذي يخاف المرض بالصيام، يفطر، مثل المريض وكذلك من غلبه الجوع أو العطش، فخاف الهلاك، لزمه الفطر وإن كان صحيحا مقيما وعليه القضاء.

"Yang benar adalah jika puasa dikhawatirkan membuat sakit maka dia boleh berbuka, sebagaimana puasa, begitu juga bagi orang yang tidak kuat menahan lapar dan haus yang dikhawatiri membuatnya celaka, maka dia mesti berbuka. Jika dia dalam keadaan sehat dan mukim maka wajib baginya qadha' " (Fiqhus Sunnah, 1/442)

Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah mengatakan tentang standar sakit yang boleh berbuka puasa:

هوالذي يشق معه الصوم مشقة شديدة أو يخاف الهلاك منه إن صام، أو يخاف بالصوم زيادة المرض أو بطء البرء أي تأخره . فإن لم يتضرر الصائم بالصوم كمن به جرب أو وجع ضرس أو إصبع أو دمل ونحوه، لم يبح له الفطر.

"Yaitu sakit berat yang jika puasa beratnya semakin parah atau khawatir dia celaka, atau khawatir dengan puasa akan menambah sakit atau memperlama kesembuhan. Jika seorang puasa tidaklah mendatangkan mudharat baginya seperti sakit kudis, sakit gigi, jari, bisul, dan yang semisalnya, maka ini tidak boleh berbuka." (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 3/75. Maktabah Al Misykah)

Inilah pendapat yang lebih kuat, karena Allah Ta'ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.. " (QS. At Taghabun (64): 16)

Jadi, selama masih ada kesanggupan maka berpuasalah. Jangan menyerah begitu saja hanya karena penyakit ringan seperti panu, kudis, keseleo kaki, dan sejenisnya.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

وأما الصحيح المقيم الذي يُطيق الصيام، فقد كان مخيَّرًا بين الصيام وبين الإطعام، إن شاء صام، وإن شاء أفطر، وأطعم عن كل يوم مسكينا، فإن أطعم أكثر من مسكين عن كل يوم، فهو خير، وإن صام فهو أفضل من الإطعام، قاله ابن مسعود، وابن عباس، ومجاهد، وطاوس، ومقاتل بن حيان، وغيرهم من السلف؛ ولهذا قال تعالى: { وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ }

"Ada pun orang sehat yang tidak bepergian, tapi dia mengalami kesulitan untuk puasa, maka mereka bisa memilih antara puasa atau berbuka. Jika dia mau maka puasa, jika dia mau buka maka buka saja, lalu memberikan makan tiap hari (yang ditinggalkannya) ke orang miskin, jika dia memberikan makannya lebih banyak dari hari yang ditinggalkannya maka itu lebih baik. Jika dia mau berpuasa maka itu lebih utama dibanding memberikan makan. Inilah pendapat Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Mujahid, Thawus, Muqatil bin Hayyan, dan selain mereka dari kalangan salaf. Oleh karena Allah Ta'ala berfirman:

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Tafsir Al Quran Al 'Azhim, 1/498. Dar Ath thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi')

Ada pun jika orang yang sakit keras memaksakan diri untuk puasa, maka puasanya tetap sah, walau hal itu dibenci (makruh), lantaran dia telah menyiksa diri sendiri dan menolak keringanan yang Allah dan RasulNya berikan.

Allah Ta'ala berfirman:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (QS. Al Baqarah (2): 185)

Ayat lainnya:

وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

" dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan." (QS. Al Baqarah (2): 195)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

وإذا صام المريض، وتحمل المشقة، صح صومه، إلا أنه يكره له ذلك لاعراضه عن الرخصة التي يحبها الله، وقد يلحقه بذلك ضرر.

"Jika orang sakit berpuasa dan hal itu membawanya pada keadaan yang menyulitkan, maka puasanya sah, tetapi hal itu makruh karena dia menentang rukhshah (dispensasi) yang Allah Ta'ala sukai, dan dengan itu dia bisa jadi tertimpa hal yang buruk." (Fiqhus Sunnah, 1/442)

Safar yang Bagaimana?

Ayat di atas juga menunjukkan bahwa orang safar boleh tidak puasa, baik ia tidak berpuasa sebelum berangkat atau ketika berangkat. Hal ini ditegaskan oleh beberapa hadits berikut:

Dari Hamzah bin Amru Al Aslami Radhiallahu 'Anhu, katanya:

يا رسول الله: أجد بي قوة على الصيام في السفر. فهل علي جناح ؟، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "هي رخصة من الله فمن أخذ بها فحسن. ومن أحب أن يصوم فلا جناح عليه".

"Wahai Rasulullah, saya punya kekuatan untuk berpuasa dalam safar, apakah salah saya melakukannya?" Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab: "Itu adalah rukhshah dari Allah, barang siapa yang mau mengambilnya (yakni tidak puasa) maka itu baik, dan barang siapa yang mau berpuasa maka tidak ada salahnya." (HR. Muslim No. 1121. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, no. 7947. Ibnu Khuzaimah No. 2026)

Hadits di atas adalah bagi yang merasa 'kuat' dan 'sanggup', ada pun bagi yang kepayahan puasa dalam perjalanan maka Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lebih menganjurkan berbuka saja.

Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu 'Anhu, katanya:


أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج إلى مكة عام الفتح في رمضان فصام حتى بلغ كراع الغميم فصام الناس معه فقيل له يا رسول الله إن الناس قد شق عليهم الصيام فدعا بقدح من ماء بعد العصر فشرب والناس ينظرون فأفطر بعض الناس وصام بعض فبلغه أن ناسا صاموا فقال أولئك العصاة

"Bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam keluar pada tahun Fath (penaklukan) menuju Mekkah pada saat Ramadhan. Dia berpuasa hingga sampai pinggiran daerah Ghanim. Manusia juga berpuasa bersamanya. Dikatakan kepadanya: "Wahai Rasulullah, nampaknya manusia kepayahan berpuasa." Kemudian Beliau meminta segelas air setelah asar, lalu beliau minum, dan manusia melihatnya. Maka sebagian manusia berbuka, dan sebagian lain tetap berpuasa. Lalu, disampaikan kepadanya bahwa ada orang yang masih puasa." Maka Beliau bersabda: "Mereka durhaka." (HR. Muslim No. 1114. Ibnu Hibban No. 2706, An Nasa'i No. 2263. At Tirmidzi No. 710. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No.7935)

Bahkan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah mengkritik orang yang berpuasa dalam keadaan safar dan dia kesusahan karenanya.

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفره. فرأى رجلا قد اجتمع الناس عليه. وقد ضلل عليه. فقال: "ماله ؟" قالوا: رجل صائم. فقال رسول الله عليه وسلم: "ليس من البر أن تصوموا في السفر".

"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tengah dalam perjalanannya. Dia melihat seseorang yang dikerubungi oleh manusia. Dia nampak kehausan dan kepanasan. Rasulullah bertanya: "Kenapa dia?" Mereka menjawab: "Seseorang yang puasa." Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak ada kebaikan kalian berpuasa dalam keadaan safar." (HR. Muslim No. 1115)

Jika diperhatikan berbagai dalil ini, maka dianjurkan tidak berpuasa ketika dalam safar, apalagi perjalanan diperkirakan melelahkan. Oleh karena itu, para imam hadits mengumpulkan hadits-hadits ini dalam bab tentang anjuran berbuka ketika safar atau dimakruhkannya puasa ketika safar. Contoh: Imam At Tirmidzi membuat Bab Maa Ja'a fi Karahiyati Ash Shaum fi As Safar (Hadits Tentang makruhnya puasa dalam perjalanan), bahkan Imam Ibnu Khuzaimah menuliskan dalam Shahihnya:

باب ذكر خبر روي عن النبي صلى الله عليه وسلم في تسمية الصوم في السفر عصاة من غير ذكر العلة التي أسماهم بهذا الاسم توهم بعض العلماء أن الصوم في السفر غير جائز لهذا الخبر

"Bab tentang khabar dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tentang penamaan berpuasa saat safar adalah DURHAKA tanpa menyebut alasan penamaan mereka dengan nama ini. Sebagian ulama menyangka bahwa berpuasa ketika safar adalah TIDAK BOLEH karena hadits ini."

Tetapi, jika orang tersebut kuat dan mampu berpuasa, maka boleh saja dia berpuasa sebab berbagai riwayat menyebutkan hal itu, seperti riwayat Hamzah bin Amru Al Aslami Radhiallahu 'Anhu di atas.

Ini juga dikuatkan oleh riwayat lainnya, dari Ibnu Abbas Radhiallahu 'Anhuma, katanya:

لا تعب على من صام ولا من أفطر. قد صام رسول الله صلى الله عليه وسلم، في السفر، وأفطر.

"Tidak ada kesulitan bagi orang yang berpuasa, dan tidak ada kesulitan bagi yang berbuka. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah berpuasa dalam safar dan juga berbuka." (HR. Muslim No. 1113)

Dari Ibnu Abbas juga:

سافر رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان. فصام حتى بلغ عسفان. ثم دعا بإنء فيه شراب. فشربه نهارا. ليراه الناس. ثم أفطر. حتى دخل مكة .
قال ابن عباس رضي الله عنهما: فصام رسول الله صلى الله عليه وسلم وأفطر. فمن شاء صام، ومن شاء أفطر.

"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengadakan perjalanan pada Ramadhan, dia berpuasa singga sampai 'Asfan. Kemudian dia meminta sewadah air dan meminumnya siang-siang. Manusia melihatnya, lalu dia berbuka hingga masuk Mekkah." Ibnu Abbas Radhiallahu 'Anhuma berkata: "Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berpuasa dan berbuka. Barang siapa yang mau maka dia puasa, dan bagi yang mau buka maka dia berbuka." (Ibid)

Dengan mentawfiq (memadukan) berbagai riwayat yang ada ini, bisa disimpulkan bahwa anjuran dasar bagi orang yang safar adalah berbuka. Namun, bagi yang kuat dan sanggup untuk berpuasa maka boleh saja berbuka atau tidak berpuasa sejak awalnya. Namun bagi yang sulit dan lelah, maka lebih baik dia berbuka saja. Wallahu A'lam

Dalam konteks 'boleh buka dan boleh puasa' bagi yang sanggup, lalu manakah yang lebih utama?

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah meringkas sebagai berikut:

فرأى أبو حنيفة، والشافعي، ومالك: أن الصيام أفضل، لمن قوي عليه، والفطر أفضل لمن لا يقوى على الصيام.
وقال أحمد: الفطر أفضل.
وقال عمر بن عبد العزيز: أفضلهما أيسرهما، فمن يسهل عليه حينئذ، ويشق عليه قضاؤه بعد ذلك، فالصوم في حقه أفضل.
وحقق الشوكاني، فرأى أن من كان يشق عليه الصوم، ويضره، وكذلك من كان معرضا عن قبول الرخصة، فالفطر أفضل وكذلك من خاف على نفسه العجب أو الرياء - إذا صام في السفر - فالفطر في حقه أفضل.
وما كان من الصيام خاليا عن هذه الامور، فهو أفضل من الافطار.

"Menurut Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, puasa adalah lebih utama bagi yang kuat menjalankannya, dan berbuka lebih utama bagi yang tidak kuat. Ahmad mengatakan: "berbuka lebih utama." Sedangkan Umar bin Abdul Aziz berkata: "Yang paling utama dari keduanya adalah yang paling mudah. Barangsiapa yang lebih mudah puasa saat itu, dan mengqadha setelahnya justru berat, maka berpuasa baginya adalah lebih utama."

Asy Syaukani melakukan penelitian, dia berpendapat bahwa bagi yang berat berpuasa dan membahayakannya, dan juga orang yang tidak mau menerima rukhshah, maka berbuka lebih utama. Demikian juga bagi orang yang khawatir pada dirinya ada 'ujub dan riya' -jika puasa dalam perjalanan- maka berbuka lebih utama. Ada pun jika puasanya sama sekali bersih dari perkara ini semua, maka puasa lebih utama." (Fiqhus Sunnah, 1/443. Nailul Authar, 4/225)

Bolehkah Berbuka Sebelum Berangkat?

Jika seseorang sedang puasa Ramadhan, lalu di waktu tengah berpuasa, dia hendak melakukan safar, bolehkah dia berbuka sebelum berangkat?

Dari Ubai bin Ka'ab Radhiallahu 'Anhu, katanya:

أتيت في رمضان أنس بن مالك، وهو يريد سفرا، وقد رحلت له راحلته، ولبس ثياب السفر، فدعا بطعام فأكل فقلت له: سنة؟ فقال: سنة، ثم ركب

"Saya menemui Anas bin Malik, dan dia hendak safar, dan sudah bersiap-siap dengan kendaraannya, serta sudah mengenakan pakaian safar. Lalu dia minta disediakan makanan, lalu dia makan. Maka saya bertanya kepadanya: "apakah ini sunah?" Dia menjawab: "Ini sunah." Kemudian dia berangkat dengan kendaraannya. (HR. At Tirmidzi No. 799, katanya: hasan. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 799)

Ja'far berkata, Dari Ubaid bin Jubeir Radhiallahu 'Anhu, katanya:

كنت مع أبي بصرة الغفاريِّ صاحب رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم في سفينة من الفسطاط في رمضان فرفع، ثم قرِّب غداؤه، قال جعفر في حديثه: فلم يجاوز البيوت حتى دعا بالسُّفرَة قال: اقترب قلت: ألست ترى البيوت؟ قال أبو بصرة: أترغب عن سنة رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم؟ قال جعفرٌ في حديثه: فأكل.

"Aku bersama Abu Bashrah Al Ghifari, seorang sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam sebah perahu dari daerah Fusthath (Mesir) pada saat Ramadhan. Tiba-tiba dia menawarkan dan menyajikan sarapannya." Ja'far berkata dalam haditsnya: belumlah meninggalkan rumah-rumah dan dia mengajak ke meja makan. Dia (Abu Bashrah) berkata: "Mendekatlah." Aku berkata: "Bukankah engkau masih melihat rumah-rumah?" Berkata Abu Bashrah: "Apakah engkau tidak suka sunah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam?" Ja'far berkata dalam haditsnya: maka dia memakannya." (HR. Abu Daud No. 2412. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 2412)

Dua riwayat ini sangat jelas menerangkan bahwa berbuka sebelum safar adalah boleh, bahkan para sahabat menyebutnya sunah nabi.

Imam Asy Syaukani memberikan penjelasan sebagai berikut:


"والحديثان" يدلان على أنه يجوز للمسافر أن يفطر قبل خروجه من الموضع الذي أراد السفر منه. قال ابن العربي في العارضة: هذا صحيح
"Dua hadits ini menunjukkan bahwa boleh bagi musafir untuk berbuka sebelum dia keluar dari tempat kediamannya. Ibnul 'Arabi mengatakan dalam Al 'Aridhah: "Inilah yang benar." (Nailul Authar, 4/229. Maktabah Ad Da'wah Al Islamiyah)

Lalu, Ibnul 'Arabi berkata lagi:

وأما حديث أنس فصحيح يقتضي جواز الفطر مع أهبة السفر

"Ada pun hadits Anas adalah shahih, dan menetapkan bolehnya berbuka puasa ketika sedang persiapan safar." (Ibid)

Berapakah Jarak Safar Yang Membolehkan Untuk Berbuka?

Tidak ada keterangan khusus tentang hal ini. Kasus ini sama halnya dengan jarak dibolehkannya Qashar, juga tidak ada keterangan khusus. Sedangkan Imam Ibnul Mundzir menyebutkan ada 20 pendapat tentang jarak untuk dibolehkannya qashar. Oleh karena itu, jarak yang sudah dibolehkan bagi seseorang untuk berbuka adalah sebagaimana dibolehkannya untuk qashar. Inilah pendapat para ulama muhaqqiq (peneliti).

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

والسفر المبيح للفطر، هو السفر الذي تقصر الصلاة بسببه، ومدة الاقامة التي يجوز للمسافر أن يفطر فيها، هي المدة التي يجوز له أن يقصر الصلاة فيها. وتقدم جميع ذلك في مبحث قصر الصلاة ومذاهب العلماء وتحقيق ابن القيم.

"Safar yang membolehkan berbuka adalah safar yang membuatnya boleh pula qashar shalat. Begitu pula rentang waktu waktu yang membolehkan untuk berbuka bagi seorang musafir, yaitu selama jangka waktu dibolehkan pula mengqashar. Semua pembahasan ini telah kami bahas sebelumnya dalam pembahasan qashar shalat, pandangan para ulama, dan tahqiq dari Ibnul Qayyim." (Fiqhus Sunnah, 1/444)

3. Orang Yang Kesulitan Menjalankan Puasa

Orang seperti ini mendapatkan keringanan dari Allah Ta'ala:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan (fidyah) seorang miskin." (QS. Al Baqarah (2): 184)

Yang dimaksud adalah orang-orang yang sudah sama sekali tidak mampu puasa kapan pun, sehingga mesti diganti dengan fidyah, seperti orang jompo, sakit menahun yang tipis kemungkinan sembuh. Ada pun bagi yang masih mampu puasa di hari lain, maka gantinya adalah qadha puasa di hari lain, sebagaimana bunyi ayat sebelumnya. Inilah ketetapan buat pekerja keras, musafir (termasuk di antaranya supir jarak jauh), sakit, dan semisalnya, yanga da kemungkinan dapat melakukan puasa ketika libur atau sehat.

Sedangkan wanita haid dan nifas, bukannya 'boleh tidak berpuasa' tetapi memang 'tidak boleh berpuasa.' Tentu dua kalimat ini berbeda makna dan ketentuan.

Wanita hamil dan menyusui juga termasukan kelompok yang berat untuk puasa. Hanya saja para ulama berbeda apakah dia termasuk menggantinya dengan qadha di hari lain, ataukah fidyah memberikan makanan ke fakir miskin.

Kecaman Untuk Orang Yang Tidak Puasa Ramadhan Tanpa Udzur

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu 'Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

عرى الاسلام، وقواعد الدين ثلاثة، عليهن أسس الاسلام، من ترك واحدة منهن، فهو بها كافر حلال الدم: شهادة أن لا إله إلا الله، والصلاة المكتوبة، وصوم رمضان

Tali Islam dan kaidah-kaidah agama ada tiga, di atasnyalah agama Islam difondasikan, dan barangsiapa yang meninggalkannya satu saja, maka dia kafir dan darahnya halal ( untuk dibunuh), (yakni): Syahadat Laa Ilaaha Illallah, shalat wajib, dan puasa Ramadhan.
" (HR. Abu Ya'ala dan Ad Dailami dishahihkan oleh Adz Dzahabi. Berkata Hammad bin Zaid: aku tidak mengetahui melainkan hadits ini telah dimarfu'kan kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Al Haitsami mengatakan sanadnya hasan, Majma' Az Zawaid, 1/48. Darul Kutub Al 'Ilmiyah)

Berkata Imam Adz Dzahabi Rahimahullah:

وعند المؤمنين مقرر: أن من ترك صوم رمضان بلا مرض، أنه شر من الزاني، ومدمن الخمر، بل يشكون في إسلامه، ويظنون به الزندقة، والانحلال.

"Bagi kaum mukminin telah menjadi ketetapan bahwa meninggalkan puasa Ramadhan padahal tidak sakit adalah lebih buruk dari pezina dan pemabuk, bahkan mereka meragukan keislamannya dan mencurigainya sebagai zindiq dan tanggal agamanya." (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/434. Lihat juga Imam Al Munawi, Faidhul Qadir, 4/410. Darul Kutub Al 'Ilmiyah)

Hikmah Puasa Ramadhan


Puasa adalah ibadah yang unik, sebab itu untukNya dan Allah Ta'ala sendiri yang langsung memberikan ganjarannya. Pada ibadah ini, kita dilatih agar jujur dan merasa di awasi Allah Ta'ala. Sebab, yang tahu kita sedang puasa adalah diri kita sendiri dan Allah Ta'ala. Ibadah lain manusia bisa melihat dengan jelas, seperti shalat, zakat, haji, dan jihad. Sedangkan puasa, bisa saja seseorang berlagak lemas dan letih, padahal itu sandiwara.

Puasa juga melatih diri kita untuk berempati dengan kaum fakir miskin, sebab rasa lapar dan dahaga yang kita rasakan adalah keseharian mereka. Maka, lahirlah sikap memandang orang miskin dengan pandangan empati, cinta, dan ujian bagi kedermawanan kita.

Puasa juga sarana efektif mengendalikan hawa nafsu, emosi, dan berbagai keinginan syahwati dan duniawi lainnya. Selama sebelas bulan lamanya kita melepaskannya dan menghamburkannya, bahkan sebagian manusia ada yang melepaskan tanpa batas dan aturan bagaikan binatang. Pengendalian ini , demi kestabilan antara jiwa, emosi, dan tubuh manusia. Masih banyak lagi pelajaran yang dapat kita ambil dari ibadah puasa.

Sekian Syarah hadits Ketiga. Wallahu A'lam
Oleh: Farid Nu'man Hasan
http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/171